"Naya, kenapa kamu di sini?" Tiba-tiba seseorang datang mengagetkan kami, dan seketika membuat wajah Mita ketakutan.
"Dewa, kamu bisa tau aku di sini?" tanyaku balik melihat kedatangannya.
"Em, tadi gak sengaja dengar ada yang sedang ngobrol, suaranya mirip sama kamu, dan bener ternyata kamu," jawab Dewa.
"Jadi, Bapak denger semua pembicaraan kita?" tanya Mita terkejut.
Dewa nampak mengangkat sebelah alisnya. "Dikit," jawab Dewa santai sembari menyandarkan tubuh di kusen pintu.
Wajah Mita terlihat memerah, dan gelapagapan. "Apa aja yang, Bapak dengar?" tanya Mita penasaran, membuat Dewa nampak risih.
"Emang kalian ngomongin apa sih?" tanya Dewa.
"Em gak kok, Pak. Bukan apa-apa," jawab Mita, dengan wajah terlihat lega mendengar jawaban Dewa.
"Ya udah kalau begitu, saya keluar dulu. Kamu bisa lanjutkan kerjanya," ucapku pada Mita.
"Ba-baik, Bu!"
Aku pun melangkah keluar, begitu pun Dewa ikut pergi bersamaku.
Perlahan kami pun kembali melangkah menuju pintu utama, begitu pintu terbuka dan menampakkan pemandangan di dalamnya jantung berpacu cukup kencang dari biasanya, rasanya benar-benar seperti suprise."Assalamualaikum," ucapku gugup.Mereka yang tengah asik mengobrol langsung teralihkan perhatiannya begitu mendengar ucapan salam dariku."Waalaikumsalam," jawab mereka kompak."Nah itu, Mbak Naya sama Mas Dewanya pulang!" ucap Qila."Wa, kenapa gak bilang kalau mau ketemu sama, Mama dan Papamu," bisikku pelan, rasanya gemes pengen cubit itu anak.Dewa hanya tersenyum. "Ayo masuk!" ajaknya.Wait!Kenapa aku yang kayak jadi tamu, ini kan rumahku? Dengan perasaan berdebar aku pun mulai melangkah mengikuti, Dewa. Lalu, menyalami Mama dan Papanya Dewa, setelah itu tak lupa menyalami, Oma dan duduk di sampingnya. Perasaan canggung seketika menyusup kerelung hati. Dewa memilih duduk di sofa sebelah kiri, Mamanya.Kulihat tata
Saat melintasi kamar tamu, samar kupingku menangkap suara yang membuat debaran jantungku berpacu lebih cepat, dan tanganku gemetar, sementara bahuku terasa lemas."Mami gak habis pikir sama kamu, apa yang membuatmu menyukai perempuan seperti, Naya? Janda dua kali. Sementara kamu, belum pernah menikah sama sekali.""Mi, urusan jodoh itu biarlah Tuhan yang mengatur sebagai orang tua kita tidak bisa ikut campur.""Pi, Dewa itu anak kita satu-satunya, wajar kalau, Mami memimikirkan masa depannya. Harusnya, Dewa bisa cari perempuan yang masih lajang, ini malah janda dua kali."Coba Papi pikir, pasti ada yang salah dari, Nayanya makanya sampai harus dua kali menjanda," ucap Mama Dewa terdengar emosi.Mendengar ucapan Mama Dewa hatiku benar-benar rasa tertohok. Seandainya lidahnya adalah mata pisau tentu saja tubuh ini sudah tercabik-cabik."Tapi, Mi, Dewa mencintai, Naya tulus tidak peduli masa lalunya," Dewa terdengar membela."Halah
"Kenapa mesti bingung, ayo kita cari ayamnya?" tiba-tiba seseorang datang menganggetkan, membuat jantungku rasa mau melompat dari tempatnya, kulihat Bi Jum pun sama kagetnya denganku."Dewa, bisa gak sih gak usah ngagetin gitu?" gerutuku kesal dengan tubuh masih gemetar karena saking kagetnya."Sorry, sorry," ucap Dewa sembari merentangkan kedua telapak tangannya dan mendekat ke arahku dan Bi Jum.Akhirnya aku dan Dewa pergi ke luar ke tempat yang biasa jualan sayur keliling untuk membeli daging ayam. Namun, sayangnya hari ini yang biasa dagang keliling lewat depan rumah tidak jualan, karena sakit."Jadi gimana?" tanyaku ke Dewa setelah kembali."Ya udah, kita jogging aja yuk!""Terus rencana masaknya gimana?""Masalah itu gampang, nanti bisa beli!" jawab, Dewa santai."Tapi ....""Udah ayo!" tanpa mendengarkan ucapanku, Dewa langsung berjalan mendahuluiku.Terpaksa aku pun mengikuti langkahnya, entah
"Habis dari mana kalian?" Langkahku terhenti saat tiba-tiba seseorang bertanya dengan ketusnya padaku."Tante ...," ucapku tertahan. "Em, tadi kita habis dari jogging," jawabku gugup melihat sorot matanya yang begitu nyalang menatapku."Naya, kamu tau, 'kan Dewa anak saya satu-satunya, kamu pasti tau apa yang harusnya kamu lakukan!" ucap Tante Alana penuh penekanan."Saya hanya ingin kebahagian, Dewa. Tante mohon tolong kamu tinggalkan, Dewa! Kamu juga ingin, Dewa bahagian bukan?" Lanjut Tante Alana memohon, membuatku seketika mendongak rasanya benar-benar tidak percaya dengan permintaannyaTubuhku seketika terasa lemas mendengar permintaan mamanya, Dewa. Mata pun mulai terasa panas karena menahan tangis, apa aku salah menikah dengan, Dewa karena statusku?Dewa pun datang menghampiri kami, wajahnya terlihat sendu, dan menatap iba ke arahku."Maafin aku, Nay ... Sepertinya hubungan kita memang harus sampai di sini," ucap Dewa dengan wajah sed
