Teh Ayu masih terus terisak di saat dua orang dewasa lainnya hanya memilih diam, sejak Sandi menyampaikan kabar buruk itu. Rasa yang bergelung di dalam dadanya sudah tak berbentuk lagi. Remuk redam dan hancur tak tersisa.Kabar kelahiran Nana yang seharusnya menjadi kabar paling membahagiakan, malah menjadi kabar yang paling mengoyakkan hatinya.Rasanya Teh Ayu ingin menerobos masuk pada pintu kaca ICU itu, jika saja Abah Iyan dan Sandi tak menahan aksinya sekuat tenaga. Bahkan karena aksinya itu, ada satu perawat yang mengancam akan menyuntikkan obat bius padanya, jika Teh Ayu membuat keributan lagi di dekat ruangan ICU.Akibat ancaman itu, Teh ayu mengurungkan niatnya, dan lebih memilih menunggu pada kursi tunggu yang sepi pengunjungnya. Ketiganya pun sepakat akan menunggu dua pasien dari keluarganya secara bergantian."Kenapa cobaan Nana selalu datang, ya, Abah? Apa sebenarnya salah anak itu? Tak seharusnya dia menerima cobaan ini karena kesalahan orang tuanya sendiri. Justrsu haru
Seketika Sandi terduduk pada kursi tunggu saat pesan itu terbaca olehnya. Hampir saja dia mengumpat keras setelah pesan itu terpampang nyata di depan matanya sendiri. Refleks pegangannya mengerat pada ponsel yang masih ada dalam genggaman. Beruntungnya ponsel itu berada dalam jangkauannya. Kalau sampai Emak dan orang tua Nana yang mengetahui pesan itu yang pertama kali, pasti bakalan heboh isi rumah sakit ini."Brengsek! Nomer siapa ini! Berani sekali dia mengancam Nana seperti ini!"Kembali Sandi membaca pesan itu lagi. Tatapannya mulai berkilat, bertanda emosinya semakin meningkat. Deru napasnya mulai memburu. Sepertinya pesan itu bukanlah main-main."Berani sekali dia ngirim pesan ancaman kayak gini! Ternyata ada yang mau macam-macam sama keluargaku!" Berulang kali Sandi menghardik keras. Dia tak terima salah satu keluarganya diancam seperti itu.Beruntungnnya lorong rumah sakit masih dalam keadaan sepi. Tumben sekali tak ada lalu lalang manusia seperti biasanya.Setelah puas meng
Bab. 11.Tuut… Tuut… Tuut…Dua layar monitor yang terletak di samping kanan dan kiri ranjang pesakitan itu selalu mengeluarkan suara, sejak kegunaannya dipakai dari sehari yang lalu. Suara yang disebut sebagai tanda nyawa yang masih ada dalam raga itu tak pernah berhenti berbunyi. Di balik pintu kaca transparan, Teh Ayu beserta Abah Iyan menatap wajah pucat yang terhalangi oleh alat bantu pernapasan. Jemari kurus dan putih pucat itu terus mengepal, setelah tatapannya menangkap pemandangan di dalam ruangan dengan luas 4x4m. Dadanya terasa sakit tak bertepi. Pemandangan didepan matanya sangat menyayat hati. Anak yang selalu dia banggakan, kini terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang itu. Hanya melalui pintu kaca inilah dia bisa melihat Nana yang tak bergerak sedikit pun. Rasa batinnya ingin berteriak, menghancurkan isi rumah sakit ini. Karena mereka lah yang membuat anaknya tak berdaya seperti itu.Sakit dalam relung hatinya sangat berdenyut nyeri, sesaat setelah kehadiran mereka d
"Halo, Bang, hallo, alhamdulillah akhirnya tersambung juga. Abang susah banget, sih, dihubungi. Macam nunggu aku lahiran aja, loh, lama banget nyambungnya. Abang sehat-sehat, kan, disana?" Nana tersenyum lebar ketika sambungan video call-nya dijawab oleh suaminya."Berisik, Na! Jangan teriak-teriak gitulah! Malu sama temen Abang disini, ah!"Nana mencebik kesal. Suaminya yang bernama Lanang Pardede itu menjawab video call-nya dengan rasa malas. Jawaban yang tak enak di dengar itu membuyarkan semangatnya yang menggebu ketika telepon itu tersambung."Apanya Abang ini? Ditelepon binik bukannya senang malah malas gitu suaranya! Tak sukanya kau aku telepon?"Wanita yang memiliki nama lengkap Nana Sudrina itu tak kalah ketus untuk membalas ucapan suaminya. Dia langsung kesal. Lanang tak menghargai usahanya yang susah payah menelponnya di ujung sana yang katanya susah sinyal.Lanang mengusap kasar wajahnya karena kelepasan. Hampir saja dia emosi saat istrinya yang di kampung menelpon. "Bukan
