Langkah Anaby terhenti di depan deretan lemari. Jari-jarinya menyentuh lembut koleksi baju dan beberapa gaun tidur wanita yang tergantung rapi, sebagian masih berbalut plastik tipis seperti baru saja keluar dari butik ternama.
Pandangannya tertumbuk pada label-label kecil yang tergantung di kerah—semuanya ukuran tubuhnya. Semua tampak belum pernah disentuh.
Ia menelan ludah. Tak perlu berpikir panjang untuk menebak siapa yang menyediakan semua ini. Michael, atau lebih tepatnya, orang suruhan Michael. Lelaki ini memang selalu tahu cara mengacaukan ketenangannya tanpa berkata banyak.
Setelah menimbang-nimbang, Anaby memilih gaun tidur sutra berwarna hitam. Paling tertutup di antara semuanya, sekaligus tampak nyaman untuk dipakai.
Sembari menggenggam gaun pilihannya, Anaby melangkah ke kamar mandi. Sesaat setelah pintu tertutup rapat, air hangat mengalir di atas tubuhnya. Membawa serta rasa canggung yang masih tertinggal sejak makan malam.
Langkah Anaby terhenti di depan deretan lemari. Jari-jarinya menyentuh lembut koleksi baju dan beberapa gaun tidur wanita yang tergantung rapi, sebagian masih berbalut plastik tipis seperti baru saja keluar dari butik ternama.Pandangannya tertumbuk pada label-label kecil yang tergantung di kerah—semuanya ukuran tubuhnya. Semua tampak belum pernah disentuh.Ia menelan ludah. Tak perlu berpikir panjang untuk menebak siapa yang menyediakan semua ini. Michael, atau lebih tepatnya, orang suruhan Michael. Lelaki ini memang selalu tahu cara mengacaukan ketenangannya tanpa berkata banyak.Setelah menimbang-nimbang, Anaby memilih gaun tidur sutra berwarna hitam. Paling tertutup di antara semuanya, sekaligus tampak nyaman untuk dipakai.Sembari menggenggam gaun pilihannya, Anaby melangkah ke kamar mandi. Sesaat setelah pintu tertutup rapat, air hangat mengalir di atas tubuhnya. Membawa serta rasa canggung yang masih tertinggal sejak makan malam.
Dengan gerakan canggung dan terburu-buru, Anaby mendorong perlahan tubuh Michael menjauh, mencoba melepaskan diri dari pelukannya yang hangat dan tak terduga. Gadis itu berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya dari tatapan tajam Michael.“Kalau kau ingin mencicipi makanannya… silakan,” gumam Anaby lirih, hampir tak terdengar. Ia langsung melangkah menuju kursinya dan duduk dengan tubuh kaku.Michael tidak menjawab. Ia menatap gadis itu sesaat, lalu menyerahkan tas kertas yang masih ia pegang ke tangan Anaby. “Ini milikmu,” katanya singkat, sebelum kembali duduk di kursinya sendiri, tepat di seberang Anaby.Michael mengambil gelas anggurnya dan meminumnya dengan santai. Pandangannya sesekali melirik ke arah Anaby yang sedang sibuk membongkar isi tasnya.Jemari gadis itu tampak gemetar saat mengeluarkan dua ayam goreng, dua burger, dan dua bungkus kentang goreng, menatanya di meja dengan hati-hati.Diam-diam, Anaby merutuk dirinya sendiri. Entah mengapa setiap kali mereka berdekat
