Share

Manusia Yang Kesepian

 "Nona, apa yang terjadi? Mengapa kau menangis?" Tanya Pangeran Erwin.

Aku didiamkan berdua dengannya di kamar. Ia yang tadinya sedang mengerjakan sesuatu di meja kerjanya beralih ketika melihatku menangis.

"Mengapa aku harus menceritakannya padamu. Itu bukan urusanmu kan. Kita tidak saling kenal, kau itu orang asing!" kataku.

Pangeran mengangkat daguku dan memaksaku melihat wajahnya.

"Nona, kau cantik, tetapi kau sedikit kasar. Kau tahu kan kau bisa dipenggal karena berkata seperti itu padaku?"

"Aku tahu. Lakukanlah ! Cabut pedangmu dan goroklah leherku. Aku tidak peduli. Hidup dan mati sama saja buatku. Bahkan, kematian sepertinya lebih membahagiakan." Kataku sembari menangis.

Pangeran mengambil sebuah belati di meja kerjanya. Ia membuka belati itu dan mengacungkannya ke wajahku, tepat di antara kedua mataku.

"Tutup matamu." Kata sang pangeran. 

Aku menutup mataku, bersiap merasakan tusukan belati itu entah di bagian mana. Namun, aku malah mendengar suara belati itu jatuh ke lantai. 

"Buka matamu." Kata sang pangeran.

Aku pun membuka mata.

"Mengapa kau tidak jadi membunuhku?" Tanyaku.

"Kata siapa aku tidak jadi. Keberanianmu patut diberi penghargaan. Aku tak menyangka kau setegar itu menghadapi maut."

"Aku hanya sudah tidak tahu mau aku apakan sisa umurku."

Pangeran kemudian mengeluarkan sebuah botol kaca kecil dari laci meja kerjanya.

"Tahukah kau apa cairan apa yang ada di dalam botol ini?"

"Aku tidak tahu, pangeran."

"Cairan bening ini disebut air bayangan malam. Meminumnya setetes saja dapat membuatmu tewas dalam beberapa detik. Kau akan mengantuk dan segera mati begitu saja, seperti tertidur, tidak merasa sakit."

"Itukah hadiah untuk keberanianku?"

"Iya, tetapi..."

Pangeran meletakkan botol bening itu di tangan kirinya, sedangkan jari jemari kanannya menyentuh wajahku. Ia mengelus rambutku, kemudian menuju telingaku, pipiku, hidungku, dan akhirnya ibu jarinya mengusap-usap bibirku.

"Pikirkan ini baik-baik, nona. Tahukah kau apa yang terjadi pada tubuh tanpa nyawa? Tubuh itu membusuk, menggelembung, hancur dimakan cacing. Itu pun akan terjadi pada tubuh cantik dan mudamu. Kau teramat cantik dan muda. Baru dua puluh tahun. Tidakkah kau ingin melanjutkan hidupmu? Bertemu cinta, orang-orang baru, dan bermimpi lagi. Bahagia lagi. Begitu banyak hal indah dan kebahagiaan yang tak boleh kau lewatkan. Tampaknya, kau sedang sedih dan sensitif, tetapi percayalah dukamu akan hilang dalam beberapa bulan. Dan kau akan menemukan kekuatan baru. Kau terlalu dini untuk menyerah dan mati."

"Aku tak punya siapapun lagi. Seluruh orang yang aku cintai sudah mati. Sementara itu, di sini orang-orang memperlakukanku tidak manusiawi. Aku dijual, dijadikan hadiah, didandani hanya untuk ditiduri. Mereka hanya ingin aku menjadi mesin melahirkan bayi untukmu. Bahkan, katanya, kalau aku hamil anakmu, saat aku melahirkan, mereka akan merobek perutku hidup-hidup hanya agar bayi itu dapat keluar dengan aman. Setidaknya perlakukan aku seperti manusia."

"Kau membuatku terkesan, nona. Mungkin jika kita saling mengenal lebih jauh, aku bisa jatuh cinta padamu."

"Tapi aku tidak mau jatuh cinta pada seorang pria yang dicintai begitu banyak perempuan lain."

Dan ia tertawa mendengar apa yang aku katakan.

"Wah, untuk pertama kalinya ada perempuan yang menolakku. Nona, aku mohon. Dengar, aku tidak suka wanita."

Aku menyeryitkan dahi.

"Jadi kau suka sesama pria?" Tanyaku.

