“Welcome to writers’ lounge!”Adisti, bersama Chelsea yang menemaninya diskusi sepanjang pagi di pinggir kolam renang, mengacungkan fruit punch saat Biyan datang. Pria itu tertegun sesaat sebelum tersenyum simpul dan mendekati mereka. Dia juga serius saat mengabari akan datang membawa laptop pada salah satu pesan yang dikirimkan.“Aku ke dalam dulu.” Chelsea mengambil tablet dan minumannya; seakan-akan tahu kehadirannya tak diperlukan dalam pertemuan itu. “Kalau mau tambahan, fruit punch-nya bisa diambil di kulkas. Have fun!”Adisti merapikan tempat yang diduduki Chelsea, sementara Biyan menaruh laptop di meja pendek. “Apa aku ganggu meeting kalian?”“Enggak sama sekali. Brainstorming kami udah beres dari sejam lalu,” tukasnya. “Terus aku kepikiran fruit punch yang kamu pesan di taverna. Ya udah sambil nunggu, kami bikin dalam porsi lebih banyak.”“I feel honored.” Biyan terkekeh, lalu menerima minuman yang disiapkan perempuan itu. “Seharusnya aku yang bawa sesuatu ke sini, soalnya ka
Jam di dasbor menunjukkan pukul sepuluh malam saat Utari memarkirkan mobil di pelataran vila. Biyan mengecek barang-barang bawaannya, lalu kala bersiap melepas seat belt, sosok di sampingnya bertanya,“Bi, apa aku boleh numpang tidur di sini?”Jari Biyan hampir terjepit mendengarnya. “Apartemenmu punya jam malam?”Perempuan itu mengulum bibir. “Enggak, aku—aku capek. Besok pagi langsung balik, kok. Ada meeting yang perlu kuhadiri.”“Lalu, kamu mau tidur pakai dress itu?”“I won’t, silly!” Utari meraih sesuatu di jok belakang. Sebuah ransel mini. “Kebetulan aku bawa pakaian ganti. Jaga-jaga kalau aku harus lembur atau pengin pakai baju lebih nyaman buat perjalanan pulang.”Setelah sekian tahun, Utari belum melepas kebiasaan membawa pakaian cadangan. Satu hal yang diam-diam Biyan ikuti dan membawa manfaat besar saat harus dinas ke luar kota. Mengejutkan bagaimana interaksi dua insan manusia dapat saling mempengaruhi, terlepas dari perubahan dinamika yang dilalui.“Kamu bisa pakai kamar
“Mas, kalau nasib kita kayak di pasangan drakor ini, apa kamu bakal tetap memilihku?”Biyan, yang sedari tadi sibuk memeriksa laporan, mengintip dari balik laptop. “Konteksnya apa dulu, Sayang.”“Dua pemeran utamanya kena kutukan turun menurun. Tokoh cowoknya janji dia akan terus mencari ceweknya di semesta dan dimensi mana pun mereka ditempatkan,” Adisti menjelaskan sambil mencatat poin-poin menarik yang dapat dijadikan inspirasi menulis. “Will you do the same?”Kali ini, sang suami melepas kacamata baca, lalu menutup laptop sebelum bergabung dengannya di tempat tidur. “Kalau takdirku dipasangkan sama kamu, tanpa perlu membual dulu aku akan cari cara buat menggapaimu.”Adisti tak bisa menyembunyikan senyumnya yang seketika merekah. “Bahkan kalau kamu harus dapat cobaan dulu? Jatuh miskin, kena kecelakaan—”“Atau kehilangan ingatan tentangmu,” sambar Biyan cepat. Pelukannya serta-merta membuyarkan fokus perempuan itu. “Akan selalu ada cara, aku yakin. Seberat dan sekeras apa pun rinta
Lahir dan tumbuh sebagai putra tunggal pasangan pengusaha besar memperkenalkan Biyan pada banyak hal sejak dini selain… kebebasan.Jangankan memilih sekolah, menu makan dan pakaian sudah disediakan Salma sampai Biyan mengalami pubertas. Namun, bukan berarti dia serta-merta menerima kelonggaran sebagai remaja. Sang ibu malah semakin protektif, bahkan berniat memasukkannya ke asrama khusus laki-laki kalau ayahnya, Mahesa, tak segera mengintervensi.“Biarkan anak kita menjalani masa remaja seperti teman-teman sebayanya,” kata sang ayah pada Salma. Malam itu, Biyan dan ibunya sempat cekcok karena pilihan sekolah menengah atas yang berseberangan. “Jangan sampai dia melampiaskan kemarahan dan kekecewaan pada hal-hal berbahaya.”Salma mendengkus. Sementara Biyan, yang bersembunyi di balik dinding, menyimak perselisihan orangtuanya.“Gimana kalau dia mulai pacaran, lalu fokus belajarnya berantakan?” cecar sang ibu. “Ingat, kita mau Biyan masuk universitas terbaik. Dia satu-satunya pewaris tun
