"Saffa takut nabrak lagi, Mah." Gadis itu mendongak melihat ibunya yang memeluk dia. Embusan napas berat Alina mencerminkan kekhawatiran kepada putrinya yang masih trauma pasca kecelakaan. Aku dan Mama mencoba menenangkan Saffa, membujuk anak itu agar tidak takut naik mobil. "Saffa duduknya mau di depan aja, Mah. Biar Saffa tahu ada apa di depan. Dan jika nanti Tante Aruna mau nabrak, Saffa bisa kasih tahu," pinta Saffa pada ibunya. Baik Alina maupun aku dan Mama, tidak ada yang menolak keinginan anak itu. Dengan dibukakan pintu oleh ibunya, Saffa pun masuk dan duduk dengan kedua tangan memeluk boneka kesayangannya. Mobil mulai melaju meninggalkan area rumah sakit. Kali ini aku tidak ngebut, juga sangat hati-hati mengendarai mobil agar Saffa merasa nyaman dan aman. Kecelakaan itu tidak akan terjadi lagi. Setelah beberapa saat kemudian, sampailah kami di rumah Alina. Dan kepulangan Saffa, disambut senang oleh Bunda Nur dan Syafiq, juga dua wanita muda yang entah aku tidak tau si
Rasa panas dan sakit menjalar di kulit pipi hingga menusuk ke ulu hati. Kuusap pipi seraya mengangkat kepala melihat pada seseorang yang baru saja memberikan tamparannya di wajahku. Dia menatapku tajam, amarah terlihat jelas di kedua mata wanita paruh baya di depanku ini. "Mami Siska?" Aku menyebutkan namanya. "Kamu sudah sangat keterlaluan, Aruna!" Aku mundur satu langkah saat Mami Siska maju dengan mengacungkan telunjuk di wajahku. "Keterlaluan apa, Mam?" tanyaku tidak mengerti. Harusnya, akulah yang berucap demikian. Dia sudah keterlaluan memfitnahku hingga berdampak buruk terhadap perusahaan. "Kamu, kan yang telah melaporkan suami saya ke kantor polisi?!" "Bukan," jawabku singkat. "Bukan saya yang melaporkan suami Mami, tapi adik ipar saya. Mami tahu, kenapa Haikal dilaporkan?" "Saya tahu. Dia menyebarkan berita di sosial media mengenai perusahaan Pak Dinata dan Adikara. Tapi, kamu tidak tahu kenapa dia melakukan itu. Mas Haikal kecewa dan marah, karena Alina tidak mengi
Sesuatu yang tadi aku khawatirkan, kini terjadi juga. Mami Sidak, dia tergelatak di lantai dengan kedua mata yang tertutup. Gawat! Ini benar-benar sangat gawat. Jika terjadi sesuatu dengan Mami Siska, aku pasti akan jadi tersangka karena ini terjadi di rumahku. "Tolong!" Aku berteriak kencang memanggil siapa saja yang bisa membantuku membawa Mami Siska. Setidaknya, mengangkat tubuhnya yang berat ini. "Tolong! Mbak, Mas, tolong!!" Lagi-lagi aku berteriak, dan kali ini sampai berlari ke depan pintu. Dari arah seberang rumah, terlihat ada dua orang yang lari menghampiriku. Dia Rossa dan suaminya. Cepat-cepat aku menyuruh mereka membantuku mengangkat tubuh Mami Siska ke atas sofa. "Kenapa bisa begini, Mbak Aruna?" tanya suami Rossa. "Saya juga tidak tahu, Mas. Tadi saya tinggal ke dapur, tapi pas saya kembali, Mami Siska sudah tergeletak di bawah.""Astaghfirullahaladzim, ini bukannya suami Mami Siska? Apa gara-gara ini dia pingsan?" Rossa yang melihat ada banyak foto Haikal di at
"Enak?" Aldi mengangguk menjawab pertanyaanku. "Dagingnya empuk, bumbunya juga terasa banget sampai ke dalam. Gurih manis," ujar Aldi seraya menyuapkan gulai sapi ke mulutnya. "Enakan mana sama yang tadi?" Aldi menatapku dengan sebelah alis yang terangkat. Kubalas tatapan itu dengan sedikit melebarkan mata ke arahnya. Suamiku berdehem. Dia mengambil gelas berisikan air, lalu menegaknya sedikit. "Yang tadi kita ....""Yang sup ayamnya, Bang. Enakan mana sama itu?" ujarku mendahului ucapan Aldi yang menggantung. "Oh, sup ayam?" Aldi terkekeh. "Abang kita yang lain."Aku mengulum senyum seraya mendelikkan mata pada suamiku yang pikirannya berkelana. Aldi kembali melihat ke arahku hingga mata kami saling bertemu. Tawa pun tercipta membuat suasana menjadi tidak biasa. Sepertinya pikiranku dan dia sedang sama-sama pada momen yang sama. Di mana, kami yang baru saja melakukan hal m wwwenyenangkan sebagai suami istri. Menjadi tidak biasa, karena dilakukan di tempat yang tak biasa jug
