Share

Membuatmu Jatuh Cinta Lagi
Membuatmu Jatuh Cinta Lagi
Penulis: Erlin Natawiria

1. Awal Mula Mimpi Buruk

"Sejak awal saya tahu kamu adalah pembawa bencana, Adisti."

Di bawah pucatnya penerangan koridor rumah sakit, Adisti berhadapan dengan perempuan yang bertahun-tahun menginspirasinya. Perempuan yang dua tahun terakhir resmi menjadi ibu mertuanya. Perempuan yang juga entah mengapa begitu membencinya tanpa pernah memberinya penjelasan.

Perempuan yang Adisti kenal sebagai Salma Adiratna.

"Bu, apa yang menimpaku dan Mas Biyan murni kecelakaan. Pihak kepolisian sudah menjelaskan semuanya, kan?"

"Saya tidak peduli ini murni kecelakaan atau hasil rekayasamu. Satu hal yang saya tahu, kamu adalah biang masalah. Sekarang terbukti, kan, putraku belum sadar dari komanya."

Pening kepala Adisti mendengar cercaan Salma. Perdebatan mereka tak akan pernah berakhir, bahkan saat Biyan siuman nanti. Sang ibu mertua pasti sudah menyiapkan daftar alasan untuk menyalahkannya.

"Sudah selesai bertengkarnya?" Seorang lelaki paruh baya berjas putih keluar dari ruang ICU. "Aku bisa dengar kalian dari dalam. Kalau diteruskan, aku ragu Biyan akan cepat siuman."

Salma mencebik sebal. "Apa yang sebenarnya terjadi pada pada putra saya, Gumilar? Lukanya tak terlalu parah, tapi kenapa dia malah koma?"

"Bagaimana kalau kita ke ruanganku, Salma? Biar Adisti yang berjaga di sini."

Salma terlihat hendak memprotes, tak rela menantunya ditinggal berdua dengan Biyan. Namun, Gumilar—dokter sekaligus ayah Adisti—terus membujuknya kalau ingin mendengar perkembangan putranya.

Adisti mengamati dua orang itu berbelok sebelum mengamati Biyan dari jendela. Seorang perawat tengah mengecek perlengkapan medis dan mencatat sesuatu pada papan yang dia bawa. Saat perawat itu keluar, dia menghampirinya.

"Mbak, apa aku boleh jenguk Mas Biyan?"

Perawat itu tampak ragu. "Cuma sepuluh menit, ya. Pasien harus istirahat total."

Setelah mengenakan safety gown dan masker, Adisti bergegas masuk. Hatinya pedih kala mengamati alat-alat yang dipasang untuk menopang Biyan. Bunyi bip bip bip yang teratur justru membuat suasana kamar kian mencekam.

Rasanya baru kemarin keduanya merayakan ulang tahun pernikahan, kini Adisti tak tahu apa mereka akan tetap bersama pada perayaan berikutnya.

"Mas Biyan," bisiknya pelan sambil mengelus tangan suaminya yang dingin. "Aku enggak apa-apa, jangan khawatir. Papa juga pasti kasih penanganan terbaik buatmu. Aku bakal sering jenguk supaya Mas enggak sendirian, ya."

Pada sisa kunjungan, Adisti hanya memandangi Biyan sambil merapalkan doa. Berharap cobaan ini tak akan bertambah buruk, sehingga mereka bisa kembali menenun kehidupan sebagai suami istri yang bahagia.

*

Kecelakaan yang menimpa Adisti dan Biyan berlangsung sangat cepat. Hal terakhir yang perempuan itu ingat sebelum mobil mereka menabrak truk adalah cahaya putih yang menyilaukan. Saat terbangun, dia berada di kamar rumah sakit bersama Gumilar dan mendapati tubuhnya hanya lecet serta terluka di bagian kaki.

Adisti sempat mengira Biyan mendapat cedera yang sama. Namun saat menanyakannya pada Gumilar, yang dia terima adalah wajah masam dan berita buruk.

Juga ceramah panjang dan makian dari Salma.

"Kenapa cuma Mas Biyan yang terluka parah?" tanya Adisti dengan air matanya yang kian deras mengaliri kedua pipi. "Tabrakannya kenceng banget, Pa. Harusnya aku enggak baik-baik saja."

"Hush, kamu enggak boleh bicara begitu!" tukas Gumilar. "Kata polisi, kemungkinan besar suamimu membelokkan mobil sampai posisinya menghadap bagian depan truk. Waktu kalian dikeluarkan dari mobil, posisi dia agak menelungkup, seperti mau memeluk dan melindungimu."

Adisti menangis cukup lama sampai tertidur setelahnya. Berharap saat terjaga kecelakaan yang menimpanya hanya bagian dari bunga tidur. Namun yang dia dapati saat terjaga adalah Salma yang berdiri di ujung tempat tidur; mengawasinya dengan tatapan tajam.

*

Dua hari berlalu, merayap selambat ulat di ranting pepohonan. Meski diperbolehkan pulang, Adisti memilih bermalam di rumah sakit demi menunggu Biyan siuman. Bahkan dia meminta Bi Cucu, ART mereka, untuk membawakan pakaian ganti.

