Suara nyanyian burung membangunkan Mei. Wanita dua puluh lima tahun itu perlahan mengerjapkan matanya. Saat dia hendak berguling ke samping, tubuhnya mengenai sesuatu. Refleks, dia membuka matanya lebar-lebar. Siapa yang tidur di kasurnya? Tidak pernah ada orang lain di kasurnya –selain Albert tentu saja.
Saat matanya terbuka lebar, dia mendapati sesosok mungil tertidur lelap di sampingnya. Senyum Mei langsung terbit.
Alan! Bayi mungilnya tidur di sampingnya dengan begitu tenang.
Ini adalah pertama kalinya mereka tidur bersama. Matanya terkunci pada wajah imut di sisinya. Kulit halus, hidung mancung, tangan dan kaki yang kecil dan menggemaskan. Rasa-rasanya Mei ingin waktu berhenti agar dia bisa menikmati pemandangan indah ini lebih lama. Namun sayangnya, Mei tiba-tiba merasa kantung kemihnya penuh. Mau tidak mau, dia harus bangkit dan pergi ke kamar mandi.
Selesai buang air kecil, menyikat gigi, dan membasuh wajahnya, Mei keluar. Matanya berbinar saat melihat putranya sudah bangun. Alan sudah tengkurap dan senyumnya merekah saat melihat Mei.
“Wah, kau sudah bangun! Selamat pagi, Sayang.” Mei mendekat dan menciumi putranya. Alan tertawa mendapat serangan dari mamanya.
“Hari ini mama akan membawamu berkeliling dan berbelanja, oke?”
Alan tentu tidak bisa menjawab. Namun senyum lebarnya seakan menandakan kalau dia setuju.
--
Mei, Lili, dan Alan sudah berangkat menuju Orchard Road. Sengaja Mei tidak membawa baby sitter karena dia ingin menebus waktu mereka yang sudah terbuang. Dengan menggunakan mobil Dominic, mereka bertiga pun berangkat.
Orchard Road adalah surga belanja di Singapura. Sepanjang jalan berderet toko-toko dan departemen store dari berbagai merk ternama di dunia. Selain itu, kawasan ini juga terdapat banyak cafe dan hotel-hotel mewah. Rasanya tidak pas jika pergi ke Singapura tapi tidak mampir ke Orchard Road.
Mei tampak cantik dengan kemeja oversized berwarna hijau lumut yang dimasukkan ke dalam celana jeans panjang. Rambutnya dikuncir kuda dengan beberapa helai yang jatuh di sisi kiri dan kanan wajahnya. Seandainya tidak sedang mendorong stroller Alan, banyak orang akan menyangka dia baru masuk universitas. Lili tidak kalah cantik dengan celana jeans sepanjang betis dan kaos crop top dan cardigan. Alan sendiri tampak imut dengan baju jumpsuit dari bahan denim. Kepalanya ditutup topi membuat pipinya tampak semakin bundar menggemaskan.
Untuk tujuan pertama, Mei mengajak Lili dan Alan untuk memasuki departemen store. Mereka berhenti di toko baju anak. Puas memilih beberapa potong baju, Mei segera membayar.
Tujuan kedua adalah toko mainan. Mei memilih mainan yang merangsang fungi motorik dan otak, seperti kubus dan balok. Lili mengambil mobil-mobilan dan kereta api yang bisa mengeluarkan suara. Setelah membayar semua belanjaan, Lili mulai merasa lapar.
“Kak, ayo makan dulu. Lapar nih,” rengek Lili.
“Oke! Ayo, sayang, kita cari makan dulu.” Mei menggendong Alan sedangkan Lili mendorong stroller. Semua belanjaan diletakkan di stroller. Biar tidak repot, begitu pikir Lili.
“Kamu mau makan apa, Li?” tanya Mei sambil mencari-cari restoran yang menarik.
“Apa aja deh, Kak. Yang dekat aja. Kalau jauh kasihan Kakak gendong Alan terus. Pasti berat,” ucap Lili.
