Malam hari tiba. Waktu menunjuk angka sembilan tepat. Ia pun bergegas masuk ke dalam kamarnya sebelum Daiva pulang lalu memakainya kembali.
Daiva benar-benar melakukan ini setiap malam pada Dara. Hingga membuat perempuan itu lelah tak berdaya. "Semoga pria itu tidak pulang malam ini. Tubuhku sudah rontok karena dia sentuh setiap hari. Aku ingin istirahat. Jangan hadirkan dia di malam ini, Tuhan." Dara membuang napasnya dengan panjang. Kemudian membaringkan tubuhnya di atas kasur mini itu. Ditatapnya kembali tes pack yang tadi siang ia gunakan untuk memeriksa apakah dia hamil atau tidak. Ternyata, dua garis terpampang nyata di sana. Membuat Dara rasanya ingin menyudahi saja hidupnya. "Ke mana aku harus pergi? Bahkan, lari dari rumah ini saja aku tidak tahu caranya bagaimana. Juga, ke mana aku harus bersembunyi dari semua orang di rumah ini. "Aku harus pergi ke mana supaya mereka tidak dapat menemuiku. Mana mungkin aku pulang ke kampung halamanku. Yang ada, mereka akan membully habis-habisan." Hidup Dara kini terasa meresahkan. Serba salah. Tak tahu harus pergi ke mana dan harus bagaimana. Padahal, salah satu cara untuk menyelamatkan hidupnya adalah menikah dengan Daffa. Tapi, saat tahu jika Daffa menikahinya hanya sekadar tanggung jawab dan tidak mau calon keponakannya itu tidak memiliki ayah, Dara urungkan niatnya untuk menyetujui itu semua. Pada akhirnya, Dara pun terlelap dalam tidurnya. Daiva sepertinya tidak akan menggunakannya malam ini. Karena pria itu masih belum pulang dan tak tahu akan pulang atau tidak. Malam ini, Dara tidak akan berdesah hebat lagi. Memekik dan merasakan perih yang amat sakit karena hujaman yang Daiva lakukan padanya. Pagi hari telah tiba. Dara bangun dengan perut yang tidak enak. Ia pun memuntahkan cairan kuning ke dalam kantung plastik di dalam kamarnya. Tidak mungkin ia lakukan di dapur. Bisa membuat semua orang curiga padanya. Lalu, Dara pun akan dinikahi secepatnya dengan Daffa. Tidak boleh. Itu tidak boleh terjadi. Dara tetap tidak ingin menikah dengan Daffa. "Kapan mual dan muntah ini berakhir? Rasanya hamil sangatlah tidak enak. Aku harus mengalami mual dan muntah setiap hari. Bahkan, nafsu makan pun kadang hilang." Dara menghela napas lelah. Kemudian mengikat plastik itu dan dibuang ke dalam tong sampah yang ada di dalam kamarnya. Mengingat hari ini weekend. Dan Daffa sering mengajaknya keluar saat orang tua juga Daiva tidak ada. Sebenarnya, ini bisa jadi kesempatan untuknya pergi dari rumah itu. Pikiran Dara mendadak mendapat ide cemerlang setelah hampir satu harian full memikirkan bagaimana cara bisa kabur dari rumah itu. "Aku harus pergi dari rumah ini sekarang juga. Setelah tiba di suatu tempat, aku akan meminta izin ke toliet lalu pergi jauh-jauh dari Mas Daffa." Dara menerbitkan senyum pasi. Lalu menunduk dan menghela napasnya dengan lelah. "Maafkan aku, Mas. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah ini. Pertama, aku bisa bebas dari hujaman Daiva. Kedua, aku tidak ingin menikah denganmu. Kamu tidak pernah mencintaiku. "Kamu hanya melihatku dengan sebelah matamu. Walau hati ini sebenarnya ingin memilikimu. Tapi, aku sadar diri. Aku tidak pantas untukmu." Dara keluar dari kamarnya sambil membawa tong sampah miliknya. Membuang ke dalam bak sampah yang ada di belakang rumah besar itu. Lalu kembali ke dalam. