Sejak tadi, Michael berusaha untuk mengendalikan diri walaupun Anaby terus memancingnya. Ia mencoba sekuat tenaga menjaga keteguhan. Namun, kini di hadapannya, Anaby berdiri seperti lukisan hidup yang menggoda nalurinya. Gaun yang tadi membalut tubuh mungil istrinya itu, kini telah melorot perlahan, jatuh membentuk lingkaran lembut di lantai. Yang tersisa hanyalah pakaian dalam berenda putih, tipis dan nyaris transparan, yang justru semakin menonjolkan keindahan kulit putihnya yang tak bercela.Pandangan Michael memburam. Darahnya berdesir liar, mengalir deras seperti arus yang tak bisa dibendung. Namun di tengah gelora hasrat itu, ia masih mampu berpikir jernih—atau setidaknya, berusaha. Ini bukan cara yang ia impikan untuk menyentuh wanita yang baru resmi menjadi istrinya. Tidak seperti ini. Bukan karena pengaruh zat asing yang mengaburkan kesadaran Anaby. Michael ingin menyentuh Anaby di saat sang istri benar-benar menginginkannya. Tatkala ia tahu bahwa Anaby menyerahkan diri b
Dengan tangan yang masih lemah, Anaby mengangkat topeng hitam dari wajah pria di sebelahnya. Ujung jarinya menyentuh kening sang pria, lalu menarik kain halus itu ke atas. Dan ketika paras tampan itu tersingkap sepenuhnya, sepasang mata yang penuh kecemasan menatap balik ke arahnya. Mata yang indah, milik pria yang baru beberapa waktu lalu ia panggil suami.Senyum melengkung di bibir Anaby, lembut seperti bisikan angin sore. Tangannya yang gemetar terulur, menyentuh pipi hangat di hadapannya. Membelai dengan penuh rasa, seperti tengah menyentuh harta yang telah lama hilang. "Benar, kan… kau suamiku," bisiknya penuh keyakinan, seakan kalimat itu adalah doa yang ia ucapkan setiap malam sebelum tidur.Michael menelusuri ekspresi Anaby yang sedikit kabur oleh pengaruh obat. Ia takjub—bukan hanya karena Anaby mengenalinya begitu cepat, tetapi karena betapa lembut dan jujurnya sentuhan itu."Bagaimana bisa kau tahu? Kita belum lama menikah, Ana…." Nada bicaranya tenang, tetapi dibaliknya
Dengan langkah terhuyung, Anaby mencoba bertahan di antara bayangan yang terus bergerak mengikuti irama waltz. Pijakan kakinya tak lagi mampu menopang tubuhnya yang terus melemah. Alhasil, Anaby masih bertaut pada pelukan pria bertopeng itu—yang belum melepaskannya sedari tadi.Keringat dingin mengalir dari pelipisnya, dan udara hangat ballroom terasa semakin berat untuk dihirup.“A–anda siapa...?” gumam Anaby lirih, nyaris tak terdengar. Suaranya pecah dan berat, seakan dihasilkan dari tenggorokan yang terlalu lama menahan beban. Tatapan mata Anaby kosong, hanya menyisakan setengah kesadaran yang tersisa. Namun, cukup untuk menyampaikan kebingungan yang menguasainya.Pria bertopeng itu tidak langsung menjawab. Pandangannya tertuju pada wajah pucat Anaby. Alisnya menaut tajam, seolah menakar sesuatu yang tidak terucap.“Apa yang kau minum tadi?” tanyanya penuh penekanan.“Sari buah… hanya itu…” jawab Anaby terputus-putus. Suaranya semakin serak, lalu kepala mungilnya terkulai ke bahu
Anaby meletakkan garpu perlahan, kemudian menatap gelas di hadapannya dengan penuh tanda tanga. Hanya seperempat sari buah itu yang sempat diteguknya, dan sisanya masih tersisa dalam semburat merah muda.Ada rasa getir yang tertinggal di lidah, halus tetapi menusuk. Ia tak yakin apa yang membuat sari buah itu terasa berbeda, tetapi sesuatu di tenggorokannya terasa tak nyaman—kering dan sedikit menggelitik seperti habis tertelan debu halus.Merasa haus, Anaby berjalan menuju sudut buffet yang memajang aneka pilihan minuman. Gelas-gelas bening berisi air mineral berkilauan di bawah lampu gantung, berdampingan dengan pitcher berisi infused water, teh lemon, serta jus semangka segar yang menggoda.Anaby mengambil satu gelas jus semangka dan meneguknya dalam sekali hentakan. Dingin menyentuh kerongkongannya, menyapu kering yang mendera sejak tadi. Namun, belum sempat Anaby menghela napas, sebuah tangan halus menyentuh lengan kirinya. "Ada apa, Ana?" tanya Sandra dengan nada khawatir. Gadi
Tak lama setelah itu, Sandra kembali dengan membawa dua gelas minuman. Wajahnya menyimpan senyum manis, tetapi gerakan matanya mengintai waktu yang tepat.Gadis itu melangkah ke arah meja kehormatan dan mengangkat satu gelas, bersiap menyerahkannya kepada Anaby.Namun, pada saat yang bersamaan, Nyonya Ayudya muncul dari arah depan. Langkahnya mantap dan elegan, menyusup di antara para pelayan yang berlalu-lalang membawa nampan perak.Alhasil, sebelum Anaby sempat menerima gelas itu, Sandra menarik kembali tangannya, cepat dan nyaris tidak kentara.“Anaby, kau sungguh mirip ibumu,” ucap Nyonya Ayudya, dengan sorot mata penuh kenangan. “Tiana adalah teman dekatku semasa kuliah. Kami banyak melewati waktu bersama, tapi aku kemudian harus pindah ke luar negeri. Ketika aku pulang...kabar duka itu datang lebih dulu. Aku sangat sedih.”Anaby tersenyum tipis, meski matanya menunjukkan cahaya redup yang menandakan luka di hatinya belum sirna. “Terima kasih, Nyonya Ayudya. Mama saya tidak bany
Antrian di hadapan Anaby menyusut perlahan. Kini hanya tersisa empat tamu lagi sebelum gilirannya menyampaikan ucapan selamat. Kilauan lampu di langit-langit ballroom menyelimuti wajah-wajah yang berlalu-lalang, sementara denting gelas dan irama biola mengalun tenang mengiringi percakapan para tamu.Tepat ketika Anaby mengalihkan pandangan dari keramaian, langkah ringan menghampiri dari samping.“Maaf, aku agak lama,” kata Sandra, dengan senyum yang dibuat manis.Anaby menoleh, bibirnya melengkung kecil. “Tidak masalah, aku juga masih menunggu giliran."Mereka pun berdiri bersebelahan dan tak lama kemudian, giliran Anaby tiba. Ia maju dengan langkah anggun ke hadapan Tuan Dewangga dan Nyonya Ayudya.Wajah pasangan paruh baya itu memancarkan keteduhan sekaligus keteguhan. Rambut perak mereka disisir rapi, dan sorot mata keduanya menyimpan ribuan cerita yang telah dilewati bersama.Anaby membungkukkan tubuh sedikit sebagai tanda penghormatan, sebelum mengulurkan tangannya.“Tuan Dewang