Saat Biyan siuman dari koma, tiga kata pertama yang Adisti dengar adalah, "Maaf, Anda siapa?" Sebuah kecelakaan tragis menghapus semua memori Biyan tentang Adisti dan hubungan mereka selama empat tahun terakhir. Keinginan Adisti untuk merawatnya pun dihalangi Salma, sang mertua yang terkesan sulit menerimanya sebagai menantu. Namun, Adisti tak mau cepat mengalah. Di Pulau Evia, dia bertekad membuat suaminya jatuh cinta lagi dan menyelamatkan pernikahan mereka dari kehancuran. Kehadiran Utari, mantan Biyan, dan perhatian dari Batara tak serta-merta menggoyahkan keinginannya untuk bersanding kembali dengan belahan jiwanya. Siapa sangka hari-hari yang Adisti dan Biyan lewati malah mengantarkan mereka pada rangkaian rahasia besar. Rahasia-rahasia yang bakal membuat mereka mempertanyakan nasib rumah tangga dan cinta yang selama ini bersemi.
もっと見る"Sejak awal saya tahu kamu adalah pembawa bencana, Adisti."
Di bawah pucatnya penerangan koridor rumah sakit, Adisti berhadapan dengan perempuan yang bertahun-tahun menginspirasinya. Perempuan yang dua tahun terakhir resmi menjadi ibu mertuanya. Perempuan yang juga entah mengapa begitu membencinya tanpa pernah memberinya penjelasan.
Perempuan yang Adisti kenal sebagai Salma Adiratna.
"Bu, apa yang menimpaku dan Mas Biyan murni kecelakaan. Pihak kepolisian sudah menjelaskan semuanya, kan?"
"Saya tidak peduli ini murni kecelakaan atau hasil rekayasamu. Satu hal yang saya tahu, kamu adalah biang masalah. Sekarang terbukti, kan, putraku belum sadar dari komanya."
Pening kepala Adisti mendengar cercaan Salma. Perdebatan mereka tak akan pernah berakhir, bahkan saat Biyan siuman nanti. Sang ibu mertua pasti sudah menyiapkan daftar alasan untuk menyalahkannya.
"Sudah selesai bertengkarnya?" Seorang lelaki paruh baya berjas putih keluar dari ruang ICU. "Aku bisa dengar kalian dari dalam. Kalau diteruskan, aku ragu Biyan akan cepat siuman."
Salma mencebik sebal. "Apa yang sebenarnya terjadi pada pada putra saya, Gumilar? Lukanya tak terlalu parah, tapi kenapa dia malah koma?"
"Bagaimana kalau kita ke ruanganku, Salma? Biar Adisti yang berjaga di sini."
Salma terlihat hendak memprotes, tak rela menantunya ditinggal berdua dengan Biyan. Namun, Gumilar—dokter sekaligus ayah Adisti—terus membujuknya kalau ingin mendengar perkembangan putranya.
Adisti mengamati dua orang itu berbelok sebelum mengamati Biyan dari jendela. Seorang perawat tengah mengecek perlengkapan medis dan mencatat sesuatu pada papan yang dia bawa. Saat perawat itu keluar, dia menghampirinya.
"Mbak, apa aku boleh jenguk Mas Biyan?"
Perawat itu tampak ragu. "Cuma sepuluh menit, ya. Pasien harus istirahat total."
Setelah mengenakan safety gown dan masker, Adisti bergegas masuk. Hatinya pedih kala mengamati alat-alat yang dipasang untuk menopang Biyan. Bunyi bip bip bip yang teratur justru membuat suasana kamar kian mencekam.
Rasanya baru kemarin keduanya merayakan ulang tahun pernikahan, kini Adisti tak tahu apa mereka akan tetap bersama pada perayaan berikutnya.
"Mas Biyan," bisiknya pelan sambil mengelus tangan suaminya yang dingin. "Aku enggak apa-apa, jangan khawatir. Papa juga pasti kasih penanganan terbaik buatmu. Aku bakal sering jenguk supaya Mas enggak sendirian, ya."
Pada sisa kunjungan, Adisti hanya memandangi Biyan sambil merapalkan doa. Berharap cobaan ini tak akan bertambah buruk, sehingga mereka bisa kembali menenun kehidupan sebagai suami istri yang bahagia.
*
Kecelakaan yang menimpa Adisti dan Biyan berlangsung sangat cepat. Hal terakhir yang perempuan itu ingat sebelum mobil mereka menabrak truk adalah cahaya putih yang menyilaukan. Saat terbangun, dia berada di kamar rumah sakit bersama Gumilar dan mendapati tubuhnya hanya lecet serta terluka di bagian kaki.
