Selamat membaca dan semoga suka, MyRe. Terus dukung novel kita dengan cara vote gems, hadiah, dan ulasan manis. Sehat selalu buat kalian semua. Semangat! IG:@deasta18
"Sepertinya dia suka pada Suami," bisik Raela pelan pada suaminya, setelah sebelumnya mengamati model yang tadi terus terang mengedipkan mata pada Harvey. "Kau senang ada yang suka pada suamimu?" Harvey berkata datar, masih tetap menoleh ke arah depan–tak menoleh pada istrinya. "Iya," jawab Raela polos sambil senyum manis. Hal tersebut berhasil membuat Harvey menoleh dingin ke arahnya. "Kau senang suamimu disukai perempuan lain?" ulang Harvey, kali ini nadanya cukup dingin dan menusuk. Raela kembali menganggukkan kepala. "I-iya. Kan itu tandanya Suami tampan makanya banyak yang suka.""Jangan berbicara padaku selama tiga hari!" ucap Harvey tiba-tiba, nadanya serius dan terkesan marah. Dia kembali menoleh ke depan, menampilkan wajah tanpa ekspresi. Raela mengerjap beberapa kali, menggaruk pipi yang tak gatal sambil mengamati suaminya. Apa dia melakukan kesalahan? Karna kesannya Harvey marah padanya! Setelah acara selesai, di mana Harvey membeli tiga buah dress–satu untuknya dan d
"Ra-Raela?" Raela yang sedang menatap ke arah lain langsung menoleh pada seseorang yang memanggilnya. Dia begitu terkejut saat melihat orang yang memanggilnya, membuat matanya reflek melebar. 'He-hei … orang tua Morgan juga di sini?' batin Raela. Dia tiba-tiba teringat kalau dia pernah dipermalukan oleh kedua orang ini saat di pesta pertunangan Morgan. Entah kenapa, mengingat itu Raela menjadi gugup dan cemas setelah melihat kedua orang ini. Dia takut dipermalukan lagi oleh kedua orang ini. "Amora, kau kenapa kedua orang ini?" tanya Harvey tiba-tiba, menunduk sedikit untuk menatap istrinya yang berada di sebelahnya. Diam-diam smirk tipis muncul di bibirnya. Raela menoleh pada Harvey dengan ekspresi gugup lalu kembali menatap Nirmala dan Yoga. "Kurasa tidak, Su-suami," jawab Raela gugup bercampur sedikit malu sebab harus memanggil Harvey dengan panggilan 'suami. Ini di tempat umum dan banyak sekali orang di sini. Raela sangat malu. "Su-suami?" beo Nirmala dan Yoga, menatap Rae
"Yah, orang seperti kami harus bekerja jauh lebih keras supaya bisa dapat uang," ucap Ralea sambil berjongkok mengambil albumnya yang terjatuh. Melihat itu, mata Nirmala dan Yoga kembali melotot syok. Ba-bagaimana bisa Raela punya banyak uang? Bahkan memiliki black card dan empat kartu debit. Raela mengeluarkan sejumlah uang dari dalam album foto kemudian menyerahkan uang tersebut pada Nirmala. "Ongkos pulang buat kamu dan suamimu. Masih ada lebihnya nanti, bisa kalian pakai untuk berobat anak kalian.""Raela!" geram Nirmala, marah bercampur sangat malu luar biasa. Bagaimana tidak? Para pekerja di toko ini dan beberapa pelanggan, menatap remeh ke arahnya dan suaminya. "Eits, nggak usah malu, Ibu. Aku tahu kok kalian datang ke sini untuk minta sumbangan," ucap Raela dengan santai. "Sekarang sumbangannya sudah dapat kan. Gih, pulang," ucap Raela kembali. Nirmala mengepalkan tangan secara kuat, dia melempar uang ke lantai kemudian beranjak dari sana dengan langkah terburu-buru. Suami
Raela mengetuk pintu ruang kerja suaminya, di mana saat ini dia berada di dalam ruang kerja Harvey. Raela perlu pamit pada pria itu, dia ingin ke kampus untuk mendaftar wisuda. Setelah dipersilahkan masuk, Raela berjalan ke ruangan suaminya dan menghadap pada pria itu. Beginilah kehidupannya bersama pria ini, sangat kaku dan seperti seorang bos dan anak buah. Harvey sangat berwibawa, tetapi sekaligus pendiam dan tak lebih suka hening. Apa-apa … Raela harus menghadap pada Harvey, termasuk izin keluar rumah. "Mas, aku izin ke kampus," ucap Ralea pada Harvey. Pria itu hanya diam dan tetap fokus pada pekerjaannya, membuat Raela diam-diam menghela napas sambil menatap jengah pada sosok tembok tersebut. 'Giliran 'begituan saja dia banyak gerak dan seketika lemah lembut. Tapi jika nggak gituan, dia jadi batu. Apa enaknya jadi batu?' batin Raela, masih menunggu suaminya bersuara. Sekitar sepuluh menit menunggu, akhirnya pria dingin itu mendongak padanya. "Humm," dehem Harvey, memberi iz
"Hah? Emang ada yah dodol Paris?" tanya Sheena sambil menatap bingung ke arah Raela, di mana Raela senyum kaku padanya. "Kak, aku ingin melihat oleh-oleh yang …-" Sheena berniat meminta kakaknya agar menyuruh Raela menyerahkan paper bag tersebut padanya. Sheena tak berniat merampas milik Raela, dia hanya penasaran. Namun, ucapannya dipotong oleh sang kakak. "Supir sudah menunggumu di depan. Pulang," ucap Harvey, membuat Sheena membelalak tak percaya. "Kakak mengusirku?" Sheena melotot horor ke arah kakaknya. "Daddy dan Mommy mungkin sudah di rumah. Kau tidak ingin bertemu dengan mereka?" ucap Harvey. Sheena menggembungkan pipi, akan tetapi tetap menuruti ucapan kakaknya. Dia mengumpulkan paper bag merah–oleh-oleh dari kakaknya, kemudian segera beranjak dari sana. Raela ikut mengantar ke depan dan setelah Sheena pulang, dia kembali ke ruang keluarga. Ternyata Harvey sudah tak ada di sana dan paper bag hitam untuknya juga tak ada di sana. "Nyonya, Tuan sudah ke atas, dan Nyonya s
Raela mengedikkan pundak secara santai. "Nek, aku sudah menikah loh dan tidak mungkin aku menemui mantanku. Apalagi saat ini suamiku sedang kerja. Walaupun semisal aku izin pada suamiku untuk menemui cucumu yang notabene-nya adalah mantanku, tetap saja pasti suamiku kepikiran. Dan bagaimana jika karena hal itu suamiku jadi over thinking padaku? Bagaimana jika karena hal itu, pekerjaannya jadi tak beres? Daripada aku memberikan kepedulianku pada cucumu, yah jelas dong aku lebih milih peduli pada suamiku sendiri.""Benar juga. Kalau adik ini kenemui mantannya, suaminya pasti akan kecewa padanya," ucap seorang laki-laki, mendukung dan setuju pada perkataan Raela. Yang lainnya menganggukkan kepala, paham dan setuju pada Raela. "Si cewek juga benar. Kondisi mantannya bukan urusannya, tetapi urusan keluarga nenek ini.""Udah, Dek. Pulang saja, tak usah ikut dengan nenek ini. Benar katamu, kamu tidak ada sangkut pautnya lagi dengan mantan kamu. Dan … mending fokus ke suami sendiri," ucap s