"Pagi, Sayang."Aku tersenyum saat kedua tangan Aldi melingkar di pinggang. Namun, saat kuingat lagi tentang malam tadi, segera aku singkirkan tangan suamiku, lalu menghindarinya. Sakit. Hatiku perih mendengar dia menyebut nama mantan istrinya. "Kenapa?" tanyanya seraya bergeming. "Aku mau ambil piring, Bang. Tanganku tidak sampai kalau mengambil dari sana." Aku mengacungkan piring keramik yang sudah ada di genggaman. Dengan seulas senyum getir. Aldi membulatkan mulut. Kemudian dia duduk di kursi meja makan, lalu menyeruput kopi yang sudah aku hidangkan. Kutatap punggung itu dengan hati yang terkoyak. Sudah lumayan lama aku menjadi istrinya. Sudah lama juga Rindu meninggal dunia dengan segala cerita di dalamnya. Namun, kenapa suamiku masih mengingat dia, bahkan sampai mengigau menyebutkan namanya? "Run, kemarin aku pesan karpet permadani, mungkin hari ini akan datang. Sebaiknya kamu di rumah saja, ya?" Aku mengerjapkan mata, lalu berbalik badan menghindari tatapan Aldi. Tanga
Aku menggaruk kepala seraya melihat meja kerjaku penuh dengan buket bunga. Mawar merah, mawar putih, anggrek, tulip, dengan berbagai warna. Bunga-bunga itu dikirim oleh orang yang sama, dengan kata-kata yang sama juga. Maaf. "Bu, permisi.""Bunga lagi?" tanyaku saat satpam datang menghampiri. Setelah bunga kedua, aku membiarkan pintu ruang terbuka. Dan ternyata, memang satpam itu terus datang seraya membawa bunga yang dikirim Aldi padaku. "Bukan, Bu. Kali ini kotak."Aku mengernyitkan kening seraya melihat pada benda yang dibawa penjaga pabrik ini. Aku mengambil kotak berukuran sedang dari tangan pria itu, lalu mempersilahkan dia pergi ke tempatnya bekerja. "Jangan bilang jika isinya bunga bangkai," kataku seraya membuka pita yang mengikat kotak tersebut. "Bang Aldi ...," lanjutku saat tahu isi dari kotak tersebut adalah cokelat. Tidak hanya ada satu atau dua, tapi banyak. Mungkin ada satu lusin batang cokelat di dalam kotak itu. Tidak ingin ada lagi kiriman untukku, akhirny
Langit sore ini begitu terlihat sangat cerah. Secerah hatiku yang sedang merasa bahagia. Pasalnya, hari ini adalah hari yang kutunggu. Di mana acara syukuran rumah telah berlangsung sejak beberapa menit yang lalu. Bahkan, acara sudah akan selesai.Seperti rencana awal, rumahku dipenuhi ibu-ibu pengajian, juga anak yatim yang sengaja kami undang untuk turut merasakan kebahagiaan atas rezeki yang telah Allah berikan untukku dan suami. Meskipun ada kesedihan atas keguguran yang menimpaku waktu itu, tapi tidak mengurangi rasa bahagia kami. Aku dan Aldi juga sudah ikhlas jika belum bisa menjadi orang tua, dan kami pun sedang belajar melupakan kejadian menyakitkan itu. "Sayang, bingkisannya akan segera dibagikan. Kamu mau ikut membagikannya?" tanya Aldi membuatku menoleh ke arah suamiku itu. "Oh, sudah mau pada pulang?" Aku mengangkat kepala, melihat Ustazah yang tadi memberikan tausiyah, sudah mengucapkan salam tanda pengajian telah selesai. Cepat-cepat aku menggeser dudukku mendekat
"Gak apa-apa, Bang, biar aku aja." Aku berdiri, lalu keluar dari ruang tengah menuju ruang tamu. Mataku sedikit menyipit kala melihat seorang wanita yang tengah duduk seorang diri di sofa. Aku tidak mengenalinya. "Maaf, Mbak yang mau ketemu saya?" ujarku membuat wanita itu mendongak."Ah, iya," ucapnya langsung berdiri. "Perkenalkan, saya Dewinta, anaknya Mami Siska." Aku mengangguk pelan seraya menerima uluran tangannya. Setelah menyebutkan nama diri, aku mempersilahkan dia duduk seiring dengan bokongku yang menyentuh sofa. "Sebelumnya, saya minta maaf karena sudah mengganggu waktunya Mbak Aruna, tapi ... karena memang ada hal yang ingin saya tahu dari Mbak Aruna.""Apa itu?" tanyaku kemudian. "Ini soal Mami, Mbak. Dan juga, soal Pak Haikal, suaminya." Wanita bernama Dewinta itu menarik napas panjang, lalu kembali bicara. "Kata Mami, katanya Mbak Aruna tahu semua tentang Pak Haikal. Punya bukti juga tentang perselingkuhan dan kenakalan beliau di luar rumah. Jika Mbak Aruna berke