“Aku udah selesai. Kamu udah?” tanya Mei. Dia baru kembali dari wastafel dan meremat bungkus nasinya.
Erik mengangguk. Dia pun meraih gelas cola-nya dan meminumnya hingga tandas.
Mei menoleh keluar. Untung saja saat itu Lili juga tengah menoleh padanya. Mei segera melambaikan tangannya. Lili pun mengangguk.
“Udah, Kak?” tanya Lili.
Mei mengulurkan tangannya, meraih Alan dan memangkunya. “Udah. Itu Erik juga udah.”
“Ayo!” Erik berdiri, mengambil tas-tas belanja yang ada.
“Wah, terima kasih banyak. Memang Mas Erik luar biasa!” puji Lili.
Yang dipuji pun langsung tersenyum manis. “Aku udah nolongin kamu bawa belanjaan. Jangan lupa terus kasih info tentang kakakmu, ya!” bisik Erik pada Lili.
Lili tersenyum lebar dan mengangkat jempolnya tanda setuju. Lili yakin Erik adalah pria yang tepat untuk kakaknya. Buktinya, Erik tetap menemani Mei meski dia berada di titil terbawah dalam hidupnya. Gadis itu berharap suatu saat Mei bisa menerima Erik sebagai teman hidup.
Baru saja keluar dari restoran, mata Mei menangkap sosok perempuan yang cukup dikenalnya. “Mary!” serunya.
Mary sedang mengelilingi mall dengan salah satu temannya. Pikirannya sedang kacau. Dia butuh refreshing. Shopping adalah salah satu hal dia lakukan saat suntuk.
Tiba-tiba saja telinganya menangkap suara yang menyapanya dengan nyaring. Mary langsung menoleh. Dan betapa terkejutnya dia saat melihat Mei berdiri tidak jauh dari dirinya. yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah sosok bayi imut, lucu, dan tampan yang sedang berada di atas stroller yang didorong Mei. Dilihat dari rambut dan matanya, Mary yakin bayi itu adalah anak Albert. Seketika perasaannya campur aduk. Dia merasa gugup, takut, juga marah di saat bersamaan. Entah perasaan apa yang lebih kuat.
Mei begitu bahagia bisa bertemu dengan Mary. Dia mendekati teman baik suaminya itu diikuti oleh Lili dan Erik di belakangnya. Kedua orang itu masih bingung. Mereka saling menatap seolah bertanya ‘Dia siapa?’
Mei berjalan dengan senyum yang terkembang. Rasa-rasanya rindu yang ada untuk Albert sedikit terobati saat melihat temannya ini.
“Hai! Apa kabar?” sapa Mei. Tangannya terulur untuk menjabat Mary.
Sayangnya, Mary tampak berbeda. Dia hanya menatap Mei tanpa kedip dan membiarkan tangan Mei menggantung di udara. Nafasnya tampak memberat. Netranya memancarkan aura permusuhan dan takut di saat bersamaan. Mary terus saja menatapnya hingga teman Mary menyenggol lengannya, baru lah Mary menerima tangan Mei.
“Eh, maaf, Mei. Aku terpana dengan ketampanan putramu. Ini putramu, ‘kan?” Mary berjongkok agar bisa menatap wajah Alan lebih dekat.
Mei mengernyit. Entah kenapa dia merasa Mary seperti mencoba menutupi sesuatu. “Eh, iya. Ini putraku dengan Albert. Namanya Alan,” jawab Mei. Dia kembali tersenyum ramah.
Mary memasang senyum yang sangat manis. Tidak ada yang tahu betapa hatinya begitu kesal saat Mei menegaskan kalau bayi tampan ini adalah putranya dengan Albert. Tangannya yang sedang menggenggam tangan Alan seketika meremasnya. Tentu saja hal itu mebuat Alan menangis keras.
Mary segera tersadar dengan apa yang dia lakukan. Dia refleks melepas genggaman tangannya. “Ya ampun, maafkan tante, Sayang.”
