Share

2. Keping Ingatan yang Hilang

Kali terakhir Biyan opname adalah sepuluh tahun lalu gara-gara operasi usus buntu.

Saat itu, Biyan keluar kelas selepas menyelesaikan ujian akhir semester. Perut bagian bawahnya tiba-tiba terasa sangat nyeri seperti dipuntir tangan raksasa. Syukurnya, peristiwa itu terjadi di hari terakhir pekan ujian di kampus, sehingga dia bisa istirahat total selepas operasi.

Biyan berharap dia tak perlu masuk rumah sakit lagi, apalagi kalau harus menginap. Aroma disinfektan bercampur obat sering membuatnya mual. Belum lagi aura sedih nan menyeramkan dari koridor-koridornya yang bikin Biyan semakin tak betah.

Kalau bukan karena terpaksa, Biyan lebih memilih datang ke klinik atau memanggil dokter kepercayaan Salma untuk pemeriksaan.

Namun, nasib seseorang kadang sulit ditebak. Lagi-lagi, Biyan menghadapi situasi yang kurang mujur.

Kala membuka mata, Biyan mendapati dirinya tidur di ruangan berdinding hijau pucat. Di sekitarnya ada bunyi bip rendah yang meningkahi deru AC. Seorang perawat terkesiap menyadari terbangun, lalu menekan tombol beberapa kali. Tak lama berselang, seorang pria berjas putih masuk dan tersenyum hangat padanya.

Biyan hendak mengucapkan sesuatu, tetapi tenggorokannya kering. Pria berjas tadi lantas memperkenalkan diri sebagai dokter bernama Gumilar.

"Kamu di rumah sakit," katanya, seolah-olah tahu pertanyaan yang ingin Biyan ajukan. "Jangan banyak bergerak, biar kami periksa kondisimu."

Gumilar bersama perawat-perawat di sekitarnya bergerak cekatan. Sayang Biyan tak dapat menangkap apa yang mereka bicarakan. Salah satu di antara mereka memeriksa tubuh Biyan sambil menuliskan sesuatu pada kertas laporan sebelum menunjukkannya kepada sang dokter.

"Ibumu ada di luar. Mau kupanggilkan?" Biyan menjawab pertanyaan itu lewat anggukan. "Mungkin hanya sebentar. Nanti kami melalukan pemeriksaan lebih lanjut sebelum memindahkanmu ke ruang perawatan."

Mata Biyan memanas saat Salma memasuki kamar. Sang ibu sudah terisak kala menghampirinya. Jemari perempuan itu mengelus lembut kepala Biyan, membuatnya seperti bocah berumur enam tahun.

"Kamu koma, Nak," ujar Salma, mengejukannya. "Mama sampai minta reschedule meeting penting di kantor supaya bisa menemani kamu di sini."

"Koma?" Pria itu membeo. "Emangnya aku... apa yang aku lalukan sampai koma?"

Sosok di sampingnya bergeming sesaat. "Kecelakaan. Kepalamu terbentur hebat. Mobilmu rusak parah, tapi klaim asuransinya sudah Mama urus."

Biyan berusaha mengingat momen-momen terakhirnya sebelum berada di kamar ini. Namun semakin dia berusaha, semakin kuat sakit di kepalanya. Salma memintanya untuk tak memikirkan hal-hal berat untuk mempercepat proses pemulihan.

Saat itulah seseorang masuk. Seorang perempuan muda—mungkin seumuran Biyan—melangkah ke arahnya. Salma cepat-cepat menghapus air mata dan menepi. Dari jarak dekat, Biyan menangkap wajahnya yang manis. Rambut panjangnya terikat dengan scarf warna merah. Matanya erkaca-kaca, tetapi bibirnya merekahkan senyum lega.

"Mas Biyan," ucapnya. "Syukurlah, Mas akhirnya bangun."

Biyan tertegun. Apa mereka saling kenal?

Perempuan itu hendak meraih tangannya, tetapi dengan cepat Biyan menjauhkannya dari jangkauan. Sebenarnya, siapa perempuan ini? Mengapa dia bertingkah seakan-akan mereka akrab atau malah punya hubungan spesial?

Di sampingnya, perempuan itu sama-sama terkejut. Lantas untuk memastikan, Biyan bertanya,

"Maaf, Anda siapa?"

*

Biyan tak mendapatkan jawaban karena Gumilar mengatakan waktu besuk sudah habis. Keduanya keberatan, tetapi perawat terus mendesak mereka meninggalkan ruang ICU. Sementara itu, sang dokter dengan wajah masam meneruskan pemeriksaan tanpa memberi penjelasan.

Satu-satumya yang pria paruh baya itu minta pada Biyan adalah istirahat total.

"Dok, kapan kira-kira aku bisa pulang?"

"Paling lambat minggu depan. Makanya kamu harus tidur yang cukup."

Biyan mematuhi saran Gumilar. Demi bisa pulang cepat dan berkumpul dengan ibunya. Jam-jam berikutnya berlalu bak transisi mimpi. Momen-momen di sekitarnya timbul tenggelam dalam ingatan. Sampai kemudian seorang perawat mengabarkan Biyan akan dipindahkan ke ruang perawatan.

Gumilar berkunjung saat Salma memberikan makan malam.

"Bu Salma, boleh kami bicara sebentar dengan Biyan setelah makan?" sang dokter bertanya.

"Untuk apa?" Sang ibu tampak keberatan.

"Untuk memastikan... apa yang kita temukan kemarin."

Salma mendengkus sebal, tetapi mematuhi permintaan sang dokter. Sepuluh menit kemudian, Gumilar duduk di samping ranjang, ditemani perawat di belakangnya.

