MasukGadis itu tak sempat berpikir bahwa mandi di ruang tertutup yang keadaannya serba tanggung justru lebih beresiko mengundang mata-mata nakal dibanding di luar rumah. Itu karena sang pengintip bisa melakukannya secara sembunyi-sembunyi.
Dan lebih - lebih Ia tidak akan menduga bahwa situasi demikianlah yang terjadi atas dirinya beberapa saat kemudian. Bahwa tubuh polosnya yang bagai bayi baru lahir itu dijadikan tontonan syur beberapa pasang mata anak tanggung yang sebelumnya asyik bermain sepak bola di luar sana. Anak-anak itu saling desak dan memperebutkan lobang-lobang kecil di dinding dapur itu sambil berbisik-bisik tertahan. Tadinya hal itu dipergoki tanpa sengaja oleh salah satu dari mereka waktu mengambil bola yang menggelinding dan kebetulan berhenti di bawah dinding dapur Ratih. Karena dari dalam terdengar suara guyuran air, iseng anak itu mengintip ke dalam melalui celah dinding papan. Maka seketika terbeliaklah matanya mendapati pemandangan syur di dalam sana. Segera ia memberi kode kepada teman-temannya, menaruh telunjuk di bibir sambil menuding-nuding ke arah dalam. Dengan penasaran teman-temannya pun lantas datang merubung. Maka berikutnya anak-anak tanggung itu sudah tampak berebutan lobang dinding. Sebab mereka terus berdesakan dan saling dorong dengan sengit, lama-lama itu mulai menerbitkan suara cukup berisik. Namun Ratih yang mendengarnya masih belum menaruh curiga. Dikiranya anak-anak itu tengah memainkan permainan baru apa pula, mungkin adu jangkrik atau semacamnya. Ia tidak begitu menaruh perhatian dan tetap melanjutkan mandinya dengan santai. Kemudian suara berisik itu mulai di barengi suara tawa tertahan. Tawa kecil satu-satu yang kedengarannya agak ganjil, Ratih mulai sedikit heran. Anak-anak badung itu lagi menertawakan apa? Memangnya model permainan lucu apa yang bisa menimbulkan tawa mengikik diselingi bisik-bisik begitu? pikirnya penasaran. Jenis tawa seperti itu mirip tawa anak-anak yang lagi mengerjai teman mereka yang sedang tidur. Tertawa tertahan, takut ketahuan. Eh, takut ketahuan? Sampai di sini jalan pikiran gadis itu tiba-tiba membeku, kedua tangannya yang sibuk menggosok-gosok tubuhnya itu pun seketika terhenti. Kepalanya menengok ke arah sumber suara itu yang datangnya dari balik dinding sebelah kiri. Sedetik, dua detik, lalu kesadaran mendadak menyergap otaknya. Matanya terbeliak sock! "Aihh... !" Berbareng pekikan kecil dari mulutnya, ia terlonjak berdiri bagai disundul puntung rokok,, menyambar sarung dan buru-buru mengenakannya dengan blingsatan. Kulit wajahnya merah padam. "Anak-anak kurang ajar! Awas...Awas kalian ya!" teriaknya berang sambil menuding ke arah anak-anak nakal di luar itu yang sekarang samar-samar bisa Ia lihat bayangannya melalui sela dinding. Bagai anjing di hardik, sekelompok anak tanggung itu seketika berhamburan dengan menerbitkan suara gedubrakan ramai, bahkan terdengar beberapa suara mengaduh. Tampaknya di antara mereka ada yang nekat mengintip menggunakan semacam balok dan mungkin jatuh terpelanting. Dengan cepat suara derap kaki anak-anak itu menjauh dan menghilang ,menyisakan Ratih masih termangu di bilik dapur itu dengan dada naik turun. Namun segera gadis itu mampu menenangkan diri Meski masih marah dan malu atas kejadian barusan serta sempat menyumpahi anak-anak nakal itu, Ia segera sadar bahwa hal itu adalah akibat keteledorannya sendiri. Ia terlalu malas dan bermasa bodoh, tidak mau repot membaca situasi sekitar. Memilih mandi di dapur saat banyak anak-anak sedang bermain di luar adalah tindakan sangat sembrono. Itu sama saja seolah sengaja memberi pertunjukan gratis pada anak-anak badung itu. Tapi juga tidak sepenuhnya gratis. pikir gadis itu dengan sedikit rasa puas di antara rasa gusar dan jengahnya. Tadi ketika dihardik, telinganya bisa menangkap suara mengaduh beberapa mulut. Tentu disebabkan tertimpa balok atau semacamnya. Membayangkan anak-anak itu lari terpincang-pincang dengan