Selamat membaca dan semoga suka dengan 3 bab kita, MyRe. Dukung novel kita dengan cara vote gems, hadiah, dan ulasan manis. Sehat selalu buat kalian. Papai ... IG:@deasta18
Clara menganggukkan kepala secara malas. Memangnya pria ini pikir apa? Om-om kurang belaian? Sugar daddynya Clara?Ya ampun! Padahal dia se mirip itu dengan papanya. Bahkan karena mirip dengan sang papa, keluarga ibunya sampai membencinya."Ouh." Leonard langsung melepas pelukannya pada pinggang Clara, dia segera mendekati papa Clara dan langsung menyalam tangan pria tua itu. "Salam, Ayah mertua," ucapnya, seketika bersikap ramah, manis, dan sopan. "Huh." Marchel mendengus pelan, menatap tak suka pada Leonard, "punya hubungan apa kau dengan putriku?"Leonard tak langsung menjawab, dia memegang kursi tempat Marchel sebelumnya duduk, lalu mempersilahkan Marchel untuk duduk. "Silahkan duduk, Ayah mertua," ucapnya manis. Marchel kembali mendengus akan tetapi bersedia kembali. "Darling, kau juga duduklah," ucap Leonard pada Clara. Perempuan itu kembali duduk, menatap muram ke arah Leonard. 'Seketika aku berkeringat dingin.' batin Clara, melirik papanya lalu menatap Leonard dengan raut
"Apa Apartemenmu yang sekarang nyaman, Clara?" tanya seorang pria paruh baya pada Clara. Pria dengan pakaian formal dan berpenampilan rapi tersebut memotong grilled salmon di depannya kemudian memindahkan beberapa potong ke piring Clara. Dia perhatikan Clara terlihat lebih kurus dari yang sebelumnya, dan dia sedikit mengkhawatirkan perempuan cantik miliknya ini. "Aku kurang suka ikan," ujar Clara, mengabaikan pertanyaan ayahnya dan memilih fokus pada potongan daging salmon yang di letakkan di atas piringnya. Pria tua yang masih tampan itu, senyum manis pada Clara. "Tapi salmon kesukaan putriku," jawab pria itu lembut. "Ck." Clara berdecak pelan, memutar bola mata jengah dan terlihat kesal. Akan tetapi, dalam hati dia sangat gembira, bahkan sejujurnya dia menahan senyum karena senang ayahnya masih ingat kalau dia suka pada salmon. "Atau … Clara ingin pindah apartemen, Sayang?" tanya Marchel, ayah Clara. Clara menatap berang pada ayahnya. "Ngapain sih Papa panggil sayang sayang ke
"A-astaga? Ke-kenapa bajuku berganti?" gumam Clara, panik saat sadar kalau pakaiannya telah berganti. Seingatnya dia ketiduran di sofa. Belum berganti pakaian, masih mengenakan sebuah kemeja warna navy yang ia padu dengan celana bahan–panjang, berwarna putih. Namun, sekarang dia mengenakan piyama. "Pa-Pak Leonard!" pekik Clara pelan, mengingat kalau pria itu sempat datang ke apartemennya. Clara buru-buru bangkit lalu berdiri di depan cermin. Dia memperhatikan setiap detail tubuhnya, mencari-cari apakah ada jejak sentuhan yang ia temukan di tubuhnya. Untungnya tidak! Bibirnya memang sedikit bengkak. Akan tetapi itu wajar. Dia baru bangun tidur dan sebelumnya juga habis menangis. Jadi wajar bibir dan wajahnya sedikit bengkak. Clara menatap jam, ternyata masih jam sembilan malam. Dia segera mencuci muka lalu setelahnya meraih handphone untuk memesan makanan. Akan tetapi baru saja dia menyalakan handphone, panggilan dari ibunya langsung menghias layar. Clara menghela napas pelan u
"Suli!" peringat Faren pada istrinya, "jaga bicaramu! Jangan mengatakan hal omong kosong!" Suli menatap takut pada suaminya lalu menatap berang ke arah Nindi. Sedangkan Nindi, dia tetap tenang. Saat paman suaminya menatapnya, Nindi melempar senyum tipis padanya. "Nindi, jangan dengarkan ucapan Tante dan sekali lagi Paman meminta maaf padamu," ucap Faren dengan nada penuh perasaan bersalah. "Iya, Paman." Nindi menganggukkan kepala secara pelan. "Untuk masalah Adrea dikirim ke luar negeri, mohon maaf, Paman, untuk hal itu aku tidak bisa ikut campur. Itu keputusan Mas Zeeshan, Kak Razie dan yang lainnya.""Tidak apa-apa, Nak. Adrea memang lebih baik di luar negeri, dan Paman juga sering ke luar negri. Jadi tidak masalah," ucap Faren, menanggapi perkataan Nindi dengan positif dan sama sekali tidak tersinggung ataupun marah. Suli sejujurnya ingin membantah perkataan suaminya dan kembali ingin menyerang Nindi, akan tetapi Zeeshan tiba-tiba datang. Suli memilih diam, senyum manis dan men
Ceklek' Ketika pintu terbuka, Clara sama sekali tak menyadari. Dia terus tertawa dan menangis secara bersamaan. Leonard mengerutkan kening kala mendengar suara tawa yang cukup kencang. Dia menoleh ke arah sofa, mendapati Clara sedang duduk di sofa–menatap lurus ke arah televisi, menangis. Leonard terkejut melihat kondisi Clara. Perempuan itu jelas-jelas tertawa, tetapi kenapa air matanya mengalir deras? Dan tatapan perempuan itu-- sangat menyedihkan. Leonard mendekat ke arah perempuan itu. Tanpa menegur ataupun menyapa seperti biasa, Leonard langsung menarik lengan perempuan itu, menyentaknya cukup kuat sehingga perempuan itu berakhir dalam pelukannya. Clara langsung berhenti tertawa, memberontak dan buru-buru menghapus air mata. Jantungnya berdebar kencang karena ketahuan menangis. Dia malu memperlihatkan sisi lemahnya pada pria ini. "Ck, Pak Leonard ngapain sih?! Dan cepat pergi dari sini!" ketus Clara, mendorong Leonard supaya menjauh dari sini. "Ini sudah malam, a
Mendengar itu, Clara langsung memijat kening. Saat ini kepalanya sangat pusing, dan sekarang tambah pusing setelah mendengar ucapan ibunya. "Bu, aku benar-benar nggak lagi megang uang. Lagian kenapa sih Ibu selalu minta uang ke aku? Ibu kan punya suami, minta lah ke suami Ibu. Nita, Elita … memangnya mereka siapa aku, Bu, sampe-sampe yang nanggung kebutuhan mereka harus aku? Aku kerja buat diri aku sendiri yah, Bu, bukan untuk keluarga sama anak-anak Ibu. Kalau mereka pengen uang, suruh mereka kerja." 'CLARA! Sekarang kamu berani melawan ke Ibu, Hah? Mau jadi anak durhaka kamu?! Ouh, atau jangan-jangan kamu diam-diam ketemu sama si tukang selingkuh itu, Heh?! Dia yang menghasut kamu supaya melawan sama ibu?!' "Udalah, Bu. Aku lagi cape dan aku memang nggak punya uang." 'Nggak mungkin kamu nggak punya uang. Si brengsek itu selalu ngirim uang ke kamu, dan jumlahnya selalu banyak kan? Uang dari dia saja kirimkan ke Ibu. Cepat! Nita sudah merengek ini, HP-nya rusak. Belum lagi adi