Share

Mei 7

“Aku udah selesai. Kamu udah?” tanya Mei. Dia baru kembali dari wastafel dan meremat bungkus nasinya.

Erik mengangguk. Dia pun meraih gelas cola-nya dan meminumnya hingga tandas.

Mei menoleh keluar. Untung saja saat itu Lili juga tengah menoleh padanya. Mei segera melambaikan tangannya. Lili pun mengangguk.

“Udah, Kak?” tanya Lili.

Mei mengulurkan tangannya, meraih Alan dan memangkunya. “Udah. Itu Erik juga udah.”

“Ayo!” Erik berdiri, mengambil tas-tas belanja yang ada.

“Wah, terima kasih banyak. Memang Mas Erik luar biasa!” puji Lili.

Yang dipuji pun langsung tersenyum manis. “Aku udah nolongin kamu bawa belanjaan. Jangan lupa terus kasih info tentang kakakmu, ya!” bisik Erik pada Lili.

Lili tersenyum lebar dan mengangkat jempolnya tanda setuju. Lili yakin Erik adalah pria yang tepat untuk kakaknya. Buktinya, Erik tetap menemani Mei meski dia berada di titil terbawah dalam hidupnya. Gadis itu berharap suatu saat Mei bisa menerima Erik sebagai teman hidup.

Baru saja keluar dari restoran, mata Mei menangkap sosok perempuan yang cukup dikenalnya. “Mary!” serunya.

Mary sedang mengelilingi mall dengan salah satu temannya. Pikirannya sedang kacau. Dia butuh refreshing. Shopping adalah salah satu hal dia lakukan saat suntuk.

Tiba-tiba saja telinganya menangkap suara yang menyapanya dengan nyaring. Mary langsung menoleh. Dan betapa terkejutnya dia saat melihat Mei berdiri tidak jauh dari dirinya. yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah sosok bayi imut, lucu, dan tampan yang sedang berada di atas stroller yang didorong Mei. Dilihat dari rambut dan matanya, Mary yakin bayi itu adalah anak Albert. Seketika perasaannya campur aduk. Dia merasa gugup, takut, juga marah di saat bersamaan. Entah perasaan apa yang lebih kuat.

Mei begitu bahagia bisa bertemu dengan Mary. Dia mendekati teman baik suaminya itu diikuti oleh Lili dan Erik di belakangnya. Kedua orang itu masih bingung. Mereka saling menatap seolah bertanya ‘Dia siapa?’

Mei berjalan dengan senyum yang terkembang. Rasa-rasanya rindu yang ada untuk Albert sedikit terobati saat melihat temannya ini.

“Hai! Apa kabar?” sapa Mei. Tangannya terulur untuk menjabat Mary.

Sayangnya, Mary tampak berbeda. Dia hanya menatap Mei tanpa kedip dan membiarkan tangan Mei  menggantung di udara. Nafasnya tampak memberat. Netranya memancarkan aura permusuhan dan takut di saat bersamaan. Mary terus saja menatapnya hingga teman Mary menyenggol lengannya, baru lah Mary menerima tangan Mei.

“Eh, maaf, Mei. Aku terpana dengan ketampanan putramu. Ini putramu, ‘kan?” Mary berjongkok agar bisa menatap wajah Alan lebih dekat.

Mei mengernyit. Entah kenapa dia merasa Mary seperti mencoba menutupi sesuatu. “Eh, iya. Ini putraku dengan Albert. Namanya Alan,” jawab Mei. Dia kembali tersenyum ramah.

Mary memasang senyum yang sangat manis. Tidak ada yang tahu betapa hatinya begitu kesal saat Mei menegaskan kalau bayi tampan ini adalah putranya dengan Albert. Tangannya yang sedang menggenggam tangan Alan seketika meremasnya. Tentu saja hal itu mebuat Alan menangis keras.

Mary segera tersadar dengan apa yang dia lakukan. Dia refleks melepas genggaman tangannya. “Ya ampun, maafkan tante, Sayang.”

Erik sontak maju. Dia merasa perlu melindungi Alan dari wanita mencurigakan ini. Dia merasa darahnya mendidih melihat tangan Alan yang memerah.

Mei langsung mengangkat Alan, menenangkannya. Tangannya memegang lengan Erik, mencoba menghentikannya.

Mary berkali-kali meminta maaf sebelum akhirnya pamit.

Mei tampak kebingungan. Seingatnya, Mary adalah pribadi yang baik dan ramah. Kenapa tadi dia bersikap begitu aneh?

“Dia siapa?”tanya Erik. Matanya masih saja menoleh ke belakang, memerhatikan Mary yang menjauh.

“Dia teman suamiku dulu. Teman baik. Aku tidak tahu kenapa dia berubah seperti ini. Kita tidak pernah bertemu, tidak pernah terlibat konflik apa pun. Bahkan saat suamiku dimakamkan, dia tidak datang,” terang Mei.

