Kalau tidak salah, teman bapak yang dulu sering mengunjungi keluarga kami.
Ah, iya benar, aku ingat. Wajahnya persis. Hanya saja dihadapanku saat ini versi tuanya, kulitnya lebih berkeriput, tubuhnya pun tak segagah dulu."Ada yang mau saya bicarakan," lanjutnya.
Aku mempersilahkan Pak Warjo duduk di teras rumah setelah sebelumnya aku menyetujui ajakannya untuk berbincang di rumahku. Beliau menolak untuk masuk, "Bukan mahram, tak baik," katanya.
Ya, namanya Pak Warjo, teman Bapak. "War," begitulah Bapak memanggilnya. Aku sedikit mengingat wajahnya karena terakhir kali bertemu saat acara pemakaman Ibu, saat aku kelas empat SD. Seingatku Bapak sempat bersitegang di pemakaman dengan Beliau ini waktu itu. Aku yang saat itu masih kecil tak mengerti apa yang mereka ributkan, meski mendengar dengan jelas ucapan yang mereka lontarkan. Sejak saat itu, tak pernah lagi ku jumpai Pak War ini berkunjung ke rumah kami hingga saat ini.
"Gausah repot-repot Nduk, duduk sini," cegah Pak War sambil menepuk teras di sampingnya saat aku berpamitan hendak membuatkan minum.
"Wes mandiri kamu ya? Umur berapa, Nduk?"
Pertanyaan Pak War ini memang wajar, biasa saja. Tapi, bagiku adalah hal yang tabu, mengingat aku adalah gadis belum bersuami yang hidup seorang diri. Agak kikuk aku menjawab,
"Saya, delapan belas tahun, Pak."
"Wah, delapan tahun ndak ketemu wajahmu makin mirip sama Tar, Bapakmu," tutur Beliau yang membuatku bersemu.
"Gini Nduk, sebenarnya bapak kesini mau ketemu bapakmu. Qodarullah, bapak ndak denger sama sekali kalau dia sudah meninggal. Baru dikasih tau tadi ini, sama Naji. Memang salah bapak juga sih, ndak pernah nengok ke sini lagi setelah pemakaman ibumu dulu," ungkap sepupu Bu Naji ini penuh penyesalan.
"Gak apa-apa, Pak, penting doanya. Jika ada salahnya Bapak saya, mohon dimaafkan."
"Bapakmu itu orang sabar Nduk, ndak pernah nyakiti orang. Bapak ini yang banyak salah sama dia, mau minta maaf, tapi kok ya wes ndak ada."
"Insyaallah bapak sudah memaafkan, beliau sudah tenang di sana, gak memikirkan urusan dunianya lagi," hiburku.
Detik berikutnya aku hanya menyimak kata demi kata yang keluar dari mulut lelaki seusia Bapak ini. Pandangannya menerawang, seakan mengingat peristiwa-peristiwa di masa lalu. Banyak hal yang ia ceritakan, membuatku makin rindu pada sosok yang telah meninggalkanku seorang diri beberapa minggu lalu.
"Waktu itu, Tar ngajak aku kerja sama. Dia yang modalin, aku yang disuruh buka usaha. Bapak milih buka toko sembako awalnya, tapi sampai setahun lamanya beroperasi, toko tersebut belum bisa balik modal. Padahal pemasukan lancar setiap harinya. Dari situ kita ngitung-ngitung keuntungan yang diperoleh secara detail, tapi tetap saja tak menemukan salahnya. Bapak nyerah, akhirnya gulung tikar juga karena dirasa labanya gak bisa dinikmati."
Beliau terkekeh, "Lalu, Tar mengusulkan untuk mencoba meliris rumah makan karena peluang suksesnya lebih menjanjikan. Dia mengeluarkan modal lebih banyak lagi, menyuruh Bapak membuka usaha rumah makan di kota karena lebih cepat berkembang di sana, katanya. Benar saja, baru 2 tahun berjalan rumah makan kami yang mulanya menyewa ruko, sudah dapat membangun gedung sendiri dan mulai merintis cabang baru. Tak tanggung-tanggung, di tahun ke 4, tiga cabang sekaligus resmi dibuka di kota yang berbeda," ucapnya bersemangat.
Aku begitu tertarik dan takjub mendengar penuturan Pak Tar ini. Karangannya bagus. Pasalnya, semasa hidupku dengan Bapak tak pernah sekalipun aku melihat segepok uang dalam rumah ini. Jangankan segepok uang, makan daging saja cuma pas dapet gratisan, setahun sekali. Lah ini, mustahil banget kan, Bapak sampai modalin segitu banyak?
