Wanda yang berdiri di atas panggung juga terkejut sejenak.Kiara membelalakkan mata. Dia mengangkat tangannya yang gemetaran, lalu mengusap wajahnya sendiri.Ketika Kiara merasakan pipinya yang bengkak, seolah-olah ada jutaan jarum yang lebih halus dari rambut menembus pembuluh darahnya, hendak merobek kulitnya.Baru sekarang Kiara menyadari bahwa dia telah ditampar!"Kenapa kamu menamparku?" teriak Kiara.Giana tersenyum, sudut matanya terangkat, sementara bulu matanya melengkung, seperti ada ekor burung merak di matanya yang siap terbang menjauh."Aku nggak hanya akan menamparmu, tapi juga akan melubangi kepalamu untuk mengeluarkan kotoran dari mulutmu!"Tinggi Giana sekitar 172 sentimeter. Ditambah dengan sepatu hak tinggi 15 sentimeter, ini membuat Kiara yang ada di depannya seperti orang kerdil.Giana mengangkat tangan untuk menunjuk ke arah kepala Kiara. Kiara yang takut ditampar lagi, segera mengangkat tangan untuk melindungi kepalanya."Apa yang kamu pikirkan dalam otakmu yang
Wanda menatap Kiara. Dia tahu apa yang sedang direncanakan Kiara. Kedua orang itu saling bertatapan, di udara seakan bisa tercium aroma hangus dari percikan api yang beradu.Di keluarga Ferdian, Kiara tidak pernah bersikap baik kepada Wanda. Selama bertahun-tahun ini, Wanda sengaja menghindar dari Kiara demi keharmonisan keluarga.Kini, Kiara masih menargetkannya. Wanda mengeluarkan tawa ringan dari tenggorokannya.Prasangka adalah gunung yang tak bisa dilewati di dalam hati manusia. Makin kaya seseorang, makin besar kecurigaannya terhadap orang luar.Kiara sama seperti Harvey yang hatinya selalu meremehkan Wanda.Sejak Wanda menjadi menantu keluarga Ferdian, Kiara sudah menunggu hari ketika dia akan diusir dari rumah."Wanda, pergilah mencari Kepala Sekolah. Kalau terlambat, kamu nggak akan bisa menambahkan nama Sasha lagi kalau daftar acaranya sudah ditetapkan."Kiara menyunggingkan senyum di sudut bibirnya, tetapi senyumnya tidak sampai ke mata. Tiba-tiba, seolah teringat sesuatu, d
Beberapa orang tua duduk di tempatnya, mereka tidak ikut berdebat, hanya menunduk dan langsung mengedit singkat video yang mereka ambil tadi untuk dikirim ke internet."Kalau Sasha nggak mau mundur, biar saja dia dipermalukan di atas panggung.""Mata penonton itu tajam! Kalau dia sampai merusak penampilan anakku, biar dia tenggelam oleh hujatan di internet!"Beberapa orang tua yang duduk mulai berbisik-bisik."Mama."Sasha memanggil Wanda dengan suara pelan. Wanda segera menggenggam tangan kecil putrinya ke dalam telapaknya.Gadis kecil itu menggigit bibir bawahnya. Tangan satunya menggenggam kristal hiasan di baju pertunjukan di atas dadanya. Matanya berkaca-kaca, dan ujung matanya yang menunduk memantulkan cahaya lembut."Aku ... mundur saja ya!"Sasha membuat keputusan itu dalam hati. Sejak mengenakan kostum panggung, banyak anak yang diam-diam menertawakannya.Saat dia bertanya kenapa mereka menertawakannya, anak-anak itu bilang karena dia gendut.Awalnya dia tidak merasa dirinya g
"Tut ... tut ... tut ...." Suara sibuk dari ponsel terdengar di telinga Giana, dan ekspresinya seketika berubah, seperti dinding yang mulai retak karena tak mampu lagi menahan beban.Dia menoleh, menatap ponselnya dengan ekspresi tidak percaya.Apakah Wanda baru saja memutus sambungan teleponnya?Tidak mungkin!Selama ini belum pernah ada orang yang berani menutup telepon di hadapannya.Giana tidak percaya. Mungkin Wanda secara tidak sengaja menekan tombol tutup.Mana mungkin Wanda benar-benar berani melakukan itu!Dia kembali menelepon Wanda, kali ini menyalakan mode pengeras suara.Semua orang yang hadir langsung mengarahkan pandangan ke ponsel Giana, suasana menjadi sangat hening.Namun, detik demi detik berlalu, tidak ada satu pun jawaban dari ujung sana.Tangan Giana yang memegang ponsel mulai bergetar sedikit.Orang-orang yang hadir bisa merasakan suasana menjadi tegang, sebuah rasa canggung yang tidak nyaman mulai menyebar di antara mereka."Nomor yang Anda tuju sedang tidak dap
Beberapa hari lalu, Wanda mendapat nomor telepon Bu Shelia Herawan, guru tari ini dari wali kelas utama dan menelepon untuk membicarakan tentang Sasha.Dia menyampaikan dengan tegas agar guru tari tidak melakukan penghinaan citra tubuh pada anak-anak. Namun di telepon, guru itu hanya menjawab dengan seadanya.Setelah itu, dia juga menghubungi Yuke, asisten pelatih untuk pertunjukan tari ini. Mendengar dari Yuke bahwa Sasha tampil luar biasa saat latihan, barulah Wanda merasa agak tenang.Namun sekarang, mendengar ucapan guru tari tadi, Sasha tahu dirinya bersalah. Dia menundukkan kepala dan menggenggam erat ujung baju Wanda dengan jemarinya yang bulat.Wanda melirik putrinya, dan hatinya terasa perih seketika."Bu Shelia, insiden di panggung tadi terjadi karena lantai panggung yang rusak. Panggung ini sudah berdiri lebih dari dua puluh tahun. Lihat saja papan kayu ini, sudah berlubang. Itu tandanya papan dalamnya sudah dimakan rayap.""Saat ini yang paling penting adalah segera memperb
Mama Susan tentu paham akan hal itu. "Tadinya Guru bahkan berencana mencari anak laki-laki dari kelas SD untuk jadi pengganti."Namun, kalaupun memilih anak laki-laki kelas dua SD, untuk latihan angkat mengangkat, tetap harus memperhatikan estetika. Hanya untuk memastikan tangannya tetap kaku tanpa gemetar pun perlu waktu latihan yang cukup lama.Mama Susan tersenyum dan berkata, "Akhirnya, anakmu yang nggak tahan melihatnya. Dia bilang, gerakan ini sering dia lakukan bersama teman-teman sekelas. Dia bisa mengangkat Fanny dan berputar beberapa kali tanpa merasa lelah."Bibir Wanda terangkat membentuk senyuman. Mama Susan bernama Yuke Shantika, dulunya adalah penari utama di Teater Kota Jinggara.Guru tari di sekolah yang mengajar anak-anak juga merupakan penari profesional, tapi di dunia seni, pencapaiannya masih jauh di bawah Yuke.Maka itu, saat anak-anak TKB 1 berlatih tari, guru tari pun sering meminta Yuke untuk datang menjadi pembimbing di luar panggung.Wanda pun bertanya, "Jadi