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Daffa tengah berdiri di ambang pintu. "Ada apa, Mas?" tanya Dara. Penasaran, sedang apa pria itu di sana. "Ke mana si Daiva? Apa dia tertidur lagi di kamarmu?" tanya Daffa. Memang, Daiva pernah ketiduran di kamar Dara karena kelelahan. Saat itu, Daffa melihatnya lalu membawa Dara ke dalam kamarnya untuk menjauh dari pria gila itu. "Dari semalam, sepertinya Tuan Daiva tidak ada, Mas." Daffa mengangguk paham. "Aku pikir, dia tertidur lagi di kamarmu. Kapan terakhir dia memakaimu?" Dara menggeleng pelan. "Tidak ingat, Mas. Dua atau tiga hari yang lalu." Daffa mendesah pelan. "Kenapa aku selalu kecolongan terus. Jika aku patroli terus di kamarmu, yang ada Mama makin curiga padaku. Tidak aku kontrol, si brengsek itu makin menjadi." Daffa memang selalu kesal jika tahu Dara sudah dihujam oleh Daiva. Tapi, dia tidak bisa ada di sampingnya selama dua puluh empat jam penuh. Bahkan, Melawati sudah memperingatinya untuk berjaga jarak dengan Dara. Namun, Daffa melanggarnya. Ia selalu membawa Dara pergi keluar hanya untuk makan bersama. "Mas Daffa kenapa melamun?" tanya Dara menyadarkan tatapan kosong Daffa. Daffa pun menoleh. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengajakmu keluar hari ini. Kebetulan, Mama dan Papa sebentar lagi akan pergi kondangan pernikahan anak sahabatnya." Dara mengulas senyumnya. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Dara bisa kabur dari rumah itu tanpa harus mengendap-endap bagai maling. "Baik, Mas. Saya siap-siap dulu kalau begitu." Daffa mengangguk. Dara pun kembali ke dalam kamar. Memasukkan barang-barang yang penting ke dalam tasnya. Ia menoleh pada laci berisi banyak uang yang diberikan Daiva setiap ia menghujam Dara. "Sepertinya aku harus memakai uang ini untuk bayar kontrakan selama aku bersembuyi di sana." Dara mengambil uang yang bisa dapat dihitung sebanyak puluhan juta itu. Ia juga menulis surat permohonan maaf pada semua orang yang ada di sana. Karena harus pergi tanpa izin. Selesai menulis surat, Dara sengaja tidak mengunci pintu kamarnya agar surat itu sampai pada anggota keluarga Adicandra. Tok tok tok! Dara mengetuk pintu kamar Daffa. "Boleh saya masuk, Mas?" tanya Dara di luar sana. "Silakan!" teriak Daffa. Kemudian perempuan itu masuk ke dalam kamar Daffa. Niatnya ke sana untuk meninggalkan surat yang ia tujukan khusus untuk Daffa. "Bantalnya berantakan sekali, Mas. Saya rapikan dulu, yaa." Dara mencari alasan agar bisa menyimpan surat itu diam-diam. "Oh, yaa. Silakan. Aku tidak sempat membereskannya tadi. Kalau begitu, aku keluar duluan. Aku tunggu di mobil." Memang itu yang diinginkan Dara. Pria itu segera keluar dari kamarnya. Segera Dara menyimpan surat itu di bawah bantal Daffa. Tiba di suatu tempat. Dara dan Daffa tengah duduk di bangku taman berukuran panjang sambil menatap air mancur di depannya. Daffa tampak menatap kosong ke depan. Hatinya sedang dilanda gusar. Bimbang karena pernikahan Daiva sebentar lagi. Setelah itu, Melawati akan menikahkan ia dengan Dara. Wanita yang hanya ia tolong karena kasihan, bukan