Hotel JWM Internasional, pukul 04:15, di kamar presdential suite lantai 2, Widya terusik lelapnya oleh bunyi panggilan pada ponselnya.
Berbalut pakaian tidur berbahan tipis, Widya menyambar ponselnya di meja kecil sebelah pembaringan dan tanpa memeriksa nomor siapa yang muncul di layar ponselnya, Widya menerima panggilan.
"Maaf, saya lupa, seharusnya saya menonaktivkan ponsel sebelum tidur, karena saya tidak pernah menerima pekerjaan saat dini hari seperti ini!" sapa Widya seolah terbiasa ketika menerima panggilan ke nomor khusus itu untuk siapa pun yang memerlukan jasa dirinya.
"Maaf, Nona Widya. Aku menghubungimu bukan untuk itu," suara lelaki dengan intonasi berat, menyahut dari ujung telepon.
Widya menegakkan duduknya di tepian pembaringan.
"Nomor khusus-ku ini hanya diketahui oleh para lelaki hidung belang. Anda tahu nomor saya ini dari siapa?" dahi Widya mengernyit.
"Dari Mr. Ben yang sedang bersama anda saat ini."
Widya segera mencari sosok Mr. Ben yang sewaktu ia tertidur sekitar pukul sebelas malam tadi, Mr. Ben sedang keluar sedari sore. Pandang Widya mengitari kamar dan mendapati Mr. Ben tengah terkulai di sofa di ruang tamu yang tersekat lemari besar dalam kamar. Widya berdiri menghampiri saklar lampu utama kamar. Ruangan kamar kini menderang.
"Mr. Ben bersama Nona, bukan?" sambung si Penelepon.
"Ya, Mr. Ben bersamaku. Tadi aku telah terlelap sebelum Mr. Ben kembali ke hotel. Aku tidak tahu kedatangannya?"
"Sebelum keadaan merepotkan anda, baiknya Nona berhemat waktu. Segeralah berkemas dan keluar dari kamar. Seseorang utusan saya menunggu Nona di muka hotel."
"Apa maksudnya kamu memerintah saya seperti itu? Siapa kamu?" sanggah Widya merasa si Penelepon kurang ajar dan berganti menyebut 'kamu' pada si Penelepon.
"Mr. Ben telah meninggal, Nona."
Widya terkejut-takut, seketika ia perhatikan Mr. Ben dari dekat. Widya tak berani menyentuh tubuh Mr. Ben. Namun ia berkeyakinan si penelepon itu melantur. Mr. Ben terlelap tidur. Bukan mati.
"Aku harap Nona mempercayaiku," si Penelepon mendesak sopan.
Widya belum juga terpengaruh, tetapi mendadak gelisah dan ia mondar-mandir dengan ponsel masih menempel di telinga tanpa keinginan segera memutus sambungan.
"Cari orang lain jika kamu hendak menipu, Bung," bantah Widya.
"Jika tidak mendatangkan risiko lebih besar, Nona bisa pastikan membangunkan Mr. Ben. Tapi percayalah, Mr. Ben yang bersama anda itu hanya jasadnya," upaya Penelepon bernada sabar.
"Risiko besar apa?" gertak Widya.
"Nona akan meninggalkan banyak jejak sidik jari bila menyentuh Mr. Ben."
"Sidik jari? Kamu tahu? Hampir dua puluh empat jam aku sudah berada dalam kamar ini! Sidik jariku sudah tertebar di kamar ini!" cibir Widya.
"Tidak pada tubuh Mr. Ben, bukan?"
Berdetik-detik jeda. Widya tercenung sejenak. Dalam hati Widya membenarkan si Penelepon, dirinya belum bersentuhan secara fisik sama sekali dengan Mr. Ben.
"Hallo...!?" sambung Penelepon kehilangan respon Widya.
"Ya. Aku dan Mr Ben belum kontak fisik sedikitpun sejak kami bertemu kemarin siang."
"Kalau begitu lekaslah berkemas, Nona!"
"Kenapa kamu begitu percaya diri aku akan mempercayaimu?" meski sudah mulai diliputi ketakutan, Widya tak lantas mudah percaya.