Anaby menatap ke depan, lampu jalanan tampak kabur oleh benaknya yang bergumul. Ia mengetukkan jemarinya di setir, masih belum menemukan jawaban.Waktunya pun sangat sempit. Jika ia terlambat datang ke apartemen Michael, pria itu pasti tidak akan senang.Merasa gundah sendiri, perut Anaby di dalam sana justru berteriak minta diisi. Akhirnya, ia memutuskan untuk melajukan mobilnya dan mencari restoran terdekat.Setelah berkendara beberapa menit, Anaby berhenti di sebuah restoran cepat saji yang tak jauh dari gedung apartemen Michael. Pilihannya bukan tanpa pertimbangan.Daripada bingung memikirkan hadiah untuk Michael, lebih baik ia membeli makanan. Setidaknya, makanan bisa menjadi jembatan kecil menuju perbincangan yang lebih nyaman, setelah menandatangani kontrak.Dari jendela mobil, restoran itu tampak ramai, tetapi tak menyurutkan niat Anaby. Ia segera memesan dua potong ayam goreng, dua burger keju, dan seporsi besar kentang goreng. Usai menyebutkan pesanan, Anaby tiba-tiba ingin
Selesai memesan kamar untuk Sandra, Aslan melirik jam tangan kulit yang melingkar di pergelangan kirinya. Jarum panjang telah bergeser ke angka dua belas, menunjukkan pukul enam tepat.Wajah Aslan tampak berubah, diliputi rasa tanggung jawab yang kembali menguasai dirinya.“Aku harus mengantarmu pulang sekarang,” ucap Aslan. Ia menoleh ke arah Sandra dengan sorot mata penuh pertimbangan. “Aku berjanji akan kembali ke rumah sakit malam ini juga. Ana pasti masih menunggu.”Sekilas gurat kecewa muncul di wajah Sandra. Namun, gadis itu segera mengangguk patuh. Ada batas yang tak bisa ia langgar sekarang, meskipun hatinya menginginkan lebih. Mereka berjalan menyusuri koridor hotel. Langkah mereka beriringan, walaupun hati Sandra masih tertinggal di ruang mewah yang begitu lama ia impikan.Sebelum mereka melangkah lebih jauh, seorang petugas hotel dengan senyum profesional menghampiri mereka. Lelaki berseragam hitam itu membungkuk sopan kepada Aslan.“Selamat sore, Tuan. Mohon maaf menggan
Tuan Aryan Lubis. Seorang detektif berpengalaman — yang dulu pernah menjadi tangan kanan kepercayaan sang ayah, kini menjadi harapan terakhir Anaby dalam membongkar kepalsuan yang membelit hidupnya.“Nona Anaby, sudah lama kita tidak berjumpa,” sapa pria itu dari seberang telepon.“Katakan saja siapa orangnya. Saya akan berusaha membantu Anda.”“Sandra dan Aslan,” jawab Anaby, menyebut dua nama yang membuat darahnya kembali mendidih.“Sandra sedang mencari tempat untuk merayakan ulang tahun ayahnya. Dan, saat ini mereka berdua pasti berada di Hotel Electon,” pungkas Anaby.“Tolong, Anda segera menuju hotel itu. Saya curiga, mereka berdua memiliki hubungan spesial di belakang saya.”“Nona yakin mereka akan memilih hotel itu?” tanya Tuan Aryan, setengah ragu.“Sangat yakin. Di kehidupan sebelumnya.…”Anaby langsung menghentikan ucapannya sendiri. Mustahil, ia berkata kepada Tuan Aryan bahwa ia telah mengetahui apa yang terjadi di masa depan.Sandra pernah memilih Hotel Electon untuk pes
Selepas kepergian Aslan dan Sandra, Anaby menatap dua sosok yang masih bergeming di sisi tempat tidur ayahnya. Nyonya Kemala dan Laura. Masing-masing dengan raut muram yang dilebih-lebihkan, seakan kehilangan seluruh kekuatan untuk berdiri.Keduanya tampak sangat terpukul—atau setidaknya, berusaha terlihat demikian. Padahal, baru satu jam yang lalu mereka berteriak padanya dengan suara lantang.Anaby berdiri tanpa terburu-buru. Ia memiringkan kepala sedikit, lalu mengedarkan pandangan dingin.“Mama… Laura,” panggil Anaby. Suaranya datar, nyaris seperti berbincang santai di ruang tamu.“Bukankah tadi pagi kalian marah-marah karena harus menunggu Papa? Kalian bilang aku anak tidak tahu diri, membiarkan Papa sekarat sendirian.”Anaby menyisipkan jeda, sambil menatap Ibu tirinya dan Laura secara bergantian.“Sekarang aku sudah di sini. Lalu, kenapa kalian belum pulang juga?”Pertanyaan itu menghantam seperti cambuk tenang yang tak butuh teriakan. Nyonya Kemala langsung mendongak. Sorot ma
