Aku hanya tersenyum sinis. Dasar lelaki buaya buntung! Nggak bisa lihat yang bening dikit.
“Ambil semuanya jangan ada yang tersisa.”
Mas Rido tersadar dan berusaha mengambil televisi yang diangkut salah satu preman, tarik menarik pun terjadi. Mas Rido memukul wajah preman tersebut. Preman tersebut tak terima akhirnya membalas memukuli Mas Rido. Wajahnya yang masih lebam berdarah kembali.
Dengan wajah penuh amarah Mas Rido menatapku. “S*alan kau Risma! Kenapa kau perintahkan preman itu untuk mengambil barang-barangku, hah?!”
Dasar tak tahu malu. “Apa aku nggak salah dengar?! Itu semua punyaku, aku yang kerja dan barang itu dibeli pakai uangku!” hardikku
“Angkut dan masukkan semua ke dalam truk itu, Bang!” Aku menyuruh salah satu preman yang sedang membawa kursi di ruang tamu. Aku memang meminta mereka datang dengan truk agar memudahkan membawa semuanya.
“Tapi aku suamimu, uangmu adalah uangku terserah mau aku apakan uang itu!”
“Termasuk untuk menikah lagi! Iya!? Kau lebih memilih p*lacur itu daripada aku istri sah mu? Kau tega mengkhianatiku hanya demi kepuasan bawah perutmu itu! Kau tega berbuat kejam kepada anak kandungmu hanya demi menyenangkan pelacu* itu! Ini semua tak ada artinya dibanding sakit hatiku dan anak-anakku, Mas!” Aku terengah engah. Kukeluarkan semua yang selama ini kupendam dalam hati.
“Aku bukan p*lacur! Aku juga dinikahi secara sah!” Mala berteriak emosi, mendekat hendak menjambak rambutku. Tapi salah satu preman menghalaunya sebelum tangannya mencapai rambutku.
Aku tersenyum mengejek. “Sah? Yakin? Aku belum bercerai jadi mana mungkin kalian menikah sah tanpa tanda tanganku sebagai istrinya?” Aku memancing Mala.
“Semua itu bisa diatur, buktinya aku bisa menikah dengan Mas Rido,” ucapnya bangga.
“Apa buktinya?”
Dia berjalan kedalam rumah. Beberapa saat kemudian dia terlihat membawa sesuatu ditangannya.
“Ini buktinya.” Mala menyerahkan buku nikahnya kepadaku.
Aku melihatnya sekilas. “Tolong simpan ini Bang sebagai bukti.”
Aku memberikan buku nikah itu kepada preman yang berdiri disampingku sebagai penjaga.
“Kau ... dasar licik!” Mala berusaha merebut buku nikah itu lagi, tapi gagal.
“Aku bukan licik ... hanya kau saja pelacu* bod*h.” Aku terus memancing emosinya.
“Sudah kukatakan! Aku bukan pel*cur!”
“Apa namanya kalau wanita mau tidur dengan lelaki yang bukan muhrimnya kalau bukan p*lacur? Apalagi demi uang dan kehidupan mapan?”
“Kau ...” Mala tak meneruskan ucapannya.
“Mas jangan diam saja lakukan sesuatu!” Mala meminta Mas Rido membantunya.
“Memangnya kau pikir aku bisa apa?! Kau tak lihat wajahku remuk dipukuli Risma dan preman tadi!” Mas Risma membentak Mala.
Aku membiarkan mereka beradu argumen, berjalan memasuki rumah yang mulai kosong. Aku melihat sekeliling ruangan. Rumah mewah ini hasil jerih payahku selama di negeri orang. Awalnya Mas Rido bekerja jadi kuli bangunan, tapi karena penghasilan yang tidak pasti dan sering menganggur karena tidak ada pekerjaan, akhirnya Mas Rido memintaku untuk menjadi TKW. Dengan dalih mengasuh kedua anakku yang masih kecil Mas Rido tidak bekerja.
Aku pun tak menyangka Mas Rido tega menganiaya anaknya sendiri. Sungguh benar benar b*adap!
Aku belum menanyai anakku tentang perlakuan ayahnya kepada mereka. Fokusku adalah menyembuhkan luka mereka terlebih dulu. Terutama batin mereka. Aku takut mereka memiliki trauma dimasa mendatang.
Kalau saja Mas Rido tidak berkhianat pasti aku sangat bahagia memiliki rumah mewah seperti ini. Anak-anak berlarian di halaman rumah, sedangkan aku dan Mas Rido mengawasi mereka dan duduk di teras sambil minum teh dan mengobrol berdua. Ah, itu Cuma angan anaganku saja, karena semua itu tak akan mungkin terjadi padaku dan Mas Rido.
Aku mulai menuju kamar tidur. Kamar yang seharusnya menjadi milik kami berdua. Tak ada lagi foto pernikahanku, yang ada hanyalah foto pernikahan Mas Rido dengan Mala, digantung didinding dengan pigura besar. Mereka berdua tersenyum bahagia, tanpa mereka sadari ada hati yang tersakiti. Aku tersenyum miris. Aku mulai mengambil asbak diatas meja dan melemparnya kearah pigura itu.
