Beberapa waktu pun berlalu. Pengarahan dari dosen koordinator sudah selesai. Beberapa pemuda kemudian berdiri dan saling mengeluarkan suara lantang.
“Kelompok Pahawang bisa berkumpul di sini!”
ucap Ridwan.“Kelompok Mesuji.. mana yang kelompok Mesuji?”
“Liwa sini Liwa!”“Maringgai? Ada yang Maringgai?”suara para pemuda yang diperkirakan sebagai ketua kelompok itu terdengar meriuh memecah suasana hening semasa pengarahan dari dosen tadi.Suasana ruangan itu kemudian riuh dengan suara-suara pertanyaan para mahasiswa dan seretan kursi lipat di lantai.
Ridwan, Ronco, Lili, Riris, Rianti, Wandi, dan Emmy pun berkumpul duduk membentuk lingkaran. Mereka saling memandang satu sama lain, mencoba mengenali wajah teman-teman sekelompoknya.
Emmy dan Rianti saling melempar senyum. Ronco dan Riris memperhatikan Ridwan bicara memberi informasi. Sedangkan, Wandi hanya sibuk pada ponsel yang ia pegang sedari tadi. Lili memandangi Wandi dengan sedikit kesal.
Setelah itu mereka saling berkoordinasi dalam satu grup W******p. Ada yang saling bertukar nomor WA antar pribadi, dan ada pula yang mengobrol akrab perihal pendapat mereka mengikuti program mahasiswa yang langsung terjun ke masyarakat pelosok itu.
Lili hanya bicara secukupnya. Yang terpenting adalah ia sudah dimasukkan ke dalam grup WA untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.
Lili adalah mahasiswi yang paling detil memperhatikan dokumen. Ia sudah hafal isi buku panduan yang dibagikan karena sebelum acara pembekalan tadi dimulai, ia menyempatkan diri untuk membacanya sambil menunggu acara dimulai.
“Aduh, gimana ya kalau saat di lokasi sewaktu-waktu ada di antara kita yang punya keperluan pribadi urgent banget jadi harus pulang?”
tanya Rianti.“Kalau seperti itu, maka semua anggota kelompok harus mengetahui salah seorang yang akan ijin pulang itu. Nanti di sana kan akan ada semacam induk semang. Nah, orang yang akan ijin pulang bersama ketua kelompok wajib berdiskusi dulu dengan induk semang,”
jelas Lili dengan nada yang mantap.“By the way, Mbak. Kok elu tahu banget sih? emang Mbak sudah pernah ikut KKN sebelumnya ya?”
tanya Emmy kepada Lili.“Enggak. Ini KKN pertama saya juga. Saya tadi sempat baca buku ini. Di sini dijelaskan kok,”
ucap Lili sambil mengangkat buku panduan KKN.“Hemh.. Rajin,”
ucap Wandi sambil tersenyum miring seolah sedang mengolok Lili.“Ya memang benar sih. Buku ini kan memang untuk dibaca. Kayaknya kita semua memang seharusnya baca buku ini sampai khatam sebelum berangkat,”
ucap Ronco.“Yup, bener banget. Tapi teman-teman yang lain juga jangan ragu untuk membantu anggota yang kebingungan atau butuh bantuan. Ingat, kita ada dalam satu tim,”
ucap Ridwan.“Dan bagi yang butuh bantuan.... juga jangan gengsi bilang ke teman-teman lain kalau sedang butuh bantuan! Jangan gengsi apalagi sok jago!”
ucap Riris sambil melirik tajam ke arah Wandi.“Hah?”
Wandi tertawa kecil sambil menunjuk ke wajahnya sendiri. Ia lalu memalingkan wajah dengan mimik sombong dari arah Riris.Proses saling mengenal pada pertemuan pertama antara mahasiswa itu berlangsung tidak begitu mulus. Masing-masing masih saling mempertahankan ego mereka.
