Share

Bab. 4. Membujuk Lanang.

"Ya Tuhan, aku mohon selamatkanlah bayi dan mamanya. Permudah dan lancarkan proses kelahirannya. Tolong jangan persulit keadaannya  ya, Tuhan. Kamu pasti kuat, Nana. Amin." Sandi mengusap dua telapak tangan pada wajahnya yang masih basah.

Setelah memarkirkan mobil, dia melaksanakan sholat dhuha di mushola yang ada di rumah sakit. Menurutnya, di saat pagi inilah waktu yang mustajab untuk meminta kepada-Nya.

Tanpa diduga, kedua pipinya telah basah. Lelaki berusia tiga puluhan itu memang tak kuat jika melihat seorang wanita yang akan melahirkan. Hatinya bisa mendadak gerimis jika melihat dengan mata sendiri. Terlebih wanita itu adik iparnya sendiri.

Rasa haru dan senang berbaur menjadi perasaan sedih yang tak terkira. Sandi merasa gagal menjadi kakak lelaki satu-satunya karena tak bisa membawa pulang adiknya ke kampung.

Dia jadi teringat akan percakapannya dengan Lanang. Beberapa hari lalu, Sandi terus menghubunginya. Kegiatan itu sering dia lakukan ketika kehamilan Nana memasuki usia tujuh bulan. Hanya beberapa kali saja teleponnya tersambung, selebihnya telepon itu diluar jangkauan.

"Nang, kau dimana?" Kala itu Sandi menelpon di sela jam istirahatnya di kantor.

"Ada apanya, Bang? Sibuk aja dari tadi nelpon terus. Aku lagi kerja." Lanang tak kalah ketus menjawab itu di seberang sana.

Sandi hanya bisa memijit keningnya pelan. Dia tak habis pikir dengan perubahan sikap Lanang setahun terakhir ini. Suaranya selalu tak enak jika di hubungi. Tak hanya dengannya saja dia bersikap seperti itu, tapi dengan orang tua satu-satunya itu pun Lanang tetap ketus. Tak ada lagi sopan santunnya terhadap keluarganya sendiri.

"Ketus kali kau jawabnya, Nang? Kau jadi pulang, kan, pas Nana lahiran?"

Pertanyaan itu, entah yang keberapa kali sudah terlontar dari bibirnya Sandi. Lanang menghela napas berkali-kali diujung sana sebelum menjawab pertanyaan itu. Mungkin, telinganya sudah panas dan pekak selalu mendengar pertanyaan yang sama dari keluarganya di Pekanbaru.

"Belum tau, Bang. Pekerjaanku tak bisa ditinggal."

"Tak bisa ditinggal atau kau sendiri yang tau mau? Nana mau melahirkan, Nang. Gilak kau kalau gak mau pulang."

"Dia cuma melahirkan, Bang, bukan mati, kan! Nggak usah lebay gitulah!"

"Astaga Lanang! Bagus-bagus kau ngomongnya! Dia itu istrimu! Dia yang akan melahirkan darah dagingmu sendiri! Nyebut kau, Nang! Jangan sembarangan kalau ngomong!" hardik Sandi dengan nafas memburu.

Satu tangannya mengepal kuat. Emosinya mendidih di ubun-ubun. Lanang memang sudah keterlaluan. Sikapnya sudah tak bisa ditolerir lagi.

"Halah, sudahlah! Gak usah diperbesar masalah sepele itu, Bang! Kan ada kau sama Mamak. Wakilkan aku dulu. Kerjaanku banyak. Tak bisa ditinggalkan!" Lanang membalas itu dengan lantang.

"Kau jangan macam-macam, Nang! Ini istrimu mau bertaruh nyawa. Kau jangan sampai menyesal. Apa kau tak mau ketemu anakmu untuk yang pertama kalinya, hah!"

Lagi, Sandi terus berusaha mengingatkan adik lelakinya itu. Hampir setahun lalu, Sandi sadar jika Lanang sudah salah jalan. Tapi, Sandi tak mau gegabah. Dia sudah bergerak dalam diam untuk menyadarkan Lanang agar kembali kejalan yang benar. Mau gimana pun dia tetap adiknya yang harus diselamatkan. 

"Udahlah, Bang, gak usah ribet kau. Tak usah kau koar-koar seolah tak senang aku tak pulang. Padahal kau senang, kan, tak ada aku di rumah. Kau bisa bebas mendekati istriku. Gak usah pura-pura kau, Bang!" tuduh Lanang dengan tak tau diri.

Dia yang salah tapi dia pandai berkilah. Bahasa bicaranya sudah keluar dari jalur yang semestinya.

