공유

Bab 5. Baik Baik Saja

작가: Nikma
last update 최신 업데이트: 2024-10-05 09:23:54

Adrian membalikkan tubuhnya, agak kaget melihat Gita berdiri di depan pintu ruang kerjanya. Adrian segera mematikan sambungan telepon di tangannya. Gita berusaha menguasai diri, tersenyum meski hatinya terasa hancur setelah mendengar pembicaraan Adrian dengan Luna. Rasa penasaran dan cemas bercampur di dalam benaknya, namun ia memilih untuk menenangkan diri, menjaga agar emosinya tidak terlihat.

Adrian berjalan ke arah pintu.

“Sarapan sudah siap,” kata Gita lembut, menyembunyikan getaran dalam suaranya.

Adrian meraih jas yang tergantung di dekat pintu. “Maaf, Gita. Aku gak sempat sarapan. Nanti aku sarapan di kantor saja,” ucapnya sambil memakai jasnya agak terburu-buru. Kata-katanya terkesan datar, dan tanpa menunggu jawaban, Adrian menutup pintu dan mengambil kunci mobil dari atas meja.

Sebelum beranjak pergi, ia mendekat dan mengecup bibir Gita singkat. Setelah Adrian pergi, Gita tetap berdiri di depan pintu, menatap bayangannya sendiri di kaca jendela. Bibirnya masih terasa dingin oleh ciuman singkat Adrian, sebuah sentuhan yang biasanya begitu berarti, tapi kini terasa kosong. Di balik senyuman yang tadi ia paksakan, hatinya perlahan hancur.

Dalam pikiran Gita, ucapan Mayang menggema. “Laki-laki mana yang betah di rumah tanpa suara anak kecil? Suatu saat nanti Adrian bisa saja mencari wanita lain kalau kamu tak juga bisa memberinya keturunan.”

Kata-kata itu telah lama menghantui pikirannya, namun hari ini, setelah semua yang ia alami, bayangannya terasa semakin nyata.

Gita menggelengkan kepalanya, mencoba menepis pikiran-pikiran buruk yang terus bermunculan. Namun, semakin ia melawan, semakin tajam rasa takut itu menusuk. Apa benar Adrian juga berpikir begitu? Apa benar semua usahanya selama ini tidak cukup?

Gita memutuskan kembali ke meja makan, duduk perlahan di kursi, menatap piring-piring penuh yang ia siapkan dengan harapan sederhana: bahwa suaminya akan duduk dan makan bersamanya. Bahwa mereka akan memulai hari seperti pasangan suami-istri yang bahagia, saling mendukung. Tapi kenyataan berkata lain. Usahanya terus-menerus terasa sia-sia, seolah dirinya tak pernah cukup untuk kebahagiaan Adrian, atau keluarga besar suaminya.

Kekecewaan yang semakin dalam membuat air matanya menetes perlahan. Apa aku yang salah? Pertanyaan itu semakin menguat di benaknya, membenamkan dirinya dalam kesedihan yang tak terucap. Setiap langkah yang ia tempuh untuk mempertahankan pernikahan mereka terasa seperti upaya yang sia-sia.

Gita mengingat janji pernikahan mereka yang baru saja dimulai setahun lalu. Saat itu, mereka begitu yakin bahwa cinta akan mengatasi segalanya. Namun sekarang, cinta yang dulu menguatkan mereka justru terasa melemah seiring dengan berjalannya waktu, ditambah dengan desakan keluarga Adrian yang menuntut kehadiran seorang anak.

Ia mengelus perutnya yang kosong, sebuah gestur yang ia lakukan tanpa sadar setiap kali pikirannya dipenuhi harapan dan ketakutan yang sama. Suara anak kecil, yang dulu hanya ia bayangkan dengan bahagia, kini terasa menjadi beban yang harus ia hadapi setiap hari. Dengan rasa cemas yang menggelayuti hatinya, Gita memutuskan untuk mendatangi rumah sakit. Ia ingin memeriksakan sendiri bagaimana kondisi rahimnya, mengingat ketakutannya bahwa mungkin saja kesalahan ada pada dirinya.