Hari ini aku kembali bekerja seperti biasanya. Namun, pikiran tidak bisa konsentrasi, karena mengingat sikap mamanya, Dewa yang begitu terasa dingin terhadapku. Sejak tadi pagi sampai menjelang siang beberapa kali berkas yang kubuat salah, hingga terpaksa mengulang lagi.Setelah merasa terus-terusan salah, sejenak aku menenangkan diri bersandar di kepala kursi, dengan segelas air putih. Nampaknya butuh minuman coklat biar sedikit lebih rileks. Dengan segera aku mengambil gagang telpon dan menelpon bagian OB untuk minta di buatkan minuman coklat hangat.Tidak lama kemudian pesananku datang. "Ini coklat hangatnya, Bu," ucap salah satu OB kantor, Rina namanya."Oh iya, taruh saja di situ!" Aku menunjuk bagian ujung meja yang masih kosong.Dengan telaten Rina pun menaruh minumannya. "Terima kasih," ucapku sembari mengulas senyum.Rina pun mengangguk, lalu pamit keluar. Aku pun membalasnya dengan anggukan.Begitu minum coklat hangat, pikiran sedi
"Apa yang sedang kalian rencanakan?" tegasku, dengan menahan emosi, membuat wajah gadis itu semakin terlihat ciut."Bu-bu, Na-naya." Mita tergugup memyebutkan namaku. Sementara lelaki itu diam membisu, ia tertunduk. Langkahku semakin mendekat ke arah mereka."Ki-kita gak merencanakan apa-apa kok, Bu. Mungkin, Ibu salah dengar," ucap lelaki bernama Ammar itu membela."Diam kamu!" Bentakku dengan keras, membuat tubuhnya sedikit terlonjak."Aku sudah mendengar semuanya, dan kau! saya tidak menyangka kamu melakukan semua ini, aku pikir kamu sudah berubah," ucapku menunding wajah gadis yang masih berdiri tidak jauh dari Ammar."Saya bisa jelaskan semuanya, Bu. Semua ini salah paham," ucap Mita. Namun, aku tidak mempedulikannya."Aku bisa saja melaporkan kalian ke polisi dengan kasus tidak menyenangkan," ancamku penuh penekanan.Seketika Mita langsung memegang pergelangan tanganku memohon dan mengiba agar aku memaafkan kesalahannya.
"Bentar ya, Nis! Saya angkat telpon dulu!""Cie yang ditelpon my sweet," goda Nisa saat aku permisi akan mengangkat telpon, namun aku hanya membalasnya dengan tersenyum."Assalamualaikum, iya ada apa, Wa?" tanyaku begitu sambungan telpon terhubung."Waalaikumsalam, sibuk gak?""Gak, nih baru habis meeting, dan mau makan sama, Nisa," jawabku sambil menoleh ke arah Nisa yang tidak jauh dariku."Ok, aku jemput kalian!""Em, kita ketemuan aja di tempat makan biasa," usulku."Ya udah kalau gitu, Assalamualaikum," ucap Dewa mengakhiri percakapan. Aku pun membalas salamnya dan mematikan ponsel.Aku dan Nisa pun langsung pergi menuju parkiran, lalu meluncur menuju tempat yang telah di janjikan bersama, Dewa."Mbak, emangnya gak apa-apa aku ikut? Gak ganggu?" tanya Nisa saat di dalam mobil."Apaan sih, Nis kamu itu udah kuanggap kayak adikku sendiri, jadi santai aja."Mendengar jawabanku, Nisa pun tersenyum. "
Dekorasi nuansa putih dengan perpaduan warna ungu menghiasi taman belakang. Para pelayan bagian konsumsi juga nampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Para tamu undangan juga mulai berdatangan.Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga, apa lagi kalau bukan hari pertunanganku dan Dewa. Perasaan gugup tidak bisa kutepiskan, padahal ini bukan kali pertama aku akan menikah.Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin, mensugesti diri agar tidak gugup. Aku berbalik saat melihat pintu kamar terbuka. Oma tersenyum menatap ke arahku lalu berjalan mendekatiku."Oma ...." ucapku, aku pun duduk di sisi ranjang bersama Oma."Mudah-mudahan pernikahanmu kali ini langgeng ya, Sayang. Oma hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu dan juga Dewa," ucap Oma sembari memegang tanganku."Aamiin ... Terima kasih, Oma itu sudah lebih dari cukup," jawabku tersenyum, lalu memeluk tubuhnya. Oma pun membalas pelukanku sembari mengusap-ngusap punggungku."