Share

bab 4

Penulis: Rifval
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-21 10:19:36

"Rat, coba pindah canelnya ke TPI. penasaran dengan lanjutan film seri silat kemarin,"

Ratih tersadar agak kaget. "Heh, silat? Silat apaan?"

"Ah, masih muda sudah pikun seperti nenek-nenek. Kemarin kan kita menontonnya bersama. Yang ada rajawalinya itu lho. masa lupa?"

, "Oo.. yang itu. Hari ini sepertinya tidak tayang, Om,"

"heh.? Kok bisa?"

"Ya, bisa dong, Om. Suka-suka orang yang punya stasiun kan," Ratih tertawa seraya bangkit berdiri. "Nih, Om, gantian duduknya. Setel sendiri TVnya kalau tidak percaya,"

Jamal lantas menggantikan tempat duduk Ratih di depan TV, sementara gadis itu beranjak ke dalam.

"Ini, Rat, sekalian bawa pakaianmu," kata nyonya Mirah sambil menyerahkan setumpuk pakaian yang sudah terlipat rapi ke dalam tangan sang putri.

Habis menyimpan pakaian di kamar, Ratih menuju ke belakang untuk buang air kecil.

Rumah Ratih sama sederhananya dengan kebanyakan rumah di kampung itu : Rumah berdinding separuh tembok dengan ruangan berpetak tiga yang masing-masing dibatasi dinding triplex dengan sebuah pintu masuk bertirai gorden.

Di sudut dapur dekat pintu, terdapat sepetak ruang kecil tanpa sekat dengan tiga jejer gumbang besar di depannya. Tempat itu difungsikan sebagai WC, dan di sanalah Ratih berjongkok menghadap ke arah gumbang setelah lebih dulu menurunkan celana dalamnya sampai di lekukan lutut, menyingkap ujung dasternya ke atas dan menahannya di atas perut.

Tindakannya amat alami karena sudah merupakan kebiasaan sedari kecil, juga dilakukan dengan acuh tak acuh. Begitu pun ketika si gadis itu menengok kebelakang oleh suara tirai gorden yang tiba-tiba tersingkap dan melihat pamannya masuk ke situ, ia hanya berkata sambil lalu :

"Mau pipis juga, om? Sebentar, ya. ini lagi tanggung,"

"Tidak. Aku mau bakar rokok. Korekku habis," kata pria itu dengan mata mencari-cari di sekitar jejeran tungku dan kompor di bawah jendela dapur.

"Itu koreknya ada di rak tempat bumbu, 0m, di atas jergen minyak tanah, ' kata Ratih sambil menunjuk dengan dagunya.

Begitu mendapatkan korek kayu, Jamal segera membakar rokoknya. Tapi entah karena berangin atau karena gugup mendengar suara aneh yang diterbitkan oleh kegiatan sang keponakan, berulang kali apinya padam sebelum ujung rokoknya sempat tersulut.

Sangat kebetulan, bertepatan saat rokoknya berhasil terbakar, Ratih pun selesai dengan kegiatannya. Jadi tanpa sengaja ekor matanya sempat menyaksikan gadis itu berdiri sambil membenahi pakaian dalamnya. Perbuatan yang sekilas menunjukkan paha putih mulusnya hingga ke bagian amat dalam. Sebuah pemandangan yang akan mampu mendeburkan jantung laki-laki normal mana pun juga, tak terkecuali Jamal sendiri! Untungnya bagian segera kembali tertutup daster sehingga jamal bisa membebaskan nafasnya yang sempat tercekat di leher.

"Om, kenapa?" Ratih bertanya heran melihat pamannya itu termangu seperti patung.

"Eh, ti . tidak. Tidak apa-apa..." Jamal tersadar gugup lalu buru-buru keluar dari dapur.

Ratih mengikuti dengan sorot mata sedikit heran. Sikap yang ditunjukkan sang paman agak aneh. Bahkan Ia yakin sempat melihat wajahnya bersemu merah. Apa yang terjadi dengan Pamannya itu? kenapa tiada hujan tiada angin tiba-tiba bertindak seperti maling kepergok?

Tanda tanya itu masih mengisi benak si gadis ketika menuju ke kamar.

Suara kotekan dan cicitan ayam yang ramai dari belakang rumah menggugah Ratih dari tidur siangnya.

Lengan-lengan indahnya terentang melepas sisa kantuk sebelum turun dari atas pembaringan. Saat melirik jam kecil di atas meja, ia terkejut mendapati jarumnya sudah menunjuk ke angka empat.

"Aih, pantasan ayam-ayam itu berebutan buat gaduh. Tentu protes karena belum juga melihat sang majikan muncul sementara jam makan mereka sudah lewat," pikirnya geli. "yaa..Yaa, Bersabarlah kalian. Nonamu akan segera datang."

