Share

Kepulangan Mas Bram

Penulis: Ina Yasri
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-31 07:18:17

"Ng-ngapain juga, Mbak bohong," ucapku berusaha tenang. "Kalau kamu mau kamu bisa jadi pembantu kayak, Mbak!" sambungku lagi.

"Apa Mbak? Jadi pembantu kayak, Mbak?" tanya Mita, mungkin tidak percaya akan tawaranku.

Aku mengangguk, "Iya, kalau kamu mau, Mbak bisa ngomong sama majikan, Mbak."

"Apa, Mbak gak salah ngomong nawarin aku jadi pembantu? Sorry ya, Mbak tampang kayak aku ini lebih cocoknya jadi bintang iklan," jawab Mita percaya diri.

"Ya itu terserah kamu. Bagi, Mbak sih mau kerja apa aja yang penting gajinya besar," ucapku pura-pura cuek, aku yakin setelah ini mereka akan bertanya tentang gajiku.

"Halah, mana ada pembantu gajinya gede!" 

"Memang berapa gajimu, berani nawarin Mita jadi pembantu?" tanya Mama dengan nada sombong.

"Gak terlalu besar sih, Ma. Cuma 12 juta perbulan," jawabku asal, karena saat ini uang segitu bukan masalah bagiku.

Kompak Mita dan Mama pun terbahak mendengar jawabanku yang terdengar mengada-ngada.

"Kayaknya, Mbakmu mulai sedikit geser, Mit," ucap Mama setelah puas menertawakanku.

"Iya, Ma," balas Mita sambil mengusap air mata di sudut matanya karena habis tertawa begitu keras.

"Ya kalau kalian tidak percaya gak apa-apa sih, Mama sama Mita kenal keluarga Lastri Hanggara, 'kan?" pancingku.

"Ya iyalah siapa yang gak kenal mereka, tapi kamu jangan kebanyakan mimpi deh, apalagi ngaku-ngaku bekerja di sana," balas Mita.

"Udah, ah Ma. Lebih baik kita shoping-shoping aja, lama-lama dekat, Mbak Naya nanti jadi ikut nge-halu," ucap Mita mengajak Mama pergi sembari menggandeng tangan Mama yang besar itu.

"Hayo! Ini, Mama juga udah laper banget!" ucap Mama sembari mengusap perutnya.

Mereka pun segera pergi menuju kamar masing-masing. Tidak lama kemudian keduanya keluar dengan baju yang berbeda. Nampaknya mereka akan pergi keluar.

Ah biarlah, itu lebih baik dari pada mendengar ocehan mereka yang tidak ada habisnya. Suara deru mesin mobil pun mulai menjauh dari rumah, sepertinya Mita pergi menggunakan mobil.

Setelah mereka pergi aku segera masuk ke kamar dan mandi, bau keringat bercampur debu membuat tubuhku terasa lengket. Usai mandi dan bertukar pakaian aku pun membangunkan Rania dan memandikannya. 

"Ma, Lania lapel," ucapnya. "Iya, Sayang, Mama juga laper tunggu sebentar ya Mama pesan dulu!" Rania pun mengangguk, aku segera mengambil ponsel pintar milikku pemberian dari Oma, dan segera memesan beberapa macam makanan.

Tidak perlu menunggu lama pesananpun datang, aku segera membawanya ke dalam kamar untuk makan bersama Rania. Beruntung Mama dan Mita belum pulang.

"Rania suka makanannya?" tanyaku.

"Cuka, Ma," jawabnya sembari menggigit ayam goreng.

"Kalau suka Rania boleh habisin makanannya!" 

"Benal, Ma?" Aku hanya mengangguk sembari melanjutkan makan. "Aciiiiikk ...." Rasanya begitu senang melihatnya makan dengan lahap, seumur hidup baru kali ini bisa makan seperti ini.

Alhamdulillah!

Akhirnya selesai juga makannya, Rania pun nampak kekenyangan duduk bersandar di atas sofa, membuatku tersenyum lebar.

"Kamu kenapa, Sayang?" tanyaku.

"Lania, kekenyangan, Ma," ucapnya sambil mengusap perutnya yang kelihatan berisi.

Aku tersenyum sembari mengelus kepalanya dengan sayang, "Ya udah, Rania istirahat aja kalau gitu, Mama mau salat dulu ya!"

"Iya, Ma." 

Aku pun segera masuk ke kamar mandi dan berwudu, kemudian melaksanakan tiga rakaat. Usai salam aku melipat mukena kembali, kulihat Rania sudah tertidur lagi, aku pun segera memindahkannya ke atas ranjang.

Aku melirik jam di dinding pukul menunjukkan 19 lebih 05, kenapa Mas Bram belum juga pulang. Aku ingin menghubunginya, tetapi takut Mas Bram lagi di jalan.