Adisti sempat mengira Biyan mendapat cedera yang sama. Namun saat menanyakannya pada Gumilar, yang dia terima adalah wajah masam dan berita buruk.
Juga ceramah panjang dan makian dari Salma.
"Kenapa cuma Mas Biyan yang terluka parah?" tanya Adisti dengan air matanya yang kian deras mengaliri kedua pipi. "Tabrakannya kenceng banget, Pa. Harusnya aku enggak baik-baik saja."
"Hush, kamu enggak boleh bicara begitu!" tukas Gumilar. "Kata polisi, kemungkinan besar suamimu membelokkan mobil sampai posisinya menghadap bagian depan truk. Waktu kalian dikeluarkan dari mobil, posisi dia agak menelungkup, seperti mau memeluk dan melindungimu."
Adisti menangis cukup lama sampai tertidur setelahnya. Berharap saat terjaga kecelakaan yang menimpanya hanya bagian dari bunga tidur. Namun yang dia dapati saat terjaga adalah Salma yang berdiri di ujung tempat tidur; mengawasinya dengan tatapan tajam.
*
Dua hari berlalu, merayap selambat ulat di ranting pepohonan. Meski diperbolehkan pulang, Adisti memilih bermalam di rumah sakit demi menunggu Biyan siuman. Bahkan dia meminta Bi Cucu, ART mereka, untuk membawakan pakaian ganti.
"Neng makan dulu, ya." Rupanya Bi Cucu membuatkan tumis bayam dan oseng telur favoritnya. "Kata Pak Gugum, Neng belum makan besar dari kemarin."
"Makasih, Bi. Maaf bikin repot." Perutnya langsung keroncongan saat membuka kotak makanan tersebut. "Bibi boleh pulang, nanti aku kasih kabar kalau ada apa-apa."
Beda dari hari-hari sebelumnya, Salma belum menunjukkan batang hidung. Padahal, sang ibu mertua yang getol datang dari pagi sampai menahan Adisti pada jam besuk awal. Apa hal ini berkaitan dengan penjelasan ayahnya tempo hari? Apa perempuan itu sedang merencanakan hal lain?
Adisti berhenti mengunyah tumis bayamnya. Bagaimana kalau Salma hendak memindahkan suaminya ke luar negeri? Dia mendadak curiga.
Sebagai penulis novel dan editor, bukan hal aneh bagi Adisti untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan seperti ini. Banyak cerita yang dia baca dan sunting menjadi kenyataan. Apalagi kisah-kisah yang melibatkan menantu dan mertua, pasti ada saja drama yang bikin dia cemas dan takut.
Tepat saat Adisti membereskan perlengkapan makan, Gumilar muncul dari belokan koridor bersama beberapa perawat. Menilai dari langkah mereka yang tergopoh-gopoh menuju ruang ICU, dia menebak sesuatu pasti terjadi pada Biyan.
"Pa, ada apa?" Adisti berusaha mengimbangi langkah sang ayah.
"Biyan sadar. Kamu tunggu di luar dulu."
Perintah itu seketika menghentikan langkah Adisti. Tirai jendela ditutup, membuatnya semakin penasaran dengan kondisi suaminya. Saat kakinya terus melangkah mundur, pundaknya menubruk seseorang. Betapa terkejutnya dia saat menyadari sosok yang berdiri di belakangnya adalah Salma.
"Bu, maaf, aku enggak—"
"Duduklah. Memangnya cuma kamu yang ingin melihat Biyan sadar." Nadanya terdengar ketus, tetapi ada antisipasi tinggi di dalamnya. "Pokoknya saya dulu yang nanti masuk."
“Sabar, sabar,” gumam Adisti pelan sembari menjauhi sang ibu mertua. Bagaimanapun Salma adalah ibu suaminya. Dia jelas punya hak untuk diprioritaskan.
Detik demi detik berlalu, membangun ketegangan di ruang tunggu dekat ruang ICU. Adisti bahkan tak berani mengecek jam dinding, cemas kesabarannya bakal menembus batas. Satu yang dia harapkan adalah sang ayah keluar membawa berita baik.
Bunyi pintu yang terbuka serta-merta mengalihkan perhatian Adisti dan Salma. Gumilar mengembangkan senyum lega walau wajahnya kelelahan.
