Tangan besar Leona meraba ke sisi kiri tempat tidur dengan mata masih terpejam. Kening berkerut menyadari tidak ada orang di sana. Kelopak netra abu-abu itu perlahan terbuka, lantas menatap lesu ruang kosong yang ada di sebelah.
Tidak ada Mark di sana. Biasanya ia memeluk pria itu sebelum membuka mata, kemudian suaminya memberi kecupan selamat pagi. Begitulah setiap pagi yang ia lewati dulu. Kini semua berubah setelah pengkhianatan Mark. Lelaki itu bahkan masih bersandiwara seolah masih mencintainya, sebelum aksi bejatnya diketahui Leona.
Hari kedua tanpa suami di sisi, masih terasa berat bagi Leona. Bayangkan, ia telah menghabiskan waktu sepuluh tahun bersama, berbagi suka dan duka. Sekarang hanya luka yang ia rasakan. Lagi, bulir bening meluncur begitu saja dari sudut matanya.
“Leona.” Tiba-tiba terdengar suara bariton dari luar. Sudah jelas milik West, pria yang baru dikenalnya selama tiga hari.
“Ya?” sahutnya dengan suara serak khas bangun tidur.
Kedua jari telunjuk Leona bergerak ke bagian mata, lantas menguceknya sebentar. Dia beranjak duduk, merentangkan kedua tangan dan meregangkan otot-otot yang bisa jadi sakit akibat posisi tidur yang kurang pas, atau karena tertindih tubuhnya yang gempal.
“Kau masih tidur?” tanya West di balik pintu.
“Kalau masih tidur, bagaimana aku bisa menjawabmu, West?” jawab Leona mengeraskan suara.
Samar terdengar suara West tertawa di luar, membuat wanita itu berdecak. Leona kemudian berdiri seraya mengikat seluruh rambut ke atas, sebelum membuka pintu.
“Ada apa?” desis Leona setelah membuka pintu. Pandangannya melihat ke arah lantai, bukan kepada West.
Pria berambut cokelat itu mengamatinya beberapa saat. “Kau menangis lagi?” tebak West setelah melihat sisa air mata di sudut mata Leona.
“Siapa yang menangis?” kilah Leona menyeka air mata yang siap mengalir sambil mengedipkan mata cepat.
Dua detik kemudian, ia malah menangis tersedu. “Sampai kapan aku terbiasa dengan keadaan ini, West?”
Lelaki bertubuh tinggi tegap itu menarik napas berat, kemudian menarik tubuh besar Leona ke dalam pelukan. Dia menepuk pelan punggung yang dilapisi lemak itu, mencoba menenangkannya.
“Kau bisa pinjam bahuku saat ingin menangis, Leona,” bisik West membuat wanita tersebut semakin sesegukan.
“Kenapa kau baik sekali? Kita baru kenal tiga hari,” isak Leona di dada bidang itu. Aroma citrus menyeruak di rongga hidungnya.
Tangan West naik membelai lembut belakang kepalanya. “Tidak perlu mengenal lama untuk melakukan kebaikan, Leona. Itu semacam panggilan hati.”
Wanita itu melonggarkan pelukan, lalu mundur satu langkah ke belakang. Netra abu-abunya memandang paras West yang dihiasi rambut halus di pinggir wajah hingga dagu.
“Ternyata penipu sepertimu gampang tersentuh,” komentar Leona tersenyum kecut.
Bibir West terbuka sedikit ketika jari telunjuk naik ke atas. “Aku menipu orang yang pantas untuk ditipu, Leona. Jangan lupa itu.”
Leona mengangguk kecil.
“Sekarang mandilah. Setelah sarapan kita akan pergi ke suatu tempat.”
“Ke mana?” Raut bingung menghiasi wajah wanita tersebut.
“Membeli pakaian untukmu.”
Jari telunjuk dilapisi lemak itu bergerak ke wajah chubby-nya. “Pakaian untukku? Buat apa? Aku masih punya pakaian yang bagus.”
West berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Bukan pakaian seperti itu maksudku, tapi gaun berukuran nol alias size zero.”
“What?” Leona terbelalak mendengar perkataan West.
“Ukuran yang cocok untuk tubuh dan identitas barumu, Leona.” West menyeringai dengan sebelah alis naik ke atas.
***
“Apa tidak sebaiknya beli nanti saja? Belum tentu aku bisa kurus lagi,” keluh Leona ketika mereka sudah berada di mall.