Erik sontak maju. Dia merasa perlu melindungi Alan dari wanita mencurigakan ini. Dia merasa darahnya mendidih melihat tangan Alan yang memerah.
Mei langsung mengangkat Alan, menenangkannya. Tangannya memegang lengan Erik, mencoba menghentikannya.
Mary berkali-kali meminta maaf sebelum akhirnya pamit.
Mei tampak kebingungan. Seingatnya, Mary adalah pribadi yang baik dan ramah. Kenapa tadi dia bersikap begitu aneh?
“Dia siapa?”tanya Erik. Matanya masih saja menoleh ke belakang, memerhatikan Mary yang menjauh.
“Dia teman suamiku dulu. Teman baik. Aku tidak tahu kenapa dia berubah seperti ini. Kita tidak pernah bertemu, tidak pernah terlibat konflik apa pun. Bahkan saat suamiku dimakamkan, dia tidak datang,” terang Mei.
“Dia tampak membencimu, Kak,” ucap Lili sengit.
“Berhati-hatilah dengannya,” tambah Erik.
Mei hanya terdiam. Pikirannya masih menerawang. Memikirkan Mary yang seperti itu membuat rindunya pada Albert memenuhi hatinya sampai rasanya dadanya terasa sesak.
--
“Tadi aku bertemu Mary,” ucap Mei pada Retno.
Mereka sedang di dapur. Mei membuatkan susu untuk Alan sdangkan Retno membuat kopi unutk suaminya. Mei mencoba menceritakan pengalaman tidak mengenakkannya tentang Mary pada Retno. Bukan bermaksud mengadu, hanya saja Mei benar-benar merasa janggal dengan sikap Mary yang sangat berubah.
Mommy Albert yang tengah menuang gula untuk kopi suaminya langsung terhenti. “Kalian bertemu?” Matanya menatap Mei dalam-dalam seolah dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Mei mengangguk. “Tapi kenapa dia terlihat aneh?”
“Aneh bagaimana?” Retno melanjutkan kembali kegiatannya membuat kopi.
“Dia seperti marah, gugup. Matanya menatapku seakan aku musuh besarnya. Bahkan nafasnya menjadi berat saat aku di dekatnya.”
“Benarkah?” Retno tidak percaya dengan apa yang dia dengar. “Mommy juga tidak tahu apa yang terjadi. Kami sudah lama tidak bertemu.”
Mei mengangguk. “Aku juga berpikir begitu. Kami tidak pernah bertemu. Hubungan kamu juga baik sebelum ini. Dia tidak pernah meunjukkan aura permusuhan. Aku jadi bingung sendiri, Mom.” Mei menghela nafasnya. Dimusuhi oleh teman baik suaminya membuatnya seakan kehilangan sesuatu.
Retno tampak menghirup nafas dalam-dalam. “Dulu Mary memang pernah menyukai Albert. Namun Albert menolaknya. Dia terus saja menguntit Albert. Di mana ada Albert, di sana juga ada Mary.”
Raut Mei langsung berubah. Dia sama sekali tidak pernah menyangka Mary menyukai suaminya. Kalimat Retno sontak membuat dada Mei sesak seakan dihimpit batu.
Melihat Mei yang tidak nyaman dengan kalimatnya. “Tapi seiring dengan berjalannya waktu, Mary seperti sudah bisa menerima keputusan Albert,” tambahnya.
Namun kalimat Retno selanjutnya semakin membuat Mei melongo. Penolakan halus dari Albert ini justru disalahartikan oleh Mary. Dia pikir Albert masih ingin fokus dengan karirnya agar selanjutnya bisa bersama melalui hidup dengannya. Mary sering diam-diam mendatangi gadis-gadis yang mendekati Albert meski putranya itu tidak menaruh perhatian berlebih pada mereka.
Retno menepuk pelan pundak Mei. “Jangan dipikirkan! Fokus saja dengan Alan dan hidupmu. Jadi, ceritakan tentang pemuda tadi,” goda Retno. Dia ingin mengalihkan pembicaraan.
