“Pertemuan kita ditunda sore saja, ya? Mengingat banyak yang ga bisa hadir pagi ini,”
pesan WA yang dibaca Lili.Lili lalu mekalukan scroll chat ke atas. Tampak di sana beberapa respon dari aggota lainnya yang tiba-tiba memberikan informasi perihal ketidakhadiran mereka.
“Astaga.. Kenapa ga daritadi WAG ini aku buka? Sudah menghabiskan waktu seperti ini. Ah! Menyebalkan sekali. Selain menunggu sia-sia, minumanku pun dirampok oleh orang aneh itu,”
gumam Lili kesal.Lili lalu langsung dengan cepat mengenakan tas kecil dan helm sepedanya. Ia kemudian pergi dengan mengendarai sepeda dengan kecepatan yang lebih tinggi.
****
Sore hari pukul 16.09.
Lili kembali datang ke kantin tepi kolam itu. Kini kondisi berbeda, ketika Lili sampai maka teman-teman sekelompoknya sudah ada di situ.Wandi berdiri di depan meja kasir. Ia memesan minuman cola. Dengan tiba-tiba Lili datang mengambil minuman yang baru saja diletakkan oleh petugas kantin itu.
“Anggap saja kamu bayar hutan kopi susu tadi pagi,”
ucap Lili sambil tersenyum kepada Wandi. Ia memberikan sebuah senyuman basa-basi yang dipaksakan.Wandi lalu mengenyitkan dahi dan menggaruk kepalanya.
“Kok bisa-bisanya saya berhutang sama kamu?”ucap Wandi kebingungan.“Astaga, masih mudah sudah pikun. Bibi Sari..”
ucap Lili.“Ya, Say? Ada apa?”
ucap petugas kantin itu.“Dia orang yang tiba-tiba merebut kopi susu pesananku bukan?”
tanya Lili kepada Bibi Sari.“Iya benar. Si Say cantik inilah yang kemudian membayarnya,”
ucap petugas kantin kepada mereka berdua.“Asssh.. Lupa!”
gumam Wandi sambil mengenyitkan dahi dan mengetuk-ngetuk kepalanya pelan.“Tidak hanya pikun! Bahkan sekarang pun amnesia. Isss.. Kasihan sekali,”
ucap Lili yang lalu meninggalkan Wandi membawa minuman cola itu. Lili pergi menghampiri teman-temannya yang sudah berkumpul itu.Wandi kemudian memesan ulang minuman untuknya. Kemudian, ia mendatangi teman-temannya itu dan duduk sedikit berjauhan dengan Lili.
“Sebelum kita benar-benar berangkat. Seperti kelompok lainnya, kita perlu menyurvey lokasi itu terlebih dahulu. Bagaimana menurut teman-teman,”
ucap Ridwan membuka pembahasan.Sebagian besar anggota pun menyetujuinya sehingga survey pun diputuskan akan dilakukan.
“Saya rasa dua orang saja sudah cukup untu melakukan survey,”
ucap Ronco.“Dan.. lebih baik dilakukan oleh laki-laki saja,”
ucap Riris.“Iya, setuju! Laki-laki saja yang berangkat survey,”
ucap Rianti.“Nah, tadinya gua pikir memang seperti itu. Lebih baik laki-laki yang survey,”
ucap Ridwan.“Wandi?”
panggil Emmy.“Ogah! Saya ga mau ikut survey,”
ucap Wandi dengan mata yang tertuju pada ponsel.“Bukan masalah itu yang gua akan bilang ke elo!”
ucap Emmy geram lalu menggeretak gigi grahamnya.“Lalu, apa?”
tanya Wandi.“Hargai kami di sini! Simpan ponselmu itu! Daritadi gua perhatikan elo sibuk main ponsel terus!”
ucap Emmy.“Oh! Oke! Done!”
ucap Wandi yang telah menaruh ponsel di tasnya.Mereka pun melanjutkan perbincangan mereka. Lili terpergoki Wandi bahwa Lili tadi memandanginya. Wandi lalu tersenyum meledek ke arah Lili. Lili melirik ekspresi ledekan Wandi itu lalu pura-pura tidak melihatnya.
