Share

Penyelamat Nyawaku

"Kau... Kau tidak boleh melakukan ini. Aku selir kesayangan Pangeran Erwin. Jika kau menyentuhku, pangeran akan sangat marah padamu." Kataku berusaha membela diri.

Ser Greimas melirik Permaisuri Tiana. Permaisuri Tiana memberikan isyarat agar Ser Greimas tetap memukuli. 

Pria bernama Ser Greimas itu mulai memukuliku. Ia merobek pakaianku, membuatku telanjang bulat di hadapan semua orang. Awalnya, ia menampar pipi kiri dan pipi kananku. Lalu, ia menendang dan meninju wajahku. Setelah itu, ia membenturkan kepalaku berkali-kali ke lantai. Aku berteriak kesakitan. Aku menangis dan memohon maaf atas perkataanku yang kasar tadi hanya agar ia berhenti memukuli. Rasanya begitu menyakitkan. Detik demi detik dalam penyiksaan itu, aku menangis dan menjerit. Rasa sakit itu seperti memenuhi seluruh tubuhku. 

Setelah aku babak belur, aku dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah. 

"Jangan beri ia makan dan minum selama berhari-hari. Nona pemurung ini harus didisplinkan." Kata sang permaisuri.

Aku tak tahu berapa lama aku ditahan di penjara bawah tanah ini. Dengan begitu banyak luka pukulan pada tubuhku yang sama sekali tidak diobati, serta lapar dan haus yang luar biasa, aku tidak bisa bergerak. Aku hanya berbaring di tanah penjara yang kasar, ditemani beberapa tikus besar yang beberapa kali menggigit kakiku. Aku amat lapar, haus, dan kesakitan. Semuanya menjadi sangat menyiksa.

Mengapa mereka harus menjualku ke istana ini? Mati karena udara dingin samudera lebih baik aku rasa daripada mati perlahan-lahan seperti ini.

Saat aku mengira aku telah mati, aku melihat "malaikat".

"Surga... Aku tiba di surga." Kataku parau.

"Nona ! Nona !" Kata "malaikat" itu sembari mengguncang-guncang tubuhku. Segera saja aku sadar bahwa ia bukan malaikat, melainkan Erwin. Erwin kemudian meminumkan air padaku. Aku menengguk habis semua air yang ada di dalam tempat minumnya. Dalam kondisi hampir mati karena kehausan, air putih biasa akan terasa seperti madu. Dan tak akan aku lupakan orang yang memberiku minum saat aku hampir mati kehausan.

*****

Erwin membopongku ke kamarnya. Diberinya aku makanan. Aku menghabiskan semua makanan yang ia beri dengan cepat. 

"Nona, lihat apa yang mereka lakukan padamu selama aku pergi." Katanya.

"Terima kasih banyak." Kataku.

Ia memanggil tabib serta madam margaret. Selesai makan, aku pun diobati sementara madam menjelaskan semua yang terjadi pada Erwin. Bahkan, saat tabib itu memegang wajahku untuk mengoles obat, aku masih merasa sangat sakit. 

"Jika pun ia bersalah, mengapa hukumannya harus seberat itu? Kalian tak memberikannya makan dan minum selama 6 hari? Bagaimana jika ia mati? Aku sungguh tak tahu bagaimana harus menghukum kalian."

Erwin menyuruh Madam keluar. Aku senang melihat madam diomeli seperti itu.

 "Bagaimana keadannya?" tanya Erwin.

 "Sungguh sebuah keajaiban ia masih bernyawa, pangeran. Ia diselamatkan tepat pada waktunya. Dan anehnya, luka-lukanya juga mulai sembuh sendiri. Bibirnya robek dan hidungnya retak, pangeran. Butuh waktu lama untuk mengembalikan wajahnya seperti semula." 

 Erwin menatapku sedih.

"Aku sungguh minta maaf, nona."

"Ah, tidak. Aku yang seharusnya minta maaf. Aku bersikap sangat buruk padamu. Kau menyelamatkan nyawaku. Aku minta maaf. Dan terima kasih banyak. Selamanya tak akan aku lupakan kebaikanmu ini."

*****

Selama empat hari dalam masa pengobatan, aku tinggal bersama Erwin di kamarnya. Ia membantu membalut lukaku dan menyuapiku obat. Rasanya aneh, walau bagaimanapun aku ingin mati, aku selalu terhindar dari maut, seolah ada kekuatan ajaib yang mendorongku untuk tetap hidup.

Saat aku hampir mati kelaparan, warna merah buah delima lebih terlihat menggiurkan dari mata biru Erwin.

Saat aku hampir mati kehausan, air biasa terasa seperti madu.

Saat aku hampir mati kesakitan, aku sadar bahwa kesehatan itu sangat berharga.

Saat aku hampir mati, anehnya aku sadar bahwa beberapa hal kecil dalam hidup itu sangat indah untuk dilewatkan.

"Wine, manis buah delima, dan mata birumu, aku ingin hidup lagi hanya untuk merasakan itu." Kataku.

Erwin tertawa. 

"Kau tak perlu melakukan ini." kataku saat kulihat ia menumbuk dedaunan untuk dijadikan obat. 

"Tak apa, aku senang melakukannya. Setidaknya sebagai permohonan maaf."

"Tak perlu minta maaf padaku. Semuanya salahku. Aku bicara lancang. Lagipula kau pangeran, tidak boleh minta maaf pada seorang gadis budak sepertiku." 