Selesai mengenyangkan ayam-ayamnya, Ratih buru-buru kembali ke kamar dan tak lama keluar kembali dengan tampilan berbeda, hanya berlilit kain sarung yang ujungnya disimpul di atas lereng bukit dadanya yang mengembung menggiurkan. Sekilas ia memandang ke luar jendela sebelum berseru kepada ibunya yang berada di ruang depan.

"Ibu, boleh tidak Aku mandi di rumah? Takut keburu gelap di luar,"

Ada jeda sejenak sebelum terdengar sahutan sang ibu, "Boleh. Tapi sisakan satu gentong ya. Sebentar Ibu mau pakai rendam cucian kotor."

Ratih mengiyakan.

Berikutnya, gadis itu sudah berada di bilik kecil di sudut dapur itu. Membebaskan tubuhnya dari lilitan sarung yang terus dibentang di atas ambang pintu, merangkapi tirai yang sudah ada di situ. Hal itu diakukan karena semua tirai gorden rumahnya sudah amat tipis dan hampir tembus pandang. Dan tindakan ini sekalian menjadi semacam isyarat privasi bagi orang di rumah.

Gadis jelita itu menggulung rambut panjangnya di atas leher, lalu sambil duduk berjongkok, mulailah ia mandi sambil melumuri tubuhnya yang putih montok dan amat menggiurkan itu dengan busa sabun.

Ratih jarang punya kesempatan mandi bertelanjang seperti sekarang. Maka ia menggunakan kesempatan itu membersihan setiap sela di tubuhnya yang biasanya hanya digosok sejadinya di balik sarung saat mandi di sumur di belakang rumah. Itu pun dengan rikuh dan buru-buru karena tidak jarang ada satu dua tetangga lelaki lewat di tempat itu.

Merasa aman karena mandi dalam rumah sendiri, Gadis itu membersihkan tubuhnya tanpa buru-buru dan menikmati kegiatannya itu dengan rileks, bahkan mengiringinya pula dengan senandung kecil.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Melati di Kubangan   bab 17

    Dua bulan lewat semenjak Ratih pindah ke ruangan pak Bahar. Beberapa pegawai--dipelopori oleh para perempuan--yang semula memasang kuping dan mata siap mengendus hal-hal mencurigakan, menjadi kecele. Tak ada kejanggalan yang bisa diendus dari hubungan Ratih dan Pak Bahar. Segalanya tampak biasa dan seformil sebelumnya. Maka seiring waktu, Bisik-bisik miring itu pun mereda dengan sendirinya. Implikasi yang wajar karena para pegawai kantor itu pun punya urusan sendiri-sendiri dan tentunya tidak punya waktu terus-terusan menaruh perhatian pada hal-hal yang relatif tidak ada kaitannya dengan urusan mereka. Dalam hal tugas-tugas harian di kantor, Beban pekerjaan Ratih tidaklah bertambah berat dibanding sebelumnya. Malah justru lebih ringan. Kecuali dalam soal jam kerja. Bahwa sewaktu-waktu Ia harus siap berada di lapangan menemani Pak Lurah yang kadang membuat kunjungan kerja ke luar daerah, seperti kunjungan ke sebuah desa atau dusun terpencil. Tentunya bukan hanya dirinya, tapi nemb

  • Melati di Kubangan   bab 16

    Penunjukan Ratih yang secara tiba-tiba diangkat menjadi semacam asisten pribadi Pak lurah tentu saja mengejutkan pegawai lain. Meski tidak ada yang berani mengajukan protes, hal ini sudah lantas menjadi bahan gunjingan di kantor. Beberapa tidak puas karena menganggap sebagai tenaga honorer Ratih belum pantas menerima posisi itu. Meski dikatakan bahwa posisi yang tidak resmi itu hanya bertujuan meringankan tugas-tugas sekertaris, namun diam-diam para pegawai itu punya dugaannya sendiri, dan itu terkait dengan reputasi buruk Pak Bahar dalam hal perempuan, soal kegemarannya pada wanita-wanita muda berparas ayu. Dan amat kebetulan, Ratih adalah gadis tercantik bukan saja di kantor itu, tetapi mungkin di seluruh kampung. Maka tak pelak lagi, keadaan yang amat klop ini sudah lantas menimbulkan bisik-bisik miring mengenai diri mereka berdua, terutama tertuju ke arah Ratih. Mereka menyimpulkan bahwa gadis muda itu akhirnya menggunakan kecantikannya untuk merebut posisi. Meski demikian, pa

