Share

Lelaki Itu

"Mungkin apa, Pak?" Tanyaku tak sabar.

"Mungkin sengaja ditabung untuk masa depanmu. Bisa jadi, kan?" Pak Tar meringis setelahnya.

"Kamu ingat, dulu setiap kamu liburan semester saat ibumu masih hidup, bapak pasti kesini. Ya untuk itu, bagi hasil. Nah, waktu kamu udah sekolah itu, pas jaya-jayanya rumah makan kita, jadi lumayan banyak emas batangan yang diterima bapakmu. Gak mungkin habis buat makan kan, kalau katamu kalian gak pernah hidup mewah?". Aku membenarkan ucapan Pak War. Seperti tidak mungkin memang. 

"Apa kamu ndak pernah diajak Bapakmu ke bank atau tempat apa gitu yang buat nabung-nabung emas?" Selidiknya lagi.

Pertanyaan Pak War kali ini membuatku mengerutkan kening mengingat-ingat kebersamaanku bersama Bapak. Benar, Beliau memang selalu datang dan mengajakku sekeluarga berlibur saat liburan sekolah tiba. Tapi mengenai tabungan emas, aku benar-benar tak tahu. Aku masih terlalu kecil saat itu. Apa mungkin Bapak ngojek itu cuma pura-pura? Atau hanya alasannya saja agar tidak ketahuan menabung emas ke bank? Jika iya, kenapa musti sembunyi-sembunyi? Ah, mana mungkin! Sepulang ngojek tak pernah absen kulihat gurat lelah di wajah bapak. Lagian, uang yang bapak berikan pada ibu selalu uang pecahan lusuh. Masa dari bank uang receh, lecek lagi. 

Terus kupacu otak ini untuk mengingat-ingat masa itu. Nihil. Tak ada rekaman peristiwa seperti yang ditanyakan Pak War dalam otakku. Tapi kalau Ibu, sepertinya pernah bicara tentang koleksi-koleksi emas pada Bu Naji saat kami main ke rumahnya. Tapi, masa iya emas yang mereka bicarakan adalah emas yang dimaksud Pak War ini? Kan gak ada hubungannya sama sekali dengan Bu Naji.

"Apa Ibu saya juga tau mengenai kerja sama ini, Pak?" tanyaku, berharap menemukan satu jawaban dari beberapa pertanyaan dalam benak.

"Tentu," jawab Pak War mantap.

"Seingat saya, dulu Ibu pernah ngomong bisik-bisik sama Bu Naji tentang koleksi-koleksi emas gitu, Pak. Saya memang tidak terlalu paham. Ibu bilang ...."

"Kang War! Dicariin jelimet kok, malah ngapel di sini!"

Ucapanku terputus saat mendengar suara cempreng itu.

Kami mendongak bersamaan. Dari jalanan depan rumah, Bu Naji mendekat ke arah kami sambil mengapit baskom hijau di tangannya. Kulihat matanya melebar melihat benda berkilau di tanganku saat telah sampai di hadapan. Tapi hanya sebentar, detik berikutnya dia mulai menguasai diri.

"Ini Ra, sisa suguhan. Makasih udah bantu-bantu." ucapnya datar sambil mengangsurkan bawaannya tersebut kepadaku. 

"Hussh! Orang bertiga gini dibilang ngapel, ngawur kamu!" sela Pak War.

"Mana ada?! Iya kali sama kutumu, Kang! Dah, ayo balik! Katanya mau bantuin, malah keluyuran gak jelas. Tuh, berkat di rumah belom pada diantar ke tetangga," ketus Bu Naji sambil berlalu.

"Iya, iya. Udah Nduk, kapan waktu disambung lagi," pamit Pak War, "assalamualaikum," lanjutnya.

"Iya Pak. Waalikumussalam. Makasih, Bu Naji!" teriakku karena mereka sudah agak jauh dari halaman rumah.

"Tumben Bu Naji gak kepo atau sekadar berkomentar mengenai benda ini, ya?" gumamku dalam kamar sambil meletakkan bingkisan dari Pak War ke dalam lemari.

