Share

Sekali Tebang Dua Pohon Tumbang

Tamparan itu terasa keras, aku sampai terhuyung. 

 

"Makin lancang saja mulutmu itu, macam gak berTuhan saja kau, bicara sembarangan," kata suami sambil menunjuk mukaku.

 

"Iya, macam gak pernah sekolah saja," sambung Lena.

 

Aku hanya diam seraya memegang pipi yang masih terasa sakit. 

 

"Kamu itu sudah terlalu lancang, mulutmu itu perlu dikasih pelajaran lagi,"

 

"Perlu dicabei, Bang," kata Lena.

 

Lagi-lagi aku diam, kucoba untuk tetap tenang dan duduk di kursi panjang. Orang-orang yang menjemput anaknya mulai menonton kami, ada beberapa yang jadi kameraman dadakan. 

 

"Mulutmu itu terlalu kotor, sampah saja yang keluar dari mulutmu, aku memang jahat, tapi aku sayang keluarga, aku sayang adikku, jika kau hina adikku, habis kau!" kata suami lagi.

 

Aku tak menjawab, hanya menunduk dan terus memegangi pipi, Lena sepertinya mulai paham apa yang terjadi.

 

"Mana mulutmu yang biasanya selalu galak itu, mana?" katanya.

 

"Sekali lagi kau hina adikku, kuceraikan kau!" kata Bang Erianto.

 

Aku mengangkat wajah, melihat suami dan Lena bergantian.

 

"Adikmu tak perlu dihina juga sudah hina, kalian memang cocok," kataku kemudian.

 

"Plakkk!" tamparan itu mendarat lagi. 

 

"Kuceraikan kau!" teriak suami.

 

Aku lalu tersenyum, terus berdiri.

 

"Terima kasih," jawabku seraya berlalu.

 

Anakku sudah pulang, begitu dia pulang   langsung naik ke motor matic-ku. Masih sempat kulihat Bang Erianto dan Lena berdebat, entah apa yang mereka debatkan aku tidak tahu.

 

Aku berhasil, talak itu akhirnya jatuh, memang sengaja kupancing dia. Aku tahu kelemahannya adalah dia sangat terlalu sayang pada adiknya, jika Lena yang diserang, dia akan membabi buta menyerang balik. Kini aku secara agama sudah janda, tinggal menunggu secara resmi.

 

Dari sekolah aku langsung ke rumah Bu Kades, satu-satunya orang yang mendukungku. Sampai di sana Bu Kades langsung melihat' pipiku yang merah, dua kali ditampar tanpa aku melawan.

 

"Bagaimana, berhasil?" tanya Bu Kades.

 

"Berhasil, Bu, aku merasa bukan diriku lagi, biasanya ditampar orang sekali, aku balas dua kali, ini aku harus diam, sakit rasanya, bukan sakit karena ditampar, Bu, tapi sakit tak bisa membalas," kataku kemudian.

 

"Udah, kan kita punya tujuan," kata Bu Kades.

 

Saat kami ajukan gugatan ke pengadilan agama memang langsung ditolak, jadi kami konsultasi dengan seorang pengacara teman Bu Kades. Inilah sarannya, aku serang kelemahan suami, memancing dia supaya melakukan kekerasan. Karena KDRT adalah alasan paling mudah untuk menuntut cerai, bisa sekalian menuntut secara hukum.

 

"Aku bukan cuma ditampar, Bu, tapi juga ditalak di depan orang ramai," kataku kemudian.

 

"Wah, ini namanya sekali tebang dua pohon tumbang, kamu memang berbakat membuat orang kesal," kata Bu Kades 

 

Duh, berbakat membuat orang kesal? Itu pujian atau hinaan? Nasiblah memang, bakatku memang unik, membuat orang kesal.

 

"Ayo kita visum sekarang,"  kata Bu Kades lagi.

 

"Untuk apa, Bu?"

 

"Kita buat ini jadi laporan KDRT ke polisi," kata Bu Kades.

 

"Tapi tujuan kita kan mau cerai, Bu?"

 

"Iya, sekalian, aku benci laki-laki seperti itu, sudah pelit, nampar wanita lagi, biar tahu rasa si Erianto itu," kata Bu Kades.

 

"Udahlah, Bu, kita tuntut cerai saja,"

 

"Udah, biar aku yang atur, kalau kita tuntut KDRT, lebih mudah jalan menuju cerai, kau nanti dapat sawit dua hektar plus uang denda, hidupmu tenang dan nyaman," kaya Bu Kades.

 

"Terima kasih, Bu,"

 

Aku kurang setuju jika harus lapor polisi, Karena tujuanku hanya cerai dan dapat harta gono-gini, bukan mau membuat Bang Erianto dipenjara atau bayar denda, bagaimana pun juga aku tidak akan tega memenjarakan suami. Karena selama ini dia hanya perhitungan, sering menang membentak, akan tetapi tak pernah main tangan. Baru kali ini, itu pun karena aku memang terlalu lancang.

 

Kami  ke puskesmas desa, ambil visum dan lanjut ke kantor polisi terdekat, yang jaraknya sekitar dua puluh kilo meter.

 

"Andaikan ada bukti video bisa lebih mudah urusannya," kata Bu Kades saat kami tiba di kantor polisi.

 

"Ada, Bu, aku lihat beberapa orang merekam," kataku kemudian.

 

"Coba tanyakan," 

 

Aku pun ambil HP, telepon Mak Sinta, aku lihat saat kejadian dia ada di situ. 

 

"Mak Sinta, kamu tadi di sekolah kan, ada lihat aku ditampar?" tanyaku langsung saja.

 

"Iya , Mak Doly, kamu memang sudah keterlaluan," jawab Mak Sinta dari seberang telepon.

 

"Kok aku yang keterlaluan sih?" temanku ini memang selalu menyalahkanku.

 

"Aku dengar apa yang kau bilang, siapa pun orangnya pasti emosi, Masa kau bilang nikah saja sama adiknya, dah mereng otakmu," kata Bu Sinta.

 

"Percuma bertanya sama kau," kataku kesal lalu mematikan telepon.

 

Aku coba telepon seorang penjaga sekolah, tadi sempat kulihat dia merekam dari jarak jauh.

 

"Pak, tadi Kulihat bapak merekam, tolong jika ada videonya," kataku setelah basa-basi sejenak.

 

"Oh, iya, Bu, ada ini, tadinya mau kuposting di media sosial, tapi khawatir suaminya marah,"

 

"Tolong, Bang, kirimkan ke mari, aku butuh sebagai bukti pelaporan," kataku kemudian.

 

"Baik, Bu," jawab pria tersebut.

 

Beberapa saat kemudian sudah dikirim, videonya sepertinya diambil dari jarak jauh, tak ada suara yang terdengar, ini sempurna, tak kedengaran suaraku yang memancing tersebut.

 

Laporan kami langsung diterima, bukti visum dan video sudah cukup dua alat bukti kekerasan dalam rumah tangga. Polisi berjanji dalam waktu dua kali dua puluh empat jam akan menangkap suamiku. 

 

Mak Sinta menelepon lagi, saat kuangkat dia langsung bertanya tanpa salam dan sapa lagi.

 

"Untuk apa kau tanya apa aku lihat tadi, kau mau ajak aku sebagai saksi ya?" tanya Mak Sinta.

 

"Bukan, mau tanya apa kamu jadi kameraman dadakan," jawabku.

 

"Untuk apa, sebentar, biar kutebak, kamu laporkan suamimu KDRT ya?" katanya lagi.

 

"Iya, tumben kamu pintar,"

 

"Ya, Allah, kamu keterlaluan, kamu sengaja memancingnya supaya menampar, di sini kamu penjahatnya,"

 

"Ah, di matamu memang aku selalu salah,"

 

"Karena aku kenal kamu, Mak Doly, aku kenal suamimu, ngomong-ngomong kamu sudah melaporkan, siapa kawanmu?"

 

"Sudah, ini Bu Kades, hanya dia yang peduli padaku, kamu ngakunya teman, tapi gak mau mendukung,"

 

"Astaghfirullah, Bu Kades kan memang benci suamimu." 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status