West menggeleng dengan pandangan mencari outlet yang bagus untuk dikunjungi. “Pakaian itu bisa menjadi motivasi untukmu menurunkan berat badan, Leona.”
“Tapi ….”
Mata biru itu melebar saat kedua alis naik ke atas. “Kau harus menurunkan berat badan empat puluh kilogram. Bayangkan, empat puluh kilogram!!” katanya mempertegas kalimat terakhir.
“Aku tidak yakin berhasil. Sekarang saja tubuhku lemas karena kurang makan,” keluh Leona memperlihatkan wajah yang menyedihkan.
Pria itu menggeleng cepat, lalu melanjutkan lagi langkah menuju outlet pakaian wanita.
Leona terpaksa mengikutinya dari belakang. Sejak tadi ia merasa was-was jika bertemu dengan Mark di sini, karena mall ini sering dijadikan tempat untuk bertemu dengan klien.
Dia tertawa miris menyadari pria itu tidak menghubunginya sejak bertengkar dua hari yang lalu.
“Dasar pria brengsek,” gerutunya pelan.
“Siapa yang brengsek?” Langkah West berhenti tepat di depan pintu outlet pakaian. Dia memutar balik tubuh menghadap Leona dengan sebelah tangan masuk ke saku celana jeans.
“Siapa lagi?”
“Maksudmu Mark?” Pria itu mengedarkan pandangan ke lantai mall tempat mereka berada. “Kau melihatnya?”
Leona menggeleng lesu. “Aku hanya ingin memakinya saja.”
“Why?”
Wanita itu mengibaskan tangan singkat. “Lupakan. Aku sedang tidak ingin membahas pria itu.”
West bingung melihat sikap plin-plan wanita yang ada di depannya sekarang. Terkadang Leona terlihat seperti membenci Mark, tapi tidak jarang juga menangis karena masih mencintainya. Dia meraih tangan yang membengkak karena lemak tersebut, kemudian menggenggamnya erat.
“Ayo masuk.”
Leona bergeming menatap pegangan tengan West.
“Kita sudah sepakat akan berkencan sebelumnya, Leona. Kau lupa?”
Kepala dengan rambut dikuncir satu itu menggeleng.
“Apa kau tidak malu berjalan dengan wanita gendut sepertiku?”
Pria berahang tegas itu menggeleng singkat, kemudian menarik tangan Leona memasuki outlet pakaian. “Untuk apa malu? Kau cantik,” katanya membuat pipi chubby memancarkan semu merah.
Leona memilih diam ketika melihat West berinteraksi dengan penjaga outlet. Dia sendiri bingung harus membeli apa, karena sudah lama tidak berbelanja di toko yang menjual gaun untuk tubuh langsing.
“Bisa pilihkan pakaian yang cocok untuknya?” pinta West setelah disambut ramah oleh pelayan.
Pelayan dengan rambut disanggul tersebut tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya ketika melihat Leona.
“Jangan lihat tubuhnya yang sekarang, tapi nanti,” ujar West lagi seakan tahu makna tatapan mata hitam pelayan tersebut.
“Maaf, Tuan,” ucap pelayan menundukkan sedikit tubuh ke depan.
West mengalihkan pandangan kepada Leona, memintanya agar ikut dengan pelayan. “Pilih yang kau suka.”
Meski merasa sedikit aneh, akhirnya wanita bertubuh besar tersebut mengikuti pelayan. Dia kebingungan dengan ukuran berapa yang akan dipilih.
“Ingat size zero, Leona,” cicit pria itu menahan tawa.
Leona memandang West dingin. Dia sendiri tidak yakin bisa menurunkan berat badan sebanyak itu dalam waktu singkat.
Dua jam mengitari mall membuat tungkai Leona lelah menopang tubuh gempalnya. Beberapa pakaian yang dibutuhkan sudah berada di tangan West. Pandangannya beredar mencari keberadaan tempat duduk.
“West, aku lelah. Sebaiknya kita istirahat dulu,” ajak Leona dengan keringat mulai muncul di sela pori-pori.
“Oke. Kita cari tempat santai dan minum kopi dulu.” Pria itu mengacungkan telunjuk ke atas. “Tapi ingat, kau hanya boleh mengkonsumsi espresso atau jus buah dengan sedikit gula.”