Aku keluar kamar menunggu kepulangan Mas Bram. Sudah hampir satu jam aku menunggu, tetapi belum ada tanda-tanda Mas Bram akan pulang. Akhirnya aku memutuskan untuk salat Isya terlebih dahulu.

Usai mengucap salam, terdengar deru mesin mobil memasuki halaman. Aku buru-buru mengecek siapa yang pulang melihat dari balik jendela kamar yang terhubung langsung dengan taman depan. Setelah jelas ternyata Mama dan Mita yang pulang. 

Aku melipat mukena dengan perasaan gamang, bertanya-tanya perihal Mas Bram yang belum kunjung pulang. Akhirnya aku mencoba menghubungi Mas Bram, tetapi ternyata nomornya tidak aktif. Kemana kamu, Mas? Rasa penasaran dan sedikit khawatir menyergap dalam hati, bagaimana pun Mas Bram masih sah sebagai suamiku.

Dengan langkah gontai aku keluar kamar menuju ruang tamu tempat dimana Mama dan Mita berada. Mereka pasti tau keberadaan Mas Bram.

"Ma, kok Mas Bram belum pulang, kemana ya?" tanyaku pada Mama yang lagi asyik makan.

"Ya iyalah, orang  Mas Bram lagi kerja di luar kota," Belum sempat Mama menjawab Mita sudah menjawab duluan.

"Kerja keluar kota? Sama siapa?" tanyaku spontan.

"Mana aku tau!" Mita mengendikkan bahu.

"Kira-kira kapan ya pulangnya?" tanyaku lagi, karena begitu penasaran.

"Palingan juga besok." Kali ini Mama yang menjawab.

"Udah ah, ngapain Mbak nanya-nanya terus, gangu orang makan aja, atau jangan-jangan, Mbak juga pengen ya?" ledek Mita sembari memamerkan makanannya.

Aku hanya menghela nafas, karena tidak tertarik untuk meladeninya dan memilih kembali ke kamar.

"Eh, eh orang lagi ngomong malah ngeloyor pergi," teriak Mita. "Mbak yakin gak mau?" tawarannya lagi, yang aku yakin hanya untuk mempermainkanku. Memilih terus melangkah tanpa memperdulikannya saat ini adalah pilihan yang tepat.

Akhirnya malam ini aku kembali tidur bersama Rania, tanpa Mas Bram. Aku baru tau kalau Mas Bram keluar kota, mengingat itu seketika hatiku resah, bukan lantaran cemburu, tetapi sangat menyakitkan jika Mas Bram pergi berdua dengan perempuan itu. Ah sudahlah lebih baik aku tidur dari pada memikirkan hal yang hanya akan menguras pikiranku.

***

Menjelang pagi, aku kembali kerutinitasku seperti biasa di rumah ini, menyiapkan sarapan, nyapu, ngepel dan mencuci pakaian. Baju yang kemarin sore kucuci baru kubilas pagi ini, semalaman sudah kurendam dengan pewangi. 

Usai mengerjakan pekerjaan rumah aku menunggu tukang sayur yang biasanya lewat depan rumah. Tidak lama kemudian tukang sayurnya pun lewat aku segera membeli beberapa macam sayur, dan daging ayam untuk menu makan siang ini.

"Eh, Mbak Naya lagi beli sayur juga?" tanya Bu Rina tetangga depan rumah.

"Iya, Bu," jawabku.

"Ngomong-ngomong, Mamamu kemana?" 

"Em, lagi di dalam."

"Neng, Naya rajin bener ya!"

Aku hanya tersenyum, dan pamit masuk. Aku tidak berniat meladeni Bu Rina yang merupakan sohib bergosip Mama. Di tambah lagi, Bu Ica kepalaku pusing kalau mereka sudah kumpul di rumah.

Setelah masuk tidak lama kemudian suara Mama bersama sohib-sohibnya terdengar di depan rumah entah apa yang mereka bicarakan, terkadang Mama menceritakan tentangku membanding-bandingkan dengan istrinya Mas Fatir yang cantik lagi kaya. Kalau sudah begitu aku hanya bisa menggigit bibir menahan rasa sesak di dada.

Rasanya aku malas sekali masak, sementara cucian piring belum sempat kucuci gegara mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Beruntung hari ini Mita pulang lebih cepat jadi aku bisa minta tolong padanya, pikirku. Masih dengan seragam putih abu-abunya Mita masuk ke dapur mengambil air di dispenser.

"Dek sini!" ajakku saat melihatnya.

"Apaan sih, Mbak gak lihat apa aku lagi capek?" ketusnya dengan wajah kesal.

"Mau duit gak?" tanyaku menggodanya sembari tersenyum.