***

Gita menguatkan hati saat ia memasuki ruang tunggu rumah sakit, di mana beberapa ibu hamil duduk menunggu giliran, dengan tangan yang sesekali mengusap perut mereka yang membuncit. Pemandangan itu membuat dadanya terasa sesak. Baginya, perjalanan ini bukan hanya sekadar pemeriksaan; ini adalah langkah penuh keberanian yang diambil seorang diri, tanpa Adrian di sisinya. Ia mencoba meredam kegelisahan, berharap bahwa semua yang ia alami hanyalah kekhawatiran yang tak berdasar. Namun, di sudut hatinya, ia tahu bahwa setiap tuduhan dan kata-kata tajam dari keluarga Adrian telah mengguncang kepercayaan dirinya.

Tak lama, nama Gita dipanggil. Ia menghela napas panjang dan bangkit, berjalan menuju ruangan pemeriksaan dengan langkah yang mantap meski hatinya gemetar. Begitu memasuki ruangan, ia tertegun. Yang berdiri di sana, menunggunya dengan senyum ramah, adalah Naufal, teman masa sekolah yang sudah lama tak ditemuinya.

“Gita? Ini beneran kamu?” Naufal tampak terkejut, lalu tersenyum lebar. “Sudah lama sekali, ya. Aku hampir tidak mengenalimu.”

“Naufal? Kamu jadi dokter kandungan, ternyata!” Gita membalas senyum Naufal, sedikit merasa lega melihat wajah yang familiar. Pertemuan ini seperti membawa secercah cahaya di tengah kekalutannya.

“Iya, hidup memang sering bawa kita ke jalur yang enggak kita duga, ya?” jawab Naufal sambil tertawa kecil. “Ngomong-ngomong, gimana kabar kamu sekarang? Baik-baik aja, kan??”

“Iya, baik…” jawab Gita meski dia sedikit ragu dengan jawaban itu, tetapi Naufal bisa merasakan kegundahan di matanya.

“Kalau begitu, ada yang ingin kamu sampaikan tentang kesehatanmu? Apakah ada keluhan tertentu yang bikin kamu khawatir?” tanya Naufal pada akhirnya.

Gita terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Sebenarnya, aku sudah menikah setahun, dan sampai sekarang belum ada tanda-tanda kehamilan. Aku merasa ada yang tidak beres dan ingin memeriksakan kondisiku lebih lanjut.”

Naufal mengangguk, menunjukkan perhatian. “Baik, kita bisa melakukan pemeriksaan. Ini penting untuk memastikan segala sesuatunya baik-baik saja. Mari kita lakukan agar kamu bisa merasa lebih tenang.”

Gita segera berbaring di meja pemeriksaan, mencoba memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri. Naufal mulai melakukan pemeriksaan dengan hati-hati, lalu menyiapkan alat USG. Gita bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri yang berpacu cepat seiring pergerakan alat di perutnya.

Setelah beberapa saat, Naufal menatap layar dengan cermat, mengamati setiap detail. “Gita, dari pemeriksaan awal ini, semuanya terlihat baik-baik saja. Rahim kamu sehat, dan tidak ada masalah yang tampak dari sini.”

Mata Gita melebar, tak percaya. Ia merasa lega, tapi sekaligus bingung. “Jadi… jadi, tidak ada yang salah denganku?”

Naufal mengangguk. “Tidak ada, Gita. Tubuh kamu sehat dan normal. Jadi, jangan terbebani oleh pikiran atau tekanan yang membuat kamu merasa seperti ada yang salah. Mungkin ada beberapa faktor lain, tapi itu bukan dari kondisi fisik kamu.”

Gita menarik napas dalam-dalam, merasa beban besar terangkat dari dadanya. Meski kabar ini melegakannya, ia tak bisa mengabaikan rasa sakit yang masih tertinggal dari sikap keluarga Adrian yang terus mempertanyakan dirinya. Namun, mendengar kabar dari Naufal memberinya kekuatan untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi nanti.

“Terima kasih, ya,” ucap Gita tulus.

Naufal mengangguk. “Sama-sama, Gita. Jangan ragu untuk kembali kalau ada yang kamu ingin tanyakan.”

***

Gita bergegas pulang setelah selesai pemeriksaan. Hari ternyata sudah beranjak sore, dan ia masih harus menyiapkan makan malam untuk Adrian dan dirinya. Meski lelah, ada keinginan dalam hatinya untuk membuat suasana rumah terasa hangat, seolah-olah dengan begitu ia bisa mengembalikan sedikit keakraban yang kian menjauh.