tulang kaki bengkak dan kepala benjol, mau tidak mau membuat Ratih rada geli juga. Saat kembali berada di kamar dan mengenakan pakaian, kejadian barusan sudah hampir meninggalkan benaknya. Ia cukup maklum akan kebadungan anak lelaki menjelang remaja seperti mereka. Amatlah tidak bijaksana jika sebagai orang dewasa ia menanggapi serius ulah nakal mereka yang terang hanya terdorong keisengan seorang kanak-kanak. *** Waktu jam istirahat siang, Ratih tergopoh mendatangi kantin satu-satunya di kantor kelurahan yang berada di pojok halaman belakang. Dari pukul 10.00, ia terus bekerja sambil menahan perut kerocongan lantaran lupa sarapan di rumah. Sampai di sana, Ia agak terkejut mendapati dua rekan prianya sudah lebih dulu ada di situ. Padahal Ia mengira akan menjadi orang pertama yang mengisi ruang kantin di awal jam istirahat siang ini. Tentu karena mereka pun sama kelaparan seperti diriku. Pikir gadis itu yang serta merta timbul pikiran jahilnya, apa lagi melihat cara makan kedua rekannya itu yang terlihat amat rakusnya seolah seminggu tak pernah ketemu nasi. Bahkan kedatangannya cuma disambut dengan lirikan sekilas. Butir keringat besar-besar bersembulan di dahi dan pelipis mereka. Ratih menghampiri Ibu pemilik kantin yang sedang mengelap piring di belakang meja dan bertanya cemas, "Bu, aku masih kebagian nasi kan?" "Ah, dasar, Nak Ratih suka bergurau. Tentu saja masih banyak. Ini kan baru awal jam istirahat," kata ibu pemilik kantin dengan senyum lebar. "Ah, syukurlah. Baru lega perasaanku," "Memang kenapa, Nak Ratih? Tumben-tumbenan Nak Ratih khawatir soal makanan," "Ya, mau tidak mau, Bu. Siapa pun juga akan langsung was-was melihat sepagi ini kantin Ibu sudah diserbu dua gorilla kelaparan di sana itu," Ucapan Ratih kontan disambut tawa cekikin Ibu pemilik kantin juga suara tersedak dari salah satu pria di sana yang buru-buru menyambar gelas minumnya.Dua bulan lewat semenjak Ratih pindah ke ruangan pak Bahar. Beberapa pegawai--dipelopori oleh para perempuan--yang semula memasang kuping dan mata siap mengendus hal-hal mencurigakan, menjadi kecele. Tak ada kejanggalan yang bisa diendus dari hubungan Ratih dan Pak Bahar. Segalanya tampak biasa dan seformil sebelumnya. Maka seiring waktu, Bisik-bisik miring itu pun mereda dengan sendirinya. Implikasi yang wajar karena para pegawai kantor itu pun punya urusan sendiri-sendiri dan tentunya tidak punya waktu terus-terusan menaruh perhatian pada hal-hal yang relatif tidak ada kaitannya dengan urusan mereka. Dalam hal tugas-tugas harian di kantor, Beban pekerjaan Ratih tidaklah bertambah berat dibanding sebelumnya. Malah justru lebih ringan. Kecuali dalam soal jam kerja. Bahwa sewaktu-waktu Ia harus siap berada di lapangan menemani Pak Lurah yang kadang membuat kunjungan kerja ke luar daerah, seperti kunjungan ke sebuah desa atau dusun terpencil. Tentunya bukan hanya dirinya, tapi nemb
Penunjukan Ratih yang secara tiba-tiba diangkat menjadi semacam asisten pribadi Pak lurah tentu saja mengejutkan pegawai lain. Meski tidak ada yang berani mengajukan protes, hal ini sudah lantas menjadi bahan gunjingan di kantor. Beberapa tidak puas karena menganggap sebagai tenaga honorer Ratih belum pantas menerima posisi itu. Meski dikatakan bahwa posisi yang tidak resmi itu hanya bertujuan meringankan tugas-tugas sekertaris, namun diam-diam para pegawai itu punya dugaannya sendiri, dan itu terkait dengan reputasi buruk Pak Bahar dalam hal perempuan, soal kegemarannya pada wanita-wanita muda berparas ayu. Dan amat kebetulan, Ratih adalah gadis tercantik bukan saja di kantor itu, tetapi mungkin di seluruh kampung. Maka tak pelak lagi, keadaan yang amat klop ini sudah lantas menimbulkan bisik-bisik miring mengenai diri mereka berdua, terutama tertuju ke arah Ratih. Mereka menyimpulkan bahwa gadis muda itu akhirnya menggunakan kecantikannya untuk merebut posisi. Meski demikian, pa