Lima menit berlalu, sakit di perut bagian bawahnya kembali berangsur pulih. Wanita yang baru berusia tiga puluh tahun itu balik lagi ke ranjang untuk rebahan. Kedua kakinya tak kuat lagi untuk menopang bobot tubuhnya jika terlalu lama berdiri. Dadanya naik turun karena menahan beban dua janin dalam perut. Kehamilan yang kedua kali ini memang sangat dijaga sekali.Belajar dari kehamilan pertamanya yang gagal saat usia pernikahannya baru tiga tahun, Nana sangat menjaga pola makan dan hidup sehatnya selama kehamilan keduanya itu terdeteksi.Semua pantangan yang tak boleh selalu dia hindari. Walaupun untuk kehamilan kedua ini, dia harus berjuang sendiri tanpa pengawasan dari suaminya. Dia sangat bersyukur karena janin yang ada dalam kandungannya tidak begitu rewel."Aduh, duh, perutku mules lagi. Aww, sakit. Aduh, Mak'e. Perutku sakit."Nana mengerang kesakitan. Gelombang cinta dalam perutnya datang kembali. Sepertinya kontraksi pada perutnya mulai sering datang. Dia harus menelpon.Mamak
"Sakit, Mak. Sakit. Aku gak kuat. Tulangku rasanya sakit semua, Mak." Nana terus merengek dengan kesakitannya yang terus bertambah.Kedua matanya sesekali terpejam karena menahan sakit yang teramat sangat. Suara rintihan itu terdengar sangat menyayat hati bagi Mak Suri dan Sandi. Keduanya merasa sangat bersalah sekali. Karena tak berhasil membujuk Lanang untuk pulang kampung barang sebentar."Sabar, ya, Na, sabar. Jangan ngomong begitu. Tahan dulu. Bentar lagi kita sampai rumah sakit. Sabar Nak'e. Ada Mamak disini." Mak Suri masih terus mengusap dahi Nana yang sudah basah dengan keringat.Mesin pendingin dalam mobil itu seolah tak berguna, karena Nana terus saja berkeringat.Dengan telaten Mak Suri juga memijat kedua kaki Nana yang lurus ke depan. Beruntungnya tas bawaan yang berisi perlengkapan bayi itu lebih besar. Jadi, bisa dipakai sebagai pijakan untuk kedua kakinya yang menjuntai ke bawah.Mak Suri berharap dengan pijatan itu bisa membuat Nana lebih rileks. Sesekali Mak Suri tam
"Ya Tuhan, aku mohon selamatkanlah bayi dan mamanya. Permudah dan lancarkan proses kelahirannya. Tolong jangan persulit keadaannya ya, Tuhan. Kamu pasti kuat, Nana. Amin." Sandi mengusap dua telapak tangan pada wajahnya yang masih basah.Setelah memarkirkan mobil, dia melaksanakan sholat dhuha di mushola yang ada di rumah sakit. Menurutnya, di saat pagi inilah waktu yang mustajab untuk meminta kepada-Nya.Tanpa diduga, kedua pipinya telah basah. Lelaki berusia tiga puluhan itu memang tak kuat jika melihat seorang wanita yang akan melahirkan. Hatinya bisa mendadak gerimis jika melihat dengan mata sendiri. Terlebih wanita itu adik iparnya sendiri.Rasa haru dan senang berbaur menjadi perasaan sedih yang tak terkira. Sandi merasa gagal menjadi kakak lelaki satu-satunya karena tak bisa membawa pulang adiknya ke kampung.Dia jadi teringat akan percakapannya dengan Lanang. Beberapa hari lalu, Sandi terus menghubunginya. Kegiatan itu sering dia lakukan ketika kehamilan Nana memasuki usia tu
Sungguh, kali ini harapan mereka sudah sirna. Adik satu-satunya itu telah berdusta untuk kesekian kalinya. Kebohongan demi kebohongan telah dia ciptakan sendiri. Lelaki yang masih berstatus suami itu tak menyadari, bahwa semua kebohongan itu telah membawanya ke dasar jurang kehancuran yang lebih dalam.Dusta yang dia lontarkan itu sakit. Dusta yang kesekian kali telah diucapkan itu mampu memporak-porandakan kepercayaan adik iparnya. Dusta itu telah merusak rasa kepercayaan dari keluarga besarnya juga.Berkali-kali Mak Suri mengucap kata istighfar dari bibirnya yang bergetar. Sekelebat bayangan beberapa hari yang lalu mulai mengganggu pikirannya. Mak Suri teringat kembali dengan sederet perkataan menantunya di dapur kala itu."Sabar, ya, Sayang. Mulai hari ini kita berjuang bersama-sama. Hanya kita yang akan berjuang dalam pertarungan ini. Ingat! Kalian jangan mengharapkan lelaki itu lagi. Kita akan melewati badai ini hingga garis finis. Mama masih mampu untuk merawat kalian dengan tan