Share

Menanyakan Pada Tara

last update Huling Na-update: 2022-11-25 12:28:44

"Kamu kenapa, Lin?" tanyanya lagi karena aku terus membisu.

"Aku melihat kamu bergandengan mesra dengan wanita, Mas," ucap hanya di dalam hati. Entah kenapa aku ragu mengatakannya.

Mas Tara menghembuskan napas perlahan. Kemudian menghapus bekas air mata dengan kedua tangannya.

"Kalau belum siap cerita gak apa-apa." Mas Tara melihat sekeliling kemudian tatapannya berhenti padaku.

"Aluna belum kamu jemput, Lin?"

Ya Allah, aku sampai lupa dengan putri kecil kami. Seharusnya aku menjemput dia setelah acaraku dengan Monica selesai. Gara-gara melihat Mas Tara dengan perempuan itu aku jadi tak bisa berpikir logis. Pikiranku selalu dipenuhi dengan prasangka dan prasangka.

"Maaf, Mas. Aku lupa untuk menjemput Aluna."

Mas Tara menghembuskan napas kasar lalu melangkah ke luar kamar. Segera aku beranjak dari ranjang, dengan cepat kusambar hijab yang ada di atas kursi. Tergesa aku berlari mengejar dia.

"Aku ikut, Mas!" Kubuka pintu mobil sebelum Mas Tara menginjak pedal gas.

Mobil melaju meninggalkan rumah. Kecepatan kendaraan roda empat ini masih lambat di area perumahan, kemudian semakin cepat saat berada di jalan raya.

"Kenapa bisa lupa menjemput Aluna, Lin?" tanyanya memecah keheningan yang sempat tercipta.

"Em, itu...."

Aku sedikit ragu, haruskah kukatakan sekarang.

"Aku tadi me...."

CIIIT

Mas Tara menginjak pedal rem tiba-tiba saat sebuah motor memotong jalan tanpa melihat ke belakang.

"Hati-hati, woy!" teriak Mas Tara tapi pengendara sepeda motor itu terus melaju tanpa sekali pun menoleh ke belakang.

"Kamu tidak apa-apa, Lin?" tanyanya saat melihatku memegangi dada karena terkejut.

"Tidak apa-apa, Mas."

"Kita lanjut lagi." Mas Tara kembali melajukan kendaraannya. Namun kali ini lebih hati-hati lagi.

Aku mengatur napas, menetralisir detak jantung yang sudah seperti genderang. Kata-kata yang akan ku ucapkan hilang karena insiden barusan. Ingin kusampaikan ulang tapi keadaan tidak memungkinkan. Aku takut terjadi kecelakaan karena pertengkaran kami.

Jarak antara rumah Bunda dan rumah kami hanya sekitar 25 menit. Itu jika keadaan jalan lancar. Kami memang tinggal di kota yang sama. Namun berbeda lokasi, meski sama-sama tinggal di perumahan.

Lalu lalang kota Solo begitu ramai. Banyak kendaraan roda dua yang berlomba-lomba melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Seolah ingin segera sampai di tempat tujuan. Mau tak mau mobillah yang mengalah.

Azan magrib berkumandang tepat saat kami sampai di depan rumah Bunda. Setelah mengucapkan salam kami segera masuk tanpa menunggu Mama membukakan pintu.

"Papa... Mama...!" Aluna berlari menuju ke arah kami.

Mas Tara segera menggendong putri kecil kami yang baru berusia empat tahun. Kemudian menghujaninya dengan ciuman.

"Papa geli," ucap Aluna seraya mendorong wajah suamiku.

Akankah momen seperti ini akan hilang setelah kuketahui kenyataan pahit yang ia sembunyikan?

"Kenapa lama, Lin?" tanya Bunda yang baru saja muncul dari balik pintu kamar.

"Maaf, Bun. Alin lupa," ucapku sambil menundukkan kepala.

"Yasudah, ndak apa-apa. Aluna juga tidak rewel."

Aku bernapas lega karena Bunda tak marah padaku. Beliau memang mertua yang baik, bukan seperti mertua dalam serial drama.

"Ayo shalat bareng,kalian belum magrib, kan?" Bunda melirik kami secara bergantian.

"Kalian shalat dulu saja, aku mau buang air besar." Mas Tara berjalan cepat menuju kamar mandi yang terletak di samping dapur.

Aku menghela napas mendengar jawaban suamiku. Akhir-akhir ini dia jarang melaksanakan kewajiban kepada Illahi Robbi. Aku sendiri tak tahu kenapa? Sering aku mengingatkan tapi selalu berujung dengan pertengkaran. Akhirnya aku memilih diam.

"Kamu dulu saja, Lin. Bunda mau buatkan minum."

Aku mengangguk lalu segera mengambil wudhu ke belakang.

"Iya, Sayang."

Langkahku terhenti kala mendengar Mas Tara menyebut kata Sayang. Dadaku kembali bergemuruh. Apa dia sedang menghubungi anak sekolah yang tadi bersamanya? Apa benar Mas Tama berselingkuh seperti dugaanku? Ya Allah....

Beberapa saat aku menunggu Mas Tara berbicara dengan seseorang. Namun suara suamiku tak lagi terdengar, hanya suara gemercik air yang masuk ke dalam indra pendengaran.

Gegas aku melangkah ke belakang untuk berwudhu.

Aku menengadahkan tangan ke atas. Dalam hati aku berdoa, meminta Allah menguatkan pondasi pernikahan kami. Namun di tengah doa bayangan Mas Tara menggandeng mesra seorang anak sekolah tiba-tiba hadir lalu kembali menyesakkan dada. Lagi air bening jatuh lalu membasahi pipi.

Aku sempat menepis kecurigaan ini. Namun panggilan sayang yang sempat kudengar kembali membuatku ragu. Akankah Mas Tara mengkhianati ikatan suci ini?

"Sudah belum, Lin?" Aku tersentak, buru-buru kuhapus jejak air mata yang sempat menempel di pipi. Aku tidak ingin Bunda mengkhawatirkanku.

"Sudah, Bunda." Aku membalikkan badan laku melepas mukena yang kukenakan.

"Kamu nangis, Lin? Kenapa?" tanya Bunda kala mata kami tak sengaja bertemu.

"Kelilipan, Bun." Aku melangkah keluar, menghindari pertanyaan yang sebentar lagi Bunda lontarkan.

Pukul delapan malam kami pulang dari rumah Bunda. Aluna sudah terlelap di kursi belakang. Dengkuran halus terdengar hingga di kursi depan. Putri kecilku pasti kelelahan bermain bersama neneknya.

"Dari tadi kamu hanya diam, Lin. Kamu kenapa? Bukankah tadi habis reuni dengan teman-teman kamu?" tanya Mas Tara sambil fokus menyetir.

Apa ini saat yang tepat untuk menanyakan hal itu? Bagaimana jika Mas Tara mengakuinya? Apa aku sanggup menerima kenyataan ini?

"Alin," panggilnya lagi karena aku masih menutup mulut rapat-rapat.

"Kamu tadi dari mana, Mas?"

"Dari meeting, Al. Kenapa tanya terus."

"Meeting dengan seorang anak sekolah maksud kamu?"

CIIT

Mas Tara menginjak pedal rem dengan tiba-tiba. Beruntung tak ada kendaraan lain yang ada di depan kami.

"Siapa wanita itu, Mas?" Seketika wajahnya menjadi tegang. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Ending

    "Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Alin Pulang ke Kampung

    Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Kepergian Alin

    Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Kemarahan Satriya

    Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Bentakan Satriya

    Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Gara-gara Aluna

    "Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status