"Biyan sudah siuman, tapi masih lemah. Jadi jangan ditanya yang macam-macam dulu." Pandangannya beralih pada besannya. "Bu Salma, silakan masuk. Tapi cuma lima—"
"Ya, ya, lima menit. Lama dengar celotehmu, bisa-bisa jatah saya malah terpotong," gerutu perempuan itu sambil lalu untuk menjenguk putra semata wayangnya.
Saat Gumilar mendekatinya, Adisti langsung memberikan pelukan erat. "Makasih, papaku emang yang paling hebat. Biyan pasti kaget ya di dalam?"
"Agak linglung, tapi itu reaksi yang wajar." Sang dokter mengelus punggung putrinya. "Pakai safety gown-mu, biar bisa langsung masuk."
Adisti bergegas mengenakan pakaian pengaman tersebut, lalu mengamati Salma yang tengah mengelus kepala Biyan. Kontras dari sikapnya di luar ruangan, perempuan itu terlihat begitu lembut dan hangat. Sosok keibuannya terpancar kuat, sesuatu yang diam-diam membuat Adisti iri.
"Masuklah." Gumilar membukakan pintu. "Hati-hati, suamimu belum sepenuhnya pulih. Kamu bisa pegang tangannya dulu kalau mau melepas rindu."
Menyadari kedatangan Adisti, Salma melepas genggaman dari tangan putranya. Perempuan itu menepi, memberikan ruang untuk menantunya. Sikap yang barangkali dilalukan demi menjaga situasi.
"Mas Biyan...." Sekuat mungkin, Adisti menahan keinginan untuk memeluk dan mencium sang suami. "Syukurlah, Mas akhirnya bangun."
Tatapan Biyan terpusat pada Adisti. Bukan sorot rindu yang dia dapatkan, melainkan bingung. Adisti berpikir positif, seperti kata ayahnya, kondisi pria itu belum stabil. Lantas dia meraih tangan Biyan, berharap pria yang begitu dia cintai merasa nyaman di dekatnya.
Namun, sekali lagi, Adisti dikejutkan reaksi tak terduga. Reaksi yang akan mengubah alur masa depan rumah tangga mereka.
Sebelum sempat bersentuhan, Biyan menarik tangannya. Kemudian, bibirnya melontarkan pertanyaan yang menyayat hati Adisti.
"Maaf, Anda siapa?"
***
Halo, teman-teman.Setelah hampir setahun, aku memutuskan menamatkan "Membuatmu Jatuh Cinta Lagi" di bab 60. Ending untuk novel ini sengaja digantung, karena akan dilanjutkan dalam buku baru. Untuk kapan tayangnya mungkin enggak dalam waktu terdekat, karena perlu disiapkan dulu naskahnya.Terima kasih untuk kalian yang sudah mengikuti kisah Biyan dan Adisti sampai titik ini. Sampai bertemu di cerita-cerita berikutnya!erl.
“Welcome home, Babe!”Adisti langsung melepas tas untuk menyambut pelukan Indah. Keduanya melompat-lompat kegirangan; melepas rindu setelah tiga bulan berpisah. Kemudian, dia beralih mendekap Gumilar yang masih mengenakan pakaian kerjanya.“Dis, kita cabut duluan, ya!” Chelsea menghampirinya. “Kalau udah ada yang nerbitin novel, tolong saling kabari.”“Hati-hati. Sampai ketempu lagi!” Adisti menyalami satu per satu rekan residensinya. “Eh, minggu depan kita masih harus ketemu Daffa, kan?”“He-eh, buat penutupan sama pengarahan naskah,” sahut Randy. “Sekalian makan-makan sebelum mencar ke masing-masing kehidupan.”Adisti menyanggupi, sebelum berpisah dengan keduanya. Pandangannya lantas terarah pada Batara yang berjalan bersama Daffa. Perempuan itu meminta Gumilar dan Indah untuk menunggu sebentar, lalu menghampiri kedua pria itu.“Hei,” sapanya. “Aku balik duluan, ya. Udah dijemput sama Papa dan temanku.”“That’s okay, kami kebetulan pulang ke arah yang sama,” ujar Daffa. “Sebentar, s