"Pilihan yang sulit. Wajar anda sulit mempercayaiku. Aku pun tak ingin memaksa. Aku menghubungimu sekedar menunaikan amanat Mr. Ben beberapa detik sebelum sakaratul mautnya. Mr. Ben meminta aku membantumu keluar dari hotel ini sebelum kematian Mr. Ben diketahui pihak hotel dan dilaporkan ke Polisi."
Mendengar Polisi, tubuh Widya gemetar disergap ketakutan hebat. Mengetahui penelepon hendak menuanaikan amanat Mr. Ben, mulailah tumbuh kepercayaan Widya.
"Bagaimana caraku untuk mempercayaimu?"
"Aku tahu nomor Nona dari Mr. Ben. Dan faktanya aku mengetahui Mr. Ben kini sedang bersamamu. Kurang bukti apa kalau aku benar-benar mengenal baik Mr. Ben? Mr. Ben adalah majikanku sendiri. Aku pengawal pribadinya, juga orang kepercayaannya dalam urusan bisnisnya," jelas Penelepon suaranya tetap tenang tak terkesan memaksa.
"Maaf, aku harus berhati-hati."
"Waktu sangat menentukan keselamatanmu, Nona."
"Apa yang musti aku lakukan setelah berkemas?"
"Taxi warna biru. Nomor pintu 116. Telah menunggu Nona di muka hotel. Silahkan Nona langsung masuk Taxi itu setelah menemukannya."
"Aku segera berkemas."
"Terima kasih telah percaya, Nona." Penelepon memutus sambungan.
Widya kembali mendekati Mr. Ben yang terkulai di sofa. Selintas tak akan ada orang menduga Mr. Ben, pria paruh baya itu telah tiada. Widya sendiri belum sepenuhnya percaya.
Hanya setelah Penelepon menyebutkan Polisi, alam bawah sadar Widya seolah memberitahukan bahwa si Penelepon tidak sedang mempermainkan dirinya. Naluri kewaspadaan Widya telah membisikinya untuk percaya pada si Penelepon.
Widya lekas mengemasi semua barang miliknya yang sempat keluar dari tas wanitanya tak ada yang terlewatkan ia rapihkan ke tempatnya semula. Beberapa pakaian pengganti persediaan selama menemani Mr. Ben untuk satu minggu di dalam lemari, ia kemas kembali ke dalam tas pakaian jinjing yang di bawanya.
Sebelum keluar kamar, entah terdorong oleh kepentingan apa, Widya menyempatkan diri mengambil gambar Mr. Ben dari berbagai sudut berbeda menggunakan kamera ponselnya.
Di kalangan para pengusaha ternama nasional, Widya cukup kesohor sebagai wanita penghibur yang pandai menyenangkan setiap pengguna jasanya. Sekali pun Widya dikenal para hidung belang dari kalangan atas sebagai wanita penghibur bertarif mahal, nyatanya Widya yang memiliki paras jelita dan terlihat seperti gadis usia belasan tahun diusianya kini dua puluh empat tahun, Widya sering direkomendasikan oleh para lelaki yang pernah menggunakan jasanya ke kolega mereka.