Ketika Gita tiba di rumah, ia mendapati bahwa Adrian sudah pulang lebih awal dan sedang berada di kamar mandi. Ia meletakkan tasnya, melepas sepatu, dan duduk di ruang tamu, menunggu Adrian selesai. Lelah yang ia rasakan seharian perlahan menyeretnya ke dalam kantuk, hingga tanpa disadari, ia tertidur.

Ketika ia terbangun, Gita melihat Adrian sudah keluar dari kamar mandi, tengah mengenakan kemeja bersih. Ia mengusap wajahnya sejenak untuk menghilangkan kantuk dan segera berdiri, menyambut Adrian dengan senyum yang masih lemah.

“Kamu dari mana? Kenapa seharian ini gak ada kabar?” tanya Adrian dengan nada datar, namun menunjukkan protesnya.

Gita tergagap sejenak. Ia berusaha merangkai kata-kata di benaknya, berusaha menghindari konflik, tapi akhirnya ia memutuskan untuk jujur. “Aku tadi ke dokter kandungan.”

Adrian menghentikan aktivitasnya mengancingkan kancing memeja sejenak, matanya menatap Gita dengan sorot yang sulit diartikan. Gita merasa sedikit terintimidasi, terutama ketika ia melihat raut wajah Adrian berubah menjadi sedikit tak senang.

“Kenapa kamu tidak bilang apa-apa dulu ke aku?” tanya Adrian.

Gita menunduk, merasa bersalah dan tak ingin menambah ketegangan di antara mereka. “Maaf.”

Adrian hanya menghela napas, lalu melanjutkan merapikan kerah kemejanya. Gita menatapnya dengan harapan bahwa Adrian akan merespons atau berkata sesuatu, tetapi pria itu hanya melirik jam di pergelangan tangannya sebelum berkata dengan suara yang nyaris tanpa ekspresi.

“Aku ada makan malam dengan rekan bisnis, jadi kamu tidak perlu menyiapkan makan malam untukku malam ini.”

Gita menelan ludah, menahan perasaan kecewanya yang muncul lagi. 

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 96. Manipulasi

    Naufal, yang mulai putus asa mendekati Gita secara langsung, menyusun strategi baru. Ia menyadari bahwa hubungan Gita dengan kakaknya, Ferdi, bisa menjadi celah yang dapat dimanfaatkannya. Meskipun hubungan mereka tidak selalu mulus, Naufal tahu bahwa Gita memiliki ikatan emosional dengan Ferdi dan sering kali merasa bertanggung jawab terhadapnya.Malam itu, Naufal menemui Ferdi di sebuah warung kopi sederhana di pinggir kota. Ferdi, yang tampak lelah dan kurang bersemangat, langsung menyadari bahwa pertemuan ini tidak biasa. “Ada apa, Naufal? Kenapa sampai cari gue malam-malam begini?” tanyanya sambil meminum kopinya.Naufal tersenyum tipis, mencoba memancarkan kesan tenang dan simpatik. Ia meletakkan amplop tebal di atas meja, tepat di depan Ferdi. “Saya tahu kondisi Gita sekarang berat. Dan sebagai kakaknya, pasti Mas Ferdi juga ingin membantunya, kan?”Ferdi melirik amplop itu dengan alis mengernyit. “Maksudnya apa ini?”Na

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 95. Kunjungan Tak Diundang

    Naufal, yang semakin tidak bisa menahan kegelisahannya, memutuskan untuk mengunjungi rumah Gita. Pikiran tentang kondisi Gita yang mungkin tidak baik-baik saja terus menghantuinya, terutama setelah berbagai konflik yang ia tahu Gita alami. Meski ia tahu ini keputusan yang bisa memicu masalah baru, ia tetap berdiri di depan pintu rumah Gita, mengetuk pintu dengan perasaan campur aduk.Di dalam rumah, Gita sedang sibuk merapikan ruang tamu ketika suara ketukan itu memecah keheningan. Ia berjalan menuju pintu dengan ekspresi penasaran, tetapi terkejut ketika melihat siapa yang berdiri di sana.“Naufal?” suaranya terdengar ragu, mencoba menutupi rasa was-was yang tiba-tiba muncul.Naufal berdiri dengan senyum tipis yang hampir seperti permintaan maaf. Namun, ada ketegangan di wajahnya. “Gita, aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja,” katanya pelan, nada khawatir terdengar jelas di suaranya.Gita menahan pintu agar tidak terbuka lebar, ma

