แชร์

Bab 6. Beban Terpendam

ผู้เขียน: Nikma
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-11-01 18:17:26

Gita duduk di ruang makan yang hening, hanya ditemani detak samar suara jam dinding. Hidangan sederhana yang ia siapkan hanya untuk dirinya sudah tersisa setengah. Adrian sudah pergi sejak sore tadi untuk menghadiri makan malam dengan rekan bisnisnya. Piring-piring bersih yang ia tata sebelumnya seolah menertawakan dirinya yang akhirnya makan sendirian.

Di samping piringnya, kotak kecil berisi jamu kesuburan yang Rima tinggalkan kemarin. Tangan Gita terulur, merasakan ujung kotak itu. Ia menghela napas pelan, mencoba mencari keberanian untuk menyeduhnya. “Mungkin ini akan membantu,” gumamnya pada diri sendiri, walau hatinya meragu.

Ia berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan air panas. Aroma jamu yang menyengat menyeruak saat ia menuangkannya ke dalam cangkir. Sekilas, terlintas di benaknya rasa getir setiap kali Rima mengungkit soal pewaris untuk Adrian, tekanan yang seolah-olah hanya ia yang harus memikulnya. Namun, harapannya—walau tipis—membuatnya menyesap sedikit demi sedikit, meneguk kepahitan itu dengan hati yang sarat beban.

Saat itu ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Ferdi, kakaknya, muncul di layar, dan ia segera mengangkatnya. “Halo, Mas?”

“Gita, Bapak kecelakaan,” suara Ferdi terdengar tergesa-gesa. “Dia jatuh saat lagi kerja, sekarang di rumah sakit.”

Gita tercekat, dadanya langsung sesak. “Ya Tuhan, Bapak… Dia di rumah sakit mana?”

“RSUD di dekat pasar,” jawab Ferdi cepat. Tanpa berpikir panjang, Gita langsung beranjak dari kursinya, meninggalkan meja makan dan cangkir jamu yang masih tersisa. Ia segera meraih tas dan berteriak memanggil sopirnya, lalu bergegas keluar rumah dengan perasaan panik yang berkecamuk.

Setibanya di rumah sakit, langkah Gita penuh kegelisahan. Bau khas rumah sakit menyambutnya, menusuk hidung dan mengingatkan bahwa ini bukan sekadar mimpi buruk. Di ruang IGD, ia menemukan Ferdi tengah duduk dengan wajah tegang di samping tempat tidur Hamid.

Di atas tempat tidur, Hamid terbaring dengan wajah pucat, kakinya sudah terbalut gips yang melingkar dari lutut hingga ujung kaki. Melihat tubuh renta ayahnya yang terlihat lebih kurus dari terakhir kali ia berkunjung, hati Gita teriris. Ia tahu ayahnya masih bekerja sebagai kuli angkut barang, pekerjaan yang seharusnya tak lagi ditekuni di usia senjanya. Namun, keadaan ekonomi yang pas-pasan membuatnya tak punya pilihan lain.

“Bapak...” Gita mendekati ranjang dengan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Hamid tersenyum lemah, mencoba menenangkan anak perempuannya. “Ndak usah khawatir, Nak. Bapak cuma jatuh sedikit.”

Namun, bagi Gita, kenyataan ini lebih dari sekadar kecelakaan kecil. Perasaan bersalah mulai menyusupi hatinya. Selama ini, di balik kenyamanan hidupnya sebagai istri Adrian, ada keluarganya yang masih berjuang di tengah keterbatasan. Hamid, meski sudah sepuh, tetap harus mengangkat beban berat demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Pak, kenapa harus kerja seberat itu?” bisiknya pelan, tak kuasa menahan air mata yang akhirnya mengalir.

Hamid mencoba menyunggingkan senyum tipis, meskipun jelas ia menahan rasa sakit. “Gita, ini cuma kecelakaan kecil. Jangan terlalu dipikirkan,” ucapnya lembut, berusaha menenangkan putrinya.

Namun, air mata Gita tetap mengalir. Di sisi lain, Ferdi berdiri dengan tangan terlipat, memandang Gita dengan raut wajah tak puas. Tatapan matanya mengeras, dan dia akhirnya melepaskan keluh kesah yang selama ini tertahan. “Gita, kamu nggak ngerasa? Harusnya kita nggak perlu menghadapi situasi kayak gini, apalagi kalau suamimu sekaya itu,” ujarnya tajam, membuat Gita terdiam dengan kepala tertunduk.

“Bapak masih harus kerja keras tiap hari padahal anak perempuannya menikah sama orang kaya raya. Seharusnya kamu bisa lebih banyak bantu,” lanjut Ferdi dengan nada menyindir. Ia tampak semakin kesal dan kecewa.

