Gerakan tangan Rosalia yang hendak mengayunkan pisau untuk memotong daging ayam seketika terhenti ketika mendengar suara Clara. Wanita itu menoleh dan menghela napas panjang. “Clara, kamu membuat Ibu kaget saja,” gerutunya. Clara melihat ibunya, tengah memegang daging ayam kalkun yang cukup besar. Selain perkebunan, Ayah dan Ibunya memang mengelola beberapa peternakan kecil seperti ayam kalkun, domba dan juga sapi. “Ibu sedang apa?” tanya Clara. “Kamu tidak lihat, Ibu sedang memotong daging ayam. Kamu harusnya memberitahu Ibu bila ingin membawa mertuamu datang.” Ah, Clara mengerti, sepertinya Rosalia sengaja memotong ayam kalkun peliharaannya untuk diolah menjadi hidangan. Seperti yang dia tahu, area perumahan ini sangat jauh dari pasar ataupun supermarket. Ibunya itu sudah pasti tidak memiliki stok makanan khusus. Selain hasil kebun, Rosalia dan Richard kerap kali mengkonsumsi roti dan jagung sebagai bahan makanan pokok. “Maaf, Bu. Aku lupa. Mereka yang memaksa ingin bertemu k
Clara menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia merasa tidak enak hati terhadap keluarga suaminya. Semua karena sikap ibunya. Inilah yang Clara takutkan, karena sikap kedua orang tuanya memang tidak bisa diprediksi. Clara membalik diri, memandang kedua mertuanya serta Maxime dengan raut wajah penuh rasa bersalah. “Maaf, atas sikap ibuku,” ucapnya. Sania hendak menyanggah, namun, terlebih dahulu terdengar suara dari dalam yang membuat semua orang menoleh ke arah pintu. “Kamu ini, sudah tahu ada tamu, kenapa tidak menyuruh mereka masuk terlebih dahulu?” Itu suara Richard. Pria itu terdengar mengomeli istrinya. “Aku sangat terkejut, itu sebabnya aku segera memanggilmu,” ucap Rosalia. Tak lama kemudian, pasangan suami istri itu menampakkan diri. Senyum yang terpahat di bibir keduanya menumbuhkan kelegaan di hati Clara. “Maaf, telah membuat kalian menunggu. Kalau begitu silakan masuk,” ucap Richard dengan sopan dan ramah. Satu persatu tamu memasuki ruangan. Termasuk para sop
Rombongan keluarga Abraham berangkat pukul 07.00 pagi. Rombongan terbagi menjadi dua kendaraan. Sebastian dan Clara berada dalam satu mobil. Sementara Sania, Leonard, dan Maxime berada dalam satu kendaraan yang dikemudikan oleh seorang sopir pribadi. Sania telah menyiapkan sebuah bingkisan khusus yang kini memenuhi bagasi belakang. Ini memang bukan pertemuan pertama mereka. Namun, Sania ingin memberikan kesan yang baik terhadap besannya itu. “Kenapa aku jadi gugup begini?” ujar Sania. Wajahnya terlihat cemas dengan guratan yang memenuhi keningnya. “Jangan terlalu dipikirkan.” Leonard meraih jemari istrinya, menggenggamnya dengan erat. “Aku rasa mereka pasti sudah mau berdamai, kamu dengar sendiri ‘kan sudah dengar kalau mereka sudah menerima Sebastian. Sudah pasti mereka juga mau menerima kita,” imbuh Leonard. “Semoga saja begitu,” sahut Sania. Dia mencoba menenangkan dirinya. Namun, tetap saja dia merasa khawatir. Maxime yang duduk di bangku depan nampak tidak memberikan k
Begitu Sania mendengar bahwa kedua orangtua Clara mengirimkan sebuah pesan untuknya, hati Sania berbunga. Penolakan yang dilakukan besannya, tak membuat Sania lantas sakit hati. Sebab, dia menyadari kesalahan memang terletak pada putranya. Tanpa membuang waktu, Sania segera mengatur waktu untuk datang berkunjung ke kediaman kedua besannya itu. Hal tersebut segera mendapat respon baik dari suaminya. “Aku akan mengurangi jadwal meeting kalau begitu,” ujar Leonard. “Ya, kamu memang harus mendampingi aku untuk bertemu mereka,” balas Sania, istrinya. “Kalau begitu, aku akan beritahu Ayah,” kata Leonard yang tampak antusias. Dengan gerakan cepat pria itu menarik ponsel dari saku kemeja. Clara menatap kedua mertuanya dengan tatapan bingung. Dia merasa tidak enak hati. Dia juga merasa ini sangat berlebihan. “Mom, Dad, kalian tidak perlu seperti ini,” ucap Clara. Sania mengalihkan pandangannya kepada sang menantu. Senyumnya terbit dengan lebar. “Apa salahnya, kami hanya memperb
Clara spontan memejamkan mata ketika sebuah benda kenyal menyentuh bibirnya. Dia tidak sempat berpikir, hanya merasakan sentuhan itu begitu tiba-tiba namun lembut, membuat napasnya tertahan sejenak. Sebuah desiran hangat perlahan menjalar dari titik sentuhan itu, merambat melalui leher hingga ke dada, meninggalkan jejak sensasi yang sulit dijelaskan. Jantungnya berdebar lebih cepat, seolah tubuhnya sedang memberi respons atas sentuhan yang suaminya berikan. Clara merasakan dunia di sekitarnya mendadak hening, hanya tersisa getar halus yang ditinggalkan oleh sentuhan itu, serta deru napas yang beradu dengan debaran jantung yang berdebar melampaui batas. Sebastian melumat bibir istrinya, memberikan gigitan kecil, serta mengabsen setiap inci setiap bagian dari dalam mulut istrinya. Clara membalas lumatan itu tak kalah panas. Seolah memberi tantangan bagi Sebastian untuk melakukan lebih dari itu. Gigitan kecil dibalas lumatan kasar yang membuat Sebastian semakin digulung hasrat. P
William terdiam. Pandangannya terpaku pada sosok Bianca yang duduk berseberangan dengannya. Kata-kata yang baru saja terucap dari bibir wanita itu masih bergema dalam benaknya, seolah pikirannya enggan menerima makna utuh dari kalimat tersebut. “Mengubah rencana?” tanya William, nyaris tak percaya dengan apa yang didengarnya. Bianca menegakkan tubuhnya perlahan, mencoba mengurangi jarak yang terbentang antara dirinya dan William. "Ya, aku rasa rencana kita yang kemarin tidak menarik. Aku punya rencana lain yang lebih bagus," ujar Bianca dengan penuh kebanggaan. William menatap Bianca dengan tatapan menyelidik. Dia dan Bianca telah menyusun rencana bersama, bahkan telah memulai sebagian. Maka ketika Bianca tiba-tiba menyebut tentang perubahan rencana, dia merasa aneh “Kamu yakin?” ucap William mencoba menyelami isi pikiran lawan bicaranya, nada suaranya pelan namun bernada tegas. Bianca membalas tatapan William, senyum tipis tersungging di bibir bergincu merah itu. "Tentu saja,"