"Dok, apa ada masalah dengan tubuhku?" Biyan cemas mereka menemukan penyakit serius saat melakukan observasi. "Apa aku harus dioperasi?"

"Kamu baik-baik saja, bahkan kamu bisa pulang lebih cepat." Namun wajah Gumilar justru terlihat tegang alih-alih menenangkan. "Hanya saja kami perlu menanyakan beberapa hal. Tolong jawab dengan jujur, karena apa yang kamu jelaskan berpengaruh pada hasil diagnosis."

Biyan mengangguk patuh.

"Oke, Biyan, untuk permulaan, ceritakan tentang dirimu. Usia, pekerjaan, status perkwinan."

"Namaku Biyan, Biyan Adiratna. Usia 28 tahun. Aku bekerja sebagai manajer di perusahaan agen travel. Unuk status, aku masih single."

Gumilar dan sang perawat bertukar pandang keheranan.

"Apa yang kamu lakukan sebelum kecelakaan terjadi?"

Biyan termenung lama. Sejak kemarin, dia belum kunjung menemukan petunjuk momen-momen sebelum peristiwa itu terjadi. Saat bertanya pada Salma, ibunya tak memberi jawaban yang diharapkan. Perempuan itu sedang berada di luar kota saat rumah sakit menghubunginya.

"Jujur, aku enggak ingat apa-apa," Biyan menjawab pasrah. "Mungkin kalau ponselku enggak ikut hancur, kita bisa temukan petunjuk di sana."

Gumilar manggut-manggut paham. "Satu lagi, Biyan, sekarang tahun berapa?"

Mendengar pertanyaan itu, Biyan refleks tertawa singkat. "Dokter, nih, suka bercanda, ya? Sekarang tahun 2019."

Setelah itu, Gumilar meninggalkan ruangan dengan ekspresi yang sulit Biyan tafsirkan.

*

Biyan harus menelan kekecewaan saat waktu opnamenya diperpanjang. Malah, dia diminta melalui serangkaian tes baru. Tes kognitif. Tes darah. Sampai CT scan dan satu tes lain yang tidak dia ingat namanya. Semuanya membuat Biyan lelah, sehingga setelah tes terakhir dia tidur cukup lama.

Saat terbangun, Biyan melihat Salma yang tengah membereskan pakaiannya. Seketika, dia membelalak. Apa ini artinya dokter memberi izin pulang?

"Eh, anak Mama sudah bangun," ujar Salma sambil mengelus puncak kepala Biyan. "Kita pulang setelah jam makan siang. Dokter mau menjelaskan sesuatu padamu."

"Tentang hasil tes yang aku lakukan?"

Salma mengiyakan lewat anggukan. Kemudian, dia memberikan pakaian baru pada putranya. "Ganti dulu, Mama mau telepon supir buat siap-siap jemput."

Tepat setelah Biyan berganti pakaian, Gumilar memasuki kamar. Kali ini sendirian. Dia tersenyum lega melihat kondisinya yang membaik sebelum memintanya duduk di sofa.

"Apa yang sebenarnya terjadi denganku, Dok?" todong Biyan tanpa basa-basi. "Apa kalian menemukan penyakit kronis?"

"Tubuhmu sehat secara fisik, tapi... kami memang menemukan masalah pada otakmu." Gumilar mengambil jeda sejenak. "Kamu mengalami amnesia retrograde."

Biyan tercengang. "Dok, bukannya kalau kena amnesia aku akan lupa banyak hal? Tapi kenyatannya aku masih ingat nama, bahkan ibuku."

"Amnesia retrograde bukan jenis yang bikin orang-orang kehilangan ingatan secara menyeluruh. Dalam kasus ini, kamu kehilangan sebagian ingatan," Gumilar menjelaskan. "Lebih tepatnya, kamu kehilangan persepsi waktu. Makanya saya tanya soal tahun kemarin."

Biyan tak tahu harus lega atau bingung mendengarnya. "Maksud dokter, sekarang bukan tahun 2019?"

"Bukan, Biyan, sekarang tahun 2023. Usiamu juga sebenarnya 32 tahun."

Saat dia hendak mengajukan pertanyaan baru, Salma membuka pintu kamar. "Apa Biyan boleh pulang? Biar saya yang jelaskan kondisinya di rumah."

Gumilar tampak enggan, tetapi dia mempersilakan Salma membawa putranya. "Ingat, Biyan masih butuh pemeriksaan lanjut. Kita belum tahu—"

"Aku bakal bawa Biyan ke luar negeri supaya dia dapat penanganan lebih baik dengan teknologi canggih." Salma menyambar tas milik putranya. "Ayo, Nak, mobil kita sebentar lagi sampai."

Karena kondisi fisiknya belum benar-benar kuat, Biyan diantar memakai kursi roda menuju lobi rumah sakit. Dia mengamati orang-orang yang lalu lalang sembari menunggu jemputan. Kemudian saat menoleh sekat tempat parkir, Biyan kembali melihat perempuan itu. Perempuan yang memanggilnya dengan sebutan Mas Biyan.

Mereka beradu pandang. Perempuan itu mengembangkan senyum dan hendak menghampiri Biyan. Akan tetapi, sebuah SUV menghalangi langkahnya. SUV yang ternyata adalah mobil yang akan membawanya dan Salma menuju rumah.

Penasaran mengusik benak Biyan. Jika benar dia mengalami amnesia retrograde, sebanyak apa ingatan yang lenyap dari dirinya? Apa dia akan mendapatkannya kembali?

Lalu, apa perempuan itu bagian ingatannya yang hilang?

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Adny Ummi
penasaraaannn
goodnovel comment avatar
Dhesu Nurill
Semangat, Thor!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status