Share

Melahirkan Anak Untuk Pangeran
Melahirkan Anak Untuk Pangeran
Author: Liza Harmon

Gadis Budak Yang Putus Asa

Di suatu masa di abad ke-16 Masehi...

"Aku tahu kau seorang penyihir dan kau bisa melihat masa depan. Beritahu aku. Bagaimana akhir hidupku? Bagaimana aku mati?" Tanyaku pada perempuan tua itu. 

Aku telah bersusah payah meninggalkan kamarku diam-diam dan berjalan menembus bagian hutan terdalam demi menemui penyihir itu, demi mengetahui bagaimana akhir hidupku.

"Kau sungguh ingin tahu, nona Anna? Kau benar-benar yakin?"

"Iya, katakanlah."

"Aku melihat.... Takdirmu buruk. Di akhir hidupmu, semua orang yang ada di sisimu pergi meninggalkanmu. Kau tidak berdaya. Tidak punya apapun. Hartamu, kekuasaanmu, harga dirimu, semuanya hilang. Perhiasanmu terlepas semua. Kau bahkan kehilangan kemerdekaanmu. Di akhir hidupmu, kau adalah seorang budak. Kau seperti seekor anjing yang selalu mematuhi perintah tuanmu."

Aku menelan ludah. Seburuk itukah takdirku?

"Dan bagaimana aku mati?"

"Di kematianmu yang kedua, kau mati sebagai perempuan tua. Hangat di tempat tidur dan tanpa rasa sakit. Aku tak akan memberitahu bagaimana kematianmu yang pertama atas dasar kemanusiaan."

**

Di tengah samudera yang luas. Di malam hari yang gelap tanpa sedikitpun cahaya kecuali dari bintang dan bulan. Aku berbaring  pada sebuah pintu kapal yang dapat mengapung. Di sekelilingku begitu banyak mayat. Mereka semua mati karena membeku. 

Daratan mungkin ratusan kilometer jauhnya. Aku bahkan tak bisa bergerak sedikitpun, apalagi berenang. Aku merasa aku pun hampir membeku seperti yang lainnya. Dan sebentar lagi, aku merasa akan mati. 

"Apakah kematian itu menyakitkan sebagaimana yang diceritakan di buku-buku?  Oh, kenapa aku harus jadi yang terakhir mati?" Pikirku.

Aku telah melupakan banyak hal penting. Aku ingat keluargaku telah mati membeku sebab mereka tak punya tempat untuk mengapung seperti diriku. Kakekku memintaku untuk naik di atas pintu kapal ini. Ia lebih memilih menyelamatkan nyawaku daripada menyelamatkan nyawanya sendiri. Dan sekarang, aku bahkan tak punya tenaga untuk menoleh ke arah jenazah bekunya. Namun, aku tak ingat mengapa kita naik kapal? Kemana  kita akan pergi sesungguhnya?

*****

Menit demi menit berlalu, malam semakin gelap dan udara dingin semakin menusuk. Kematian masih belum datang.

Aku menerima takdirku, mati sendirian di tengah samudera yang luas, di bawah langit malam yang indah sembari menatap galaksi-galaksi yang jauh di sana. Mengerikan memang, tetapi ada sisi indahnya. Inikah kematian pertamaku? Jika begitu, ramalan penyihir itu salah. Kematianku ini tak akan semenyedihkan yang ia ramalkan.

Entah kenapa, aku tiba-tiba ingin menyanyikan lagu yang biasa dinyanyikan nenek sebelum tidur untukku. Lagu masa kecilku :

Anna sayangku, dengarkan suaraku. Aku di sisimu, wahai Haseki.

Nona mudaku, tumbuh besar dan lihatlah negerimu. Negeri yang bersumpah setia padamu.

Dewi Eirene dan seluruh galaksi menuntunmu pada kemuliaan dan kehormatan. 

Anna sayang, Nona mudaku. Haseki tercinta.

Tepat setelah selesai bernyanyi, sebuah cahaya datang. Dan aku mendengar seseorang berteriak :

"Di sini... Ada wanita yang selamat di sini !" 

Dengan berada di atas sampan kecil, sekelompok pria menarik pintu kapal tempatku berbaring dan membawaku ke atas sampan bersama mereka.

"Hanya ia yang selamat." Kata seorang pria di antara mereka.

