Share

Mei 6

Suara nyanyian burung membangunkan Mei. Wanita dua puluh lima tahun itu perlahan mengerjapkan matanya. Saat dia hendak berguling ke samping, tubuhnya mengenai sesuatu. Refleks, dia membuka matanya lebar-lebar. Siapa yang tidur di kasurnya? Tidak pernah ada orang lain di kasurnya –selain Albert tentu saja.

Saat matanya terbuka lebar, dia mendapati sesosok mungil tertidur lelap di sampingnya. Senyum Mei langsung terbit.

Alan! Bayi mungilnya tidur di sampingnya dengan begitu tenang.

Ini adalah pertama kalinya mereka tidur bersama. Matanya terkunci pada wajah imut di sisinya. Kulit halus, hidung mancung, tangan dan kaki yang kecil dan menggemaskan. Rasa-rasanya Mei ingin waktu berhenti agar dia bisa menikmati pemandangan indah ini lebih lama. Namun sayangnya, Mei tiba-tiba merasa kantung kemihnya penuh. Mau tidak mau, dia harus bangkit dan pergi ke kamar mandi.

Selesai buang air kecil, menyikat gigi, dan membasuh wajahnya, Mei keluar. Matanya berbinar saat melihat putranya sudah bangun. Alan sudah tengkurap dan senyumnya merekah saat melihat Mei.

“Wah, kau sudah bangun! Selamat pagi, Sayang.” Mei mendekat dan menciumi putranya. Alan tertawa mendapat serangan dari mamanya.

“Hari ini mama akan membawamu berkeliling dan berbelanja, oke?”

Alan tentu tidak bisa menjawab. Namun senyum lebarnya seakan menandakan kalau dia setuju.

--

Mei, Lili, dan Alan sudah berangkat menuju Orchard Road. Sengaja Mei tidak membawa baby sitter karena dia ingin menebus waktu mereka yang sudah terbuang. Dengan menggunakan mobil Dominic, mereka bertiga pun berangkat.

Orchard Road adalah surga belanja di Singapura. Sepanjang jalan berderet toko-toko dan departemen store dari berbagai merk ternama di dunia. Selain itu, kawasan ini juga terdapat banyak cafe dan hotel-hotel mewah. Rasanya tidak pas jika pergi ke Singapura tapi tidak mampir ke Orchard Road.

Mei tampak cantik dengan kemeja oversized berwarna hijau lumut yang dimasukkan ke dalam celana jeans panjang. Rambutnya dikuncir kuda dengan beberapa helai yang jatuh di sisi kiri dan kanan wajahnya. Seandainya tidak sedang mendorong stroller Alan, banyak orang akan menyangka dia baru masuk universitas. Lili tidak kalah cantik dengan celana jeans sepanjang betis dan kaos crop top dan cardigan. Alan sendiri tampak imut dengan baju jumpsuit dari bahan denim. Kepalanya ditutup topi membuat pipinya tampak semakin bundar menggemaskan.

Untuk tujuan pertama, Mei mengajak Lili dan Alan untuk memasuki departemen store. Mereka berhenti di toko baju anak. Puas memilih beberapa potong baju, Mei segera membayar.

Tujuan kedua adalah toko mainan. Mei memilih mainan yang merangsang fungi motorik dan otak, seperti kubus dan balok. Lili mengambil mobil-mobilan dan kereta api yang bisa mengeluarkan suara. Setelah membayar semua belanjaan, Lili mulai merasa lapar.

“Kak, ayo makan dulu. Lapar nih,” rengek Lili.

“Oke! Ayo, sayang, kita cari makan dulu.” Mei menggendong Alan sedangkan Lili mendorong stroller. Semua belanjaan diletakkan di stroller. Biar tidak repot, begitu pikir Lili.

“Kamu mau makan apa, Li?” tanya Mei sambil mencari-cari restoran yang menarik.

“Apa aja deh, Kak. Yang dekat aja. Kalau jauh kasihan Kakak gendong Alan terus. Pasti berat,” ucap Lili.

Mei mengangguk. Sebenarnya menggendong Alan tidak terlalu berat. Apa gunanya latihan seminggu lima kali kalau menggendong putranya saja dia kesusahan?

“Yang paling dekat ya restoran cepat saji itu. Bagaimana?”

Lili mengangguk. “Nggak masalah.”

Dan di sinilah mereka sekarang, duduk di restoran cepat saji yang menyediakan ayam goreng terkenal seantero dunia. Mei memilih untuk menyuapi Alan dengan bubur sebelum dia sendiri makan. Sedangkan Lili memilih makan terlebih dulu agar mereka bisa bertukar tugas saat Lili selesai makan.

 Alan memakan buburnya dengan lahap. Tidak ada drama mogok makan dan sebagainya. Mei begitu bersyukur.

Tiba-tiba saja, seorang pria sudah berdiri di dekat meja mereka. “Boleh aku bergabung?”