Mei langsung menoleh. “Pemuda? Pemuda yang mana, Mom?”
“Ck! Yang tadi mampir dan membawakan belanjaanmu.”
“Erik?”
“Ya, itu! Sepertinya dia cukup baik. Mommy tidak keberatan jika kalian dekat.” Retno mengatakan itu dengan raut bahagia. Dia sangat serius dengan perkataannya.
“Mom! Kami hanya berteman,” elak Mei.
Retno terkekeh kecil. “Aku tahu. Tapi jika di masa yang akan datang kau benar-benar bisa menerimanya, ketahuilah kalau mommy tidak keberatan. Hiduplah dengan bahagia, Mei. Mommy yakin Albert juga ingin melihatmu bahagia.”
Retno sudah selesai membuat kopi, jadi dia keluar lebih dulu.
Mei menatap punggung ibu mertuanya. Hatinya resah mendengar kalimat Retno. Dia memang merasa nyaman dengan kehadiran Erik di sekitarnya. Namun, hatinya masih penuh dengan nama Albert. Tidak ada nama pria mana pun di dalamnya.
Mei menghela nafas. “Jangan berpikiran macam-macam, Mei! Fokus dengan Alan dan Lili saja!”
“Apa itu yang membuat Mary membenciku? Apa karena dia menyukai Albert dan dia meninggal saat bersamaku? Apa dia menyalahkanku atas kecelakaan itu?” pikir Mei dalam hati.
Sepertinya dia harus melakukan sesuatu mengingat bagaimana merahnya tangan Alan tadi karena ulah Mary. Jika benar kalau Mary masih menyukai suaminya dan membuat keselamatan Alan terancam, maka Mei harus melakukan sesuatu.
Jangan lupa add Fb Pipit Xomi dan follow instagram pipitxomi untuk cerita lebih lanjut. Terima kasih..
Flashback satu setengah tahun yang lalu.. Kehamilan adalah berita bahagia yang ditunggu-tunggu pasangan suami istri. Meskipun Albert dan Mei tidak memasang target memiliki anak, tetap saja mereka sangat antusias menyambut kabar kehamilan itu. Saking bahagianya, Albert sampai berencana membawa Mei babymoon ke mana pun yang Mei mau. “Kenapa memilih ke Batu Malang, Sayang?” tanya Albert. Mereka kini sedang di atas kasur sambil berpelukan erat. Albert sengaja memeluk Mei dari belakang karena takut mengimpit calon bayi di perut istrinya. “Mmm, aku hanya ingin memanjakan mataku dengan melihat kebun teh dan berbagai macam bunga-bunga di sana,” jawab Mei. “Yakin cuma itu?” “Memangnya apa lagi?” Mei semakin memundurkan tubuhnya hingga punggungnya menempel sempurna di dada sang suami. Sungguh, berpelukan seperti ini dengan suami memang sangat nyaman. “Bukan karena alasan yang lain?” tanya Albert sambil menciumi bahu dan tengkuk istrinya. Sesekali, jambangnya digesekkan ke bahu polos istr
Pagi ini Mei bangun dengan semangat baru. Siang ini dia akan kembali ke Surabaya. Lili sudah memesan tiket untuk mereka bertiga –Erik termasuk.Mei sempat mencium pipi Alan sebelum dia beranjak ke kamar mandi. Mei hanya butuh sepuluh menit di kamar mandi. Saat dia kembali, Alan masih memejamkan matanya. Dengan gemas, Mei mendekati putranya.“Sayangnya mama, nggak ingin bangun nih? Hm?” Mei menciumi pipi Alan. Yang dicium justru mengerucutkan bibirnya. Tangannya mengelap pipi yang baru saja dicium Mei.Sontak saja hal ini membuat Mei tertawa. Alan tampak semakin menggemaskan di matanya. Semakin besar Alan semakin mirip dengan papanya. Tiba-tiba saja mata Mei mulai memanas. Air mata mulai mengumpul di sudut matanya. Mei menatap wajah Alan tanpa kedip. “Apa kamu tahu betapa miripnya wajahmu dengan papamu?” ucapnya lirih. Tangannya mengelus lembut pipi dan alis Alan. Bayi itu seperti terhipnotis. Dia tidak bergerak seakan usapan mamanya adalah nina bobok untuknya.“Maaf, mama harus menin