Mereka kemudian memberiku selimut tambahan. Aku dibawa ke kapal mereka. Mereka mendudukkanku di dekat perapian.

Aku selamat. 

Dari berada di samudera yang dingin menusuk kulit, dalam sekejap ke dekat perapian yang hangat.

Aku tak tahu siapa orang-orang ini dan apa yang mereka lakukan di tengah samudera yang luas. Yang jelas, di kapal ini, aku melihat begitu banyak gadis muda. 

Seorang pria membawakan minuman hangat dan makanan untukku. Ia bertanya :

"Siapa namamu? Dari mana kau berasal?"

"Aku... Anna...aku kehilangan ingatanku. Aku lupa dari mana asalku. Yang jelas, seluruh anggota keluargaku telah tiada. Aku sebatang kara sekarang." Jawabku jujur.

Pria tersebut memanggil teman-temannya yang lain. Dan mereka pun berbicara sesama mereka. Aku dapat mendengar percakapan mereka.

"Apa yang akan kita lakukan padanya?" Kata pria berjenggot yang tadi memberiku minuman hangat.

"Aku rasa kita harus membunuhnya. Lihat dia. Gadis itu punya mata berwarna ungu. Kalian tahu kan ada rumor yang mengatakan bahwa orang-orang bermata ungu itu penyihir. Bunuh saja sebelum dia melemparkan mantra jahat pada kita."

"Jadi kita buang dia kembali ke laut? Dia akan mati sendiri karena kedinginan."

"Tidak... tidak. Aku punya ide yang lebih baik. Coba kalian lihat rambut gadis itu. Warnanya merah. Aku dengar, Pangeran Erwin menyukai gadis-gadis berambut merah. Kita akan menjualnya ke harem istana. Sungguh, gadis-gadis yang kita bawa tidak ada yang cukup cantik. Jika pun pangeran tidak menyukainya, kita akan menjualnya di pasar budak. Kalian tahu kan budak-budak perempuan yang berambut merah sangat mahal harganya."

"Tapi bagaimana jika dia benar-benar penyihir? Kau mau mempertaruhkan nyawanya Pangeran Erwin?"

"Sialan. Jangan pikirkan orang lain dulu. Pikirkan saja nasib kita sendiri. Kita sudah tidak punya persediaan makanan untuk minggu depan."

"Baiklah. Jadi, kita semua sepakat untuk menjualnya ke harem istana. Jika pangeran tidak menyukainya, kita akan menjualnya di pasar budak."

Salah seorang dari mereka menghampiriku dan berkata :

"Wanita, kau jadi budak sekarang. Budak kami. Kami akan menjualmu di harem istana. Kau cantik. Harem tempat yang paling aman untuk seorang wanita yang telah lupa ingatan sepertimu. Barangkali pangeran menyukaimu dan kau dijadikannya permaisuri."

Aku tahu itu bohong belaka. Mereka ingin membawaku ke harem untuk dijual. Mereka akan dapat uang. Mereka melakukan itu untuk keuntungan mereka sendiri, bukan karena mereka peduli padaku.

Aku tak tahu harus senang atau sedih. Aku mati rasa. Sejujurnya, aku ingin mati. Seluruh orang yang aku cintai sudah mati meninggalkan aku. Aku tidak punya alasan untuk tetap hidup. 

***

Baru aku tahu bahwa kapal ini adalah kapal pengangkut gadis-gadis budak yang hendak dijual. 

"Kau sungguh-sungguh lupa dari mana kau berasal?" Tanya seorang gadis bernama Helena padaku.

"Iya." Jawabku.

Seorang gadis berambut putih yang tak aku ketahui namanya ikut nimbrung dalam pembicaraanku dengan Helena :

"Bagaimana kami tahu kau bukan mata-mata yang dikirim untuk membunuh Pangeran Erwin?"

"Bagaimana kalian tahu Pangeran Erwin akan menyukaiku? Jika pun aku mata-mata, belum tentu dia mau berdekat-dekatan denganku." Kataku.

"Dia akan mau. Kau punya wajah yang cukup cantik dan tubuhmu sangat menggairahkan. Kau sangat beruntung masuk kategori perempuan idamannya pangeran itu."

"Apa pangeran itu sungguh-sungguh menyukai gadis berambut merah? Mengapa kedengarannya dia terobsesi pada gadis berambut merah?"