“Mas, awal bulan kemarin aku udah transfer, kan?” tanya Gita.

“Bantuan bulananmu buat keluarga kita kecil banget. Padahal itu nggak ada apa-apanya buat Adrian. Kalau kamu peduli sama Bapak, harusnya kamu bisa minta lebih banyak.”

Kata-kata Ferdi menusuk hati Gita. Ia tahu Ferdi benar-benar marah dan merasa kecewa padanya. Namun, Gita tak memiliki kekuatan untuk membantah atau menjelaskan situasinya dengan Adrian. Di balik sinisme kakaknya, ada kenyataan yang selama ini ia coba abaikan—bahwa dalam pernikahannya dengan Adrian, ia merasa sulit untuk meminta sesuatu, apalagi menyangkut keluarganya.

Kata-kata Ferdi terus terngiang dalam benaknya. Sambil menatap ayahnya yang terbaring lemah, perasaan bersalah dan terpojok menguasai dirinya.

Merasa tersudut, “Maafin aku, Pak. Aku segan kalau terlalu sering minta uang sama Adrian.”

Ferdi mendengus tak percaya. “Segan, ya? Padahal dia itu suamimu. Masa susah banget cuma buat bantu keluarga sendiri?” Nada sinis dalam ucapannya menambah perasaan tertekan di hati Gita.

Mendengar Ferdi terus menyudutkan Gita, Hamid menghela napas panjang. Ia menatap Ferdi dengan lelah, mencoba meredakan ketegangan. “Ferdi, sudah, gak usah ribut. Bapak baik-baik saja. Jangan menyalahkan adikmu terus.”

Namun, Ferdi tak menghiraukannya dan malah melanjutkan dengan nada lebih keras. “Justru ini saatnya kita bicara. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Harusnya dari dulu kamu sadar, Gita, bahwa bantuin keluarga itu bukan pilihan, tapi kewajiban.”

Kata-kata itu membuat Gita semakin terpuruk. Ia tahu Ferdi dan Hamid memang membutuhkan bantuan, tapi pernikahannya sendiri sudah cukup membebaninya. Membawa masalah keluarganya ke dalam hubungan dengan Adrian hanya akan membuatnya semakin sulit bertahan di sana.

Kepalanya tertunduk, Gita merasa semakin bersalah dan terpojok. “Aku akan bantu semampuku, Mas.”

Tak lama kemudian, dokter yang menangani Hamid muncul dengan wajah tenang. Gita yang tak bisa menyembunyikan kegelisahannya, segera menghampiri dokter itu, “Dok, bagaimana kondisi Bapak saya? Apa benar-benar parah? Apakah bapak saya bisa pulih sepenuhnya?”

Dokter itu menatap Gita dan menjelaskan. "Pak Hamid mengalami patah tulang di bagian kaki kanan, tepatnya di tulang kering. Pada usia seperti beliau, proses penyembuhan memang cenderung lebih lama dibandingkan pasien yang lebih muda.”

Gita mengangguk pelan, mendengarkan dengan saksama. “Jadi, apa yang harus kami lakukan, Dok?”

Dokter kemudian melanjutkan, “Pak Hamid perlu banyak beristirahat dan menghindari pekerjaan yang memberi tekanan pada kakinya. Perlu dipastikan ia tidak berdiri terlalu lama, apalagi mengangkat beban berat. Kami juga akan mengatur beberapa sesi fisioterapi untuk mempercepat pemulihan, tetapi itu akan memerlukan kesabaran dan ketelatenan.”

“Jadi, Bapak akan bisa berjalan normal lagi?” tanya Gita.

“Tentu, dengan perawatan yang tepat, harapan pemulihan tetap ada. Namun, Anda perlu memahami bahwa proses ini bisa memakan waktu. Kondisi Pak Hamid sudah stabil dan sudah boleh pulang.”

Sebelum pergi, dokter mengingatkan Gita tentang administrasi rumah sakit yang perlu segera diurus.

Saat Gita sedang mengurus administrasi di meja depan, Ferdi datang menghampirinya dengan ekspresi tak sabar. “Gita, aku perlu uang untuk kebutuhan Bapak dan… ya, buat makan juga,” katanya setengah berbisik, tapi tuntutannya begitu tegas.

Gita menarik napas dalam-dalam, membuka dompet, dan mengeluarkan sejumlah uang tunai yang ia miliki. “Ini, ada 500 ribu. Ambil ini dulu,” ujarnya, menyodorkan uang itu dengan harapan bisa memenuhi kebutuhan sementara.