"Neng makan dulu, ya." Rupanya Bi Cucu membuatkan tumis bayam dan oseng telur favoritnya. "Kata Pak Gugum, Neng belum makan besar dari kemarin."

"Makasih, Bi. Maaf bikin repot." Perutnya langsung keroncongan saat membuka kotak makanan tersebut. "Bibi boleh pulang, nanti aku kasih kabar kalau ada apa-apa."

Beda dari hari-hari sebelumnya, Salma belum menunjukkan batang hidung. Padahal, sang ibu mertua yang getol datang dari pagi sampai menahan Adisti pada jam besuk awal. Apa hal ini berkaitan dengan penjelasan ayahnya tempo hari? Apa perempuan itu sedang merencanakan hal lain?

Adisti berhenti mengunyah tumis bayamnya. Bagaimana kalau Salma hendak memindahkan suaminya ke luar negeri? Dia mendadak curiga.

Sebagai penulis novel dan editor, bukan hal aneh bagi Adisti untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan seperti ini. Banyak cerita yang dia baca dan sunting menjadi kenyataan. Apalagi kisah-kisah yang melibatkan menantu dan mertua, pasti ada saja drama yang bikin dia cemas dan takut.

Tepat saat Adisti membereskan perlengkapan makan, Gumilar muncul dari belokan koridor bersama beberapa perawat. Menilai dari langkah mereka yang tergopoh-gopoh menuju ruang ICU, dia menebak sesuatu pasti terjadi pada Biyan.

"Pa, ada apa?" Adisti berusaha mengimbangi langkah sang ayah. 

"Biyan sadar. Kamu tunggu di luar dulu."

Perintah itu seketika menghentikan langkah Adisti. Tirai jendela ditutup, membuatnya semakin penasaran dengan kondisi suaminya. Saat kakinya terus melangkah mundur, pundaknya menubruk seseorang. Betapa terkejutnya dia saat menyadari sosok yang berdiri di belakangnya adalah Salma.

"Bu, maaf, aku enggak—"

"Duduklah. Memangnya cuma kamu yang ingin melihat Biyan sadar." Nadanya terdengar ketus, tetapi ada antisipasi tinggi di dalamnya. "Pokoknya saya dulu yang nanti masuk."

“Sabar, sabar,” gumam Adisti pelan sembari menjauhi sang ibu mertua. Bagaimanapun Salma adalah ibu suaminya. Dia jelas punya hak untuk diprioritaskan.

Detik demi detik berlalu, membangun ketegangan di ruang tunggu dekat ruang ICU. Adisti bahkan tak berani mengecek jam dinding, cemas kesabarannya bakal menembus batas. Satu yang dia harapkan adalah sang ayah keluar membawa berita baik.

Bunyi pintu yang terbuka serta-merta mengalihkan perhatian Adisti dan Salma. Gumilar mengembangkan senyum lega walau wajahnya kelelahan.

"Biyan sudah siuman, tapi masih lemah. Jadi jangan ditanya yang macam-macam dulu." Pandangannya beralih pada besannya. "Bu Salma, silakan masuk. Tapi cuma lima—"

"Ya, ya, lima menit. Lama dengar celotehmu, bisa-bisa jatah saya malah terpotong," gerutu perempuan itu sambil lalu untuk menjenguk putra semata wayangnya.

Saat Gumilar mendekatinya, Adisti langsung memberikan pelukan erat. "Makasih, papaku emang yang paling hebat. Biyan pasti kaget ya di dalam?"

"Agak linglung, tapi itu reaksi yang wajar." Sang dokter mengelus punggung putrinya. "Pakai safety gown-mu, biar bisa langsung masuk."

Adisti bergegas mengenakan pakaian pengaman tersebut, lalu mengamati Salma yang tengah mengelus kepala Biyan. Kontras dari sikapnya di luar ruangan, perempuan itu terlihat begitu lembut dan hangat. Sosok keibuannya terpancar kuat, sesuatu yang diam-diam membuat Adisti iri.

"Masuklah." Gumilar membukakan pintu. "Hati-hati, suamimu belum sepenuhnya pulih. Kamu bisa pegang tangannya dulu kalau mau melepas rindu."

Menyadari kedatangan Adisti, Salma melepas genggaman dari tangan putranya. Perempuan itu menepi, memberikan ruang untuk menantunya. Sikap yang barangkali dilalukan demi menjaga situasi.

"Mas Biyan...." Sekuat mungkin, Adisti menahan keinginan untuk memeluk dan mencium sang suami. "Syukurlah, Mas akhirnya bangun."

Tatapan Biyan terpusat pada Adisti. Bukan sorot rindu yang dia dapatkan, melainkan bingung. Adisti berpikir positif, seperti kata ayahnya, kondisi pria itu belum stabil. Lantas dia meraih tangan Biyan, berharap pria yang begitu dia cintai merasa nyaman di dekatnya.

Namun, sekali lagi, Adisti dikejutkan reaksi tak terduga. Reaksi yang akan mengubah alur masa depan rumah tangga mereka.

Sebelum sempat bersentuhan, Biyan menarik tangannya. Kemudian, bibirnya melontarkan pertanyaan yang menyayat hati Adisti.

"Maaf, Anda siapa?"

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dhesu Nurill
Lanjutkan, Thor!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status