"Gak?" jawabnya sok jual mahal.

Aku mengeluarkan beberapa lembar uang warna merah dari dompet, lalu mengibas-ibaskannya ke wajahku.

"Yakin gak mau?" tanyaku lagi.

Matanya terbelalak lalu menghampiriku sembari mengambil uang yang kupegang.

"Eit, tapi ada syaratnya," ucapku seraya menjauhakan uanganya.

"Apa?"

"Tuh cucian piringnya belum dicuci,"

Wajahnya cemberut.

"Ya udah kalau gak mau," ucapku seraya pura-pura kembali memasukkan uangnya. Namun segera di tarik Mita.

"Ya udah, tapi hanya cuci piring ya," ucapnya dengan wajah jutek. Aku pun mengangguk.

"Eh,eh ngapain anak gadis, Mama pake cuci piring segala?" tau-tau Mama sudah berdiri di belakang kami.

"Gak apa-apa, Ma sesekali," jawab Mita tersenyum.

"Ada apa sih?" tanya Mama penasaran lalu mendekat dan melihat tumpukan uang di atas tas Mita.

"Itu punya siapa?" tanya Mama.

"Ya punya, Mita lah!" jawab gadis itu. Sementara aku hanya diam mengamati sembari melipatkan tangan di depan dada.

Terlihat Mama menelan saliva, melihat lembaran-lembaran merah tersebut.

"Ya udah, biar Mama aja yang masak, tapi bayarannya dua kali lipat Mita!" tawar Mama sembari tersenyum menatap ke arahku.

"Tidak masalah," jawabku santai, sementara Mita terlihat mencebik.

"Jadi beneran, Nay kamu kerja jadi pembantu dan gajinya 12 juta?" tanya Mama penasaran.

"Apa pembantu? Gaji 12 juta?" tiba-tiba Mas Bram datang sembari mengulang pertanyaan Mama membuatku terkesiap.

Bersambung ...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Siti Khotipah
terlalu goblok kalo menurutku,kurang elegan cara nya balas orang pengkhianat,kesannya terlalu bucin tuh naya goblog
goodnovel comment avatar
Remi Ansyah
terlalu rumit jalan ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Membuat Suami dan Mertua Menyesal   Rahasia Tuhan (Ending)

    Usai subuh aku merapikan kamar, hari ini Dewa dan Keluarganya akan pulang ke Amerika setelah menginap beberapa hari di Indonesia.Aku bahagia meski akhirnya tidak bisa bersama setidaknya hubungan ini tetap berakhir dengan baik. Ya meski dalam hati masih ada rasa yang masih tertinggal, semoga itu menjadi doa kebahagian untuk, Dewa dan keluarganya.Hari ini aku juga berencana akan pergi ke pondok pesantren untuk mengunjungi, Rania. Saat aku tengah merapikan seprey yang baru kuganti, Nadifa datang."Mbak, lagi sibuk gak?" tanya Nadifa sembari membukan pintu, dan menampakkan bagian wajahnya."Gak nih, ada apa?" tanyaku balik."Boleh aku masuk?""Masuk aja!" ucapku.Nadifa pun masuk, dan langsung menghempaskan pantatnya di sisi ranjang. Aku pun ikut duduk di sisinya."Mbak, aku mau ngomong serius," ucap Nadifa sembari memutar tubuhnya menghadapku, lalu memegang tanganku."Mau ngomong apa sih, kayaknya serius banget?" ta

  • Membuat Suami dan Mertua Menyesal   Mereka yang Datang dengan Penyesalan

    Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 35 menit akhirnya aku tiba dirumah. Satpam yang jaga di depan segera membukakan pintu begitu melihat kedatanganku.Perlahan aku menghela nafas lalu membuangnya dengan masygul, ada perasaan tidak enak karena membuat, Oma menunggu. Begitu memasukkan mobil ke parkir aku langsung menuju pintu utama, Oma pasti sudah menungguku.Perlahan aku menekan handel pintu, berharap begitu melihat kepulanganku, Oma menyambut seperti biasanya, dengan senyuman meski kali ini aku telat.Namun, begitu pintu terbuka, mataku membulat melihat tamu yang sangat ini tengah berbincang dengan Oma di ruang tamu. Apa aku tidak salah lihat?Aku tertegun sesaat, bingung dari mana aku harus memulai kata, seseorang yang terkadang membuat rindu kini hadir kembali? Untuk apa? Aku masih menerka-nerka. Lalu perhatianku teralih pada seorang perempuan cantik dengan balutan busana muslimah menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka, itulah yang kulihat.