Leona mengangguk pasrah. Keinginan meminum cappuccino creamy terpaksa diurungkan demi menurunkan berat badan. Target yang diberikan West hanya tiga bulan. Wow!!
Mereka berdua mengambil tempat duduk yang berada di sudut kanan café agar bisa berbicara dengan leluasa. Leona menghempaskan tubuh dengan lesu di kursi yang berada tepat di depan West duduk.
“Apa kau selalu seperti itu?” tanya West sebelum membuka buku menu.
“Seperti itu apa?” Leona malah balik bertanya.
“Cepat lelah.” Pria itu menutup lagi buku menu setelah menemukan pesanan yang diinginkan. Dia mengalihkan pandangan kepada Leona. “Kita baru berjalan dua jam dan kau sudah mengeluh kelelahan.”
Dagu West terangkat menunjuk wanita itu. “Lihatlah wajahmu sekarang. Benar-benar menyedihkan,” sambungnya setengah meledek.
“Berat badanku terlalu berlebih, West. Karena itulah cepat lelah.”
“Kenapa kau tidak menurunkan berat badan sebelumnya?”
Leona mengangkat bahu singkat. Dia meraih buku menu, sebelum menjawab pertanyaan kesekian dari West. “Aku lebih banyak di rumah, stress dan menjadikan makanan sebagai pelampiasan.”
Pantas saja suaminya selingkuh. Aku jamin dia tidak bisa memuaskannya di ranjang, komentar West dalam hati.
“Sekarang kau harus berjuang untuk menurunkan berat badan,” tanggapnya kemudian.
Baru saja ingin merespons perkataan pria tersebut, tilikan netra Leona tak sengaja menangkap kehadiran sosok yang sangat dikenal di pintu café. Udara mendadak hilang di sekitar, sehingga napasnya menjadi sesak. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam hati saat ini.
Marah, benci dan … rindu. Sial! Wanita itu tidak tahu harus mengikuti rasa yang mana.
“Kau kenapa Leona?” gumam West melihat perubahan drastis wajah perempuan yang duduk di depannya.
Leona menundukkan kepala dalam-dalam, sebelum menjawab pertanyaan West. “Mark ada di sini.”
Bersambung....
Hai Kakak-kakak, mohon maaf novel ini aku pending update hingga kontrak dari Good Novel turun ya. Tenang aja, aku akan langsung update ketika sudah sign kontrak. Jangan lupa follow I* @Leena_gie, agar bisa mendapatkan informasi terkini tentang novel ini :*
Tujuh bulan kemudianLeona sedang duduk di sofa ruang tamu rumah yang telah ditempatinya satu tahun belakangan. Dia sedang menonton televisi yang menayangkan berita kriminal. Di sampingnya ada West yang juga ikut menyaksikan siaran udara tersebut.Hari ini sidang vonis atas kepemilikan narkotika yang dituduhkan kepada Mark digelar, sehingga mereka berdua menantikan bagaimana hasil dari sidang tersebut. Setelah itu, Mark akan melakukan sidang lainnya atas tuduhan penipuan yang pernah dilakukan kepada West. Ternyata begitu banyak skandal yang telah dilakukannya, sehingga tuntutan menjadi berlipat.“Apa kau yakin ingin menjual rumah itu, Sayang?” tanya West memecah keheningan seraya memainkan rambut hitam istrinya.Oya, sekarang mereka telah resmi menjadi suami istri yang sah di mata hukum. West langsung mengurus berkas pernikahan, setelah sidang putusan akhir perceraian Leona dan Mark. Kini ia telah memiliki wanita itu secara ut
Leona bangun di pagi hari dengan senyum merekah. Dia masih belum percaya bisa berhasil mengelabui Mark. Wanita itu berpikir orang yang akan menjadi mantan suaminya adalah pria yang pintar. Ternyata tidak, pria itu bisa ditipu oleh perempuan bernama Tatiana.“Sepertinya kau bahagia sekali,” gumam West dengan mata separuh terbuka.Leona menoleh ke kiri, melihat suaminya berusaha membuka mata. Kepala yang dihiasi rambut burgundy itu mengangguk cepat.“Kita berhasil, West!!” seru Leona mengulang lagi antusiasme yang sempat diperlihatkan tadi malam.“You did it, Honey,” puji West memberi kecupan di bibir istrinya.Kening yang berukuran ideal itu langsung mengernyit. Bau mulut West yang terendus barusan membuatnya kembali mual. Tangan Leona langsung menutup bibir sendiri. Wanita itu menyingkirkan selimut, tak peduli dengan tubuh yang tidak mengenakan sehelai benang pun.“Kau kenapa, Sayang?”
