Suatu pagi pukul 7.05 di kantin pinggir kolam kampus.
Lili mengendarai sepeda MTB dengan santai. Ia berhenti di depan kantin dan memarkirkan sepedanya tidak jauh dari tempat duduk yang rencananya akan ia pilih untuk ia tempati.
Pagi ini rencananya kelompok KKN Pulau Pahawang akan melangsungkan pertemuan untuk membicarakan persiapan keberangkatan.
“Bibi Sari, kopi susu satu ya..”
ucap Lili sambil berjalan menuju tempat duduk.Lili lalu membukan helm dan tas kecilnya kemudian menaruhnya di meja.
“Kopi susu siap,”
ucap petugas kantin yang meninggalkan segelas kopi susu di meja kasir.Belum sempat Lili mengambilnya, segelas kopi susu itu lalu diambil oleh seseorang yang baru datang. Dia adalah Wandi. Wandi datang langsung membawa kopi itu dan duduk di tempat duduk tepi kolam.
Lili sudah berjalan menuju kasir, namun langkahnya tidak mampu menjemput kopi susu pesanannya itu.
“Ya ampun! Ada yang nyelonong ngambil pesanan orang lain!”
ucap Lili meninggikan suaranya sambil melirik Wandi.Lili lalu mendatangi tempat duduk Wandi.
“Kalau mau minum pesan dulu sana!”ucap Lili sambil mengambil minuman yang baru saja Wandi letakkan di atas mejanya itu.Usai melepaskan tas punggungnya, Wandi lalu memandangi Lili yang baru saja mengambil minuman itu.
Lili melihat Wandi memedangi pergelangan tangan kanannya yang sedang gemetar. Lili merasa aneh dan sedikit bersimpati melihatnya.
“Pagi ini dingin sekali. Aku mohon, berikan kopi susu itu kepadaku! Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi,”
ucap Wandi dengan wajah memelas.Seketika Wandi pun merebut minuman itu dari tangan Lili. Lili lalu merasa kesal.
“Bisa-bisanya memasang wajah seperti itu. Lalu mencurinya cepat sekali,”
ucap Lili kesal yang kemudian kembali merebut minumannya.Wandi lalu merebut minuman itu kembali dengan tangan kirinya. Tangan kanannya mencoba menyusul menggenggam gelas minuman itu. Ia mencobanya perlahan, namun tangan kanannya itu masih gemetar. Kemudian ia lepaskan tangan kanannya itu.
Lili memandangi Wandi yang sedang memegang minuman itu dengan tangan kiri. Wandi membiarkan seberkas cahaya matahari pagi masuk ke atas minuman itu. Ia memiringkan wadah kopi agar cahaya itu memantul dari permukaan kopi ke matanya.
Asap yang mengepul membawa aroma minuman itu melayang ke udara. Wandi menghirupnya perlahan sambil memejamkan mata. Napas Wandi ia tarik dalam-dalam dan dihembuskannya pelan-pelan. Seiring waktu, gemetaran pada tangan Wandi pun mereda.
Lili mengenyitkan dahi. Ia merasa aneh dengan hal yang baru saja ia lihat. Perasaan kesal bercampur simpati terasa hingga ia tidak bisa memilih salah satu di antaranya. Sehingga, ia mencoba untuk menjauh, kembali meja kasir.
“Kopi susu satu lagi, roti isi sosis satu,”
ucap Lili kepada petugas kantin.Lili menunggui pesanannya dengan berdiri di depan kasir. Ia tidak ingin melewatkan pesanannya lagi.”
“Ini dia pesananmu,”
ucap petugas kantin.“Langsung bayar saja,”
ucap Lili.“Oh, baik. Semua lima belas ribu rupiah,”
ucap Bibi Sari, petugas kantin.“Apa itu sekalian dengan pesanan kopi susu yang pertama tadi?”
tanya Lili.“Iya, Say. Atau mau dipisah pembayarannya?”
ucap Bibi Sari.“Ga usah. Ga usah. Ga apa-apa, digabung saja,”
ucap Lili kemudian memberikan uang kepada Bibi Sari.Lili lalu melahap roti lapisnya kemudian menyeruput kopi susunya. Ia tidak lagi ingin memperdulikan Wandi. Namun, lirikan matanya yang sesekali dilakukan membuat pertahanan dirinya luntur. Ia jadi ketahuan bahwa ia masih memperhatikan Wandi.
Wandi lalu tersenyum kepada Lili dari kejauhan dan mengangkat wadah minuman itu ke arah Lili dengan tangan kanannya. Seolah, ia mengisyaratkan sedang menawari Lili.
Lili lalu memonyongkan mulutnya sebentar kemudian mendekatkan kedua lingkaran hitam matanya ke arah hidungnya. Ia memperlihatkan itu seolah mengisyaratkan sedang meledek Wandi.