  • Membuat Suami dan Mertua Menyesal   Lelaki yang Menyesali Kesalahannya

    Dua tahun telah berlalu sejak kejadian itu, sejak itu pula aku tidak lagi pernah bertemu, Dewa. Dia benar-benar melupakanku, dan pelan aku pun perlahan berusaha melupakannya, tidak mudah memang, tetapi bukan tidak mungkin.Hari-hari kulalui dengan berat, dan perasaan sedih. Hanya, Oma dan Rania yang selalu memberi semangat. Menyadarkanku untuk senantiasa tegar, sebab satu masalah yang terjadi bukan akhir dari segalanya.Dua kali gagal dalam rumah tangga dan satu kali batal bertunangan cukup membuatku trauma untuk kembali membuka hati pada seorang laki-laki. Bagiku saat ini, masa depan Rania adalah segalanya.Bukankah memulai semuanya dengan hal yang baru jauh lebih baik, dari pada mengingat-ingat masa lalu? Aku bersyukur sampai detik ini Tuhan masih mengizinkan, aku untuk membersamai, Oma di usi beliau yang semakin senja. Aku ingin lebih lama lagi merawatnya."Naya," panggil Oma saat aku tengah membereskan kamar, karena kebetulan hari ini libur."I

  • Membuat Suami dan Mertua Menyesal   Kalimat Berkesan Dari Oma

    Aku mundur ke belakang, tubuh bergetar hebat. Sementara, tungkai kakiku begitu terasa lemas. Tidak percaya dengan yang barusan kulihat. Air mataku semakin deras mengalir bagai hujan yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba, rasanya dada begitu sesak.Setelah merasa lebih tenang dengan menumpahkan tangis aku kembali melihat ke jendela, aku sudah tidak melihat, Doni lagi sepertinya sudah pergi. Begitu pun dengan Tante Alana sudah tak terlihat. Apa mereka juga sudah pergi?Saat tengah sibuk mencari keberadaan mereka, aku melihat, Dewa menuju mobil sepertinya sebentar lagi ia akan pergi, sekilas ia menatap ke arah jendela kamarku, buru-buru aku bersembunyi di balik gorden, aku tak sanggup melihatnya. Setelah dirasa cukup lama perlahan aku kembali menyingkap tirai gorden, mobil Dewa perlahan meninggalkan halaman rumah, dadaku semakin terasa sesak yang amat sangat bersama kepergiannya, yang sebenarnya tidak kuinginkan. Tetapi, aku bisa apa hanya bisa pasrah. Semoga ini jalan

  • Membuat Suami dan Mertua Menyesal   Jangan Pergi

    Sementara itu, tanpa rasa bersalah Doni berjalan melewati aku dan Oma. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana, sungguh gayanya seakan tidak terjadi sesuatu apapun."Doni, mau kemana kamu?" tanya Oma begitu melihat Doni hendak keluar kamar.Doni memutar tubuhnya. "Urusan saya sudah selesai," jawabnya santai."Apa maksudmu? Saya yakin kamu sengaja mengacaukan semua ini," geram, Oma.Doni hanya mengendikkan bahu dan tertawa."Saya akan melaporkan kamu ke polisi," ancam Oma.Doni menghentikan tawanya dan menatap serius ke arah, Oma."Jangan coba-coba mengancam, saya! Tentunya kamu tidak ingin, 'kan cucu kesayanganmu yang kini tengah beranjak remaja itu kenapa-kenapa?" ucap Doni santai tapi penuh ancaman.Seketika aku teringat, Rania. "Oma, biarkan saja dia pergi!" ucapku, karena aku tidak ingin mengambil resiko lelaki bre*gs*k sepertinya bisa saja melakukan apapun agar tujuannya tercapai.Mendengar perkataanku, Doni t

  • Membuat Suami dan Mertua Menyesal   Batalkan Saja Pertunangannya

    Dekorasi nuansa putih dengan perpaduan warna ungu menghiasi taman belakang. Para pelayan bagian konsumsi juga nampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Para tamu undangan juga mulai berdatangan.Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga, apa lagi kalau bukan hari pertunanganku dan Dewa. Perasaan gugup tidak bisa kutepiskan, padahal ini bukan kali pertama aku akan menikah.Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin, mensugesti diri agar tidak gugup. Aku berbalik saat melihat pintu kamar terbuka. Oma tersenyum menatap ke arahku lalu berjalan mendekatiku."Oma ...." ucapku, aku pun duduk di sisi ranjang bersama Oma."Mudah-mudahan pernikahanmu kali ini langgeng ya, Sayang. Oma hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu dan juga Dewa," ucap Oma sembari memegang tanganku."Aamiin ... Terima kasih, Oma itu sudah lebih dari cukup," jawabku tersenyum, lalu memeluk tubuhnya. Oma pun membalas pelukanku sembari mengusap-ngusap punggungku."

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status