"Tapi naas, saat itu Bapak ini terlalu percaya sama orang, kena investasi bodong. Raib semua harta Bapak dan sebagian harta bapakmu. Ingat kamu? Saat itu bertepatan sama meninggalnya Ibumu. Bapakmu marah besar waktu itu. Belum pernah bapak menemui dia semarah itu sebelumnya. Mungkin memang sikonnya kurang pas, udah jatuh, tertimpa tangga pula."
Aku ingat, setelah kematian Ibu, bapak memang lebih sering terlihat murung. Baru kusadari keanehan itu saat ini. Waktu itu hingga beberapa bulan lamanya, bapak tidak bekerja, hanya menemaniku di rumah. Jika aku sekolah, dia akan mengurung diri di kamar dan baru akan keluar saat aku pulang sekolah, itupun saat akan membuat makan siang ala kadarnya untukku. Entah apa yang dilakukan di dalam kamar. Anehnya, stok bahan makanan dan uang saku selalu ada, meski dia tak bekerja.
"Tapi dua minggu setelahnya, ia meminta maaf, 'mungkin itu jatah istriku, mangkannya Allah mengambilnya,' ucapnya kala itu. Dengan tulusnya dia meminta maaf, padahal bapaklah yang melakukan kesalahan."
Mendengar penuturan Pak War yang penuh penghayatan, membuatku bertanya-tanya, benarkah? Mengapa selama ini kami hidup serba kekurangan, jika benar bapak mempunyai harta sebanyak itu?
"Sejak saat itu, Bapak bekerja lebih giat lagi mengembangkan rumah makan yang tinggal satu itu. Bapak berjanji tidak akan pulang sampai bisa mengembalikan semuanya. Alhamdulillah, Allah lancarkan segala urusan Bapak, sampai saat ini rumah makan kita punya dua cabang."
Wajah bahagia itu berubah sendu, "Sayangnya, kabar baik ini tak sampai didengar oleh Tar."
Pria berkemeja cokelat ini menghela napas berat, gurat penyesalan tergambar jelas di wajah keriputnya.
"Meskipun bapak saya tak mendengarnya langsung, pasti Beliau tersenyum bahagia melihat kesuksesan Pak Tar," hiburku, meski masih belum percaya dengan penuturannya.
"Iya, bapak juga yakin. Jadi, Bapak kemari ini mau menyerahkan bagi hasil rumah makan kita. Dulu bapakmu selalu memintanya dalam bentuk emas batangan, ini hasil selama delapan tahun terakhir. Sedikit sih, ibarat baru panen, baru merintis. Untuk ke depannya, kalau kamu minta dalam bentuk uang, bisa bapak transfer setiap bulannya," jelasnya sambil menyerahkan kantong yang terdapat logo salah satu toko emas di depannya.
Mataku melotot, mengintip kantong yang ternyata berisi tiga batang emas bertuliskan sepuluh gram itu. kubolak balik batangan emas di genggaman, memastikan aku tak salah lihat. Jika ini hasil sepeninggal Ibu, lantas di mana hasil saat ibu masih hidup? Bukankah belum pernah kulihat bapak menikmati hasilnya?
"J-jadi, cerita Bapak ini nyata?"
"Lah? Iya Nduk, hahaha ... jadi bapak ngomong panjang lebar ini kamu kira bohongan?"
"Emm, gini Pak, setau saya Bapak ataupun Ibu saya tidak pernah membawa benda seperti ini ke dalam rumah kami. Bahkan, sedari kecil kehidupan keluarga kami bisa dibilang kekurangan. Bapak saya narik ojek pagi sampai malam untuk menghidupi kami. Jadi, apa Bapak tidak salah orang?" tuturku mengungkapkan rasa tak percayaku.
Pak Tar pun seperti tak percaya dengan penuturanku. Dia melihat ke belakang memandangi keadaan rumahku, menoleh kiri dan kanan, kemudian seperti tertegun sejenak, "Masa iya, Nduk? Apa mungkin ...."
