Share

Memburu Wanita Penghibur
Memburu Wanita Penghibur
Author: Iweng. W

Prolog

Hotel JWM Internasional, pukul 04:15, di kamar presdential suite lantai 2, Widya terusik lelapnya oleh bunyi panggilan pada ponselnya.

   Berbalut pakaian tidur berbahan tipis, Widya menyambar ponselnya di meja kecil sebelah pembaringan dan tanpa memeriksa nomor siapa yang muncul di layar ponselnya, Widya menerima panggilan.

   "Maaf, saya lupa, seharusnya saya menonaktivkan ponsel sebelum tidur, karena saya tidak pernah menerima pekerjaan saat dini hari seperti ini!" sapa Widya seolah terbiasa ketika menerima panggilan ke nomor khusus itu untuk siapa pun yang memerlukan jasa dirinya.

   "Maaf, Nona Widya. Aku menghubungimu bukan untuk itu," suara lelaki dengan intonasi berat, menyahut dari ujung telepon.

   Widya menegakkan duduknya di tepian pembaringan.

   "Nomor khusus-ku ini hanya diketahui oleh para lelaki hidung belang. Anda tahu nomor saya ini dari siapa?" dahi Widya mengernyit.

   "Dari Mr. Ben yang sedang bersama anda saat ini."

   Widya segera mencari  sosok Mr. Ben yang sewaktu ia tertidur sekitar pukul sebelas malam tadi, Mr. Ben sedang keluar sedari sore. Pandang Widya mengitari kamar dan mendapati Mr. Ben tengah terkulai di sofa di ruang tamu yang tersekat lemari besar dalam kamar. Widya berdiri menghampiri saklar lampu utama kamar. Ruangan kamar kini menderang.

   "Mr. Ben bersama Nona, bukan?" sambung si Penelepon.

   "Ya, Mr. Ben bersamaku. Tadi aku telah terlelap sebelum Mr. Ben kembali ke hotel. Aku tidak tahu kedatangannya?"

   "Sebelum keadaan merepotkan anda, baiknya Nona berhemat waktu. Segeralah berkemas dan keluar dari kamar. Seseorang utusan saya menunggu Nona di muka hotel."

   "Apa maksudnya kamu memerintah saya seperti itu? Siapa kamu?" sanggah Widya merasa si Penelepon kurang ajar dan berganti menyebut 'kamu' pada si Penelepon.

   "Mr. Ben telah meninggal, Nona."

   Widya terkejut-takut, seketika ia perhatikan Mr. Ben dari dekat. Widya tak berani menyentuh tubuh Mr. Ben. Namun ia berkeyakinan si penelepon itu melantur. Mr. Ben terlelap tidur. Bukan mati.

   "Aku harap Nona mempercayaiku," si Penelepon mendesak sopan.

   Widya belum juga terpengaruh, tetapi mendadak gelisah dan ia mondar-mandir dengan ponsel masih menempel di telinga tanpa keinginan segera memutus sambungan.

   "Cari orang lain jika kamu hendak menipu, Bung," bantah Widya.

   "Jika tidak mendatangkan risiko lebih besar, Nona bisa pastikan membangunkan Mr. Ben. Tapi percayalah, Mr. Ben yang bersama anda itu hanya jasadnya," upaya Penelepon bernada sabar.

   "Risiko besar apa?" gertak Widya.

   "Nona akan meninggalkan banyak jejak sidik jari bila menyentuh Mr. Ben."

   "Sidik jari? Kamu tahu? Hampir dua puluh empat jam aku sudah berada dalam kamar ini! Sidik jariku sudah tertebar di kamar ini!" cibir Widya.

   "Tidak pada tubuh Mr. Ben, bukan?"

   Berdetik-detik jeda. Widya tercenung sejenak. Dalam hati Widya membenarkan si Penelepon, dirinya belum bersentuhan secara fisik sama sekali dengan Mr. Ben.

   "Hallo...!?" sambung Penelepon kehilangan respon Widya.

   "Ya. Aku dan Mr Ben belum kontak fisik sedikitpun sejak kami bertemu kemarin siang."

   "Kalau begitu lekaslah berkemas, Nona!"

   "Kenapa kamu begitu percaya diri aku akan mempercayaimu?" meski sudah mulai diliputi ketakutan, Widya tak  lantas mudah percaya.

   "Pilihan yang sulit. Wajar anda sulit mempercayaiku. Aku pun tak ingin memaksa. Aku menghubungimu sekedar menunaikan amanat Mr. Ben beberapa detik sebelum sakaratul mautnya. Mr. Ben meminta aku membantumu keluar dari hotel ini sebelum kematian Mr. Ben diketahui pihak hotel dan dilaporkan ke Polisi."

   Mendengar Polisi, tubuh Widya gemetar disergap ketakutan hebat. Mengetahui penelepon hendak menuanaikan amanat Mr. Ben, mulailah tumbuh kepercayaan Widya.

   "Bagaimana caraku untuk mempercayaimu?"

   "Aku tahu nomor Nona dari Mr. Ben. Dan faktanya aku mengetahui Mr. Ben kini sedang bersamamu. Kurang bukti apa kalau aku benar-benar mengenal baik Mr. Ben? Mr. Ben adalah majikanku sendiri. Aku pengawal pribadinya, juga orang kepercayaannya dalam urusan bisnisnya," jelas Penelepon suaranya tetap tenang tak terkesan memaksa.

   "Maaf, aku harus berhati-hati."

   "Waktu sangat menentukan keselamatanmu, Nona."

   "Apa yang musti aku lakukan setelah berkemas?"

   "Taxi warna biru. Nomor pintu 116. Telah menunggu Nona di muka hotel. Silahkan Nona langsung masuk Taxi itu setelah menemukannya."

   "Aku segera berkemas."

   "Terima kasih telah percaya, Nona." Penelepon memutus sambungan.

   Widya kembali mendekati Mr. Ben yang terkulai di sofa. Selintas tak akan ada orang menduga Mr. Ben, pria paruh baya itu telah tiada. Widya sendiri belum sepenuhnya percaya.

Hanya setelah Penelepon menyebutkan Polisi, alam bawah sadar Widya seolah memberitahukan bahwa si Penelepon tidak sedang mempermainkan dirinya. Naluri kewaspadaan Widya telah membisikinya untuk percaya pada si Penelepon.

   Widya lekas mengemasi semua barang miliknya yang sempat keluar dari tas wanitanya tak ada yang terlewatkan ia rapihkan ke tempatnya semula. Beberapa pakaian pengganti persediaan selama menemani Mr. Ben untuk satu minggu di dalam lemari, ia kemas kembali ke dalam tas pakaian jinjing yang di bawanya.

Sebelum keluar kamar, entah terdorong oleh kepentingan apa, Widya menyempatkan diri mengambil gambar Mr. Ben dari berbagai sudut berbeda menggunakan kamera ponselnya.

   Di kalangan para pengusaha ternama nasional, Widya cukup kesohor sebagai wanita penghibur yang pandai menyenangkan setiap pengguna jasanya. Sekali pun Widya dikenal para hidung belang dari kalangan atas sebagai wanita penghibur bertarif mahal, nyatanya Widya yang memiliki paras jelita dan terlihat seperti gadis usia belasan tahun diusianya kini dua puluh empat tahun, Widya sering direkomendasikan oleh para lelaki yang pernah menggunakan jasanya ke kolega mereka. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status