Share

Bab. 3. Unit Gawat Darurat.

"Sakit, Mak. Sakit. Aku gak kuat. Tulangku rasanya sakit semua, Mak." Nana terus merengek dengan kesakitannya yang terus bertambah.

Kedua matanya sesekali terpejam karena menahan sakit yang teramat sangat. Suara rintihan itu terdengar sangat menyayat hati bagi Mak Suri dan Sandi. Keduanya merasa sangat bersalah sekali. Karena tak berhasil membujuk Lanang untuk pulang kampung barang sebentar.

"Sabar, ya, Na, sabar. Jangan ngomong begitu. Tahan dulu. Bentar lagi kita sampai rumah sakit. Sabar Nak'e. Ada Mamak disini." Mak Suri masih terus mengusap dahi Nana yang sudah basah dengan keringat.

Mesin pendingin dalam mobil itu seolah tak berguna, karena Nana terus saja berkeringat.

Dengan telaten Mak Suri juga memijat kedua kaki Nana yang lurus ke depan. Beruntungnya tas bawaan yang berisi perlengkapan bayi itu lebih besar. Jadi, bisa dipakai sebagai pijakan untuk kedua kakinya yang menjuntai ke bawah.

Mak Suri berharap dengan pijatan itu bisa membuat Nana lebih rileks. Sesekali Mak Suri tampak memejamkan kedua mata tuanya. Dia menahan sakit pada lengannya yang berbalut gamis pulkadot. Itu di karenakan Nana terlalu kuat meremas lengannya.

Rongga dadanya terasa penuh sesak yang sulit untuk diungkapkan. Rasa malu, sakit, marah, sayang dan benci telah berbaur menjadi debaran dada yang begitu menggebu.

Dia sangat mengutuk kelakuan anak lelakinya yang hidup di perantauan sana. Istrinya di kampung tengah menanggung sakit melahirkan, malah diabaikan tanpa rasa belas kasih oleh suaminya sendiri.

"San, cepat sikit! Kasian adikmu ini. Takut brojol di jalan nanti. Selamatkan cucuku."

Mak Surti memukul sandaran jok supir berulang kali. Dia gemas pada anak sulungnya yang terasa lambat membawa mobil.

"Mak, jangan marah-marah. Nanti naik tensi Mamak lagi. Entar yang ada kita berdua yang masuk ke rumah sakit. Nanti siapa yang jagain aku kalau Mamak sakit juga," kelakar Nana berusaha memecah kekhawatiran diantara keluarga mertuanya.

Di sela kesakitannya dia masih berusaha mengingatkan kesehatan mertua satu-satunya itu.

Mak Suri semakin tak kuat menahan tangis. Refleks, wanita yang berstatus janda itu memeluk menantunya dengan kasih sayang yang luar biasa.

"Eh, Mak, kenapa pulak nangis? Aku gak apa-apa. Sakitnya udah lumayan mereda. Mamak jangan khawatir."

"Makasih ya, Nak'e, terima kasih sangatlah. Apapun yang terjadi dalam pernikahanmu, Mamak akan terus membela dan menyayangimu sepenuh hati. Maafkan Lanang ya, Na."

Nana mengurai pelukan itu. Di tengah kesakitanya itu, dia tetap berusaha tersenyum. Walau sebenarnya amarah dalam dadanya telah memenuhi di setiap rongganya. Lanang pasti akan mempertanggung jawabkan rasa sakit ini semua.

"Mamak tenang, ya, aku baik-baik aja. Maafin menantu Mamak ini yang banyak salah, ya, Mak. Doain aku biar kelahiran ini lancar dan sehat semuanya ya, Mak. Sebentar lagi Mamak ketemu sama cucu kembar Mamak ini."

Nana mencium kedua tangan Mak Suri dengan penuh kasih sayang. Dia berharap besar terhadap restu Mak Suri. Karena kedua orang tuanya belum tau tentang kabar persalinannya yang akan terjadi sebentar lagi.

"Kamu tenang, ya, Na. Mamak pasti terus berdoa  untuk kalian. Semoga si Utun dan mamaknya bisa gangsar keluarnya. Keluarnya pelan- pelan, ya, Cu. Jangan buat sakit mamamu. Nenekmu ini udah nggak sabar pengin gendong kau. Cepat keluar, ya!"