Tak ingin membuang waktu dengan pertengkaran yang sia-sia, Anaby menghampiri petugas ICU yang berdiri tak jauh dari sana.“Selamat siang. Bagaimana kondisi papa saya? Apakah sudah bisa dijenguk sekarang?”Petugas itu menoleh, lalu mengangguk sopan. "Tuan Carlo akan dipindahkan ke ruang rawat biasa, karena kondisi Beliau sudah stabil. Silakan tunggu saja di luar.”Mata Anaby membulat, setitik kelegaan menyelinap di matanya. Sang ayah mulai pulih, itu artinya masih ada harapan untuk bersamanya di masa depan. Dari balik kaca bening ruangan ICU, Anaby pun memerhatikan dengan saksama. Di dalam ruangan memang ada seorang perawat yang duduk berjaga, tak jauh dari tempat tidur ayahnya.Sementara di sisi lain, seorang petugas ICU tengah memeriksa infus dan mengatur selang oksigen. Ia memberi instruksi ringan kepada rekan sejawatnya—menyiapkan brankar, catatan medis, serta jalur evakuasi menuju ruang rawat.“Jika saya boleh tahu, siapa yang menyewa perawat untuk papa saya?” tanya Anaby, penasa
Dengan langkah tergesa, Anaby menyusuri koridor apartemen menuju parkiran bawah tanah. Matanya langsung menangkap mobil miliknya yang masih terparkir di tempat semula —aman, seperti yang diharapkannya. Tanpa pikir panjang, Anaby meraih gagang pintu dan melesak ke kursi pengemudi. Sebelum menyalakan mesin, pandangannya jatuh pada kilau lembut cincin berlian yang melingkari jari manisnya.Anaby menatapnya cukup lama, memperhatikan betapa cantiknya perhiasan itu. Cincin pernikahan ini bukan hanya simbol dari ikatan suci, tetapi juga titik balik dari hidupnya yang pernah hancur. Perlahan, bibir Anaby melengkung, membentuk seulas senyum samar.“Akhirnya… aku telah memilih Michael,” bisiknya lirih, seolah hanya ingin didengar oleh hatinya sendiri. “Aslan tidak akan bisa menjeratku lagi.”Dalam hitungan detik, senyuman itu segera memudar. Dengan berat hati, Anaby melepas cincin pernikahannya lalu menyimpan di dalam tas. Masih terlalu dini untuk mengenakannya di hadapan para pengkhianat. A
Wajah Michael berubah tak terbaca. Tanpa berkata-kata, ia berjalan mendekat lalu berdiri tepat di belakang Anaby. Sorot matanya yang sulit ditebak, membuat jantung Anaby kembali berpacu tidak karuan. Angin sejuk dari pendingin ruangan seolah tak terasa, karena kehadiran pria itu menciptakan kehangatan asing yang menjalar dari kulit ke hati.“Ritsletingnya… dari atas sampai ke punggung bawah,” lirih Anaby, sembari menunduk malu.Michael tidak menjawab, tetapi jemarinya yang hangat mulai membuka akses ke punggung yang tertutup renda. Gerakan pria itu sangat hati-hati, seolah ia sedang membuka sesuatu yang jauh lebih dari sekadar kain. Anaby menahan napas, sementara jari-jari Michael mulai bekerja di beberapa pengait kecil. Jemari itu terasa ringan tetapi nyata, bak aliran listrik halus yang menggetarkan nyali. Dalam hitungan detik, pengait terbuka satu per satu, dan perlahan ritsleting panjang itu ditarik turun. Saat gaun mulai mengendur, pori-pori kulit Anaby meremang. Ia bisa merasa