****
Pertemuan kemudian usai. Pertemuan mereka berikutnya akan membahas mengenai hasi survei yang dilakukan Ronco dan Ridwan.Lili kemudian hendak beranjak pergi. Ia menegakkan sepedanya yang terparkir dengan bersandar miring pada sebuah tiang.
Tiba-tiba dari arah belakang Wandi menyodorkan seplastik berisi dua buah botol cola dan dua bungkus cokelat batang.
“Apa ini?”
ucap Lili sambil menoleh ke arah Wandi.“Saya tidak terbiasa berhutang. Ini bayaran atas kejadian tadi pagi,”
ucap Wandi.“Heh heh... Pikunmu sedang kumat lagi. Bukannya tadi kita sudah impas? Aku sudah mengambil cola pesananmu?”
ucap Lili meledek Wandi.“Tidak cukup!”
ucap Wandi.“Apa? Tidak cukup apa?”
tanya Lili heran.“Saya minta maaf sudah membuatmu tidak nyaman dengan kelakuan saya,”
ucap Wandi yang menyodok bingkisan itu ke lengan Lili.“Oh! Oke..”
ucap Lili sambil kembali menyandarkan sepedanya.Lili lalu menerima bingkisan yang diberikan Wandi. Lili mengintip isi plastik berwarna gelap itu.
“Wah? Minuman soda dua, cokelat dua.. Banyak sekali kalori yang akan masuk ke dalam tubuhku,”
ucap Lili.“Namun, aku akan tetap mengucapkan terima kasih kepadamu. Kamu sudah menunjukkan etikad yang baik,”
ucap Lili sambil melayangkan senyum kepada Wandi.“Salah,”
ucap Wandi.“Eh? Salah? Yang mana..”
ucap Lili bingung.“Itu untuk kita minum dan makan berdua. Tinggallah sebentar lagi di sini. Biarkan mereka semua pergi dulu. Tinggallah bersamaku di kantin ini,”
ucap Wandi.“Ah! Aku benar-benar tidak mengerti denganjalan pikiranmu! Begitu membingungkan. Apakah semua orang filsafat sepertimu?”
keluh Lili yang berjalan kembali ke tempat duduk di kantin. Wandi pun mengikutinya.“Bro.. Sis.. Gua duluan ya!”ucap Ronco, orang terakhir yang masih tinggal di sana. Ia kemudian pergi. “Oke, hati-hati di jalan!”ucap Lili. Lili lalu mengeluarkan dua botol soda itu dan menaruhnya di hadapannya dan di hadapan Wandi. Demikian juga cokelat yang ada di sana. “Nih, aku minum ya?”ucap Lili kemudian menenggak sebotol soda tanpa jeda. “Oke, minumannya sudah habis. Sekarang cokelatnya..”ucap Lili kemudian menyobek bungkus cokelat itu dan menggigitnya dengan potongan yang besar-besar. “Saya mohon..”ucap Wandi pelan. “Hah? Apa?”tanya Lili heran. Ia kemudian menghentikan aktivitas makannya dan mendenarkan Wandi dengan seksama. “Saya mohon, kamu jangan membicarakan apa yang terjadi dengan tangan saya kepada orang lain,”ucap Wandi pelan. “Jangan-jangan, dia benar-benar pengguna narkoba?”gumam Lili. “Oke..”ucap Lili kemudian menyatukan ujung telunjuk dan ujung jempolnya dan