Mei mengangguk. Sebenarnya menggendong Alan tidak terlalu berat. Apa gunanya latihan seminggu lima kali kalau menggendong putranya saja dia kesusahan?
“Yang paling dekat ya restoran cepat saji itu. Bagaimana?”Lili mengangguk. “Nggak masalah.”
Dan di sinilah mereka sekarang, duduk di restoran cepat saji yang menyediakan ayam goreng terkenal seantero dunia. Mei memilih untuk menyuapi Alan dengan bubur sebelum dia sendiri makan. Sedangkan Lili memilih makan terlebih dulu agar mereka bisa bertukar tugas saat Lili selesai makan.
Alan memakan buburnya dengan lahap. Tidak ada drama mogok makan dan sebagainya. Mei begitu bersyukur.
Tiba-tiba saja, seorang pria sudah berdiri di dekat meja mereka. “Boleh aku bergabung?”
Mei dan Lili sontak menoleh. Mata mereka melotot karena terkejut.
“Erik??”
Si pria hanya terkekeh. Tangannya masih membawa nampan berisi pesanannya. “Jadi aku boleh duduk di meja kalian?”
“Tentu saja!” sahut Mei.
Lili mengangguk dengan antusias. Dia tidak bisa bersuara karena mulutnya masih penuh.
Erik pun duduk di samping Alan. Senyum di wajahnya tidak luntur. Dia tampak begitu bahagia.
“Kenapa kamu bisa berada di sini? Nggak mungkin liburan, ‘kan?” tanya Mei di sela-sela menyuapi Alan.
“Kebetulan temanku yang di sini sedang merintis usaha gym. Jadi aku diminta bantu-bantu,” jawab Erik lugas.
“Oh iya?” Mei berusaha mempercayai kalimat Erik. Pasalnya, pria itu sama sekali tidak pernah bercerita kalau dia mempunyai teman baik di Singapura meski Mei berkali-kali menceritakan Alan yang tinggal di Singapura. Dan mereka bertemu di sini? Di pusat belanja? Mei benar-benar sulit percaya.
“Hmm.” Erik mengangguk berkali-kali. “Juga Olivia ingin dibelikan oleh-oleh. Makanya aku kemari.” Olivia adalah adik Erik yang kebetulan teman sekolah Lili dulu.
Lili tersenyum sambil melirik Erik. Sebenarnya dia lah yang memberi tahu Erik keberadaan kakaknya. Bagaimana tidak? Tidak sekali dua kali Erik menghubunginya menanyakan kabar Mei yang katanya akan absen latihan. Jengah dengan teror pesan dari Erik, akhirnya Lili pun mengatakan kalau dia dan kakaknya sedang berada di Singapura untuk menjenguk Alan dan mertua kakaknya. Tidak disangka, kini pria ini muncul di sini dengan raut tidak bersalah. Ditambah dengan alasan yang sangat tidak masuk akal rasanya Lili ingin tertawa kencang, tapi dia pasti langsung diusir satpam.
“Jadi ini yang bernama Alan?” Erik menatap bayi imut itu tanpa kedip.
“Yes, Uncle. Aku Alan. Salam kenal.” Tentu saja itu suara Mei. Alan yang merasa disapa, memasang senyum lebar untuk Erik. Gigi susunya yang berjumlah empat mengintip dari balik bibirnya membuatnya tampak sangat menggemaskan.
Erik tertawa melihatnya. Dia tidak bisa menahan tangannya untuk tidak menyentuh pipi bulat itu. “Dia sangat lucu dan tampan.”
“Tentu saja. Dia putraku dan Albert. Lihat matanya! Abu-abu seperti papanya,” ucap Mei penuh kebanggaan.
Erik dan Lili langsung menatap wajah Mei. Biasanya Mei akan langsung menangis dan memukuli dadanya saat mengenang Albert. Namun kini tampaknya emosi Mei memang benar-benar sudah stabil. Wanita itu tidak menangis. Bahkan matanya memancarkan cinta yang dalam untuk Alan.