karena memiliki rasa pada gadis cantik itu. "Mas Daffa kenapa melamun?" tanya Dara membuyarkan lamunan Daffa. Pria itu lantas menoleh dengan pelan. "Menurutmu ... kenapa aku melamun?" Daffa menghela napas kasar. "Pernikahan Daiva sudah di depan mata. Dan, hingga saat ini dia masih belum mau mengakui kesalahannya." Dara menunduk sambil meremas-remas jarinya. Ternyata, Daffa sedang bingung karena dia juga akan menikah dengan Dara. Semakin membuat Dara ingin segera pergi dari kehidupan keluarga Adicandra. "Saya sudah bilang berkali-kali, tidak perlu tanggung jawab. Tidak perlu menikahi saya hanya karena Ibu Mela. Kebahagiaan Mas Daffa lebih penting dari segalanya."Tujuh bulan kemudian.Julies tengah berjuang melahirkan seorang bayi yang masih berusaha mencari jalan keluar di bawah sana. Kini, mereka sudah berada di rumah sakit. Pun dengan Dara dan Daffa.Ingin melihat proses lahiran anak pertama Julies dan Fahri yang sudah menginjak usia sembilan itu. Dan mereka semua belum ada yang tahu, jika Julies sudah mengandung tiga bulan saat menikah dulu.Mereka hanya mengira jika Julies melahirkan secara prematur. Padahal, memang sudah memasuki bulan sembilan. Baik Julies maupun Fahri tak ada yang peduli. Mereka juga tidak memberi tahu jika Julies hamil sebelum menikah."Prematur, tapi bisa melahirkan secara normal, yaa." Daffa menggaruk belakang kepalanya. la bingung, karena Julies bisa melahirkan secara normal."Ngapain dibuat bingung sih, Mas. Syukur-syukur bayi dan ibunya sehat. Nggak usah aneh-aneh deh!" Dara kesal pada suaminya itu karena terus mengomentari Julies yang sedang berjuang melahirkan anak pertamanya di ruangan sana.Kemudian, pria itu
Prissa lantas menoleh cepat ke arah Daffa. "Maksud kamu apa, Daffa? Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Aku hamil lho, Daff." Suara perempuan itu nyaris tenggelam karena menahan tangisnya.Julies menoleh padanya. "Sabar, yaa. Daffa emang gitu orangnya. Kita sama-sama korban ular jahat Daffa. Aku juga pernah hamil anaknya dia. Tapi, gak tanggung jawab tuh. Orangnya malah hamilin anak orang."Julies menepuk-nepuk bahu Prissa."Yaa gak bisa gitu dong, Juls. Masa gue harus rawat anak gue sendiri?" Prissa mulai kelabakan. Harinya tak tenang kala mendengar penolakan dari Daffa."Gue gak mau nikah sama elo, Prissa. Sampai itu anak brojol pun gue gak akan mau nikah sama elo!" pekik Daffa. Pria itu sudah mulai emosi.Hatinyä dikabut kemarahan yang tak bisa ia tahan lagi. Daffa yang super emosian itu lantas menggertak Prissa. Sehingga membuat perempuan itu menatap tajam ke arahnya."Berani berbuat, gak berani tanggung jawab!" sengal Prissa dengan suara menekan."Terserah elo! Terserah, mau ngomong
Julies tertawa melihat adegan luar biasa itu. Saling memaki dan saling berteriak. Membuatnya tak bisa untuk berhenti tertawa."Fahri, Fahri. Lucu banget sih, kamu." Julies geleng-geleng kepala. sembari mengikuti langkah Fahri menuju ruangan USG.Tak lama setelahnya, Daffa dan Dara pun tiba di sana. Menghampiri Fahri dan Julies yang sedang melihat Prissa. Perempuan itu tidak bisa ke mana-mana karena diserbu oleh empat orang.Ditambah Dokter Ami yang mulai memeriksa kandungannya. Semakin tak bisa ke mana-mana. Hanya bisa pasrah kala Dokter Ami sudah mengolesi gel di atas perutnya."Hasil USG itu akurat "kan, Dok?" tanya Fahri pada Dokter Ami."Hampir seratus persen akurat. Kita lihat dulu ya, janinnya." Dokter Ami mulai memeriksa kandungan Prissa.Ditatapnya layar monitor tersebut. Yang hanya Dokter Ami yang tahu, maksud dari gambar yang ada di sana. Mereka hanya tahu jika janin itu memang benar-benar ada di sana."Berarti bener ya, Dok. Di perutnya ada bayinya," kata Julies sambil mena