Suatu sore, pukul 16.09 bertempat halaman belakang gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM). Lili sedang berada di hadapan arena wall climbing. Rambut panjangnya sedang digulung di dalam helm. Tubuh bagian bawahnya dibalut rangkaian body harness. Tangannya begitu mahir menarik ulur belay device. Ia sedang menunggui temannya yang berada di atas dan hendak menuju puncak. Kepala Lili menengadah memperhatikan temannya itu sambil menarik ulur tali. Leher rampingnya basah, hasil dari tetesan keringat dari kepalanya. “Tangan kanan! Kanan! Salah itu! Balik lagi coba. Pegang yang di bawahnya lagi!”teriak Lili mengarahkan temannya yang berada di 13 meter di atasnya. Ridwan menonton dan menunggu Lili dari tepi arena. Lili menyeka keringat di keningnya. Ia menggerak-gerakkan lehernya untuk melemaskannya. Tanpa sengaja Lili kemudian melihat Ridwan. Lili pun melambai pada Ridwan dan meneruskan kegiatannya. Ridwan membalas lambaian tangan Lili sambil te
Setelah Lili menyuapinya sepotong tempe, bagi Ridwan dunia seolah melambat. “Gimana? Enak banget khan?”ucap Lili. Lili lalu mendapati Ridwan sedang melamun memandanginya. Lili lalu melambaikan telapak tangannya di depan wajah Ridwan. “Halo? Halo halo? Hai? Halo halo hai hai? Mas! Mas bangun mas!”ucap Lili. Ridwan lalu tersentak dari lamunannya. Ia tersenyum miring meringis karena merasa malu sudah dipergoki seperti itu. “Hahaha.. Kayaknya di dalam tempe ini ga pakai bumbu ganja deh. Kok bisa .. itu.. kamu seperti tadi tuh.. Bengong begitu?”ucap Lili. “Ya.. Enak banget. Enak banget kok tempenya,”ucap Ridwan. “Oh iya. Di dekat simpang lapangan tembak ada restoran baru loh. Menu-menu makanan di sana enak-enak banget. Kamu suka seafood ga?”ucap Ridwan. “Iyaa... Suka bangeeeet! Cumi, cuminya diasam-pedas. Emmm.. Yummy!”ucap Lili bernada manja. “Ya sudah. Lain waktu aku ajak kamu ke sana ya? Di
Sepekan kemudian. Suatu sore pukul 15.30 di teras rumah Lili. Ia sedang memetik senar gitar bernada akustik diiringi suara hujan. “Halo?”Lili mengangkat panggilan telepon melalui ponselnya. “Aku sudah kembali. Malam ini kita bertemu, ya? Aku sudah tidak sabar memenuhi janjiku kepadamu,”ucap seorang pemuda melalui percakapan telepon itu. Lili terdiam. Lingkungan tiba-tiba terasa hening baginya. Semua yang bergerak di sekelilingnya terasa melambat. Perasaan tak menentu dan lebih tepatnya adalah sebuah kesedihan menyerang hatinya. Lili tidak lagi menyimak suara orang yang berbicara di ponselnya itu. Tanpa sadar genggaman tangan Lili terhadap ponselnya melemah. “Bruuuk..”ponsel terjatuh ke lantai. Ia tidak mempedulikan ponselnya. Lili mengubah posisi tubuhnya dari duduk menjadi berdiri. Lalu, dengan cepat ia melangkah menerobos hujan. Langkahnya terhenti di sebuah gorong-gorong di seberang jalan depan rumahnya.