“Kalian kenapa?” tanya Mei. Keningnya berkerut melihat Lili dan Erik yang menatapnya penuh selidik.
Kedua orang itu pun menghela nafas lega.
“Tidak ada apa-apa, Kak,” jawab Lili. “Aku sudah selesai. Kakak sebaiknya makan sekarang. Aku akan mengajak Alan ke depan melihat-lihat yang di sana.”
Mei setuju. Bubur Alan juga sudah habis. Kini saatnya dia menikmati makanannya.
Lili berdiri, menggendong Alan, dan mengajak keponakannya keluar. kini tinggallah Mei dan Erik di meja, menikmati makan.
“Kau yakin sedang mengunjungi temanmu?” Mei bertanya dengan nada datar tapi penuh intimidasi.
Erik kesulitan menelan makanannya. “Apa kau ingin aku kenalkan dengan temanku?” Erik yakin suaranya sedikit bergetar, tapi dia berusaha membuat raut seserius mungkin.
Mei menghentikan makannya. Matanya menatap lurus mata Erik. Sedetik kemudian, dia tertawa. “Jangan bercanda! Aku tidak seserius itu. Maaf kalau aku menyinggungmu.”
Erik tersenyum tipis. Hidungnya kini terasa plong hingga dia bisa bernafas dengan lega.
Mereka pun melanjutkan makan.
Dalam hati, Erik merutuki alasannya yang kini terdengar bodoh. Padahal tadi pagi dia sudah merasa alasan itu cukup masuk akal.
“Kenapa kau jadi bodoh di depan Mei, Erik??” jeritnya dalam hati.
Jangan lupa add FB Pipit Xomi dan follow instagram pipitxomi untuk info cerita lebih lanjut. Terima kasih..
“Aku udah selesai. Kamu udah?” tanya Mei. Dia baru kembali dari wastafel dan meremat bungkus nasinya. Erik mengangguk. Dia pun meraih gelas cola-nya dan meminumnya hingga tandas. Mei menoleh keluar. Untung saja saat itu Lili juga tengah menoleh padanya. Mei segera melambaikan tangannya. Lili pun mengangguk. “Udah, Kak?” tanya Lili. Mei mengulurkan tangannya, meraih Alan dan memangkunya. “Udah. Itu Erik juga udah.” “Ayo!” Erik berdiri, mengambil tas-tas belanja yang ada. “Wah, terima kasih banyak. Memang Mas Erik luar biasa!” puji Lili. Yang dipuji pun langsung tersenyum manis. “Aku udah nolongin kamu bawa belanjaan. Jangan lupa terus kasih info tentang kakakmu, ya!” bisik Erik pada Lili. Lili tersenyum lebar dan mengangkat jempolnya tanda setuju. Lili yakin Erik adalah pria yang tepat untuk kakaknya. Buktinya, Erik tetap menemani Mei meski dia berada di titil terbawah dalam hidupnya. Gadis itu berharap suatu saat Mei bisa menerima Erik sebagai teman hidup. Baru saja keluar dar
Flashback satu setengah tahun yang lalu.. Kehamilan adalah berita bahagia yang ditunggu-tunggu pasangan suami istri. Meskipun Albert dan Mei tidak memasang target memiliki anak, tetap saja mereka sangat antusias menyambut kabar kehamilan itu. Saking bahagianya, Albert sampai berencana membawa Mei babymoon ke mana pun yang Mei mau. “Kenapa memilih ke Batu Malang, Sayang?” tanya Albert. Mereka kini sedang di atas kasur sambil berpelukan erat. Albert sengaja memeluk Mei dari belakang karena takut mengimpit calon bayi di perut istrinya. “Mmm, aku hanya ingin memanjakan mataku dengan melihat kebun teh dan berbagai macam bunga-bunga di sana,” jawab Mei. “Yakin cuma itu?” “Memangnya apa lagi?” Mei semakin memundurkan tubuhnya hingga punggungnya menempel sempurna di dada sang suami. Sungguh, berpelukan seperti ini dengan suami memang sangat nyaman. “Bukan karena alasan yang lain?” tanya Albert sambil menciumi bahu dan tengkuk istrinya. Sesekali, jambangnya digesekkan ke bahu polos istr