Prissa yang memang sedang ingin meminta pertanggungjawaban kepada Daffa pun telah menyiapkan segalanya.Memberikan alat tes kehamilan itu kepada Dara. Agar perempuan itu tahu, jika Prissa benar-benar hamil anaknya Daffa."Ada USG-nya?" tanya Dara kembali.Daffa menoleh dengan cepat ke arah Dara. Pun dengan Prissa. la terlihat gelagapan kala Dara meminta hasil USG-nya."Waktu saya periksa kehamilan dulu, sekalian USG. Karena pengen lihat perkembangan anak saya di dalam sini." Dara menunjuk perutnya yang buncit itu.Daffa tersenyum miring mendengar ucapan Dara. "Tumben, pinter. Dapat ngajarin siapa sih?" Daffa malah mencubit hidung Dara."Dari Mbak Julies. Waktu dia hamil juga katanya di-USG. Kenapa Mbak Prissa nggak USG? Emangnya, Mbak gak mau lihat calon bayi Mbak?" tanya Dara kepada perempuan yang ingin merebut suaminya itu.Tak lama kemudian, Fahri dan Julies tiba dir rumah tersebut. Kemudian Julies menghampiri Dara. Lalu, mengulas senyumnya."Gimana-gimana? Prissa beneran hamil? An
Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Dara pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. la melihat Daffa tengah meringkuk di atas tempat tidur. Namun, Dara hiraukan. Tetap melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.Ting!Notifikasi pesan masuk pada ponsel Daffa. Dengan malas, pria itu membuka pesan tersebut. Matanya memicing, melihat pesan masuk tersebut.Sebab, pesan masuk itu dari Prissa. Akan datang ke rumahnya untuk meminta pertanggungjawaban. Daffa memijat keningnya. Kemudian, menghubungi Fahri."Si Prissa udah mulai berulah, Ri. Dia mau ke sini. Minta tanggung jawab gue," kata Daffa setelah pria itu menerima panggilannya.Terdengar helaan napas di seberang sana. "Si Dara masih marah ke elo?" tanya Fahri."Ya. Bahkan lebih parah sejak menerima panggilan dari Prissa. Dia bener-bener nggak mau maafin gue. Malah, minta gue buat nikahin tuh orang."Katanya, gue aja tanggung jawab atas dia yang hamil bukan anak gue. Kenapa gue nggak mau tanggung jawab atas kehamilan Prissa yang jelas-j
"Apa yang harus aku lakukan, supaya kamu mau memaafkan kesalahanku, Dara? Apa yang bisa buat kamu memaafkan aku agar kamu bisa menerima semua perbuatan gila itu."Daffa kembali bersuara. Akan terus mengejar permintaan maaf dari Dara. Bahkan, ia rela melakukan apa saja, agar mau memaafkannya.Dara menoleh ke arah Daffa. "Tidak perlu. Mas Daffa tidak perlu melakukan apa pun. Semuanya sudah terjadi. Apa yang harus dilakukan?"Daffa bergeming. la hanya bisa menatap Dara dengan sayu. Hatinya teriris kala mendengar ucapan Dara. Terdengar sangat kecewa padanya."Jangan lengah, Daff. Si Prissa emang masih suka sama elo. Akan mencari cara agar bisa dapetin elo lagi. Sekarang, jangan pernah bertemu dengan dia sekali pun. Jauhi dia, jangan sampai elo ketemu lagi sama tuh orang."Ucapan Fahri membuat Daffa mengangguk dengan pelan. "Iya, Ri. Dari awal juga gue gak pernah mau ketemu sama dia lagi. Tapi, dia sendiri yang datang dan deketin gue."Fahri mengangguk. Lalu, menoleh ke arah Dara. "Kamu ja