Mengenakan celana jeans warna hitam berpadu switer warna abu berkerah tegak, bersepatu casual warna putih, rambut panjang hitam tebal diikat alakadarnya, Widya berupaya bersikap tenang berjalan gontai namun tetap saja kentara kesan tergesa-gesa ketika melintasi lobi hotel. Tubuh semampai 172 sentimeter, kulit bersih kuning langsat, wajah mempesona khas Indonesia, cukuplah jadi suplemen pengusir kantuk para karyawan hotel dan petugas keamanan saat Widya lewat di antara mereka. Setiap karyawan hotel nampak sudah terbiasa ketika ada seorang wanita muda menarik seperti Widya keluar hotel di pagi buta. Mereka mafhum: wanita yang keluar hotel di waktu yang ganjil ditengarai wanita penghibur. Komplek perkantoran Mega Kuningan Jakarta merupakan komplek prestiese di mana Hotel JWM angkuh berdiri. Suasana halaman hotel sangat lengang dijelang subuh. Taxi biru bernomor pintu 116 segera meluncur setelah Widya tanpa bertanya pada pengemudinya langsung masuk-duduk di ku
Sam menyukai beragam olahraga yang menantang, yang utama, Sam suka olahraga beladiri. Pencak silat dan karate adalah yang paling dikuasainya. Sam juga seorang pendaki berpengalaman. Menyukai Off Road, juga motocros. Berkat penguasaan ilmu beladirinya, Sam direkomendasikan oleh kawannya seorang Pengusaha Batu Bara kepada Mr. Ben. Sudah empat tahun ini Sam menjadi pengawal pribadi Mr. Ben. Juga karena Sam memiliki pengalaman bekerja sebagai marketing di perusahaan Batu Bara milik kawannya itu, Mr. Ben tak hanya mempercayakan keamanan dirinya ketika sedang berada di Indonesia, melainkan mempercayakan pengawasan seluruh asetnya yang ada di Indonesia kepada Sam. Dari kegemarannya pada olahraga kendaraan ekstrim, Sam nampak terbiasa memacu Landcruser berukutan bongsor itu serupa mengemudikan City Car. Lalu lintas Jakarta di pagi buta memang masih lengang, Sam lebih leluasa mengemudikan Landcruser dengan kecepatan tinggi untuk ukuran kecepata
Widya merasa didera lelah luar biasa, bukan capek secara fisik, melainkan pikiran terbelenggu rasa takut, was-was, serba khawatir, bergulung menyatu memenjarakan kemerdekaan jiwanya. Dari pertama mengetahui kematian Mr. Ben dan memutuskan untuk mempercayai Sam, sejak itu Widya merasa harapan hidupnya hanya masalah waktu masih bisa menghirup udara bebas. Menuruti anjuran Sam agar dirinya istirahat, sedari permulaan Landcruser memasuki jalan Tol, Widya memejamkan mata. Mata Widya terpejam namun pikiran dan jiwanya enggan diajak rehat barang sebentar. Bermenit lamanya sesaat setelah memejamkan mata, Widya justru melihat gambaran segala kemungkinan buruk berderet serupa lukisan panjang menampilkan beragam ekspresi ketakutan dirinya sendiri. Merasa capek sendiri oleh ketakutan yang diciptakan pikirannya, Widya berupaya mengalihkan perhatiannya pada Sam, sekedar menghindari kekacauan pikirannya. Secara sadar Widya membohongi diri sendiri memba
Tyo baru saja memasuki kamar tidurnya ketika pintu rumah diketuk kasar dari luar. Tyo kembali keluar kamar dan langsung membuka pintu rumahnya yang sederhana. "Dimanam Widya!?" Salah seorang dari dua orang lelaki bertubuh tegap menyerobot masuk ketika Tyo membuka pintu. "Hey, kalian? Burhan, Toni! Ada apa ini...!?" Hardik Tyo tak tahu persoalan, seketika ia terpancing emosinya meski Tyo mengenal dua orang tamunya. Tyo mengenal Burhan dan Toni karena mereka sering bertemu di tempat hiburan malam.Burhan si penyerobot itu mendorong Tyo hingga terjerembab duduk di kursi tamu, "Kamu sembunyikan di mana, Widya?" "Kamu ini kenapa, Burhan!?" Tyo benar-benar tak mengerti duduk persoalan."Widya menghilang dari hotel, Tyo," hardik Toni turut masuk. Kini Burhan dan Toni berdiri angkuh di hadapan Tyo yang terduduk dengan wajah kebingungan."Kamu belum tahu beritanya, Tyo? Antara pukul tujuh tadi, pihak hotel mendapati Widya tidak ad