  • Melati di Kubangan   bab 15

    Mendengar lurah itu menyinggung soal keluarganya, perasaan Ratih tiba-tba dihinggapi rasa kurang nyaman. Tetapi ia menjawab terus terang. "Benar, Pak. Ibuku hanyalah ibu rumah tangga biasa, sementara Pamanku belum lama berdiam di kampung, jadi ... belum berhasil memperoleh pekerjaan yang layak," Pak Bahar tampak manggut-manggut dan tercenung agak lama. Setelah menarik nafas, Ia kembali berkata dengan nada agak sungkan."Maaf, Rat, kalau Bapak terlalu ingin tahu. Penghasilanmu yang...ya, katakanlah tidak seberapa di tempat ini, apakah cukup kau pakai membiayai hidup keluargamu? Madsud Bapak, mungkin kau punya penghasilan tambahan di luar, seperti jualan kecil-kecilan atau.. semacamnya?" Perasaan Ratih makin tidak enak. Kedua tangannya yang tersembunyi di bawah meja saling remas tanpa sadar. Kalau orang lain yang mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya, sudah tentu akan langsung dia tanggapi dengan kerutan alis tajam, bahkan bisa jadi akan didampratnya habis - habisan. Tapi perta

  • Melati di Kubangan   bab 14

    Sepuluh menit berikutnya, gadis itu nampak sibuk di meja kerjanya, sebelum bangkit berdiri dan menuju ke ruangan Pak Bahar. Ia mengetuk daun pintunya perlahan. "Masuk, " Begitu berada di dalam, hidung Ratih segera disambar wewangian tajam yang menyebar di ruangan 4x4 itu. Didapatinya Lurah itu sedang membaca surat kabar di meja kerjanya. Pak Bahar mengangkat wajahnya. Mulutnya mengembang senyum sambil perlahan melipat korannya. "Pintunya ditutup kembali, Rat," Ratih menurut meski sedikit heran. Tidak biasanya Ia diminta menutup pintu saat menyerahkan tugas. Apakah Lurah itu ingin berbicara dengannya? Pak Bahar menerima berkas dari si gadis dan meletakkannya di pinggir meja bersama surat kabar. "Duduklah dulu, Rat. Bapak hendak membicarakan sesuatu," Dada Ratih berdebar karena dugaannya ternyata benar. Lurah itu ingin bicara dengannya. Soal apa gerangan? Pikirnya was-was seraya mengambil tempat duduk di depan sang penguasa kantor itu. Dalam hati berdoa semoga tidak mendapat

  • Melati di Kubangan   bab 13

    Suasana kamar tak seterang sebelumnya karena pintu dan jendelanya ditutup rapat. Keadaan yang menciptakan udara panas sehingga membuat tubuh mulus yang menggeliat di atas pembaringan itu berkilau dibasahi oleh peluh, melengketkan rambut panjangnya yang tergerai di atas pundak putih halusnya. Peluh yang memberi tanda bahwa kegiatan itu sudah berlangsung cukup lama dan si gadis tampaknya belum juga menuntas gairahnya. Suatu ketika, gadis itu tiba-tiba menyelipkan sebelah tangan di antara tubuhnya dan bantal dan disusupkan ke bawah sana. Lalu aktifitas pinggul molek yang dari tadi menggelosor dan berayun naik-turun itu tiba-tiba menyurut, hanya tampak membuat sentakan kecil sesekali. Namun wajah molek itu menjadi lebih merah dari sebelumnya, juga makin sering menggigit bibir dibarengi desisan lirih. Tidak jelas apa yang diperbuat jemarinya di bawah sana dan apa pula yang hadir dalam bayangannya, yang jelas kegiatan itu membuatnya makin dilena birahi. Hingga beberapa saat berlalu dal

  • Melati di Kubangan   bab 12

    Pendapat orang gila! Ya, benar. Saat itu, Ia memang menganggap temannya itu tidak waras. Hanya orang sinting yang bisa mengusulkan hal sekotor itu kepada teman baiknya sendiri! Mulai saat itu Ia langsung menjauhi Ratna dan tidak mau lagi dekat-dekat dengannya. Ia sungguh salah menilai pribadi gadis itu. Rupanya sikapnya yang terkesan dewasa dan tanpa malu-malu itu disebabkan karena Ia memang sudah biasa bergaul dengan orang dewasa (Om-Om). Meski Ia amat memandang hina perempuan-perempuan seperti Ratna, bukan berarti bahwa Ia menganggap dirinya sendiri sesuci dan semurni berlian, seorang alim yang antipati terhadap hubungan antar lawan jenis. Bukan. Ia bukanlah tipe perempuan seangkuh dan sekolot itu. Ia pun menikmati kebersamaannya dengan lawan jenisnya, yang dalam hal ini tentu saja kekasihnya. Ia hanya tidak bisa menerima hubungan yang dilakukan tanpa ikatan emosi, apa lagi yang bertujuan menyenangkan laki-laki demi imbalan materi. Ia tidak bisa menghormati wanita-wanita yan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status