“Hah.. Dasar! Masih muda sudah menjadi maniak narkoba!”
gumam Lili yang sedang mengingat tangan Wandi gemetaran tadi.Seakan tak betah menunggu, Lili sesekali melihat jam tangannya dan melongoh ke tempat yang jauh. Ia mencari-cari kehadiran anggota kelompok KKN lainnya yang tidak juga kunjung muncul.
Setelah lama menunggu, Lili tidak juga mendapat kepastian dari teman-temannya. Lili yang sejak tadi sibuk mengendarai sepeda MTB-nya tidak kunjung memeriksa ponselnya. Merasa jenuh menunggu, akhirnya Lili memeriksa ponselnya itu. Ia mengeluarkannya dari tas kecilnya kemudian menekan-nekan layarnya. “Pertemuan kita ditunda sore saja, ya? Mengingat banyak yang ga bisa hadir pagi ini,”pesan WA yang dibaca Lili. Lili lalu mekalukan scroll chat ke atas. Tampak di sana beberapa respon dari aggota lainnya yang tiba-tiba memberikan informasi perihal ketidakhadiran mereka. “Astaga.. Kenapa ga daritadi WAG ini aku buka? Sudah menghabiskan waktu seperti ini. Ah! Menyebalkan sekali. Selain menunggu sia-sia, minumanku pun dirampok oleh orang aneh itu,”gumam Lili kesal. Lili lalu langsung dengan cepat mengenakan tas kecil dan helm sepedanya. Ia kemudian pergi dengan mengendarai sepeda dengan kecepatan yang lebih tinggi. **** Sore hari pu
“Bro.. Sis.. Gua duluan ya!”ucap Ronco, orang terakhir yang masih tinggal di sana. Ia kemudian pergi. “Oke, hati-hati di jalan!”ucap Lili. Lili lalu mengeluarkan dua botol soda itu dan menaruhnya di hadapannya dan di hadapan Wandi. Demikian juga cokelat yang ada di sana. “Nih, aku minum ya?”ucap Lili kemudian menenggak sebotol soda tanpa jeda. “Oke, minumannya sudah habis. Sekarang cokelatnya..”ucap Lili kemudian menyobek bungkus cokelat itu dan menggigitnya dengan potongan yang besar-besar. “Saya mohon..”ucap Wandi pelan. “Hah? Apa?”tanya Lili heran. Ia kemudian menghentikan aktivitas makannya dan mendenarkan Wandi dengan seksama. “Saya mohon, kamu jangan membicarakan apa yang terjadi dengan tangan saya kepada orang lain,”ucap Wandi pelan. “Jangan-jangan, dia benar-benar pengguna narkoba?”gumam Lili. “Oke..”ucap Lili kemudian menyatukan ujung telunjuk dan ujung jempolnya dan
Suatu sore, pukul 16.09 bertempat halaman belakang gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM). Lili sedang berada di hadapan arena wall climbing. Rambut panjangnya sedang digulung di dalam helm. Tubuh bagian bawahnya dibalut rangkaian body harness. Tangannya begitu mahir menarik ulur belay device. Ia sedang menunggui temannya yang berada di atas dan hendak menuju puncak. Kepala Lili menengadah memperhatikan temannya itu sambil menarik ulur tali. Leher rampingnya basah, hasil dari tetesan keringat dari kepalanya. “Tangan kanan! Kanan! Salah itu! Balik lagi coba. Pegang yang di bawahnya lagi!”teriak Lili mengarahkan temannya yang berada di 13 meter di atasnya. Ridwan menonton dan menunggu Lili dari tepi arena. Lili menyeka keringat di keningnya. Ia menggerak-gerakkan lehernya untuk melemaskannya. Tanpa sengaja Lili kemudian melihat Ridwan. Lili pun melambai pada Ridwan dan meneruskan kegiatannya. Ridwan membalas lambaian tangan Lili sambil te
Setelah Lili menyuapinya sepotong tempe, bagi Ridwan dunia seolah melambat. “Gimana? Enak banget khan?”ucap Lili. Lili lalu mendapati Ridwan sedang melamun memandanginya. Lili lalu melambaikan telapak tangannya di depan wajah Ridwan. “Halo? Halo halo? Hai? Halo halo hai hai? Mas! Mas bangun mas!”ucap Lili. Ridwan lalu tersentak dari lamunannya. Ia tersenyum miring meringis karena merasa malu sudah dipergoki seperti itu. “Hahaha.. Kayaknya di dalam tempe ini ga pakai bumbu ganja deh. Kok bisa .. itu.. kamu seperti tadi tuh.. Bengong begitu?”ucap Lili. “Ya.. Enak banget. Enak banget kok tempenya,”ucap Ridwan. “Oh iya. Di dekat simpang lapangan tembak ada restoran baru loh. Menu-menu makanan di sana enak-enak banget. Kamu suka seafood ga?”ucap Ridwan. “Iyaa... Suka bangeeeet! Cumi, cuminya diasam-pedas. Emmm.. Yummy!”ucap Lili bernada manja. “Ya sudah. Lain waktu aku ajak kamu ke sana ya? Di
Sepekan kemudian. Suatu sore pukul 15.30 di teras rumah Lili. Ia sedang memetik senar gitar bernada akustik diiringi suara hujan. “Halo?”Lili mengangkat panggilan telepon melalui ponselnya. “Aku sudah kembali. Malam ini kita bertemu, ya? Aku sudah tidak sabar memenuhi janjiku kepadamu,”ucap seorang pemuda melalui percakapan telepon itu. Lili terdiam. Lingkungan tiba-tiba terasa hening baginya. Semua yang bergerak di sekelilingnya terasa melambat. Perasaan tak menentu dan lebih tepatnya adalah sebuah kesedihan menyerang hatinya. Lili tidak lagi menyimak suara orang yang berbicara di ponselnya itu. Tanpa sadar genggaman tangan Lili terhadap ponselnya melemah. “Bruuuk..”ponsel terjatuh ke lantai. Ia tidak mempedulikan ponselnya. Lili mengubah posisi tubuhnya dari duduk menjadi berdiri. Lalu, dengan cepat ia melangkah menerobos hujan. Langkahnya terhenti di sebuah gorong-gorong di seberang jalan depan rumahnya.