Prang!
Pigura itu pecah berkeping-keping. Air mataku luruh juga. Jujur aku masih mencintai suamiku. Meski berpura-pura kuat ternyata aku lemah juga. Sakitnya dikhianati membuatku sadar, ini semua karena aku berharap kepada manusia.
Mas Rido dan para preman masuk kamar untuk melihat apa yang terjadi. Aku sudah mengusap air mataku dan berdiri dengan percaya diri. Aku tak boleh terlihat lemah dihadapan mereka semua.
Preman itu hendak mengangkat tempat tidur itu, tapi aku mencegahnya.
“Tak usah diangkut tempat tidur itu. Tinggalkan saja di sini. Benda itu menjadi saksi bisu perbuatan menjijikan mereka berdua. Aku tak sudi membawanya,” sungutku.
“Bawa lemari dan meja itu, keluarkan semua baju-bajunya.” Perintahku selanjutnya.
“Siap, Bos!” jawab Preman itu.
“Dek ....” Mas Rido memanggil dengan lembut.
“Jangan kau ambil barang-barang itu, apa kita tak bisa tinggal sama-sama di sini? Aku janji akan berlaku adil kepada kalian berdua.”
Aku berdecik. Jijik rasanya mendengar Mas Rido bicara seperti itu.
“Aku tidak mau! Aku tidak sudi dimadu olehmu. Apalagi dengan perempuan mur*han seperti dia.” Aku menunjuk Maya.
“Tanpamu aku masih bisa hidup, Mas. Tidak sepertimu. Aku mau lihat seperti apa hidupmu setelah kita berpisah.” Aku tersenyum sinis.
“Aku tidak akan pernah menceraikanmu, Risma.” Mas Rido tidak terima.
“Mas!!” Mala kelihatan ingin protes tetapi tak dihiraukan oleh Mas Rido.
“Tenang saja .... kita memang belum bercerai sampai aku membalas perbuatanmu! Camkan itu, Mas!!” Aku pun berlalu meninggalkan Mas Rido .
Bab 30 PoV MalaAku benci anak-anak. Mereka berisik, pengganggu dan bikin emosiku naik. Kalau bukan karena duitnya, aku juga nggak mau dinikahin lelaki seperti Mas Rido. Apalagi ditambah kedua anaknya. Selalu bikin emosi. Mereka anak yang nakal, selalu membantah saat kusuruh, makanya aku memberitahu Mas Rido agar mendidik dengan kekerasan biar mereka jadi anak yang penurut.Selama ini baik-baik saja, aku pun nggak perlu mengeluarkan uangku karena membayar sekolah mereka, justru aku mengajari mereka mencari uang dengan mengamen di jalan. Bukannya aku Ibu tiri yang baik?Tapi entah darimana si Risma, istri pertama dari Mas Rido tahu tentang pernikahanku dan Mas Rido. Si*lnya dia pulang dan mengambil semua harta yang telah diberikan kepada Mas Rido, bahkan perhiasan yang telah kukumpulkan pun diambilnya juga. Puncaknya saat rumah itu dirobohkan. Harusnya sertifikat itu diganti atas namaku biar dia gak bisa macam-macam.Rumah Mas Rido sudah dirobohkan, rumah mertua yang cerewet itu sudah
Bab 29Risma masih duduk di cafe itu sendirian. Menikmati segelas kopi susu hangat. Dia tersenyum. Akhirnya mereka akan mendapat balasan atas perbuatan mereka.Risma mengambil gawai dan menghubungi seseorang.“Halo, Lit. Lagi sibuk nggak?”“Enggak, lagi nyantai aja di rumah, gimana?” ucap Lita dari seberang telepon.“Bisa bertemu sekarang? Aku di rich cafe.”“siap! Otewe!”“Oke. Kutunggu.”Risma memesan minuman dan camilan untuk Lita. Tak lama kemudian, Lita pun datang karena memang letak cafe itu tak jauh dari rumahnya.“Mbak Risma, tumben ngajak ketemu, Mbak!” Begitu tiba, Lita langsung duduk di depan Risma.“Iya, Lit. Aku mau nanya soal yang aku minta tolong dulu.” Risma mendekatkan minuman dan makanan ke depan Lita.Lita tersenyum. “Makasih. Iya, Mbak. Aku sudah nyari tetanga-tetangga yang mau jadi saksi atas kekejaman Rido dan keluarganya, ada tiga orang. Dua wanita dan satu pria.”“Wah, makasih banget, Lit. Mereka melihat langsung atau gimana?” Risma antusias.“Wanita pertama Bu