Namun, Ferdi menatapnya dengan wajah tak puas, lalu mendesis, “Lima ratus ribu? Gita, segini nggak cukup! Kamu tahu kan, keluarga kita butuh lebih dari ini. Masa kamu pelit banget sama saudara sendiri?”

Gita merasakan ketegangan menjalari tubuhnya. Ia menekan perasaan terluka dan menjawab, “Mas, ini yang ada di dompetku. Lagian itu pasti cukup buat makan beberapa hari.”

Ferdi mencibir. “Hah, cukup buat bapak doang. Tapi aku kan juga butuh! Kamu itu sekarang istri orang kaya. Masa masih perhitungan buat keluarga sendiri?”

Gita merasa malu dengan suara Ferdi yang mulai meninggi, dan ia tahu beberapa orang di sekitar mereka mulai memperhatikan. “Ya sudah, nanti aku akan transfer. Tapi, jangan kamu habiskan buat hal-hal yang nggak penting lagi,” ucapnya sambil menegaskan, “Kamu jangan sampai main judi lagi.”

Rasa tersinggung membuat Ferdi semakin marah. Suaranya naik satu oktaf lagi, “Tinggal kasih doang, kenapa harus ribut sih? Kayak orang susah aja.”

Merasa harga dirinya mulai terkoyak di depan umum, Gita mengangguk dengan pasrah. “Iya, aku transfer, tapi kamu gak usah teriak-teriak,” katanya, menundukkan kepala dan menyadari betapa kondisi keluarganya kini seolah menjadi beban baru baginya.

Setelah memastikan semua urusan administrasi selesai, Gita mendekati ayahnya yang masih duduk lemah di kursi tunggu.

“Pak, aku pamit dulu ya. Nanti aku pulang buat lihat keadaan Bapak,” ujarnya sambil menggenggam tangan ayahnya sejenak.

Hamid tersenyum tipis, meski raut wajahnya terlihat lelah. “Hati-hati, Nak. Jangan terlalu dipikirin semua ini, bapak gak apa-apa kok,” ucapnya.

Gita mengangguk dan berusaha memasang senyum, meski dadanya terasa sesak. Begitu berbalik, pikirannya langsung melayang pada Adrian. Baru ia sadar bahwa ia bergegas ke rumah sakit tanpa sempat mengabari suaminya. Ia pun mempercepat langkahnya menuju parkiran, berharap bisa segera sampai rumah.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (1)
goodnovel comment avatar
Zeevana Twain
lha ini kk benalu tidak tau malu! klg adikmu tidak wajib menafkahimu kerja jgn mengandalkan ipar kaya
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 96. Manipulasi

    Naufal, yang mulai putus asa mendekati Gita secara langsung, menyusun strategi baru. Ia menyadari bahwa hubungan Gita dengan kakaknya, Ferdi, bisa menjadi celah yang dapat dimanfaatkannya. Meskipun hubungan mereka tidak selalu mulus, Naufal tahu bahwa Gita memiliki ikatan emosional dengan Ferdi dan sering kali merasa bertanggung jawab terhadapnya.Malam itu, Naufal menemui Ferdi di sebuah warung kopi sederhana di pinggir kota. Ferdi, yang tampak lelah dan kurang bersemangat, langsung menyadari bahwa pertemuan ini tidak biasa. “Ada apa, Naufal? Kenapa sampai cari gue malam-malam begini?” tanyanya sambil meminum kopinya.Naufal tersenyum tipis, mencoba memancarkan kesan tenang dan simpatik. Ia meletakkan amplop tebal di atas meja, tepat di depan Ferdi. “Saya tahu kondisi Gita sekarang berat. Dan sebagai kakaknya, pasti Mas Ferdi juga ingin membantunya, kan?”Ferdi melirik amplop itu dengan alis mengernyit. “Maksudnya apa ini?”Na

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 95. Kunjungan Tak Diundang

    Naufal, yang semakin tidak bisa menahan kegelisahannya, memutuskan untuk mengunjungi rumah Gita. Pikiran tentang kondisi Gita yang mungkin tidak baik-baik saja terus menghantuinya, terutama setelah berbagai konflik yang ia tahu Gita alami. Meski ia tahu ini keputusan yang bisa memicu masalah baru, ia tetap berdiri di depan pintu rumah Gita, mengetuk pintu dengan perasaan campur aduk.Di dalam rumah, Gita sedang sibuk merapikan ruang tamu ketika suara ketukan itu memecah keheningan. Ia berjalan menuju pintu dengan ekspresi penasaran, tetapi terkejut ketika melihat siapa yang berdiri di sana.“Naufal?” suaranya terdengar ragu, mencoba menutupi rasa was-was yang tiba-tiba muncul.Naufal berdiri dengan senyum tipis yang hampir seperti permintaan maaf. Namun, ada ketegangan di wajahnya. “Gita, aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja,” katanya pelan, nada khawatir terdengar jelas di suaranya.Gita menahan pintu agar tidak terbuka lebar, ma