Biyan tak menyangka penyelidikan kecil-kecilannya bakal viral di media sosial.Berawal dari beberapa karyawan yang merekam upaya Utari melepaskan diri dari dua satpam yang menahannya, video tersebut diunggah ke sejumlah platform. Dalam hitungan jam, konten tersebut menuai reaksi netizen.Sebagian menanyakan kronologi kejadian, sebagian lagi—yang mengenali Utari—malah berbagi pengalaman di masa lalu. Ada pula yang melempar celetukan kurang pantas yang tak mau Biyan lihat.Gara-gara itu pula, Salma terpaksa mengadakan konferensi pers demi menjaga nama baik perusahaan serta keluarga Adiratna.“Mama masih tidak percaya dengan kejadian ini.” Di depan cermin, Salma mematut pakaian serbahitam dengan riasan simpel. “Sampai sekarang, Utari belum mengatakan motifnya. Dia malah bakal memanggil pengacara keluarga.”‘Seandainya Mama enggak terus melibatkannya dalam kehidupanku, mungkin kita bakal menjalani hari-hari yang lebih normal.’“Sebagai pengingat, aku yang jadi korban, Ma.” Biyan juga tak
Tiga hari menjelang jadwal kepulangan ke Indonesia, para peserta residensi di Evia berangkat ke Athena untuk menikmati masa tenang. Vila yang biasanya tenang kini riuh karena para penghuninya sibuk berkemas. Koper dan tas dipindahkan ke ruang tengah, sementara kamar-kamar dibersihkan hingga rapi.“Sudah cek semua bawaan kalian? Jangan sampai ada barang tertinggal, bakal tepot mengurus pengembaliannya.” Menilai dari pernyataan tadi. Daffa pasti pernah mengalami kendala tersebyt. “Saya akan kirim voucher kamar hotel yang kalian tempat di Athena. Satu kamar untuk dua orang. Adisti bersama Chelsea, Batara bersama Randy.”Sembari menunggu mini bus yang akan dibawa Kyro, Adisti melongok sebentar ke vila Biyan. Sudah sebulan lebih mereka terpisah. Hanya Indah yang menjembatani komunikasi di antara mereka. Sayangnya, sang sahabat belum mengabari kelanjutan kabar Biyan yang meminum kopi yang telah dimasukkan bius.“Apa Biyan akan menjemputmu?”Dari belakang, Biyan berjalan menghampiri. “Akhirn
“Kenapa kamu tidak masuk kantor kemarin, Biyan? Benar kamu sakit? Kenapa kamu tidak menghubungi Mama?”Kala Salma memasuki ruang kerjanya, Biyan mengisyaratkan Arthur untuk meninggalkan mereka berdua. Setelah sehari bermalam di indekos asistennya, pria itu memberanikan diri pulang ke apartemen. Dia pun menghubungi staf HR untuk absen sehari walau kondisi tubuhnya sudah membaik.“Iya, aku kelelahan,” sahut Biyan tanpa melepas tatapannya dari layar laptop. “Apa Mama sudah menerima draf perjanjian dari Utari?”“Justru itu, Mama ingin menanyakan keberadannya padamu.” Salma duduk di sofa. Respons sang ibu pun menerbitkan rasa penasaran Biyan. “Dia sempat ke kantor untuk mengambil barang-barangnya selepas meeting. Saat Mama tanya kenapa kalian pulang terpisah, Utari bilang kamu langsung pergi ke apartemen.”Pandangan Biyan tertuju pada Salma yang tampak serius dengan perkataannya. “Apa Utari terlihat gugup atau salah tingkah saat bertemu Mama?”Alit sang ibu bertaut. “Kenapa pula Mama harus
“Batara kelelahan, dia harus bedrest total dua hari.” Daffa menyampaikan pesan dokter yang berkunjung untuk pemeriksaan. “Benar selama seminggu terakhir dia treking berjam-jam?”Adisti mengonfirmasi lewat anggukan. “Kadang dia pulang setelah kami makan siang, lalu melanjutkan tulisannya.”“Apa dia sedang ada masalah?”Kali ini, Adisti memandangi Chelsea dan Randy yang tengah membereskan peralatan makan. Dari lirikan-lirikan singkat, mereka sepakat untuk menyembunyikan drama yang terjadi beberapa hari terakhir.“Batara enggak cerita,” Randy yang menjawab. “Makanya kami juga kaget waktu lihat dia menggigil di kamar.”Daffa lantas meminta ketiganya menjaga Batara dan melaporkan hal-hal yang perlu dibereskan bersama. Setelah dia pergi, Adisti lantas pamit pada Chelsea dan Randy untuk naik ke lantai dua.Saat hendak masuk ke perpustakaan, Adisti melintasi kamar Batara yang sedikit terbuka. Perlahan dari celah pintu, dia mengintip pria yang tengah tertidur nyenyak. Wajahnya terlihat lebih t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
コメント