Pagi ini Mei bangun dengan semangat baru. Siang ini dia akan kembali ke Surabaya. Lili sudah memesan tiket untuk mereka bertiga –Erik termasuk.Mei sempat mencium pipi Alan sebelum dia beranjak ke kamar mandi. Mei hanya butuh sepuluh menit di kamar mandi. Saat dia kembali, Alan masih memejamkan matanya. Dengan gemas, Mei mendekati putranya.“Sayangnya mama, nggak ingin bangun nih? Hm?” Mei menciumi pipi Alan. Yang dicium justru mengerucutkan bibirnya. Tangannya mengelap pipi yang baru saja dicium Mei.Sontak saja hal ini membuat Mei tertawa. Alan tampak semakin menggemaskan di matanya. Semakin besar Alan semakin mirip dengan papanya. Tiba-tiba saja mata Mei mulai memanas. Air mata mulai mengumpul di sudut matanya. Mei menatap wajah Alan tanpa kedip. “Apa kamu tahu betapa miripnya wajahmu dengan papamu?” ucapnya lirih. Tangannya mengelus lembut pipi dan alis Alan. Bayi itu seperti terhipnotis. Dia tidak bergerak seakan usapan mamanya adalah nina bobok untuknya.“Maaf, mama harus menin
Hari ini Mei akan mulai penyelidikannya. Dia sudah siap dengan celana panjang, kaos, dan jaket. Lili masih libur kuliah, jadi dia akan menemani kakaknya. Dia juga sudah siap. Dia bahkan sudah membuat roti lapis untuk sarapan bersama Mei.“Ayo sarapan dulu sebelum berangkat, Kak!”Mei mengangguk. Kakinya melangkah menuju meja makan dan duduk dengan tenang. Mei harus menjaga emosinya tetap tenang agar bisa memecahkan kasus ini dengan cepat. “Kau yakin akan menemani kakak, Lili?”“Tentu saja, Kak. Aku juga sangat penasaran siapa orang yang tega menyakiti hatimu seperti ini.” Lili tampak mengetatkan rahangnya.“Terima kasih,” sahut Mei tulus.Lili tersenyum manis dan menatap kakaknya. “Kita bersaudara, Kak. Jika aku dala masalah, aku yakin Kakak juga akan menolongku.”“Tentu saja!” sahut Mei.Setelah sarapan, Mei dan Lili langsung menuju bengkel Dimas. Lili tidak lupa membawa laptop kesayangannya. Dia adalah seorang hacker. Dia yakin dia bisa membantu kakaknya dengan keahliannya itu.Tig
Di layar laptop Lili kini terpampang foto seorang pria muda dengan rambut panjang yang dikuncir. Sebuah tato tengkorak terbakar terlihat jelas di tangan kirinya."Apa kau bisa mencari tahu siapa dia?" tanya Dimas.Lili berdecak. "Jangan meremehkan aku!"Jari Lili langsung bergerak lincah di atas keyboard, mengetik sesuatu yang Mei dan Dimas tidak mengerti.Mata Dimas melirik gadis muda yang duduk di sebelahnya. Dalam hati, dia kagum dengan kehebatan yang dimilikinya. Tidak dia sangka gadis mungil ini memiliki kemampuan yang tidak biasa."Ini!" seru Lili.Dalam beberapa detik, mereka sudah mengetahui nama preman itu."Alif Satria, biasa dipanggil Bolet. Mantan napi narkoba yang bebas dua tahun lalu. Semenjak keluar dari penjara, dia menjadi kuli di Pelabuhan Perak. Tidak menikah dan tidak punya anak. Tinggal di kos sekitar Dupak," terang Lili."Bagaimana bisa seorang preman menargetkan kamu, Kak?" tanya Lili pada Mei.Mei menatap Lili. "Aku tidak mengenalnya. Dan aku sangat yakin Albert