Anak-anak kucing itu mengingatkannya dengan teman masa kecil Lili. Lili mencoba mengingat-ngingat apakah ada petunjuk terkait dengan identitas teman masa kecilnya itu, tapi ia tidak berhasil menemukannya. “Ibu.. Seandainya Ibu masih ada, aku akan menanyakannya kepadamu, Bu,”ucap Lili di dalam hati. Lili lalu tersentak melihat ponselnya tergeletak di lantai. Dengan cepat ia mengambilnya dan menekan-nekannya, ternyata ponselnya sudah mati. Ia kemudian menekan tombol power dan ponselnya pun hidup kembali. Lalu, Lili ingat bahwa ia tadi sedang bercakap dengan temannya di telepon. Kamudian, Lili menghubungi temannya itu kembali. “Halo?”ucap Ridwan dalam panggilan telepon. “Ridwan, maaf soal tadi. Obrolan kita terputus tiba-tiba. Ponselku tadi habis jatuh,”ucap Lili. “Jatuh? Memangnya tadi kamu lagi ngapain?”ucap Ridwan. “Emh.. Hehe.. Ga penting juga sih, jadi ga usah terlalu dipikirin. By the way tadi kamu bilang kam
Wandi dan asisten Azmi sedang serius membahas sesuatu di sebuah ruangan di dalam hotel. “Sudah ku duga. Kita lihat nanti. Dalam waktu kurang dari 40 hari aku akan membuka kedok mereka,”ucap Wandi mantap. “Apa Tuan? Anda akan melakukannya lagi?”ucap asisten Azmi. Wandi adalah pewaris pekerjaan ayahnya sebagai pemegang sebagian besar saham pada perusahaan pengembang pariwisata. Kematian ayahnya dua tahun yang lalu membuat dia menggantikan posisi ayahnya di perusahaan itu. Meskipun Wandi berada pada posisi atas, namun ia tidak segan untuk turun langsung ke lapangan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan teknis karyawan-karyawannya. Beberapa kali Wandi menemukan kecurangan dan pemalsuan laporan yang dilakukan oleh beberapa direktur di perusahaannya. Hal itu ia dapatkan dari hasil perhitungan langsung ketika ia turun langsung mengerjakan pekerjaan-pekerjaan karyawan. Sempat terlintas di ingatan Wandi ketika ia sedang berbicara dengan
Laju motor matic Lili berhenti di sebuah restoran seafood yang baru saja buka beberapa pekan lalu. Ridwan sebelumnya berjanji kepada Lili agar mendatanginya bersama. Lili memarkirkan motornya kemudian masuk ke dalam restoran. Begitu sampai di pintunya, salah seorang pelayan menyapanya. Pelayan muda dengan senyumnya yang menawan, dengan rambut yang diminyaki rapi diikat ke belakang. Seragamnya berwarna hitam putih dan berdasi kupu-kupu. Lili melihat ke sekeliling dan memandangi penampilan pelayan yang tampak formal itu. Landsace restoran begitu indah. Beberapa sudut di plafon atas dihiasi oleh ornamen tumbuhan rambat yang rindang. Kursi dan meja begitu antik, terbuat dari kayu-kayu berukiran mewah dan glossy. Di atas kursi keras itu terdapat selapis bantalan empuk yang merekat erat dengannya. “Indah sekali.. Pelayan ini! Orang-orang itu! Aku datang ke sini dengan pakaian seperti ini. Apakah aku salah kostum?”ucap Lili kemudian melihat busana casualnya di a