Mei dan Lili sontak menoleh. Mata mereka melotot karena terkejut.

“Erik??”

Si pria hanya terkekeh. Tangannya masih membawa nampan berisi pesanannya. “Jadi aku boleh duduk di meja kalian?”

“Tentu saja!” sahut Mei.

Lili mengangguk dengan antusias. Dia tidak bisa bersuara karena mulutnya masih penuh.

Erik pun duduk di samping Alan. Senyum di wajahnya tidak luntur. Dia tampak begitu bahagia.

“Kenapa kamu bisa berada di sini? Nggak mungkin liburan, ‘kan?” tanya Mei di sela-sela menyuapi Alan.

“Kebetulan temanku yang di sini sedang merintis usaha gym. Jadi aku diminta bantu-bantu,” jawab Erik lugas.

“Oh iya?” Mei berusaha mempercayai kalimat Erik. Pasalnya, pria itu sama sekali tidak pernah bercerita kalau dia mempunyai teman baik di Singapura meski Mei berkali-kali menceritakan Alan yang tinggal di Singapura. Dan mereka bertemu di sini? Di pusat belanja? Mei benar-benar sulit percaya.

“Hmm.” Erik mengangguk berkali-kali. “Juga Olivia ingin dibelikan oleh-oleh. Makanya aku kemari.” Olivia adalah adik Erik yang kebetulan teman sekolah Lili dulu.

Lili tersenyum sambil melirik Erik. Sebenarnya dia lah yang memberi tahu Erik keberadaan kakaknya. Bagaimana tidak? Tidak sekali dua kali Erik menghubunginya menanyakan kabar Mei yang katanya akan absen latihan. Jengah dengan teror pesan dari Erik, akhirnya Lili pun mengatakan kalau dia dan kakaknya sedang berada di Singapura untuk menjenguk Alan dan mertua kakaknya. Tidak disangka, kini pria ini muncul di sini dengan raut tidak bersalah. Ditambah dengan alasan yang sangat tidak masuk akal rasanya Lili ingin tertawa kencang, tapi dia pasti langsung diusir satpam.

“Jadi ini yang bernama Alan?” Erik menatap bayi imut itu tanpa kedip.

“Yes, Uncle. Aku Alan. Salam kenal.” Tentu saja itu suara Mei. Alan yang merasa disapa, memasang senyum lebar untuk Erik. Gigi susunya yang berjumlah empat mengintip dari balik bibirnya membuatnya tampak sangat menggemaskan.

Erik tertawa melihatnya. Dia tidak bisa menahan tangannya untuk tidak menyentuh pipi bulat itu. “Dia sangat lucu dan tampan.”

“Tentu saja. Dia putraku dan Albert. Lihat matanya! Abu-abu seperti papanya,” ucap Mei penuh kebanggaan.

Erik dan Lili langsung menatap wajah Mei. Biasanya Mei akan langsung menangis dan memukuli dadanya saat mengenang Albert. Namun kini tampaknya emosi Mei memang benar-benar sudah stabil. Wanita itu tidak menangis. Bahkan matanya memancarkan cinta yang dalam untuk Alan.

“Kalian kenapa?” tanya Mei. Keningnya berkerut melihat Lili dan Erik yang menatapnya penuh selidik.

Kedua orang itu pun menghela nafas lega.

“Tidak ada apa-apa, Kak,” jawab Lili. “Aku sudah selesai. Kakak sebaiknya makan sekarang. Aku akan mengajak Alan ke depan melihat-lihat yang di sana.”

Mei setuju. Bubur Alan juga sudah habis. Kini saatnya dia menikmati makanannya.

Lili berdiri, menggendong Alan, dan mengajak keponakannya keluar. kini tinggallah Mei dan Erik di meja, menikmati makan.

“Kau yakin sedang mengunjungi temanmu?” Mei bertanya dengan nada datar tapi penuh intimidasi.

Erik kesulitan menelan makanannya. “Apa kau ingin aku kenalkan dengan temanku?” Erik yakin suaranya sedikit bergetar, tapi dia berusaha membuat raut seserius mungkin.

Mei menghentikan makannya. Matanya menatap lurus mata Erik. Sedetik kemudian, dia tertawa. “Jangan bercanda! Aku tidak seserius itu. Maaf kalau aku menyinggungmu.”

Erik tersenyum tipis. Hidungnya kini terasa plong hingga dia bisa bernafas dengan lega.

Mereka pun melanjutkan makan.

Dalam hati, Erik merutuki alasannya yang kini terdengar bodoh. Padahal tadi pagi dia sudah merasa alasan itu cukup masuk akal.

“Kenapa kau jadi bodoh di depan Mei, Erik??” jeritnya dalam hati.

pipitxomi

Jangan lupa add FB Pipit Xomi dan follow instagram pipitxomi untuk info cerita lebih lanjut. Terima kasih..

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status