"Jangan asal bicara kau, Nang. Tuduhanmu itu tak mendasar. Bisa-bisanya kau melontarkan tuduhan murahan itu. Istrimu itu wanita baik-baik asal kau tahu. Kau bisa menyesal karena tuduhan itu!" sungut Sandi tak terima.

"Wanita baik-baik tak akan berpacaran dengan dua lelaki bersaudara, Bang! Apa itu wanita baik-baik? Aku merasa dibohongi sama kelakuan kalian semua! Kenapa? Kaget kau, Bang, aku ngomong kayak gitu! Aku sudah tahu semua kelakuan busuk kalian dulu! Memang sama-sama murahan kalian!" cerocos Lanang tak bisa dihentikan.

"Lantang kali kau ngomong begitu, Nang! Tuduhanmu itu sangat tak masuk akal! Jangan sampai kau menyesal aku ingatkan lagi!"

"Tak masuk akal gimana? Sudahlah! Aku tak sudi bahas itu lagi! Urus itu kelahiran adik ipar kesayanganmu sendiri! Aku gak peduli! Sudah tak usah kau nelpon aku lagi! Terserah dia mau melahirkan atau gak! Aku pun ragu itu anakku!"

"Lanang!"

Tut. Tut.

Sambungan telepon itu seketika terputus tanpa hasil yang diharapkan. Pupus sudah harapannya. Sandi tak bisa lagi menjawab jika Nana menanyakan kabar adiknya itu. Sudah terlalu banyak alasan yang dia berikan pada Nana. Kali ini usahanya berakhir nihil.

Dalam bangku taman yang ada di belakang kantornya, Sandi terduduk lemas. Dia menunduk dalam sambil meremas rambutnya dengan kuat. Entah usaha apalagi yang harus dia lakukan. Kepalanya terasa mau pecah dengan kelakuan adiknya sendiri. Entah wanita mana yang berhasil menutup jalan pikiran Lanang. Dia sangat keras kepala sekali setelah hidup di perantauan.

"Bagaimana, Bang? Apa kata Lanang?"

Mendadak Sandi terperanjat kaget dari duduknya, tiba-tiba suara mamaknya terdengar dari belakang. Tubuhnya mendadak kaku, ketika Mamaknya mendaratkan bobot tubuhnya pada kursi kosong di sebelahnya. Senyum kecut tertarik dari bibir Mak Suri. Dia bisa membaca arti dari raut wajah anak sulungnya yang kusut itu.

"Kalian berdebat apa, sih? Suaramu keras sekali sampai terdengar di jalan. Ada apa? Kapan adikmu pulang? Berangkat hari ini dia, kan?" Mak Suri mengusap pelan punggung anak sulungnya.

Wanita yang memakai gamis polos berwarna hitam itu sengaja datang ke kantor Sandi untuk mengantarkan makan siang. Dia sengaja menyusul Sandi ke kantor untuk pembahasan tentang adiknya. Mak Suri tak mau Nana mendengar pembicaraan mereka.

"Gimana, San? Apa kata adikmu? Dia bisa pulang, kan? Jangan diam aja kau ini!" Mak Suri mulai mendesis. Dia menggeplak punggung anak sulungnya itu yang melamun.

"Adikmu tak mau pulang, kan?" lanjut mamaknya lagi.

Sandi hanya mampu terdiam. Tak ada alasan lagi untuknya berkilah. Otaknya mulai berpikir. Jawaban apa yang harus diberikan.

"Bukan tau mau, Mak, tapi belum bisa pulang." Akhirnya Sandi menjawab itu agar perasaan mamaknya tenang.

"Tak usah kau tutupi semuanya, Bang. Mamak dengar tadi. Dari suaramu yang keras tadi, pasti Lanang tak mau pulang. Dasar anak durhaka memang dia itu! Menyesal Mamak punya anak kayak dia!"

"Entah lah, Mak. Makin susah dia di nasehati. Tak bisa lagi kata-kataku di dengar sama dia. Sudah lupa diri dia disana." Sandi mulai menerangkan itu dengan nada lemah.

Mau tak mau dia harus membuka semuanya di depan mamaknya. Hanya kepasrahan yang bisa dia lakukan saat ini.

"Jangan sampai Nana tahu hal ini, Bang. Tolong rahasiakan ini semua sampai dia melahirkan. Mamak takut mental dia terpukul saat tahu yang sebenarnya. Malang kali nasib anak itu. Bagus dulu dia aku nikahkan sama kau aja, Bang. Menyesal Mamak."

"Sudahlah, Mak. Tak perlu menyesali yang sudah terjadi. Aku akan berusaha menyadarkan ketersesatan Lanang di sana."

🍁🍁🍁🍁

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status