Hari ini Mei akan mulai penyelidikannya. Dia sudah siap dengan celana panjang, kaos, dan jaket. Lili masih libur kuliah, jadi dia akan menemani kakaknya. Dia juga sudah siap. Dia bahkan sudah membuat roti lapis untuk sarapan bersama Mei.“Ayo sarapan dulu sebelum berangkat, Kak!”Mei mengangguk. Kakinya melangkah menuju meja makan dan duduk dengan tenang. Mei harus menjaga emosinya tetap tenang agar bisa memecahkan kasus ini dengan cepat. “Kau yakin akan menemani kakak, Lili?”“Tentu saja, Kak. Aku juga sangat penasaran siapa orang yang tega menyakiti hatimu seperti ini.” Lili tampak mengetatkan rahangnya.“Terima kasih,” sahut Mei tulus.Lili tersenyum manis dan menatap kakaknya. “Kita bersaudara, Kak. Jika aku dala masalah, aku yakin Kakak juga akan menolongku.”“Tentu saja!” sahut Mei.Setelah sarapan, Mei dan Lili langsung menuju bengkel Dimas. Lili tidak lupa membawa laptop kesayangannya. Dia adalah seorang hacker. Dia yakin dia bisa membantu kakaknya dengan keahliannya itu.Tig
Di layar laptop Lili kini terpampang foto seorang pria muda dengan rambut panjang yang dikuncir. Sebuah tato tengkorak terbakar terlihat jelas di tangan kirinya."Apa kau bisa mencari tahu siapa dia?" tanya Dimas.Lili berdecak. "Jangan meremehkan aku!"Jari Lili langsung bergerak lincah di atas keyboard, mengetik sesuatu yang Mei dan Dimas tidak mengerti.Mata Dimas melirik gadis muda yang duduk di sebelahnya. Dalam hati, dia kagum dengan kehebatan yang dimilikinya. Tidak dia sangka gadis mungil ini memiliki kemampuan yang tidak biasa."Ini!" seru Lili.Dalam beberapa detik, mereka sudah mengetahui nama preman itu."Alif Satria, biasa dipanggil Bolet. Mantan napi narkoba yang bebas dua tahun lalu. Semenjak keluar dari penjara, dia menjadi kuli di Pelabuhan Perak. Tidak menikah dan tidak punya anak. Tinggal di kos sekitar Dupak," terang Lili."Bagaimana bisa seorang preman menargetkan kamu, Kak?" tanya Lili pada Mei.Mei menatap Lili. "Aku tidak mengenalnya. Dan aku sangat yakin Albert
Erik meluncur menuju pelabuhan, tempat Bolet bekerja. Dia sengaja memarkirkan mobilnya tidak jauh dari pos satpam. Erik ingin menyusuri area pelabuhan dari depan. Dia tidak ingin melewatkan satu tempat pun untuk mencari Bolet. Turun dari mobil, Mei dan Erik langsung mencari sosok preman itu. Dengan berbekal foto dan nama, mereka menyisir pelabuhan.Luasnya area pelabuhan membuat Mei dan Erik kesulitan mencari sosok Bolet. Keringat sudah membanjiri tubuh keduanya. Erik sudah bertanya pada beberapa kuli panggul yang ditemuinya, tapi tidak ada satu pun yang mengenal bolet.Mei mulai merasa kakinya kaku dan wajahnya penuh dengan keringat. Mereka berdua sudah berputar-putar hingga kembali lagi di area prkir. Dia mengajak Erik duduk di bangku area parkir.“Apa mungkin informasinya salah?” keluh Mei. Tangannya mengelap keringat yang membanjiri keningnya.“Entah.” Erik membuka botol air dan langsung meminumnya. Setelahnya, dia memberikan satu lagi botol yang masih utuh pada Mei.Mei pun langs