"Maksudku, aku tidak suka main wanita sebagaimana ayahku. Ayahku terlalu mendewikan selirnya sampai-sampai melalaikan tugas kerajaan. Aku akan menjadikanmu teman sejatiku, kekasihku. Tugasmu hanyalah mendengarkan tiap aku bercerita, menemani hari-hariku, dan tertawa pada candaanku. Kau akan jadi satu-satunya orang kepercayaanku. Kita tak perlu berhubungan seks jika kau tidak mau. Sebagai upahmu, akan kuberikan hidup yang aman dan nyaman di harem. Bagaimana? Maukah kau menjadi kekasihku?"

Aku menggeleng. Pangeran terlihat kecewa, ia kemudian memberikan botol bening berisi cairan bayangan malam itu. Diserahkannya di tangan kiriku.

"Minumlah." Katanya.

"Kau berjanji aku tidak akan merasa sakit?"

"Kau hanya akan mengantuk lalu mati."

Segera aku ambil botol itu dari tangannya dan menumpahkan isi botol itu semuanya ke dalam mulutku. Dengan sebuah tegukan, cairan bayangan malam itu telah masuk ke dalam perutku. Dan sebentar lagi aku akan mati.

Pangeran Erwin tiba-tiba membopongku dan menidurkanku di ranjangnya. Ia kemudian berbaring tepat di sampingku.

"Katakan padaku." Katanya.

"Katakan apa?"

"Perasaanmu yang sebenarnya."

"Tidak seburuk itu, aku senang bisa mati dengan menatap wajah indahmu. Ini pengakuan terakhirku, tuanku. Benar kata semua orang, wajahmu indah sekali. Terima kasih banyak telah membiarkanku mati dengan cara yang sangat indah. Kata mereka, kau tak berhati, tetapi aku rasa, kau punya hati yang baik."

Aku tersenyum tulus padanya. Kemudian, aku ulurkan tanganku ke arah kepalanya dan kuusap-usap rambutnya. 

Ia mendekatkan dirinya ke diriku hingga hidung kami bersentuhan. Ia pun berkata : 

"Nona, aku rasa aku jatuh cinta padamu."

Setelah itu, aku tak sadarkan diri.

****

Keesokan paginya, aku terbangun, tetapi tidak di surga atau neraka. Aku ada di ruangan yang sama saat aku mati itu, di kamar Pangeran Erwin.

"Sudah bangun, sayang? Kau bangun siang hari." Kata Pangeran Erwin yang sedang duduk di meja kerjanya. Ia beranjak dan berjalan ke arahku :

"Di mana aku? Bukankah aku sudah mati?" Tanyaku.

"Tidak. Cairan yang kau minum tadi malam sebenarnya bukan racun, tetapi obat. Itu adalah obat yang biasa diberikan tabib agar aku bisa tidur dengan nyenyak."

"Kau menipuku."

"Tidak juga. Bagaimana bisa aku biarkan seorang gadis muda yang cantik mati menyia-nyiakan hidupnya."

"Kau menipuku." Kataku lagi.

"Hanya itukah yang bisa kau katakan?"

Aku terdiam.

"Makanlah dulu, nona." Katanya.

Kemudian, ia membawakan makanan  untukku.

Aku menggeleng. 

"Makanlah, nona, nanti kau sakit. Aku mohon, kenapa kau begini. Berhentilah larut dalam kesedihan. Kau punya masa depan, yang indah di istana ini. Kembalikan hasratmu untuk hidup."

"Aku ingin kembali ke kamarku."

"Tunggu dulu, Nona. Jika kau sudah kembali, katakan bahwa kau telah tidur denganku. Aku mohon, kali ini turuti aku."

Aku mengangguk.

Pangeran Erwin kemudian mengiris sedikit jari tangannya. Ia mengucurkan darahnya di selimut putih tempat tidur. Aku mengerti apa yang ia lakukan.

"Tanda bahwa kau kehilangan kegadisanmu tadi malam. Malam ini, datanglah ke kamarku." Katanya.

*****

Di harem, aku langsung disambut oleh para gadis harem dengan muka-muka penuh rasa penasaran mereka. 

"Apa yang terjadi? Apa kau membuat anak dengan Pangeran Erwin? Apa kau merasakan surga dunia dengannya?" Tanya Hagya.

"Ya. Begitulah." Jawabku.

"Apa dia hebat di ranjang? Apa itunya besar dan panjang?" Tanya Hagya lagi.

"Apa-apaan pertanyaanmu itu? Sopanlah sedikit. Dengan bertanya hal seperti itu, kau sama saja menghina pangeran."

 

*****

 

Malam hari pun datang....

Para petugas Harem menyiapkan semua kebutuhanku. Mereka menyiapkan bak mandi dan gaun yang indah. Mereka membantu mendandaniku. 