Erik meluncur menuju pelabuhan, tempat Bolet bekerja. Dia sengaja memarkirkan mobilnya tidak jauh dari pos satpam. Erik ingin menyusuri area pelabuhan dari depan. Dia tidak ingin melewatkan satu tempat pun untuk mencari Bolet. Turun dari mobil, Mei dan Erik langsung mencari sosok preman itu. Dengan berbekal foto dan nama, mereka menyisir pelabuhan.Luasnya area pelabuhan membuat Mei dan Erik kesulitan mencari sosok Bolet. Keringat sudah membanjiri tubuh keduanya. Erik sudah bertanya pada beberapa kuli panggul yang ditemuinya, tapi tidak ada satu pun yang mengenal bolet.Mei mulai merasa kakinya kaku dan wajahnya penuh dengan keringat. Mereka berdua sudah berputar-putar hingga kembali lagi di area prkir. Dia mengajak Erik duduk di bangku area parkir.“Apa mungkin informasinya salah?” keluh Mei. Tangannya mengelap keringat yang membanjiri keningnya.“Entah.” Erik membuka botol air dan langsung meminumnya. Setelahnya, dia memberikan satu lagi botol yang masih utuh pada Mei.Mei pun langs
Flashback...Mei menikmati semilir angin pantai di Lombok. Dia membiarkan kakinya basah oleh air laut. Sudah sejak lama dia tidak merasakan sensasi air asin itu. Satu tangannya memegang topi jerami lebar yang melindungi wajahnya dan satu lagi mengusap perutnya yang sudah membuncit. Suasana pantai ini sangat sepi. Hanya ada beberapa orang saja. Itu pun jarak mereka berjauhan karena memang pantai ini adalah pantai pribadi. Vila yang sedang ditempat Mei dan keluarganya ini disewakan beserta pantainya. Budi sengaja mengajak Mei liburan ke sini untuk menyenangkan hatinya. Sebagai seorang ayah, dia sedikit mengkhawatirkan keadaan Mei yang lebih sering murung daripada tersenyum. Putrinya itu bahkan selalu menangis setiap malam, memukuli dadanya, dan menyalahkan dirinya atas kematian Albert. Budi berharap suasana vila dan pantai yang cukup private bisa mengobati suasana hatinya. Sudah berbulan-bulan sejak Mei kembali ke rumah ayahnya, dia belum pernah sekali pun memberi kabar pada mertuanya.
“Shh!! Tenang, Sayang. Jangan menangis terus! Nanti Pak Dokter datang. Kamu pasti nggak mau diusir, ‘kan? Makanya diam dulu.” Mei berusaha menenangkan Alan. Ditepuk-tepuk pelan pahanya agar dia berhenti menangis. Namun, tangisan Alan tidak juga berhenti.“Alan, anak pintar, sudah nangisnya. Jangan nangis lagi ya?”Bayi merah itu seakan tidak mendengar perkataan mamanya. Dia masih saja menangis.Mei menjadi bingung dan panik. Dia tidak tahu apa yang salah. Alan tidak mau menyusu juga tidak kunjung memejamkan matanya. Tiba-tiba saja terbersit ide saat melihat bantal. Dia pun segera mengambil bantal dan diarahkan ke wajah Alan.“Lan, mama tutup sebentar saja ya. Biar kamu nggak nangis lagi. Mama takut kamu dianggap mengganggu oleh dokter. Kalau kamu ditegur dan dimarahi, mama tidak akan tega,” ucap Mei dengan wajah letih dan melas.Bantal sudah di atas wajah Alan. Mei menekannya sedikit agar suara tangis Alan tidak terdengar keluar. Bayi itu mulai terengah-engah. Tendangan kaki dan tanga