"Mungkin apa, Pak?" Tanyaku tak sabar."Mungkin sengaja ditabung untuk masa depanmu. Bisa jadi, kan?" Pak Tar meringis setelahnya."Kamu ingat, dulu setiap kamu liburan semester saat ibumu masih hidup, bapak pasti kesini. Ya untuk itu, bagi hasil. Nah, waktu kamu udah sekolah itu, pas jaya-jayanya rumah makan kita, jadi lumayan banyak emas batangan yang diterima bapakmu. Gak mungkin habis buat makan kan, kalau katamu kalian gak pernah hidup mewah?". Aku membenarkan ucapan Pak War. Seperti tidak mungkin memang."Apa kamu ndak pernah diajak Bapakmu ke bank atau tempat apa gitu yang buat nabung-nabung emas?" Selidiknya lagi.Pertanyaan Pak War kali ini membuatku mengerutkan kening mengingat-ingat kebersamaanku bersama Bapak. Benar, Beliau memang selalu datang dan mengajakku sekeluarga berlibur saat liburan sekolah tiba. Tapi mengenai tabungan emas, aku benar-benar tak tahu. Aku masih terlalu kecil saat itu. Apa mungkin Bapak ngojek itu cuma pura-pura?
Dia adalah Aryo, anaknya Bu Naji. Bagaimana aku bisa lupa, ya, pada kakak kelasku yang baik hati itu, dasar aku!"Hayo! Ngapain?!"Aku berjingkat kaget. Ternyata ada Bu RT dibelakangku, dia menenteng barang belanjaan, sepertinya terhalang jalannya olehku yang diam agak lama di sini. Hihi."Eh, itu, Bu, lihat Pak War," gugupku."Pak War yang muda apa yang tua? Haha," goda Bu RT sambil berjalan terbahak melewatiku menuju rumahnya yang bersebelahan dengan Bu Naji.Ih, beneran yang muda kok, Bu. Eh.Sebenarnya ingin ketemu Pak War sih, pengin tau lebih banyak hal. Tapi sekarang gak tepat, besok-besok saja jika aku luang.***Hari ini rencananya aku akan ke pasar menjual sembako lawatan untuk bertahan hidup. Setelah kupikir, lebih baik mengikuti saran Mpok Siti kemaren supaya lekas terjual, keburu ngapang (menjamur) juga sembakonya. Nanti sekalian mau cari lowongan kerja di toko pasar. Siapa tahu ada yang butuh tenagaku menjaga to
Nampak Bu Naji menenteng belanjaan dua kantong kresek merah besar baru mendudukkan diri di kursi kayu sampingku."Buk, saya bungkusin seperti biasa," ujarnya pada pemilik warung. Tanpa bertanya apapun, wanita yang baru saja berbincang denganku itu menuju bagian belakang warungnya. Sepertinya Bu Naji sudah langganan di sini."Bawa apa kamu itu, Ra?""Ini, mie kuning, Bu."Bu Naji terkekeh sebelum menjawab, "Lawatan? Mau jual buat makan, ya?" Ejeknya agak keras sambil mencomot gorengan yang tertata apik di hadapan.Aku malu pada pelanggan lain yang seolah menatapku prihatin. Kenapa ketemu di sini, sih! Nanyanya juga gak pakai kira-kira lagi. Tetanggaku yang satu ini memang ajaib, kadang seperti malaikat, membantu tanpa pamrih kadang juga kayak gini ini, pengin tak sleding, hih!Aku hanya menanggapi pertanyaan Bu Naji dengan anggukkan kepala yang kutundukkan dalam-dalam setelahnya untuk menutupi rasa maluku."Mangkannya, Ra, Ibu ny
"Ya Allah .... " gumamku dengan dada yang terasa sesak seperti ada ribuan benda yang menghimpit.Entah mengapa, ada rasa sesal dan kecewa yang sangat mendominasi di hatiku. Mengapa secepat ini? Bukankah banyak hal yang masih belum kutanyakan?.Segera kuletakkan kembali kotak-kotak ini dan mengunci pintu lemari Bapak. Biarlah baju-baju ini berserak dulu, aku akan ke rumah Bu Naji sebentar. Jika melayat tidak dibolehkan, ya sudah aku kesana tanpa membawa lawatan. Biasanya jika di hari pertama begini banyak orang yang masih menanyakan kronologi kematiannya. Aku juga ingin tahu kenapa mendadak seperti ini.Di luar kulihat Bu Nia dan Bu Sita berjalan beriringan menuju arah rumah Bu Naji. Santai sekali mereka, pikirku. Mereka berjalan sambil mengobrol dan sesekali tertawa lepas. Aku mempercepat langkah agar segera sampai."Kenapa di kubur sini ya Bu? Kan rumahnya di kota."Ku dengar Bu Sita bertanya pada Bu Nia. Terdengar jelas karena posisiku mengekor