Bab 28“Hei! Bangun kalian! Dasar gelandangan! Pergi dari depan tokoku! Bikin rusak pemandangan aja, jangan tidur di sini nanti pembeliku pada kabur.” Rido dan Mala yang masih tidur dibangunkan oleh pemilik toko itu.Rido kaget, mendadak pusing dibangunkan secara kasar.“Yang sopan dong, Pak. Masa numpang tidur semalam aja kayak gitu! Aku bukan gelandangan. Semalam hujan jadi numpang neduh aja!” Rido tak terima dikatai gelandangam oleh pemilik toko.“Terserah apa katamu. Pergi dari sini! Aku mau buka toko.” Usir pemilik itu lagi.“Mala, bangun yuk, kita cari pom bensin buat numpang mandi.” Rido membangunkan Mala yang masih lelap tidur.“Iya, Mas.” Mala mengucek mata dan merapikan rambutnya.“Di depan sana ada pom, kita mandi lalu ke kantor polisi buat ngelaporin adiknya si Risma. Kita tuntut biar dapat uang ganti rugi,” ucap Rido sambil membereskan baju yang dipakai sebagai alas tidur.“Aku nggak mau dan nggak setuju, Mas! Tuntut aja langsung nggak usah lewat polisi, ngapain sih!” Mal
“Apa?! Lalu gimana? Dia mengizinkan kita di sana kan, Mas? Nanti kalau tinggal di sana lama kelamaan kita bisa menguasai rumah itu. Kamu nggak perlu kerja kita udah kaya raya, Mas!”**“Mauku juga gitu, kita tinggal di sana enak, nggak usah kerja. Risma itu sebenarnya bod*h, pasti dia mengizinkan kita tinggal di sana.” Rido yakin mereka akan bisa tinggal di rumah Risma.Saat ini Risma sedang bersiap mengantarkan kedua anaknya ke pondok, semua keluarga Risma ikut berangkat, Aida dan Rey pun turut serta. Risma memutuskan untuk melupakan saja permasalahan dengan Rey kemarin, toh juga mereka tidak ada hubungan apa-apa.Arif dan Ririn ikut rombongan Ustaz, sedangkan lainnya berada di mobil Rey.“Mbak? Sekali lagi aku tanya, Kamu beneran mau mengizinkan Mala tinggal di rumahmu?” Rian membuka percakapan di dalam mobil.“Maksudmu apa, Yan?” Rey menyela pertanyaan Rian.“Risma mau mengizinkan Mala tinggal di rumahnya, Bang! Gila nggak Mbak Risma?” ucap Rian.“Apa?! Aku tidak setuju! Aida kenap
Bab 26Bugh! Bugh! Bugh!Terdengar suara orang dipukul“Akhirnya kita ketemu juga!”**Rian memukuli Rido sekuat tenaga. Ia melampiaskan semua emosinya. Dia sungguh tak terima keponakannya mengalami semua kejadian itu.“Kamu lelaki bangs*t, brengs*k, menjij*kkan, pengecut beraninya sama anak kecil. Ayo lawan aku seperti kau memukul Arif!” Rian berkacak pinggang di depan Mas Rido yang tersungkur. Kekuatan Rian memang tak main-main karena ia seorang pelatih beladiri.“A—aku tak sengaja,” jawab Rido terbata.Bugh!“Sori, tak sengaja juga!” Rian sengaja mengejek Rido.Ia menghentikan pukulannya setelah melihat Rido terkapar tak berdaya, wajahnya sudah bengkak dan berdarah. Karena seorang pelatih, Rian pun tahu titik mana yang bukan daerah vital.“Apa maumu datang ke sini!” Rian bertanya kepada Rido saat melihatnya sudah sadar“Aku ingin minta maaf dan meminta Risma agar mengizinkan kami tinggal di sini.” Rido menjawab dengan terbata-bata.“Kami?” ulang Rian memperjelas.Rido mengangguk. “
Pagi hari Risma bersiap-siap untuk menyambut Ustadz Soleh, memang setelah tinggal di rumah ini, Risma memutuskan untuk memanggil ustadz setiap hari untuk mengajari kedua anaknya mengaji dan ilmu agama. Setelah mengikuti beberapa kali mengaji bareng, Risma melihat ada peningkatan Arif dalam mengatur Emosinya, sedangkan Ririn sudah mulai ceria dan banyak berceloteh seperti dulu.“Syaikh Ali al-Shabuni dalam Rawa'iul Bayan menjelaskan bahwa orang tua dianjurkan untuk mendidik anaknya agar menutup aurat, khususnya perempuan, pada saat mereka berumur sepuluh tahun. Ketika umur anak sudah sepuluh tahun mintalah mereka untuk berhijab dan menutup auratnya.” Ustadz Soleh memberikan tausiahnya. Risma pun merasa tertampar, selama ini memang dia tak pernah menutup auratnya, apalagi mengajari anak perempuannya.“Maaf, Bu Risma. Sepertinya hari ini terakhir saya bisa mengajar mengaji, karena besok saya dipanggil pondok untuk mengajar disana. Semoga Ilmu yang selama ini saya berikan bisa berguna bag