Kuletakkan bobot ini di kasur, mengistirahatkan sejenak pikiran yang agak kacau karena cerita Pak War dan Bu Naji di rumahya tadi. Memejamkan mata sambil mengingat-ingat kenangan indah kebersamaan keluargaku saat masih utuh, sebagai penawar rindu yang kian terasa berat.

***

"Maaf, Ra. Bukannya saya gak mau bantu tapi, stok sembako saya masih banyak, baru beli dua hari lalu. Kamu jual ke warung lain saja, ya. Atau kalau kamu butuh cepat, bisa langsung ke pasar. Di sana biasanya mau aja tapi harganya lebih rendah."

Aku lemas mendengar perkataan Mpok Siti, pemilik warung ketiga di desa yang kudatangi. Semua menolak membeli sembakoku dengan berbagai alasan. Padahal aku butuh uang untuk menyambung hidup dan membayar hutang ke Bu Naji. Bukan hutang sih, Bu Naji bilang ikhlas membantu untuk pendanaan acara tahllilnya bapak kemaren, tapi tetap saja, aku gak enak kalau berpangku tangan kayak gitu. Bu Naji kan, juga janda, cari uang sendiri. Aku akan berusaha semampuku untuk mengganti uang itu. 

"Yur sayuurr ... tet teett ...."

Aku merogoh saku, berpikir sejenak untuk membeli apa dengan uang lima ribu ini. Sudahlah, apa saja yang penting cukup untuk mengganjal perut sehari ini. Syukur kalau Kang Syurnya mau tak bayar pakai beras nanti. 

Segera aku menghampiri Kang Sayur. Kulihat Bu Nia dan Bu Sita sudah mengelilingi gerobak bersama tiga ibu lain. Akan semakin sesak jika aku tak segera mengambil tempat di sana. Untuk urusan rumah dan dapur, aku memang sudah dididik mandiri oleh Bapak. Memasak, mencuci bahkan mengatur keuangan rumah pun aku sudah biasa. Hal penting yang belum aku kuasai ya, cuma itu, nyari uang.

"Ibu-ibu, permisi sebentar." 

Aktifitas kami memilih sayuran langsung terhenti, seorang ibu-ibu mengenakan pakaian serba hitam dan bercadar mendesak masuk di antara kami. Dengan cekatan dia mengambil beberapa terong, tomat dan sekilo ayam lalu menyerahkan uang pas pada Kang Sayur dan langsung nyelonong meninggalkan kami tanpa permisi.

"Bu Darsih segitunya, ya. Sampai kayak teroris," bisik Bu Sita saat ibu berpakaian serba hitam tadi pergi. Oh, Bu Darsih toh ternyata, batinku.

"Namanya juga lagi iddah, Bu, ya harus gitu. Kalau Kang Sayurnya kecantol, kan berabe," sahut Bu Nia yang disambut gelak tawa ibu-ibu yang lain.

Aku meminta Kang sayur menghitung belaanjaku yang hanya dua jenis. Gak jadi mau belanja pakai beras, malu. 

"Kalau baru kepaten jangan dulu masak sayur kelor, Neng," kata Kang Sayur.

"Kenapa, Kang?"

"E-eh, kenapa ya? Ndak tau juga, punten Neng. Cuma ajaran Nenek saya dulu. Pamali katanya." 

Aku mengedar pandang pada ibu-ibu di sampingku, meminta penjelasan. Tapi mereka malah tak acuh dan kulihat, Bu Nia hanya mengedikkan bahu.

"Ya sudah, Kang. Saya nurut saja."

Kuletkkan kembali sayur kelor pada tempatnya, menukar dengan sayur bayam yang harganya sama dan segera berlalu pulang setelah membayar nominal yang disebutkan.

Aku menyipitkan mata melihat dua orang lelaki duduk di kursi teras Bu Naji. Siapa, ya? Kalau tamu Bu Naji, seharusnya kan Bu Naji yang menemui. Ini kok, Pak War? 

Mereka terlihat akrab sekali seperti bapak dan anak. Ah, iya, aku ingat, ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status