Nana semakin tersenyum lebar. Rejeki yang sangat luar biasa ketika seorang menantu mendapatkan ibu mertua yang baiknya luar biasa.

Perjalanan antara rumah dan RS Awal bros yang seharusnya bisa ditempuh dalam kurun waktu 30 menit itu terpaksa harus molor menjadi 45 menit karena macet dimana-mana. Jalanan yang biasa lengang, kini berubah seperti lautan kendaraan dengan beraneka macam bentuk dan merknya.

Memang benar, saat pagi seperti ini waktunya lalu lalang berbagai kendaraan untuk keluar dari rumah.

Helaan napas tedengar lega. Mobil yang hanya berisi tiga orang itu berhenti tepat di depan ruangan UGD. Sandi Sasmono segerq keluar dari mobil dengan gerakan buru-buru.

"Tunggu di mobil, Mak! Aku panggil dokternya dulu." Lelaki dengan kedua alis tebal itu lari ke dalam UGD yang terlihat sepi.

Sekuat tenaga Sandi melawan rasa sakit dalam dada bidangnya itu. Mendadak rasa trauma beberapa tahun lalu muncul di permukaan. Akan tetapi hanya itu yang mampu dilakukannya untuk keselamatan wanita yang pernah ada di masa lalunya itu.

Mak Suri berdecak. Netranya awas ketika anak lelaki yang selalu bisa diandalkan itu keluar dari mobil. Kepanikan dalam aura wajah sulungnya itu terpampang nyata. Ada trauma terdalam dalam tatapan sendu itu.

"Rupanya masih ada trauma Abang mu itu, Na. Dia belum bisa tenang kalau ada orang lahiran. Pasti panik terus. Entah kapan hilangnya trauma itu." Mak Suri bergumam dengan kedua netranya yang terus mengikuti langkah anak sulungnya itu.

Nana tersenyum disela rintihan kesakitannya. Dia paham betul dengan rasa khawatir mertuanya.

"Biarkan aja, Mak. Pasti Bang Sandi sulit sekali melupakan kenangan pahit itu. Mau gimana pun kenangan itu sangat membekas dalam ingatannya. Siapapun akan merasakan kesedihan yang sama dan mendalam saat ada di posisi Bang Sandi."

Nana membuang pandangan ke luar jendela. Dia pun turut memandang punggung tegak itu dari balik pintu kaca bening yang tertutup. Tatapan itu berubah sendu ketika kenangan pahit itu hadir dalam bayangan ingatannya.

Kenangan itu masih terpatri dengan jelas walau sudah bertahun lamanya terkubur dalam kenangan masa lalu. Masa lalu takkan luput dalam ingatan walau sudah berlalu sekian lama.

"Aww. Sakit, Mak, sakit." Lagi, Nana mengerang kesakitan. Pembukaan rahimnya terus berjalan tanpa mengenal waktu yang terasa lambat.

"Astaga. Sepertinya kau sudah pembukaan lagi, Na. Tunggu Mamak keluar dulu, ya!" Tanpa menunggu jawaban dari Nana, Mak Suri keluar dari mobil. 

Dengan cekatan Mak Suri membuka pintu mobil dengan lebar agar Nana bisa leluasa keluar dari mobil. Bertepatan dengan itu, Sandi datang dengan beberapa perawat berseragam hijau tua. Mereka juga membawa bangkar setinggi 1,5 m. Semua bekerja dengan cepat. Nana berhasil di baringkan di ranjang pesakitan itu.

"Ayo cepat Sus, anakku sudah kesakitan dari tadi. Ini bayinya kembar." Mak Suri berseru diantara keheningan dua sejoli yang pernah memiliki masa lalu itu.

"Baik, Bu. Mari ikuti kami ke ruangan yang sudah di disiapkan," sahut salah satu perawat yang memakai kacamata. Lima perawat itu mulai mendorong bangkar ke dalam UGD.

Pertolongan pertama pada ibu yang akan melahirkan harus segera dilakukan. Karena jika terlambat sedikit saja bisa fatal akibatnya. Apalagi janin yang ada dalam kandungan Nana itu kembar. Resiko yang terjadi pasti lebih besar dari kehamilan satu janin.

♤♤♤♤♤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status