Pegal-pegal menjalari sekujur tubuh Adisti yang terjaga keesokan pagi.Layar ponselnya bergetar dan membunyikan audio yang dipasang untuk alarm. Ternyata Adisti terbangun lebih awal. Akan tetapi, hal tersebut tak lantas mengenyahkan nyeri pada beberapa titik tubuhnya, terutama di tangan dan kaki.“Celaka,” gumamnya. “Mana mungkin aku kejar target tulisan hari ini.”Diraihnya ponsel untuk menitipkan sarapan pada Chelsea. Kemudian, dia memberitahu Batara akan absen menghadiri pertemuan sebelum jam makan siang. Belum lima detik pesannya sampai, rekan residensinya tersebut menyusul ke kamar.“Apa aku boleh masuk?” tanya Batara disusul ketukan pintu. “Kebetulan aku bawa nasi goreng dari Chelsea, titipan kamu katanya.”Setengah menyeret langkah, Adisti membukakan pintu dan mempersilakan Batara masuk. Pria itu dengan sigap menaruh sarapan, lalu membantunya duduk di tepi ranjang.“Malah ngerepotin kamu.” Air putih yang diteguknya serta-merta menyegarkan tenggorokan yang kering gara-gara belum
Dua pesan Utari cukup memaksa Biyan, yang bergelung dalam dekapan selimut, bangkit dari tempat tidur. Tangan dan kakinya pegal-pegal setelah bertualang seharian, tetapi dia masih punya tenaga untuk sekadar menjerang air.Selang sepuluh menit, bel pintu berbunyi. Setengah menyeret langkah, Biyan membukakan pintu. Utari, membawa paper bag yang dia asumsikan makanan, mengembangkan senyum hangat saat melihatnya.“Kamu belum mandi?” Utari mengendus pakaiannya sebelum melenggang masuk vila. “I won’t blame you. Siapa juga yang mandi pagi-pagi di akhir pekan.”“Sebenarnya, aku pengin berenang, cuma….” Tubuhnya bakal sulit bergerak kalau nyerinya belum benar-benar mereda. “Nevermind. Pas banget kamu bawa makanan, aku lagi malas bikin sarapan.”“Bukan sekadar sarapan, aku masak macaroni schotel favoritmu!” Utari membuka kotak aluminium foil berukuran medium. “Terus semalam iseng cobain resep saus mentai. Lumayan gampang.”Mengenal Utari bertah
“Belum genap sebulan di Yunani, kamu udah lupa kasih kabar buat Papa.”Dua hari berlalu sejak Adisti mengajak Biyan bertualang di tempat beekeeping. Sudah dua hari pula suaminya belum mengirim pesan. Mungkin sama-sama kelelahan seperti dirinya atau… Utari. Kemungkinan mantan kekasihnya muncul untuk mengacak-acak rencana pasti selalu ada supaya misinya tak berjalan mulus.Gara-gara sibuk mengurus Biyan, Adisti menghadapi konsekuensi merepotkan. Selain mengejar target menulis, dia sampai lupa menelepon Gumilar. Walau ayahnya memaklumi, perempuan itu tetap merasa bersalah.“Papa enggak mau dengar ceritaku waktu jalan-jalan sama Mas Biyan kemarin?” Adisti terkekeh mengingat momen indah tersebut. “Lumayan menyenangkan meski dia agak mellow keingatan mendiang ayahnya.”“Kenapa lumayan?” todong Gumilar penasaran. “Ada masalah di perjalanan?”“Lebih tepatnya setelah kami pulang… Ibu meneleponku.” Panggilan yang sungguh mengusiknya sampai bikin vertigonya kambuh. “Pa, sampai sekarang aku bingu
Dikirim enam jam lalu. Biyan penasaran apa yang Adisti pikirkan selama menunggu balasannya. Cemaskah atau justru mengabaikannya karena larut dalam kesibukan. Mudah-mudahan perempuan itu memahami alasannya.Oh, Adisti pasti paham. Sebagai penulis, dia tentu sering tenggelam dalam buku-buku yang dibacanya, apalagi kalau ceritanya menarik. Pengalaman yang Biyan alami seharian ini saat mempelajari tulisan Salma.Di meja, ‘Di Tengah Keremangan Malam’ tergeletak dengan tekukan dan lekukan di beberapa bagian. Wajar orang-orang mengidolakan Salma. Setiap untaian kata yang dia rajut bak bersalut sihir yang menjeratnya dari awal sampai akhir.Kalaupun Biyan mengambil jeda, alasannya hanya untuk makan dan minum. Selebihnya, dia habiskan untuk mengikuti kisah cinta tragis antara Matt dan Shinta, dua tokoh utama dalam novel tersebut.Benaknya mengawang-awang. Mungkin hanya persepsinya sebagai pembaca, tetapi ada