Setelah merasa cukup beristirahat di Race Area Padalarang, Sam kembali memacu Landcrusernya melaju di Jalan Tol arah Cileunyi. Di sebelah Sam, Widya nampak segar setelah mandi dan sarapan, namun begitu keceriaan tak begitu kentara di wajah Widya. Widya kian menyadari dirinya kini sedang dalam pelarian dari praduga pembunuhan meskipun ia bukan pelakunya. Widya tidak tahu sejauh mana Sam akan mampu membantu-melindungi dirinya sedang Sam sendiri besar kemungkinan akan sama seperti dirinya sebagai orang yang paling dicari setelah kematian Mr. Ben diketahui Polisi. "Sam..!" Widya berkata lirih. "Ya?" "Tubuhmu tidak terasa lengket tanpa mandi pagi hari?" "Perjalanan masih jauh. Aku bisa diserang kantuk kalau tubuhku merasa segar setelah mandi." "Ini sudah pukul sembilan. Adakah kemungkinan pihak hotel sudah mengetahui keadaan Mr. Ben?" Alih Widya. "Sep
Masuk melalui gerbang Tol Jagorawi, sebuah Minivan hitam meluncur cepat menuju Bandung. Burhan dan Tyo duduk di kursi tengah, satu orang rekan Burhan di kursi depan dan seorang lagi mengemudi. "Burhan, kenapa Bos kalian tidak melapor Polisi saja kalau memang mencurigai Widya pelakunya?" Tanya Tyo, kali ini kepalanya sudah dibebaskan dari kain penutup. "Itu bukan urusanku. Juga bukan urusanmu, Tyo. Aku sendiri tidak tahu kepentingan Bos itu apa mengharuskan aku jangan sampai didahului Polisi menangkap Widya dan Sam? Yang aku tahu, tadi pagi aku turut menyaksikan berita di tv telah ditemukan seorang tamu hotel JWM telah meninggal dunia dalam posisi duduk di kursi di dalam kamarnya. Yang ditemukan meninggal itu tak lain adalah, Mr. Ben. Sedangkan Widya yang menemani Mr. Ben, sudah menghilang," sahut Burhan kini sikapnya pada Tyo lebih bersahabat setelah Tyo menyatakan sikap dirinya bersedia bekerjasama. "Bos-mu mengen
"Sam...!!" Jerit Widya kaget bukan main ketika roda sebelah kiri Landcruser melenceng dari aspal jalan turun ke tanah. Sam turut kaget sekaligus terjaga dari kantuknya oleh jeritan Widya. Sam segera membanting kemudi ke kanan mengembalikan Landcruser ke permukaan aspal jalan. Landcruser kembali melaju sempurna di badan jalan seutuhnya. "Jangan paksakan, Sam! Kamu harus istirahat! Hampir saja mobilmu ini tersungkur ke parit yang cukup dalam." "Sama sekali tidak terasa? Mataku kehilangan fokus sepersekian detik saja, arah mobil ini melenceng jauh?" Sam mengucek sepasang matanya. Sepersekian detik dalam kecepatan tinggi, tentu saja bisa jauh melenceng, Sam. Sini aku gantikan. Atau kita istirahat dulu?" "Kita baru saja memasuki kota Ciamis. Seingatku di depan sana ada hotel. Kita istirahat di sana." "Berapa lama kita sampai hotel itu?" "Sepulu
Menjelang petang Widya terjaga mendahului Sam yang belum nampak tanda-tanda segera bangun dari tidurnya. Akibat tadi malam tidak tidur sama sekali dan harus melakukan perjalanan jauh, ditambah tiga jam lalu usai Bercinta, menjadikan Sam makin terkuras sisa-sisa tenaganya. Widya harus mengulang mandi setelah keringat di tubuhnya menyatu dengan keringat Sam. Ada kelelahan berpadu suka-cita berbaur merubungi perasaan Widya. Sejujurnya Widya masih ragu telah terjadi pertautan asmara yang teramat cepat antara dirinya dengan Sam. Namun begitu Widya berupaya memelihara harapan baik terhadap Sam. Selesai mandi Widya harus mengulang juga mengeringkan rambutnya. Ketika tangannya hendak memungut alat pengering rambut di atas meja, Widya melihat layar ponselnya yang tergeletak di meja yang sama, menyala oleh satu pesan yang masuk. Segera Widya menyambar ponselnya. Widya hampir membuka pesan tetapi pada layar ponsel terlihat adanya jejak panggilan tak te