“Aduh.. Tipe-tipe mahasiswa yang begini ni yang akan jadi beban kelompok! Kenapa aku harus satu kelompok dengan orang ini sih?”
keluh Lili membatin sambil memandangi Wandi.“Gayanya sombong sekali. Ih, caranya memegang ponsel pun seperti itu. Biar apa sih? Biar semua orang tahu kalau ponsel itu ada logo apelnya? Memangnya dia siapa sih? Anak sultan?”
ucap Lili membatin.“Lihat saja nanti. Menurut pengalamanku, orang yang sombong seperti ini akan susah menyesuaikan diri di pelosok. Ya, ampun.. Sepertinya benar, dia adalah beban dalam kelompok ini,”
ucap Lili membatin lalu memejam dan menepuk keningnya dengan telapak tangannya.“Lu kenapa, Mbak Li?”
tanya Riris yang memperhatikan Lili.“Enggak.. Enggak apa-apa. Kurang minum aja kayaknya. Jadi agak pusing sedikit gitu,”
jawab Lili kepada Riris lalu melirik Wandi.******
Di halaman gedung usai keluar dari ruangan pada acara pembekalan KKN tadi.
“Syiiiiiiiiiiiiit...” (suara rem sepeda mountain-bike Lili)
“Ya ampun! Matanya kemana sih Mas?”
ucap Lili kesal kepada Wandi yang berjalan sambil memandangi ponsel yang ia pegang.Wandi terus saja berjalan tanpa memberikan respon apapun kepada Lili. Lili masih berhenti dan memandangi Wandi.
Wandi berjalan menuju tempat parkir mobil. Ia merogoh sakunya kemudian menekan remot yang membuat lampu mobil double gardan-nya berkedip dan berdecit.
“Oh, jadi benar. Ternyata dia anak sultan! Awas saja nanti kalau sampai merepotkanku di lapangan!”
ucap Lili kesal.“Wey.. Asik benar gaya Lo, Li. Pakai MTB ke kampus. Lo cewek loh padahal,”
ucap Ridwan yang tiba-tiba hadir mengejutkan Lili yang sedang memandangi Wandi dari kejauhan.“Eh, Pak Ketua. Biasa aja sih, saya memang suka pakai ini di kampus,”
ucap Lili.“Eh, tunggu! Tadi kamu bilang ‘aku cewek’. Memangnya kenapa kalau cewek? Apakah aneh kalau cewek pakai MTB?”
tanya Lili.“Hehe.. Sekarang elo ada di mana, coba elo perhatikan! Lihat tuh, cewek-cewek sini tunggangannya roda empat. Takut kulitnya terbakar matahari,”
ucap Ridwan yang melemparkan pandangan mereka ke sekeliling.“Hehe.. Iya.. Kalau begitu saya akan kembali ke habitat dulu. Saya duluan ya Pak Ketua..”
ucap Lili pamit. Ia kemudian langsung mengayuh sepedanya pergi.“Lain kali jangan panggil gua ‘Pak Ketua’ lagi ya!”
teriak Ridwan kepada Lili yang sudah beranjak pergi.Lili lalu merentangkan tangan kanannya dan menunjukkan jempolnya sambil memunggungi Ridwan.