Dua orang yang sangat kukenal. Pria yang sangat kucintai, kuhormati dan kurindukan saat ini. Dan wanita itu, Ibu, kah? Sepertinya bukan. Lebih mirip Bu Naji. Bapak dan Bu Naji.Ada yang terasa perih saat melihat potret ini meski kutahu pasti, foto ini diambil ketika mereka masih lajang. Bukankah bapak pernah bilang kalau ibu dan Bu Naji itu bersahabat baik? Lantas apa maksudnya ini?Hei, tidak!Lihatlah, perut Bu Naji sedikit membuncit seperti ... orang hamil!Kuamati setiap inchi tubuh wanita tersebut. Benar! Ini Bu Naji yang tengah hamil."Sebelas sebelas delapan tujuh," gumamku mengeja angka di belakang foto ini. Itu berarti 6 tahun sebelum aku dilahirkan. Bukankah Ibu, yang asli orang sini? Setauku bapak adalah perantau dari pulau sebrang yang menetap di sini setelah menikahi Ibu. Sebelum itu beliau mengontrak di kota. Tapi kenapa bisa foto ini diambil sebelum bapak tinggal di sini? Apa mungkin ada kejadian lain yang di maksud oleh ta
"Kami tidak mungkin menjelaskan kasus dalam keramaian seperti ini. Baiknya saudari Ira langsung ikut kami ke kantor."Kami berempat akhirnya mengekori dua polisi ini menuju mobil ke kantor polisi. Bu Nia menolak untuk ikut, silakan dipanggil jika dibutuhkan saja, katanya.Hening. Tak ada percakapan sama sekali dalam perjalanan kami, hanya sesekali isakan Bu Naji terdengar."Mari Pak, Bu, silakan duduk," tutur salah satu polisi ketika kami sudah masuk salah satu ruangan.Pak RT memberi isyarat padaku untuk duduk di sebelahnya. Sedang istrinya berada di belakang kami bersama Bu Naji."Jadi, saya akan jelaskan keseluruhan kasus ini secara global terlebih dahulu. Nanti akan ada pengambilan keterangan dari setiap personal untuk mendapat keterangan detilnya, jadi mohon disimak dengan baik. Begini,"Ku lihat Pak polisi di depanku mengambil napas dalam-dalam dan memperbaiki posisi duduknya terlebih dahulu sebelum mulai menjelaskan. Dia membaca sekil
P.O.V Bu Naji"Boleh saya tahu akan dipertemukan dengan siapa, Pak?"Tanya yang diucapkan Ira sambil berjalan agak tergesa mengejar polisi yang lebih dulu keluar ruangan introgasi. Sayangnya kulihat sepertinya tak ada tanda polisi tersebut hendak menjawab pertanyaan Ira, dia tetap berjalan lurus menuju pintu keluar."Pak Hadi selaku pendakwa kasus ini. Beliau ingin menjelaskan langsung kepada anda bagaimana skema kasus ini terjadi, motif dan hal lain yang dapat membantu memulihkan kembali bisnis keluarga anda." Samar kudengar jawaban polisi tersebut dari arah luar setelah keduanya tak tampak.Tubuhku panas dingin setelahnya. Hatiku berdebar tak karuan mendengar jawaban tadi. Ira akan dipertemukan dengan orang itu, Hadi. Orang dari masa laluku yang licik lagi cerdik itu. Bagaimana ini, bukan hanya hidup Aryo di masa kini yang Ia ketahui, bahkan hidup Aryo sebelum dilahirkan pun dia hapal. Aku takut, belum siap jika masa laluku harus dibuka kembali. Ata
"Apa ada uang atau barang lain yang hendak anda ambil sebelum berangkat? Mengingat agenda kali ini tidaklah sebentar.""Ndak ada, Pak. Tapi jika boleh saya tahu, siapa yang akan dipertemukan dengan saya kali ini?""Pak Hadi. Beliau adalah pendakwa kasus penggelapan dana rumah makan ini. Beliau ingin menjelaskan langsung kepada anda bagaimana skema kasus ini terjadi menurutnya, motif dan hal lain yang dapat membantu memulihkan kembali bisnis keluarga anda."Dengan langkah penuh semangat aku memasuki mobil kepolisian ini. Merasa akan menjemput suatu keajaiban, pasti setelah ini teka-teki dalam otak ini akan terpecahkan karena telah menemukan jawabannya. Ah, tak sabar ingin segera menaruh beban berat yang selama ini menggelayuti pikiran.Mobil melaju setelah dua polisi wanita ikut serta. Tadinya kupikir akan bertemu Pak Hadi di suatu tempat, ternyata tidak. Mereka akan mengantarku ke kantor polisi di pusat kota supaya mereka bisa mencocokkan data