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 94. Rekonsiliasi di Bawah Cahaya Lilin

    Setelah melewati badai konflik yang mengguncang kehidupan mereka, Adrian memutuskan bahwa sudah waktunya untuk memberikan ruang bagi dirinya dan Gita untuk bernapas. Ia mengatur sebuah malam yang sederhana namun penuh makna di sebuah restoran kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Restoran itu dipenuhi pencahayaan temaram dari lilin-lilin kecil yang memancarkan suasana hangat dan intim.Ketika Adrian tiba bersama Gita, pelayan membimbing mereka ke meja di sudut ruangan, tepat di samping jendela besar yang menghadap taman dengan lampu-lampu redup menghiasi pohon-pohon di luar. Adrian meski masih menggunakan kursi roda, tampak bersemangat dan lebih santai dibanding beberapa hari terakhir.Gita mengenakan gaun sederhana dengan potongan elegan berwarna biru tua, yang memancarkan pesona alaminya. Rambutnya ditata dengan anggun, dan raut wajahnya terlihat tenang—sebuah kelegaan yang sudah lama tidak Adrian lihat sejak semua konflik dimulai.Saat pelayan mengan

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 93. Konfrontasi Langsung

    Beberapa minggu telah berlalu, dan Adrian kini siap menghadapi Luna secara langsung. Dengan bukti-bukti kuat atas penyalahgunaan dana perusahaan yang telah dikumpulkan oleh tim keuangan dan pengacaranya, ia merasa waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini telah tiba. Adrian memutuskan untuk mengatur pertemuan resmi di kantor, meminta Hendri mengoordinasikan jadwal dan memastikan semua saksi yang relevan hadir.Ketika Luna tiba di kantor, ia tampak percaya diri seperti biasanya, mengenakan blazer mahal yang menegaskan statusnya. Namun, sorot matanya menunjukkan sedikit kegelisahan, seperti orang yang tahu bahwa badai besar sedang menantinya.Di ruang rapat besar, Adrian duduk di kursi utama, didampingi oleh pengacaranya dan Gita yang berada di sampingnya. Hendri dan beberapa saksi dari tim keuangan juga sudah berada di sana, siap memberikan kesaksian jika diperlukan.“Silakan duduk, Luna,” ujar Adrian dengan nada dingin, tangannya terlipat di atas me

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 92. Pertemuan Memanas

    Sesampainya di rumah sakit, Naufal bergegas menuju ruang rawat Gita. Ia berjalan cepat di lorong rumah sakit, dadanya naik turun, penuh emosi. Ketika tiba di depan pintu, ia mengetuk pelan dan membuka pintu tanpa menunggu jawaban.Di dalam, Gita terbaring lemah, wajahnya terlihat pucat. Matanya setengah terbuka saat melihat Naufal masuk. “Naufal?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.Naufal mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Matanya menatap Gita dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi padamu? Apa mereka tidak bisa menjagamu?” tanyanya dengan suara yang terdengar penuh emosi.Gita tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana meski tubuhnya lemah. “Aku baik-baik saja, Naufal. Hanya sedikit kecapekan,” katanya pelan, meskipun jelas dari kondisinya bahwa itu lebih dari sekadar kelelahan.Namun, sebelum Naufal sempat bertanya lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka lagi. Adrian masuk, didorong oleh kursi roda el

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 91. Langkah Luna

    Wajah Rima menunjukkan penyesalan. Ia menatap Gita sekali lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya menghela napas berat. "Mama pergi dulu," ucapnya singkat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya pelan dan terasa berat, seolah membawa beban kesalahan yang baru ia sadari.Setelah pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Adrian duduk di samping Gita, mengusap tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus memberikan rasa nyaman kepada istrinya.“Maaf,” kata Adrian tiba-tiba, suaranya rendah. “Aku tahu semua ini terlalu berat untuk kamu. Aku tidak bisa terus membiarkan ini terjadi.”Gita menatapnya dengan lembut, meskipun masih terlihat lemah. “Kamu enggak perlu minta maaf, Adrian. Aku tahu kamu hanya mencoba melindungi aku.”Adrian menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius. “Aku harus mengambil langkah besar, Gita. Kita enggak bisa terus hidup se

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status