"Jangan begitu. Kau satu-satunya teman yang aku punya di sini. Satu-satunya orang yang aku percayai. Dan terlebih lagi, aku merasa bahwa aku sudah jatuh cinta padamu."

 Aku tertawa mendengarnya. 

 "Kau percaya padaku? Mengapa kau mudah sekali berkata bahwa kau jatuh cinta padaku. Kita bahkan belum sebulan bertemu, Erwin. Tak mungkin kau jatuh cinta padamu. Cintat tidak tumbuh secepat itu." 

Erwin melepaskan alat penumbuk dan dedaunan yang ia pegang. Kemudian, ia naik ke tempat tidur. Ia mengangkat tubuhku dan mendudukkanku di pangkuannya. Ia menangkup wajahku dengan kedua tangannya. 

"Biar aku ceritakan sebuah hal, nona. Aku sangat ingin punya teman, tetapi tak ada yang bisa aku percayai. Aku percaya bahwa suatu hari nanti kesepianku akan hilang dan aku akan punya teman. Bukan sekedar teman biasa, tetapi seorang sahabat sejati, seorang kekasih, teman hidup, orang kepercayaanku, dan akan aku jadikan ratuku jika aku naik tahta. Saat aku melihatmu, aku rasa kaulah orangnya, belahan jiwaku."

 "Bagaimana kau yakin bahwa aku adalah orangnya?" 

 "Pokoknya aku tahu bahwa itu adalah kau. Kau berbeda dari semua gadis di sini."

 "Bagaimana jika kau salah dan aku bukan belahan jiwamu?" 

 "Nona, tolong jangan tanya aku lagi. Aku mohon, maukah kau sekiranya menjadi temanku? Maukah kau mencintaiku?" 

Aku tersenyum sendu dan kuusap wajahnya. 

"Erwin...." 

"Ya?" 

"Gadis mana yang tak jatuh cinta padamu. Kau rupawan dan berkuasa. Kau terlalu baik untukku." 

Erwin mendesah lesu. 

"Aku mau." Kataku. 

Wajah Erwin berubah berbinar. 

"Namun, bukan karena kau tampan dan berkuasa, itu karena kau satu-satunya orang di istana ini yang baik padaku. Kau membelaku saat semua orang menertawakan diriku. Mereka tertawa bahagia saat aku dipukuli, hanya engkau yang sedih. Tak mungkin aku mengkhianati tangan yang mengulurkan bantuan saat aku sedang kesakitan." 

Kami berdua tersenyum satu sama lain. Erwin menatap bibirku. Kemudian, ia mendekatkan wajahnya ke arah wajahku. Refleks, aku memejamkan mata. Erwin mendaratkan bibirnya ke leherku. Ia memberi sebuah kecupan kecil kemudian ia lepaskan bibirnya. 

"Kau tidak mau mencium bibirku?" 

"Tak ingatkah kau bibirmu sedang terluka." "Bibirku sudah baik-baik saja, Erwin." 

Erwin tersenyum dan menciumku tepat di bibir. Ciuman pertama kami itu cukup lama hingga para tabib melihat kami dalam posisi panas ini. Aku dan Erwin segera melepas ciuman kami dan tertawa. 

****

Setelah baikan, aku kembali ke kamarku di harem. Sementara itu, Erwin sedang pergi dari istana selama beberapa hari untuk menjalankan misi. Kata mereka, ia hanya pergi tiga hari, tetapi telah lima hari berlalu dan ia tak kunjung kembali. Aku mulai khawatir. Kabar buruk kemudian datang : Erwin terluka dan ia sedang sekarat. Berita itu sukses membuat heboh istana dan membuat hancur hatiku. Itu tidak benar, kan? Apa aku tak akan pernah melihat mata biru Erwin lagi? Aku menangis di kamar. Aku memohon pada semesta untuk mengembalikan Erwin. 

Di hari ketujuh, aku bisa bernapas lega. Erwin kembali ke istana dalam keadaan sehat dan selamat. Syukur sekali. Aku sangat rindu padanya. Aku ingin mendengar ceritanya dan memeluknya, mengungkapkan betapa takutnya aku jika-jika ia mati. Malam hari datang dan aku berjalan menuju kamar Erwin. Tak aku sangka-sangka bahwa Hagya, si gadis konyol, dan para madam sedang menunggu di depan kamar Erwin. 

"Apa yang kalian lakukan di sini?" Tanyaku pada Hagya. 

"Aku yang seharusnya bertanya. Apa yang kau lakukan di sini, Anna? Malam ini kan giliranku." 

"Jangan gila, pangeran tidak memintamu datang ke kamarnya." Kataku cemburu.

"Memang tidak, tapi ya beginilah peraturan Harem. Tiap selir mendapat gilirannya masing-masing." 

Aku menahan marah. Membayangkan Erwin mencumbu dan mencium Hagya sudah membuatku ingin membakar wajah gadis itu. 

"Kenapa? Kau cemburu? Ingatlah, Anna. Tidak boleh ada kecemburuan di harem." Kata Hagya. 

Tak lama kemudian, Erwin membukakan pintu. 

"Anna..." Katanya, ia tersenyum padaku dan mempersilakan aku masuk. 

Aku tersenyum licik pada Hagya. 

"Tapi, pangeran ! Malam ini giliranku. Aku yang seharusnya masuk ke kamarku malam ini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status