Tradisi yang mengerikan, pikirku. Aku harus hidup hanya demi memuaskan pria yang sama sekali tidak akan menjadi milikmu sepenuhnya. Seumur hidup aku tak akan rela mencintai pria yang bisa tidur dengan gadis yang berbeda setiap malam. Erwin itu agak sedikit aneh, tapi aku juga kasihan padanya. Dia kelihatannya sangat kesepian. Aku tak bisa membayangkan seorang manusia yang tidak punya satu pun teman untuk berbagi. Lalu bagaimana jika ia sedang sedih? Siapa tempatnya mencurahkan isi hati? Kasihan sekali. Aku tidak tahu bagaimana bisa ia tetap waras. Kehidupan di istana ini mengerikan. Kata mereka, bahkan dinding pun punya telinga.  

Alih-alih membawaku ke kamar Erwin, mereka membawaku ke ruangan lain. 

"Tapi, kamar pangeran kan masuk ke lorong itu?"

"Kau akan pergi ke tempat lain. Ada seseorang yang mau menemuimu." Kata seorang padaku.

"Tapi, pangeran menunggu diriku."

"Pangeran belum kembali ke istana."

****

Aku sampai di sebuah kamar yang sangat indah. Di sana, berdiri seorang wanita yang luar biasa cantik dan pelayan-pelayannya berdiri di belakangnya. Wanita itu melambaikan tangannya, para Kasim dan madam semuanya keluar. Hanya ada aku, wanita cantik itu, beserta para pelayannya di dalam kamarnya.

Ia mendekat, mengamati wajahku baik-baik. Apa semua orang di istana ini suka mengamati wajah orang lain?

"Cantik." Katanya. "Jadi kau Anna?"

"Ya."

"Tahukah kau siapa aku?"

"Maaf, aku baru di sini. Aku tidak tahu."

"Tentu, kalau kau tahu, kau tidak akan selancang itu menatap mataku. Aku Permaisuri Tiana, permaisuri utama kesayangan Raja Darril."

Oh, jadi dia permaisuri itu. 

"Permaisuri...." Ujarku sembari menutupkan badan.

"Duduklah."

Ia duduk di atas tempat duduk, sedangkan aku duduk di lantai, di dekat kakinya.

Kemudian, dengan kurang ajarnya ia mengangkat daguku dengan kakinya.

"Cium kakiku. Tunjukkan rasa hormatmu."

Permaisuri gila rasa hormat, pikirku. Tapi bagaimanapun aku harus melakukan apa yang dia katakan.

"Apa kau sudah membuat anak bersama Pangeran Erwin?"

"Sudah, tadi malam, permaisuri."

"Jujur saja, aku tidak percaya padamu. Matamu berwarna ungu. Mungkin saja kau seorang penyihir yang diutus untuk membunuh Pangeran Erwin."

Aku terdiam. Tak tahu aku harus berkata apa.

"Gadis budak dungu, aku harus menguji kesetiaanmu. Aku benar-benar-benar tidak percaya bahwa kau hanya seorang budak semata. Pangeran Erwin tak pernah menerima gadis mana pun untuk tidur dengannya, tetapi kau menaklukkannya dalam satu malam saja. Kau pasti telah menyihirnya, kan? Kau budak yang lebih rendah dari binatang. Penyihir terkutuk."

Sakit hatiku saat ia berkata bahwa aku lebih rendah dari binatang. Aku membalasnya : 

"Budak lebih rendah dari binatang? Bukankah kau juga seorang budak? Aku tahu kau permaisuri dan telah melahirkan dua pangeran, tapi sang raja belum membebaskanmu. Kita berdua sama-sama budak. Status kita sama, permaisuri."

Tiba-tiba, ia menendang kepalanya tepat di dahi dengan kakinya. Kepalaku jadi membentur ujung tempat tidur dan rasanya sakit sekali. Darah mengalir keluar dari hidungku.

Setelah itu, dia mengamuk dan berteriak padaku. 

"Kau kira siapa dirimu bisa mengatakan hal serendah itu padaku? Aku ini Permaisuri Tiana, perempuan kesayangan Raja Darril. Aku penguasa hatinya. Aku wanita yang paling tinggi derajatnya di kerjaan Harlow ini. Budak seperti dirimu itu sama derajatnya dengan debu di kaki. Kau akan dihukum."

Dia menarik tubuhku dan dengan kasar ia menuntunku keluar. Tak lama kemudian, gadis-gadis Harem berkerubun melihat pertengkaran ini. Sesampainya di pintu utama harem, permaisuri mendorong tubuhku keluar dari batas harem. Banyak orang bergerombol di depan pintu masuk harem, sang permaisuri berdiri di antara mereka. Kemudian, permaisuri Tiana menghentikan seorang ksatria bernama Ser Greimas yang kebetula sedang lewat. 

"Ksatria, telanjangi dan pukuli dia!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status