Suatu pagi pukul 7.05 di kantin pinggir kolam kampus. Lili mengendarai sepeda MTB dengan santai. Ia berhenti di depan kantin dan memarkirkan sepedanya tidak jauh dari tempat duduk yang rencananya akan ia pilih untuk ia tempati. Pagi ini rencananya kelompok KKN Pulau Pahawang akan melangsungkan pertemuan untuk membicarakan persiapan keberangkatan. “Bibi Sari, kopi susu satu ya..”ucap Lili sambil berjalan menuju tempat duduk. Lili lalu membukan helm dan tas kecilnya kemudian menaruhnya di meja. “Kopi susu siap,”ucap petugas kantin yang meninggalkan segelas kopi susu di meja kasir. Belum sempat Lili mengambilnya, segelas kopi susu itu lalu diambil oleh seseorang yang baru datang. Dia adalah Wandi. Wandi datang langsung membawa kopi itu dan duduk di tempat duduk tepi kolam. Lili sudah berjalan menuju kasir, namun langkahnya tidak mampu menjemput kopi susu pesanannya itu. “Ya ampun! Ada yang nyelonong ngambil pesanan
Setelah lama menunggu, Lili tidak juga mendapat kepastian dari teman-temannya. Lili yang sejak tadi sibuk mengendarai sepeda MTB-nya tidak kunjung memeriksa ponselnya. Merasa jenuh menunggu, akhirnya Lili memeriksa ponselnya itu. Ia mengeluarkannya dari tas kecilnya kemudian menekan-nekan layarnya. “Pertemuan kita ditunda sore saja, ya? Mengingat banyak yang ga bisa hadir pagi ini,”pesan WA yang dibaca Lili. Lili lalu mekalukan scroll chat ke atas. Tampak di sana beberapa respon dari aggota lainnya yang tiba-tiba memberikan informasi perihal ketidakhadiran mereka. “Astaga.. Kenapa ga daritadi WAG ini aku buka? Sudah menghabiskan waktu seperti ini. Ah! Menyebalkan sekali. Selain menunggu sia-sia, minumanku pun dirampok oleh orang aneh itu,”gumam Lili kesal. Lili lalu langsung dengan cepat mengenakan tas kecil dan helm sepedanya. Ia kemudian pergi dengan mengendarai sepeda dengan kecepatan yang lebih tinggi. **** Sore hari pu
“Bro.. Sis.. Gua duluan ya!”ucap Ronco, orang terakhir yang masih tinggal di sana. Ia kemudian pergi. “Oke, hati-hati di jalan!”ucap Lili. Lili lalu mengeluarkan dua botol soda itu dan menaruhnya di hadapannya dan di hadapan Wandi. Demikian juga cokelat yang ada di sana. “Nih, aku minum ya?”ucap Lili kemudian menenggak sebotol soda tanpa jeda. “Oke, minumannya sudah habis. Sekarang cokelatnya..”ucap Lili kemudian menyobek bungkus cokelat itu dan menggigitnya dengan potongan yang besar-besar. “Saya mohon..”ucap Wandi pelan. “Hah? Apa?”tanya Lili heran. Ia kemudian menghentikan aktivitas makannya dan mendenarkan Wandi dengan seksama. “Saya mohon, kamu jangan membicarakan apa yang terjadi dengan tangan saya kepada orang lain,”ucap Wandi pelan. “Jangan-jangan, dia benar-benar pengguna narkoba?”gumam Lili. “Oke..”ucap Lili kemudian menyatukan ujung telunjuk dan ujung jempolnya dan
Suatu sore, pukul 16.09 bertempat halaman belakang gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM). Lili sedang berada di hadapan arena wall climbing. Rambut panjangnya sedang digulung di dalam helm. Tubuh bagian bawahnya dibalut rangkaian body harness. Tangannya begitu mahir menarik ulur belay device. Ia sedang menunggui temannya yang berada di atas dan hendak menuju puncak. Kepala Lili menengadah memperhatikan temannya itu sambil menarik ulur tali. Leher rampingnya basah, hasil dari tetesan keringat dari kepalanya. “Tangan kanan! Kanan! Salah itu! Balik lagi coba. Pegang yang di bawahnya lagi!”teriak Lili mengarahkan temannya yang berada di 13 meter di atasnya. Ridwan menonton dan menunggu Lili dari tepi arena. Lili menyeka keringat di keningnya. Ia menggerak-gerakkan lehernya untuk melemaskannya. Tanpa sengaja Lili kemudian melihat Ridwan. Lili pun melambai pada Ridwan dan meneruskan kegiatannya. Ridwan membalas lambaian tangan Lili sambil te