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 94. Rekonsiliasi di Bawah Cahaya Lilin

    Setelah melewati badai konflik yang mengguncang kehidupan mereka, Adrian memutuskan bahwa sudah waktunya untuk memberikan ruang bagi dirinya dan Gita untuk bernapas. Ia mengatur sebuah malam yang sederhana namun penuh makna di sebuah restoran kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Restoran itu dipenuhi pencahayaan temaram dari lilin-lilin kecil yang memancarkan suasana hangat dan intim.Ketika Adrian tiba bersama Gita, pelayan membimbing mereka ke meja di sudut ruangan, tepat di samping jendela besar yang menghadap taman dengan lampu-lampu redup menghiasi pohon-pohon di luar. Adrian meski masih menggunakan kursi roda, tampak bersemangat dan lebih santai dibanding beberapa hari terakhir.Gita mengenakan gaun sederhana dengan potongan elegan berwarna biru tua, yang memancarkan pesona alaminya. Rambutnya ditata dengan anggun, dan raut wajahnya terlihat tenang—sebuah kelegaan yang sudah lama tidak Adrian lihat sejak semua konflik dimulai.Saat pelayan mengan

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 93. Konfrontasi Langsung

    Beberapa minggu telah berlalu, dan Adrian kini siap menghadapi Luna secara langsung. Dengan bukti-bukti kuat atas penyalahgunaan dana perusahaan yang telah dikumpulkan oleh tim keuangan dan pengacaranya, ia merasa waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini telah tiba. Adrian memutuskan untuk mengatur pertemuan resmi di kantor, meminta Hendri mengoordinasikan jadwal dan memastikan semua saksi yang relevan hadir.Ketika Luna tiba di kantor, ia tampak percaya diri seperti biasanya, mengenakan blazer mahal yang menegaskan statusnya. Namun, sorot matanya menunjukkan sedikit kegelisahan, seperti orang yang tahu bahwa badai besar sedang menantinya.Di ruang rapat besar, Adrian duduk di kursi utama, didampingi oleh pengacaranya dan Gita yang berada di sampingnya. Hendri dan beberapa saksi dari tim keuangan juga sudah berada di sana, siap memberikan kesaksian jika diperlukan.“Silakan duduk, Luna,” ujar Adrian dengan nada dingin, tangannya terlipat di atas me

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 92. Pertemuan Memanas

    Sesampainya di rumah sakit, Naufal bergegas menuju ruang rawat Gita. Ia berjalan cepat di lorong rumah sakit, dadanya naik turun, penuh emosi. Ketika tiba di depan pintu, ia mengetuk pelan dan membuka pintu tanpa menunggu jawaban.Di dalam, Gita terbaring lemah, wajahnya terlihat pucat. Matanya setengah terbuka saat melihat Naufal masuk. “Naufal?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.Naufal mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Matanya menatap Gita dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi padamu? Apa mereka tidak bisa menjagamu?” tanyanya dengan suara yang terdengar penuh emosi.Gita tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana meski tubuhnya lemah. “Aku baik-baik saja, Naufal. Hanya sedikit kecapekan,” katanya pelan, meskipun jelas dari kondisinya bahwa itu lebih dari sekadar kelelahan.Namun, sebelum Naufal sempat bertanya lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka lagi. Adrian masuk, didorong oleh kursi roda el

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 91. Langkah Luna

    Wajah Rima menunjukkan penyesalan. Ia menatap Gita sekali lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya menghela napas berat. "Mama pergi dulu," ucapnya singkat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya pelan dan terasa berat, seolah membawa beban kesalahan yang baru ia sadari.Setelah pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Adrian duduk di samping Gita, mengusap tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus memberikan rasa nyaman kepada istrinya.“Maaf,” kata Adrian tiba-tiba, suaranya rendah. “Aku tahu semua ini terlalu berat untuk kamu. Aku tidak bisa terus membiarkan ini terjadi.”Gita menatapnya dengan lembut, meskipun masih terlihat lemah. “Kamu enggak perlu minta maaf, Adrian. Aku tahu kamu hanya mencoba melindungi aku.”Adrian menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius. “Aku harus mengambil langkah besar, Gita. Kita enggak bisa terus hidup se

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status