Anak-anak kucing itu mengingatkannya dengan teman masa kecil Lili. Lili mencoba mengingat-ngingat apakah ada petunjuk terkait dengan identitas teman masa kecilnya itu, tapi ia tidak berhasil menemukannya. “Ibu.. Seandainya Ibu masih ada, aku akan menanyakannya kepadamu, Bu,”ucap Lili di dalam hati. Lili lalu tersentak melihat ponselnya tergeletak di lantai. Dengan cepat ia mengambilnya dan menekan-nekannya, ternyata ponselnya sudah mati. Ia kemudian menekan tombol power dan ponselnya pun hidup kembali. Lalu, Lili ingat bahwa ia tadi sedang bercakap dengan temannya di telepon. Kamudian, Lili menghubungi temannya itu kembali. “Halo?”ucap Ridwan dalam panggilan telepon. “Ridwan, maaf soal tadi. Obrolan kita terputus tiba-tiba. Ponselku tadi habis jatuh,”ucap Lili. “Jatuh? Memangnya tadi kamu lagi ngapain?”ucap Ridwan. “Emh.. Hehe.. Ga penting juga sih, jadi ga usah terlalu dipikirin. By the way tadi kamu bilang kam
Wandi dan asisten Azmi sedang serius membahas sesuatu di sebuah ruangan di dalam hotel. “Sudah ku duga. Kita lihat nanti. Dalam waktu kurang dari 40 hari aku akan membuka kedok mereka,”ucap Wandi mantap. “Apa Tuan? Anda akan melakukannya lagi?”ucap asisten Azmi. Wandi adalah pewaris pekerjaan ayahnya sebagai pemegang sebagian besar saham pada perusahaan pengembang pariwisata. Kematian ayahnya dua tahun yang lalu membuat dia menggantikan posisi ayahnya di perusahaan itu. Meskipun Wandi berada pada posisi atas, namun ia tidak segan untuk turun langsung ke lapangan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan teknis karyawan-karyawannya. Beberapa kali Wandi menemukan kecurangan dan pemalsuan laporan yang dilakukan oleh beberapa direktur di perusahaannya. Hal itu ia dapatkan dari hasil perhitungan langsung ketika ia turun langsung mengerjakan pekerjaan-pekerjaan karyawan. Sempat terlintas di ingatan Wandi ketika ia sedang berbicara dengan
Laju motor matic Lili berhenti di sebuah restoran seafood yang baru saja buka beberapa pekan lalu. Ridwan sebelumnya berjanji kepada Lili agar mendatanginya bersama. Lili memarkirkan motornya kemudian masuk ke dalam restoran. Begitu sampai di pintunya, salah seorang pelayan menyapanya. Pelayan muda dengan senyumnya yang menawan, dengan rambut yang diminyaki rapi diikat ke belakang. Seragamnya berwarna hitam putih dan berdasi kupu-kupu. Lili melihat ke sekeliling dan memandangi penampilan pelayan yang tampak formal itu. Landsace restoran begitu indah. Beberapa sudut di plafon atas dihiasi oleh ornamen tumbuhan rambat yang rindang. Kursi dan meja begitu antik, terbuat dari kayu-kayu berukiran mewah dan glossy. Di atas kursi keras itu terdapat selapis bantalan empuk yang merekat erat dengannya. “Indah sekali.. Pelayan ini! Orang-orang itu! Aku datang ke sini dengan pakaian seperti ini. Apakah aku salah kostum?”ucap Lili kemudian melihat busana casualnya di a
Lili memesan makanan di restoran bersama Ridwan. Begitu banyak menu yang dipesan, namun itu bukannya membuat Ridwan kesal, melainkan merasa gemas kepada Lili. “Ih, banyak amat? Kamu yakin? Nanti otot binaragamu meleleh loh sama lemak?”ucap Lili. “Hahaha.. Bisa saja. Ini akan kita makan sama-sama. Kamu bisa cicip dulu. Kalau ga suka ya ga akan aku habiskan,”ucap Ridwan sambil tertawa kecil. “Baik, minumannya Tuan?”ucap pelayan itu. “Aku mau ini,”ucap Lili. “Kalau aku ini saja. Oh iya, plus air mineral ya?”ucap Lili. Pelayan itu lalu berlalu. “Eh, ngomong-ngomong, gimana dengan survey kamu dan Ronco kemarin?”ucap Lili memulai perbincangan. “Asik! Serius asik banget di sana! Untuk penikmat alam seperti kamu Pulau Pahawang adalah destinasi wisata laut yang gini banget,”ucap Ridwan mengacungkan dua jempol. “Oh iya? Ih, jadi penasaran deh,”ucap Lili sambil menopang dagunya dengan kedua