Setelah Lili menyuapinya sepotong tempe, bagi Ridwan dunia seolah melambat. “Gimana? Enak banget khan?”ucap Lili. Lili lalu mendapati Ridwan sedang melamun memandanginya. Lili lalu melambaikan telapak tangannya di depan wajah Ridwan. “Halo? Halo halo? Hai? Halo halo hai hai? Mas! Mas bangun mas!”ucap Lili. Ridwan lalu tersentak dari lamunannya. Ia tersenyum miring meringis karena merasa malu sudah dipergoki seperti itu. “Hahaha.. Kayaknya di dalam tempe ini ga pakai bumbu ganja deh. Kok bisa .. itu.. kamu seperti tadi tuh.. Bengong begitu?”ucap Lili. “Ya.. Enak banget. Enak banget kok tempenya,”ucap Ridwan. “Oh iya. Di dekat simpang lapangan tembak ada restoran baru loh. Menu-menu makanan di sana enak-enak banget. Kamu suka seafood ga?”ucap Ridwan. “Iyaa... Suka bangeeeet! Cumi, cuminya diasam-pedas. Emmm.. Yummy!”ucap Lili bernada manja. “Ya sudah. Lain waktu aku ajak kamu ke sana ya? Di
Sepekan kemudian. Suatu sore pukul 15.30 di teras rumah Lili. Ia sedang memetik senar gitar bernada akustik diiringi suara hujan. “Halo?”Lili mengangkat panggilan telepon melalui ponselnya. “Aku sudah kembali. Malam ini kita bertemu, ya? Aku sudah tidak sabar memenuhi janjiku kepadamu,”ucap seorang pemuda melalui percakapan telepon itu. Lili terdiam. Lingkungan tiba-tiba terasa hening baginya. Semua yang bergerak di sekelilingnya terasa melambat. Perasaan tak menentu dan lebih tepatnya adalah sebuah kesedihan menyerang hatinya. Lili tidak lagi menyimak suara orang yang berbicara di ponselnya itu. Tanpa sadar genggaman tangan Lili terhadap ponselnya melemah. “Bruuuk..”ponsel terjatuh ke lantai. Ia tidak mempedulikan ponselnya. Lili mengubah posisi tubuhnya dari duduk menjadi berdiri. Lalu, dengan cepat ia melangkah menerobos hujan. Langkahnya terhenti di sebuah gorong-gorong di seberang jalan depan rumahnya.
Anak-anak kucing itu mengingatkannya dengan teman masa kecil Lili. Lili mencoba mengingat-ngingat apakah ada petunjuk terkait dengan identitas teman masa kecilnya itu, tapi ia tidak berhasil menemukannya. “Ibu.. Seandainya Ibu masih ada, aku akan menanyakannya kepadamu, Bu,”ucap Lili di dalam hati. Lili lalu tersentak melihat ponselnya tergeletak di lantai. Dengan cepat ia mengambilnya dan menekan-nekannya, ternyata ponselnya sudah mati. Ia kemudian menekan tombol power dan ponselnya pun hidup kembali. Lalu, Lili ingat bahwa ia tadi sedang bercakap dengan temannya di telepon. Kamudian, Lili menghubungi temannya itu kembali. “Halo?”ucap Ridwan dalam panggilan telepon. “Ridwan, maaf soal tadi. Obrolan kita terputus tiba-tiba. Ponselku tadi habis jatuh,”ucap Lili. “Jatuh? Memangnya tadi kamu lagi ngapain?”ucap Ridwan. “Emh.. Hehe.. Ga penting juga sih, jadi ga usah terlalu dipikirin. By the way tadi kamu bilang kam
Wandi dan asisten Azmi sedang serius membahas sesuatu di sebuah ruangan di dalam hotel. “Sudah ku duga. Kita lihat nanti. Dalam waktu kurang dari 40 hari aku akan membuka kedok mereka,”ucap Wandi mantap. “Apa Tuan? Anda akan melakukannya lagi?”ucap asisten Azmi. Wandi adalah pewaris pekerjaan ayahnya sebagai pemegang sebagian besar saham pada perusahaan pengembang pariwisata. Kematian ayahnya dua tahun yang lalu membuat dia menggantikan posisi ayahnya di perusahaan itu. Meskipun Wandi berada pada posisi atas, namun ia tidak segan untuk turun langsung ke lapangan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan teknis karyawan-karyawannya. Beberapa kali Wandi menemukan kecurangan dan pemalsuan laporan yang dilakukan oleh beberapa direktur di perusahaannya. Hal itu ia dapatkan dari hasil perhitungan langsung ketika ia turun langsung mengerjakan pekerjaan-pekerjaan karyawan. Sempat terlintas di ingatan Wandi ketika ia sedang berbicara dengan