"Pagi, Sayang."Aku tersenyum saat kedua tangan Aldi melingkar di pinggang. Namun, saat kuingat lagi tentang malam tadi, segera aku singkirkan tangan suamiku, lalu menghindarinya. Sakit. Hatiku perih mendengar dia menyebut nama mantan istrinya. "Kenapa?" tanyanya seraya bergeming. "Aku mau ambil piring, Bang. Tanganku tidak sampai kalau mengambil dari sana." Aku mengacungkan piring keramik yang sudah ada di genggaman. Dengan seulas senyum getir. Aldi membulatkan mulut. Kemudian dia duduk di kursi meja makan, lalu menyeruput kopi yang sudah aku hidangkan. Kutatap punggung itu dengan hati yang terkoyak. Sudah lumayan lama aku menjadi istrinya. Sudah lama juga Rindu meninggal dunia dengan segala cerita di dalamnya. Namun, kenapa suamiku masih mengingat dia, bahkan sampai mengigau menyebutkan namanya? "Run, kemarin aku pesan karpet permadani, mungkin hari ini akan datang. Sebaiknya kamu di rumah saja, ya?" Aku mengerjapkan mata, lalu berbalik badan menghindari tatapan Aldi. Tanga
Aku menggaruk kepala seraya melihat meja kerjaku penuh dengan buket bunga. Mawar merah, mawar putih, anggrek, tulip, dengan berbagai warna. Bunga-bunga itu dikirim oleh orang yang sama, dengan kata-kata yang sama juga. Maaf. "Bu, permisi.""Bunga lagi?" tanyaku saat satpam datang menghampiri. Setelah bunga kedua, aku membiarkan pintu ruang terbuka. Dan ternyata, memang satpam itu terus datang seraya membawa bunga yang dikirim Aldi padaku. "Bukan, Bu. Kali ini kotak."Aku mengernyitkan kening seraya melihat pada benda yang dibawa penjaga pabrik ini. Aku mengambil kotak berukuran sedang dari tangan pria itu, lalu mempersilahkan dia pergi ke tempatnya bekerja. "Jangan bilang jika isinya bunga bangkai," kataku seraya membuka pita yang mengikat kotak tersebut. "Bang Aldi ...," lanjutku saat tahu isi dari kotak tersebut adalah cokelat. Tidak hanya ada satu atau dua, tapi banyak. Mungkin ada satu lusin batang cokelat di dalam kotak itu. Tidak ingin ada lagi kiriman untukku, akhirny
Langit sore ini begitu terlihat sangat cerah. Secerah hatiku yang sedang merasa bahagia. Pasalnya, hari ini adalah hari yang kutunggu. Di mana acara syukuran rumah telah berlangsung sejak beberapa menit yang lalu. Bahkan, acara sudah akan selesai.Seperti rencana awal, rumahku dipenuhi ibu-ibu pengajian, juga anak yatim yang sengaja kami undang untuk turut merasakan kebahagiaan atas rezeki yang telah Allah berikan untukku dan suami. Meskipun ada kesedihan atas keguguran yang menimpaku waktu itu, tapi tidak mengurangi rasa bahagia kami. Aku dan Aldi juga sudah ikhlas jika belum bisa menjadi orang tua, dan kami pun sedang belajar melupakan kejadian menyakitkan itu. "Sayang, bingkisannya akan segera dibagikan. Kamu mau ikut membagikannya?" tanya Aldi membuatku menoleh ke arah suamiku itu. "Oh, sudah mau pada pulang?" Aku mengangkat kepala, melihat Ustazah yang tadi memberikan tausiyah, sudah mengucapkan salam tanda pengajian telah selesai. Cepat-cepat aku menggeser dudukku mendekat
"Gak apa-apa, Bang, biar aku aja." Aku berdiri, lalu keluar dari ruang tengah menuju ruang tamu. Mataku sedikit menyipit kala melihat seorang wanita yang tengah duduk seorang diri di sofa. Aku tidak mengenalinya. "Maaf, Mbak yang mau ketemu saya?" ujarku membuat wanita itu mendongak."Ah, iya," ucapnya langsung berdiri. "Perkenalkan, saya Dewinta, anaknya Mami Siska." Aku mengangguk pelan seraya menerima uluran tangannya. Setelah menyebutkan nama diri, aku mempersilahkan dia duduk seiring dengan bokongku yang menyentuh sofa. "Sebelumnya, saya minta maaf karena sudah mengganggu waktunya Mbak Aruna, tapi ... karena memang ada hal yang ingin saya tahu dari Mbak Aruna.""Apa itu?" tanyaku kemudian. "Ini soal Mami, Mbak. Dan juga, soal Pak Haikal, suaminya." Wanita bernama Dewinta itu menarik napas panjang, lalu kembali bicara. "Kata Mami, katanya Mbak Aruna tahu semua tentang Pak Haikal. Punya bukti juga tentang perselingkuhan dan kenakalan beliau di luar rumah. Jika Mbak Aruna berke
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda