Share

Disuap

Setelah berbicara dengan istri kepala desa ini, pikiranku jadi terbuka, biarpun suami semua yang kerjakan kebun , ternyata ada hakku di situ. 

 

"Bu, aku kurang mengerti soal hukum, boleh minta tolong mendamoingiku, Bu," kataku lagi.

 

"Maaf, Mak Dolly, aku bukan pengacara, tapi cuma sedikit tahu hukum, biarpun begitu, aku akan dampingi Mak Dolly, Kita wanita ini harus saling mendukung," kata ibu tersebut.

 

Aku merasa sedikit lega, ibu itu juga memberikan uang arisan itu, biarpun masih dua hari lagi baru narik, beliau memberikan duluan pakai uangnya, aku sangat berterimakasih sekali.

 

Dengan modal uang Arisan delapan juta aku membawa dua anakku ke rumah ibu. Ibuku yang sakit sekarang tinggal sendiri. 

 

"Taing, ada apa?" ibuku sepertinya langsung curiga apa yang terjadi, karena aku datang bawa tas.

 

"Kami mau di sini saja dulu, Mak, jagain mamak," kataku kemudian.

 

Ibu menatapku dengan pandangan penuh selidik. 

 

"Bagaimana mata mamak?" tanyaku kemudian.

 

"Kambuh lagi, Taing, kata si Imron Karena gak kontrol itu," jawab mamak. "Kalau malam suka perih, terus jarak pandang kembali kabur, ini pun harus dekat biar nampak mamak," kata mamak.

 

"Jadwal kontrol sudah lewat, Mak?" 

 

"Sudah, Taing, tapi biarlah gini saja sudah tua kok, wajar penglihatan kabur," Kata mamak lagi.

 

Bang Imron datang, begitu datang dia langsung mengeluh. Abangku ini memang dari dulu begitu.

 

"Sudah tiga hari gak ada ngajak kerja," begitu kata Bang Imron.

 

Kerjanya memang buruh tani, kadang mendodos, kadang membersihkan lahan. Kerja dua hari nganggur tiga hari, selalu begitu dari dulu.

 

 

"Kerja yang lainlah, Bang,"

 

"Gak ada kerjaan lain, Taing, mau kerja apa, memang sudah turunan begini," jawab Abangku.

 

"Ini, Bang, mamak kambuh lagi, bawalah berobat ke Medan,"

 

"Gak ada uangku, Taing, ini saja aku mau minta ini, gak ada lagi uang rokok," kata Bang Imron.

 

"Eh, ngapain bawa tas?' tanya Bang Imron lagi ketika melihatnya tasku.

 

Aku memang harus jujur kini, capek sudah selalu menutupi keadaan sebenarnya.

 

"Aku lari dari rumah," kataku akhirnya.

 

"Lo, kenapa?" 

 

"Aku mau tuntut cerai," kataku lagi.

 

"Astaghfirullah, itu baiknya suamimu," kata ibu.

 

"Begitulah, Bu, aku tidak usah bicara kejelekannya lagi, tapi aku mantap mau cerai," kataku kemudian.

 

"Kok gitu kau, Taing, jadi mau tambah beban lagi kau," Bang Imron malah marah.

 

Aku tersinggung dibilang tambah beban.

 

"Bang, apa pernah aku jadi beban kalian, apa pernah aku minta duit sana Abang, semenjak umurku enam belas tahun aku sudah kerja, tak pernah minta uang ke mamak, bahkan aku yang selalu kasih uang, punya harga diri lah sikit, Bang," kataku kesal.

 

"Kamu langsung salah sangka saja, maksudnya jika kamu cerai, siapa yang biayai mamak, Mamak gak bisa kerja lagi, si Tohar gak bisa diharapkan, aku nampak kau nya bagaimana," kata Bang Imron

 

"Mamak akan ikut denganku, aku akan jadi laki-laki, Abang pake rok saja sana,"  aku kesal juga akhirnya. Abangku justru khawatir tentang biaya hidupnya ibu, bukan tentang bagaimana aku adiknya. Dalam hal ini aku cemburu pada Lena yang punya saudara yang bertanggungjawab.

 

Malam harinya, Bang Erianto datang, begitu datang dia langsung salim ke ibu. 

 

"Ayo pulang, makin durhaka saja kamu, pergi pun gak bilang-bilang," Kata suami.

 

"Aku gak mau pulang, Bang," jawabku.

 

"Jadi maumu apa?" suami langsung membentak.

 

"Aku mau cerai,"

 

"Hahaha, mikir dikit, pake otak,"

 

"Sudah kubilang, Bang, kalau Abang beli mesin cuci untuk Lena, aku minta cerai," kataku kemudian.

 

"Masa gara-gara mesin cuci kau minta cerai, seharusnya kau bersyukur kita masih bisa bantu, lihat itu abangmu si Imron itu, pernah gak dia buktikan tangung jawabnya, tanya dulu dia berapa dia kasih ke Istrinya sebulan? Kau memang gak ada syukurnya," kata Bang Erianto.

 

"Aku tetap minta cerai," kataku tegas.

 

"Oh, gitu ya, okeh, biar kau rasakan yang jadi janda itu, biar kita lihat dulu semampu apa saudaramu menanggunjawabi kau," kata suami- lagi.

 

Bang Imron yang terus disindir suamiku seperti tak berkutik, dia diam saja,

 

 

"Aku kasih kesempatan sekali lagi, mumpung aku lagi baik ini, ayo pulang," kata Bang Erianto lagi.

 

"Tidak, Bang,"

 

"Okeh, kalau itu maumu, baik," kata suami. Dia pun pergi dengan mobil pick up-nya.

 

Setelah suami pergi, ibuku justru marah, Abang Imron juga mendukung suami.

 

"Taing, kau pikir enak jadi janda? Mamak sudah merasakannya sepuluh tahun lebih, jangan lagi kau rasakan itu," kata ibuku.

 

"Kau Taing, masa gara-gara Mesin cuci kau minta cerai, masih waras nya kau?" kata Abangku.

 

"Mesin cuci cuma sebagian kecil alasan, Bang, intinya aku tidak tahan lagi, aku yang merasakan, " kataku kemudian.

 

Keesokan harinya suami datang lagi, dia mau ngajak anak-anak, akan tetapi kedua Anakku tidak mau. Yang bungsu bahkan menangis ketika Bang Erianto menggendongnya. 

 

"Kamu bagaimana sih, Dek, kau ajari anak anak ya?" kata suami.

 

"Gak ada kuajari, Bang," jawabku tanpa melihat.

 

"Gitu kamu ya, anak-anak gak mau diajak ayahnya lagi, pasti otaknya sudah kau doktrin," kata Bang Erianto.

 

"Gak ada, Bang, anak-anak juga sudah tahu mana yang baik," jawabku.

 

"Udah, kalau anak-anak tidak mau, ikut kau sekalian," kata suami lagi.

 

"Nggak, Bang,"

 

Akhirnya suami pulang, aku tahu dia hanya mau mengajakku pulang,  tapi dia malu untuk memohon.

 

Aku mulai konsultasi dengan istrinya kepala desa. Wanita yang biasa kami panggil Bu Kades itu mau mengurusnya. Kami pun mempersiapkan berkas tuntunan cerai, jarak ke ibu kota kabupaten yang jauh membuat biaya banyak. Kata Bu Kades, ini akan lama dan butuh kesabaran dan biaya. 

 

Gugatan cerai akhirnya  kami ajukan juga ke pengadilan agama.  Akan tetapi langsung ditolak karena aku tak punya alasan yang tepat untuk menggugat cerai. Suami tak pernah KDRT, tak pernah tidak memberikan nafkah.  Kata Bu kades aku harus cari alasan yang tepat.

 

 Siang itu saat aku menjemput Doly di sekolah. Ada Lena di sekolah, dia bersama Bang Erianto.

 

"Kak, aku mau minta maaf, mesin cucinya kukembalikan saja," kata Lena.

 

"Oh, gak apa-apa,  ambil saja," jawabku.

 

"Dek, kita sudah bisa lalui sudah senang bersama, delapan tahun, ayolah Dek, kita pulang, gak usah turuti Bu Kades itu, aku janji jika kamu pulang, aku akan beli mesin cuci, kulkas dan HP baru," kata suami.

 

Aku terdiam, apakah suami takut dengan tuntunan ceraiku?

 

""Uang bulanan juga akan kunaikkan, sama dengan Lena," kata suami lagi.

 

"Maaf, Bang, tidak bisa, ini bukan masalah itu saja,"

 

"Ayolah,"

 

"Tidak, Bang, sama adikmu saja, nikahi saja adikmu itu," kataku kemudian.

 

Plak,..

 

Suami  menamparku.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status