"Tuh, kan. Apa kata gue juga. Dara punya penyakit shock. Denger berita yang bikin dia kaget, pasti langsung pingsan," kata Fahri sembari mengikuti Daffa yang tengah menggendong Dara. Yang akan membawanya ke rumah sakit."Jangan banyak omong. Bawa mobil. Ke rumah sakit sekarang juga?" titah Daffa kepada Fahri.Kemudian pria itu melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Untuk memeriksa kondisi Dara yang tiba-tiba tak sadarkan diri.Setibanya di rumah sakit, Dara langsung dibawa ke ruang IGD, untuk melakukan pemeriksaan."Kenapa lagi istrinya, Daffa?" tanya Dokter Ami sembari memeriksa kondisi Dara."Jatuh pingsan, Dok. Tiba-tiba, karena dengar kabar yang tidak mengenakkan" ucap Fahri memberi tahu.Dokter Ami menghela napasnya. "Kenapa selalu mendengar kabar yang tidak mengenakkan? Jangan pernah beri kabar tersebut, karena Dara memiliki sifat cenderung mudah terkejut."Saya rasa, ini ada kaitannya dengan pengalaman dia di masa lalu. Mungkin saat Dara tengah melamun, atau sedang memikirkan s
"Dara ke mana sih? Kenapa nggak temenin Mama di sini?" tanya Daffa setelah menyadari jika istrinya tidak ada di sana."Mau mandi dulu katanya," jawab Melawati."Oh. Tadi olahraga dulu sih dia. Kemudian, Daffa menoleh kembali pada Melawati. "Mama ke sini mau ngomongin itu doang?"Melawati mengangguk. "Mama mau ke Amerika. Jenguk Daiva, sama Papa juga. Kamu dan Dara mau ikut juga, nggak? Sekalian babymoon.""Udah gede kandungannya, Ma. Harusnya bulan lalu. Dara gak bakalan mau pergi jauh-jauh. Terlalu cinta dengan Indonesia."Mama sama Papa aja yang pergi. Titip salam aja buat Daiva. Sekalian tanyakan, udah dapat jodoh lagi atau belum."Melawati memutar bola matanya dengan pelan. "Ya sudah kalau begitu. Mama dan Papa saja yang ke sana. Mau kasih kejutan."Melawati pun pamit pergi dari rumah anaknya.Lalu, Dara yang baru selesai mandi itu pun keluar sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. "Lho. Mamanya ke mana, Mas?" tan
Fahri hanya mengulas senyumnya. Kemudian menggaruk hidungnya. "Mungkin gitu, Daff. Si Dara punya penyakit shock. Kayaknya itu penyakit lebih parah dari jantung deh."Bisa bikin pingsan orang dengan tiba-tiba. Sedangkan jantung.... biasanya bengek dulu Baru pingsan. Kalau shock, langsung pingsan saat itu juga.Daffa menoleh dan menatap Fahri dengan tajam. "Elo jangan nakut-nakutin gue dong! Kasih solusi yang bener. Jangan malah bikin makin runyam ini masalah."Fahri mengusap belakang kepalanya. "Hal gak guna, dan bikin gue selalu ikut campur dalam urusan elo. Bahkan, merelakan waktu gue buat kencan sama Julies. Gak seru kalau nggak bisa menemukan titik terangnya."Daffa mengangguk. "Bukan elo doang yang waktunya terbuang sia-sia. Gue juga.""Yang bikin masalah elo, Daffa. Wajar, kalau elo membuang waktu elo untuk ngurusin kayak beginian. Emang paling demen nyari penyakit elo tuh, yaa."Daffa menghela napasnya dengan panjang. Lalu, memijat ken