Malam hari menjelang sidang keduaLeona sedang duduk di dalam mobil mendengar pengarahan yang diberikan West kepadanya. Malam ini adalah misi terakhir yang harus dijalankan menjelang persidangan. Target yang ditetapkan harus tercapai sebelum sidang kedua.“Karena ini misi terakhir kita, pastikan kau tidak melakukan kesalahan seperti sebelumnya,” terang West ketika mereka berempat berembuk di dalam mobil van, tak jauh dari kediaman Mark.Leona mengangguk paham. Berhasil atau tidaknya dari rentetan penipuan yang telah dilakoni West beberapa tahun belakangan ini, ada pada misi terakhir.“Pastikan kau memasukkan obat ini ke dalam minumannya, Leona,” ujar Cassie menyerahkan satu butir pil kepada wanita itu.“Apa ini?” tanya Leona dengan kening berkerut.“Itu pil yang bisa membuatnya melayang ke langit ketujuh,” jelas wanita berambut pirang itu.“Maksudmu sejenis narkoti
Beberapa hari kemudianLeona memutar tubuh ke kiri dan kanan, memastikan penampilan sebagai Tatiana Clark sudah sempurna. Cassie baru saja selesai mengaplikasikan make-up khas Tatiana. Eyeliner bersayap di bagian sudut kelopak mata dan lipstik berwarna merah menyala.Kali ini ia mengenakan gaun berwarna maroon yang pernah dibelikan West untuknya. Leona sengaja datang menjelang pulang jam kerja, karena Mark akan mengajaknya langsung ke rumah. Sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.“Kau terlihat cantik sekali, Sayang,” puji West tiba-tiba memeluk Leona dari belakang.Wanita itu tersenyum melihat pantulan diri mereka di cermin. Beberapa hari belakangan ini suasana hatinya benar-benar membaik. Bayangkan dia telah melakukan dua aksi penipuan dengan target politisi kelas kakap.“Semua karena kerja kerasmu, Suamiku,” balas Leona masih tersenyum ringan.West menggelengkan kepala. “Se
Manik abu-abu milik Leona perlahan mengerjap, berusaha untuk terbuka. Samar tampak sosok pria sedang berbaring di samping seraya menatap dirinya.“Aku pasti rindu denganmu, West. Sehingga bermimpi kau ada di sini,” gumamnya dengan suara serak.Kelopak mata lebar itu kembali tertutup dengan senyum lebar. Mustahil jika West ada di sini, karena baru tiga jam yang lalu ayahnya menghubungi pria itu dan mengatakan Leona ada di Outville. Perjalanan dari Earth Ville menuju Outville memakan waktu setidaknya lima jam.“Sayangnya kau benar, Leona,” ucap suara bariton membuat senyum Leona semakin lebar.“Tidak mungkin. Rasanya tiga jam yang lalu Daddy menghubungi—” Kedua mata Leona langsung terbuka nyalang sebelum kalimat yang diucapkan selesai.“Astaga! Apa itu benar-benar dirimu, Sayang? Aku tidak bermimpi?” cicit Leona mengusap kedua mata, kemudian meraba pipi kiri West.Pria yang tidur d
Leona mengamati perubahan raut wajah ibunya. Seperti ada yang disimpan oleh wanita paruh baya itu. Dia memiringkan kepala mengejar mata Emilia.“Mom?” panggil Leona ketika belum mendapatkan jawaban darinya.Pandangan mata yang sudah tua itu meredup. “Jangan menyalahkan West atas apa yang terjadi, Le.”Meski tidak diutarakan, Emilia sudah tahu apa yang membuat putrinya pergi ke Outville seorang diri di malam hari. Apalagi jika bukan berpikiran West ingin membalas perbuatan Mark dengan memperalat Leona.Wanita berambut burgundy itu mengembuskan napas frustasi seraya mengusap keras kening sendiri. “Jangan menyalahkannya bagaimana, Mom? Sudah jelas dia menjadikanku sebagai alat untuk mendapatkan lagi harta yang telah ditipu. Dia yang menyarankanku untuk membalas perbuatan Mark.”“Dia datang ketika aku berada di jembatan, pura-pura menawarkan bantuan. Dan aku masuk ke dalam perangkapnya,”