Flashback...Mei menikmati semilir angin pantai di Lombok. Dia membiarkan kakinya basah oleh air laut. Sudah sejak lama dia tidak merasakan sensasi air asin itu. Satu tangannya memegang topi jerami lebar yang melindungi wajahnya dan satu lagi mengusap perutnya yang sudah membuncit. Suasana pantai ini sangat sepi. Hanya ada beberapa orang saja. Itu pun jarak mereka berjauhan karena memang pantai ini adalah pantai pribadi. Vila yang sedang ditempat Mei dan keluarganya ini disewakan beserta pantainya. Budi sengaja mengajak Mei liburan ke sini untuk menyenangkan hatinya. Sebagai seorang ayah, dia sedikit mengkhawatirkan keadaan Mei yang lebih sering murung daripada tersenyum. Putrinya itu bahkan selalu menangis setiap malam, memukuli dadanya, dan menyalahkan dirinya atas kematian Albert. Budi berharap suasana vila dan pantai yang cukup private bisa mengobati suasana hatinya. Sudah berbulan-bulan sejak Mei kembali ke rumah ayahnya, dia belum pernah sekali pun memberi kabar pada mertuanya.
“Shh!! Tenang, Sayang. Jangan menangis terus! Nanti Pak Dokter datang. Kamu pasti nggak mau diusir, ‘kan? Makanya diam dulu.” Mei berusaha menenangkan Alan. Ditepuk-tepuk pelan pahanya agar dia berhenti menangis. Namun, tangisan Alan tidak juga berhenti.“Alan, anak pintar, sudah nangisnya. Jangan nangis lagi ya?”Bayi merah itu seakan tidak mendengar perkataan mamanya. Dia masih saja menangis.Mei menjadi bingung dan panik. Dia tidak tahu apa yang salah. Alan tidak mau menyusu juga tidak kunjung memejamkan matanya. Tiba-tiba saja terbersit ide saat melihat bantal. Dia pun segera mengambil bantal dan diarahkan ke wajah Alan.“Lan, mama tutup sebentar saja ya. Biar kamu nggak nangis lagi. Mama takut kamu dianggap mengganggu oleh dokter. Kalau kamu ditegur dan dimarahi, mama tidak akan tega,” ucap Mei dengan wajah letih dan melas.Bantal sudah di atas wajah Alan. Mei menekannya sedikit agar suara tangis Alan tidak terdengar keluar. Bayi itu mulai terengah-engah. Tendangan kaki dan tanga
Perkelahian tidak dapat lagi dielakkan. Erik menggasak preman yang ada di dekatnya. Dia menangkis dan memberi jab. Mei juga tidak tinggal diam. Tangannya lincah memukul dan menangkis. Kakinya lincah menghindar dan sekali-kali membanting musuhnya. Tidak sia-sia dia belajar tinju. Kini akhirnya dia bisa mempraktekkan apa yang sudah dia pelajari dari Erik selama sembilan bulan ini.Karena yang dia hadapi adalah kumpulan preman yang mencelakakan Albert, maka Mei tidak mengendor sama sekali. Wanita itu merasa ini adalah saatnya dia menumpahkan segala rasa frustrasi dan amarah yang menumpuk di dadanya sekaligus membabat penjahat. Bukanah itu rasanya luar biasa?Suara tendangan dan pukulan meramaikan depot makan di dekat pos satpam pelabuhan. Tidak ketinggalan riuh gelas dan piring pecah juga meja dan bangku yang terbalik. Mei dan Erik bahu membahu mengalahkan musuh yang berjumlah enam orang itu. Teriakan kesakitan jelas terdengar di sana. Untung saja depot itu sudah sepi, menyisakan delapan