“Dia tampak membencimu, Kak,” ucap Lili sengit.

“Berhati-hatilah dengannya,” tambah Erik.

Mei hanya terdiam. Pikirannya masih menerawang. Memikirkan Mary yang seperti itu membuat rindunya pada Albert memenuhi hatinya sampai rasanya dadanya terasa sesak.

--

“Tadi aku bertemu Mary,” ucap Mei pada Retno.

Mereka sedang di dapur. Mei membuatkan susu untuk Alan sdangkan Retno membuat kopi unutk suaminya. Mei mencoba menceritakan pengalaman tidak mengenakkannya tentang Mary pada Retno. Bukan bermaksud mengadu, hanya saja Mei benar-benar merasa janggal dengan sikap Mary yang sangat berubah.

Mommy Albert yang tengah menuang gula untuk kopi suaminya langsung terhenti. “Kalian bertemu?” Matanya menatap Mei dalam-dalam seolah dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

Mei mengangguk. “Tapi kenapa dia terlihat aneh?”

“Aneh bagaimana?” Retno melanjutkan kembali kegiatannya membuat kopi.

“Dia seperti marah, gugup. Matanya menatapku seakan aku musuh besarnya. Bahkan nafasnya menjadi berat saat aku di dekatnya.”

“Benarkah?” Retno tidak percaya dengan apa yang dia dengar. “Mommy juga tidak tahu apa yang terjadi. Kami sudah lama tidak bertemu.”

Mei mengangguk. “Aku juga berpikir begitu. Kami tidak pernah bertemu. Hubungan kamu juga baik sebelum ini. Dia tidak pernah meunjukkan aura permusuhan. Aku jadi bingung sendiri, Mom.” Mei menghela nafasnya. Dimusuhi oleh teman baik suaminya membuatnya seakan kehilangan sesuatu.

Retno tampak menghirup nafas dalam-dalam. “Dulu Mary memang pernah menyukai Albert. Namun Albert menolaknya. Dia terus saja menguntit Albert. Di mana ada Albert, di sana juga ada Mary.”

Raut Mei langsung berubah. Dia sama sekali tidak pernah menyangka Mary menyukai suaminya. Kalimat Retno sontak membuat dada Mei sesak seakan dihimpit batu.

Melihat Mei yang tidak nyaman dengan kalimatnya. “Tapi seiring dengan berjalannya waktu, Mary seperti sudah bisa menerima keputusan Albert,” tambahnya.

Namun kalimat Retno selanjutnya semakin membuat Mei melongo. Penolakan halus dari Albert ini justru disalahartikan oleh Mary. Dia pikir Albert masih ingin fokus dengan karirnya agar selanjutnya bisa bersama melalui hidup dengannya. Mary sering diam-diam mendatangi gadis-gadis yang mendekati Albert meski putranya itu tidak menaruh perhatian berlebih pada mereka.

Retno menepuk pelan pundak Mei. “Jangan dipikirkan! Fokus saja dengan Alan dan hidupmu. Jadi, ceritakan tentang pemuda tadi,” goda Retno. Dia ingin mengalihkan pembicaraan.

Mei langsung menoleh. “Pemuda? Pemuda yang mana, Mom?”

“Ck! Yang tadi mampir dan membawakan belanjaanmu.”

“Erik?”

“Ya, itu! Sepertinya dia cukup baik. Mommy tidak keberatan jika kalian dekat.” Retno mengatakan itu dengan raut bahagia. Dia sangat serius dengan perkataannya.

“Mom! Kami hanya berteman,” elak Mei.

Retno terkekeh kecil. “Aku tahu. Tapi jika di masa yang akan datang kau benar-benar bisa menerimanya, ketahuilah kalau mommy tidak keberatan. Hiduplah dengan bahagia, Mei. Mommy yakin Albert juga ingin melihatmu bahagia.”

Retno sudah selesai membuat kopi, jadi dia keluar lebih dulu.

Mei menatap punggung ibu mertuanya. Hatinya resah mendengar kalimat Retno. Dia memang merasa nyaman dengan kehadiran Erik di sekitarnya. Namun, hatinya masih penuh dengan nama Albert. Tidak ada nama pria mana pun di dalamnya.

Mei menghela nafas. “Jangan berpikiran macam-macam, Mei! Fokus dengan Alan dan Lili saja!”

“Apa itu yang membuat Mary membenciku? Apa karena dia menyukai Albert dan dia meninggal saat bersamaku? Apa dia menyalahkanku atas kecelakaan itu?” pikir Mei dalam hati.

Sepertinya dia harus melakukan sesuatu mengingat bagaimana merahnya tangan Alan tadi karena ulah Mary. Jika benar kalau Mary masih menyukai suaminya dan membuat keselamatan Alan terancam, maka Mei harus melakukan sesuatu.

pipitxomi

Jangan lupa add Fb Pipit Xomi dan follow instagram pipitxomi untuk cerita lebih lanjut. Terima kasih..

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status