Mendengar lurah itu menyinggung soal keluarganya, perasaan Ratih tiba-tba dihinggapi rasa kurang nyaman. Tetapi ia menjawab terus terang. "Benar, Pak. Ibuku hanyalah ibu rumah tangga biasa, sementara Pamanku belum lama berdiam di kampung, jadi ... belum berhasil memperoleh pekerjaan yang layak," Pak Bahar tampak manggut-manggut dan tercenung agak lama. Setelah menarik nafas, Ia kembali berkata dengan nada agak sungkan."Maaf, Rat, kalau Bapak terlalu ingin tahu. Penghasilanmu yang...ya, katakanlah tidak seberapa di tempat ini, apakah cukup kau pakai membiayai hidup keluargamu? Madsud Bapak, mungkin kau punya penghasilan tambahan di luar, seperti jualan kecil-kecilan atau.. semacamnya?" Perasaan Ratih makin tidak enak. Kedua tangannya yang tersembunyi di bawah meja saling remas tanpa sadar. Kalau orang lain yang mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya, sudah tentu akan langsung dia tanggapi dengan kerutan alis tajam, bahkan bisa jadi akan didampratnya habis - habisan. Tapi perta
Sepuluh menit berikutnya, gadis itu nampak sibuk di meja kerjanya, sebelum bangkit berdiri dan menuju ke ruangan Pak Bahar. Ia mengetuk daun pintunya perlahan. "Masuk, " Begitu berada di dalam, hidung Ratih segera disambar wewangian tajam yang menyebar di ruangan 4x4 itu. Didapatinya Lurah itu sedang membaca surat kabar di meja kerjanya. Pak Bahar mengangkat wajahnya. Mulutnya mengembang senyum sambil perlahan melipat korannya. "Pintunya ditutup kembali, Rat," Ratih menurut meski sedikit heran. Tidak biasanya Ia diminta menutup pintu saat menyerahkan tugas. Apakah Lurah itu ingin berbicara dengannya? Pak Bahar menerima berkas dari si gadis dan meletakkannya di pinggir meja bersama surat kabar. "Duduklah dulu, Rat. Bapak hendak membicarakan sesuatu," Dada Ratih berdebar karena dugaannya ternyata benar. Lurah itu ingin bicara dengannya. Soal apa gerangan? Pikirnya was-was seraya mengambil tempat duduk di depan sang penguasa kantor itu. Dalam hati berdoa semoga tidak mendapat
Suasana kamar tak seterang sebelumnya karena pintu dan jendelanya ditutup rapat. Keadaan yang menciptakan udara panas sehingga membuat tubuh mulus yang menggeliat di atas pembaringan itu berkilau dibasahi oleh peluh, melengketkan rambut panjangnya yang tergerai di atas pundak putih halusnya. Peluh yang memberi tanda bahwa kegiatan itu sudah berlangsung cukup lama dan si gadis tampaknya belum juga menuntas gairahnya. Suatu ketika, gadis itu tiba-tiba menyelipkan sebelah tangan di antara tubuhnya dan bantal dan disusupkan ke bawah sana. Lalu aktifitas pinggul molek yang dari tadi menggelosor dan berayun naik-turun itu tiba-tiba menyurut, hanya tampak membuat sentakan kecil sesekali. Namun wajah molek itu menjadi lebih merah dari sebelumnya, juga makin sering menggigit bibir dibarengi desisan lirih. Tidak jelas apa yang diperbuat jemarinya di bawah sana dan apa pula yang hadir dalam bayangannya, yang jelas kegiatan itu membuatnya makin dilena birahi. Hingga beberapa saat berlalu dal
Pendapat orang gila! Ya, benar. Saat itu, Ia memang menganggap temannya itu tidak waras. Hanya orang sinting yang bisa mengusulkan hal sekotor itu kepada teman baiknya sendiri! Mulai saat itu Ia langsung menjauhi Ratna dan tidak mau lagi dekat-dekat dengannya. Ia sungguh salah menilai pribadi gadis itu. Rupanya sikapnya yang terkesan dewasa dan tanpa malu-malu itu disebabkan karena Ia memang sudah biasa bergaul dengan orang dewasa (Om-Om). Meski Ia amat memandang hina perempuan-perempuan seperti Ratna, bukan berarti bahwa Ia menganggap dirinya sendiri sesuci dan semurni berlian, seorang alim yang antipati terhadap hubungan antar lawan jenis. Bukan. Ia bukanlah tipe perempuan seangkuh dan sekolot itu. Ia pun menikmati kebersamaannya dengan lawan jenisnya, yang dalam hal ini tentu saja kekasihnya. Ia hanya tidak bisa menerima hubungan yang dilakukan tanpa ikatan emosi, apa lagi yang bertujuan menyenangkan laki-laki demi imbalan materi. Ia tidak bisa menghormati wanita-wanita yan