"Aku dengar desas-desus bahwa Pangeran Erwin menyimpan banyak lukisan gadis berambut merah di kamarnya. Ia menolak semua selir yang ditampilkan padanya. Aku dengar itu semua karena mereka tidak berambut merah."

"Ia seperti seorang maniak." Pikirku.

"Kau tahu, Anna? Pangeran Erwin itu tampan luar biasa. Ia tinggi dan tegap. Rambutnya pirang dan matanya biru seperti kristal. Usianya baru 26 tahun. Ia bukan hanya pria paling tampan, ia manusia paling indah di muka bumi ini. Para wanita, pria, hewan, tumbuhan, bahkan perabotan pun jatuh cinta padanya. Para tentara lebih menghormatinya daripada menghormati sang raja sendiri. Bahkan, sang raja pun takut pada Pangeran Erwin. Ahhhh, kisah-kisah tentang Pangeran Erwin sampai begitu banyak di telingaku. Setelah kapal ini sampai, aku setidaknya bisa melihat Pangeran Erwin."

Aku menjawab :

"Menakutkan ya, mencintai seorang lelaki yang begitu banyak dicintai oleh gadis-gadis lain."

Dan ia membalas :

"Jika begitu, sebuah kehormatan bagi hatiku untuk patah di tangan Pangeran Erwin."

"Gadis aneh." Kataku terakhir.

**

Tiga hari dalam perjalanan. Kapal ini akhirnya mendarat di pelabuhan. Dari yang aku dengar di kapal, keluarga kerajaan di sini adalah keluarga Harlow. Mereka adalah satu-satunya keluarga bangsawan yang memerintah benua yang luas ini. Bahkan, benua ini diberi nama benua Harlow, sesuai dengan nama mereka.

"Luar biasa. Bahkan jika Pangeran Erwin itu tidak tampan, semua gadis tetap akan jatuh hati padanya, sebab keluarganya lah yang memimpin benua ini. Siapa yang tidak mau padanya?" Pikirku 

Kami (aku dan para gadis budak) diminta mencuci wajah sebelum dibawa turun dari kapal. Kami pun digiring menuju Istana Mistere yang terletak di tepat di dekat pelabuhan. Istana Mistere adalah istana utama kediaman keluarga kerajaan Harlow. Sebelum masuk ke istana, kami di bawa ke sebuah lapangan terbuka.

Seorang wanita yang tampak galak muncul dari dalam istana. Ia menyuruh kami berbaris, berdiri tegak, dan mengangkat dagu. Kemudian, ia melihat wajah kami satu persatu. Ia mengambil beberapa gadis dan memindahkannya ke barisan lain. Semua gadis yang ia pilih adalah yang paling cantik dari yang lain.

Ia memilihku juga, tetapi sebelum sempat aku berjalan ke barisan lain itu, aku terjatuh lemas. Dari tiga hari yang lalu, aku sakit. Makanan dan minuman di kapal itu sangat minim jumlahnya. Tuan penjual budak itu menendangi tubuhku agar aku bangun, tetapi sungguh tenagaku sudah hilang. 

Tiba-tiba, seorang pengawal mengumkan bahwa Pangeran Erwin telah datang. 

"Bangun, sialan. Pangeran datang." katanya.

Aku mendengar suara seorang lelaki. Ia berkata :

"Lelaki macam apa yang memukuli perempuan yang tidak berdaya." 

"Maafkan aku, pangeran."

Kemudian, seorang pria mendudukkanku di pangkuannya. Aku menatap wajahnya pandanganku yang sedikit kabur. Dia memberikanku minum. Dalam keadaan haus yang luar biasa itu, aku hampir menghabiskan seluruh air yang ia berikan.

"Nona? Siapa namamu? Apa kau bisa mengerti bahasa kami?"

Aku mengangguk.

Kemudian, pandanganku mulai jelas. Mataku terbelalak melihat sosok yang memberiku air itu. Ia itu malaikat. Tidak salah lagi. Dia orangnya. Mata biru. Rambut pirang. Iya, dia pasti Pangeran Erwin. Dia sangat tampan. Tampan yang sempurna. . Aku tak tahan untuk tidak tersenyum saat dia melihatku. Dia tersenyum kembali. 

Ia kemudian memberiku minum lagi dan membopongku. Dia baik hati ternyata, tak segan memberi air minum pada budak rendahan yang lemas karena kehausan

"Berapa kau menjual yang satu ini?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status