แชร์

Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya
Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya
ผู้แต่ง: Dyah Ayu Prabandari

Memergoki

ผู้เขียน: Dyah Ayu Prabandari
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2022-11-25 12:27:31

"Lin, bukannya itu Tara, ya, suami kamu. Tapi kok jalan dengan wanita," ucap Monica seraya menunjuk ke belakang.

Seketika aku menoleh ke belakang, mencari sosok Mas Tara.Aku masih menoleh ke kanan dan kiri karena situasi foot court ramai. Maklum saja ini hari sabtu, banyak pasangan kekasih atau anak muda yang menghabiskan waktu di akhir pekan.

Mataku melotot kala melihat sepasang manusia berbeda jenis kelamin bergandengan mesra dengan posisi membelakangiku. Ya, dia Mas Tara, suamiku. Tapi siapa wanita muda yang dirangkul mesra.

Kenapa wanita muda? Karena dia masih mengenakan seragam sekolah. Khas anak SMA.

Dadaku bergemuruh, mataku mengembun, perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipi.

"Suami kamu selingkuh, Lin?"

Aku diam, ingin mengatakan bukan. Namun fakta berkata lain. Tidak mungkin berpelukan mesra jika buka sepasang kekasih. Tapi kenapa anak SMA?

"Hapus air mata kamu, Lin! Jangan cengeng! Kita ikuti mereka!" Monica menarik tanganku hingga aku nyaris jatuh berciuman dengan lantai. Untung saja kakiku bisa menopang dengan cepat.

"Ayo!" Monica kembali menarik tanganku.

Aku dan Monica sedikit berlari mengejar Mas Tara. Namun entah ke mana perginya lelaki itu. Mereka seakan hilang di telan bumi. Bahkan bayangnya saja tidak nampak. Kami kehilangan jejak.

Kakiku lemas, bumi yang kupijak seolah bergoyang. Aku luruh di lantai mall, air mataku jatuh tanpa bisa kubendung lagi.

Pengkhianatan adalah hal yang paling aku takutkan dalam sebuah hubungan, terlebih pernikahan. Rasanya masih tak percaya jika suamiku memiliki kekasih lain. Namun mata ini tak bisa menampik kenyataan yang ada.

"Jangan cengeng, Lin! Ayo, bangun!" Monica menarik tubuhku. Terseok-seok aku mengikuti langkahnya.

Tatapan penasaran bahkan mengejek tergambar di sorot mata orang-orang yang kami lewati. Ada pula yang berbisik-bisik, mereka seolah mentertawakan aku. Ah, aku tak perduli, saat ini hanya Mas Tara yang memenuhi isi kepalaku.

Apa dia benar-benar tega mengkhianati ikatan suci ini?

Monica membuka pintu mobil sedikit kasar. Dengan kedipan mata ia memintaku duduk di samping kursi pengemudi. Perlahan aku menjatuhkan bobot, kulirik Monica yang tengah menatapku tajam. Tak lama sahabatku itu membuang napas kasar.

"Masih mau nangis?" tanyanya dengan nada suara sedikit pelan. Tidak segalak saat menarik tanganku tadi.

"Mas Tara... Mas Tara selingkuh, Mon."

Cairan bening berlomba-lomba terjun bebas hingga mendarat di pipi, bahkan di hijab yang kukenakan. Aku tak bisa membohongi perasaan jika hati ini terluka, sangat terluka.

"Menangislah sepuas kamu, tapi cukup hari ini. Setelah ini kamu harus menyelidiki suami kamu. Kalau perlu bayar mata-mata untuk mengikuti Tama."

Aku tidak mampu menjawab, hanya air mata yang terus jatuh membasahi pipi. Bahkan perkataan Monica tak mampu kucerna. Kepalaku buntu, aku tidak mampu memikirkan apa pun selain pengkhianatan suamiku.

"Sudah cukup, ayo kita pulang!"

Monica menyalakan mesin, perlahan kendaraan roda empat miliknya berjalan meninggalkan mall. Lalu lalang kendaraan silih berganti menyalip mobil ini.

"Kamu baik-baik saja, Lin?" Monica milirikku lalu kembali fokus menatap depan.

"Kamu mau jawaban jujur atau bohong, Mon?"

"Tidak usah kamu jawab, Lin. Aku sudah tahu apa yang kamu rasakan."

Hening, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Aku terlalu sibuk menata hati yang terlanjur hancur berantakan.

Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam akhirnya kami berhenti tepat di halaman rumahku.

"Aku langsung pulang, ya, Lin. Masih ada urusan." Aku mengangguk lalu melangkah gontai menuju rumah.

Rumah masih kosong saat aku tiba. Ya, jelas Mas Tara belum sampai, dia pasti tengah asyik memadu kasih dengan daun muda itu. Sakit, jika apa yang kulihat adalah kenyataan. Apa aku sanggup menerima kenyataan ini?

Aku merebahkan tubuh di atas ranjang, kutenggelamkan wajah di atas bantal. Satu demi satu cairan bening nan hangat kembali jatuh. Aku terisak, menangisi nasib percintaan ini. Rasa lelah membuat rasa kantuk itu datang. Perlahan aku menutup mata hingga akhirnya terlelap ke alam mimpi.

"Sayang...."

Sebuah tangan menyentuh pipi lalu berjalan ke leher.

"Sayang, kamu kenapa tidur tengkurap seperti ini?"

Perlahan aku membuka mata, seketika cahaya tertangkap oleh retina. Namun saat kubuka terasa mengganjal. Kenapa ini?

Dengan lembut Mas Tara membalikkan badan ini. Ia tautkan dua alis kala menatapku.

"Kamu nangis, Sayang? Kenapa?" Dia membantuku bersandar. Dengan lembut ia selipkan rambut di balik telinga. Kemudian menatapku lekat.

Dadaku bergemuruh, rasa marah dan kecewa kembali hadir. Satu persatu air mata jatuh. Aku tak sanggup menyembunyikan perasaan ini. Masihkan ia bertanya jika dia sendiri yang menancapkan duri di hati?

Memang benar perkataan orang jika kelembutan tak bisa menjamin ia akan tetap setia. Keharmonisan tak menjamin ia tidak bermuka dua. Kini perkataan itu terbukti, suamiku memiliki tambatan hati lain.

"Lho, kok nangis lagi. Kenapa Alin sayang?"

"Tadi kamu ke mana, Mas?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Ke mana? Kamu itu lucu. Aku tadi meeting di luar dengan Pak Leo. Kamu lupa?"

"Pak Leo dengan seragam sekolah maksudmu?" ucapku tapi hanya di dalam hati. Entah kenapa mulut ini menjadi kelu. Haruskah aku berkata melihat dia bersama gundik kecilnya?

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (2)
goodnovel comment avatar
mayank shinee
kenapa sih begitu saja cengeng,makanya jgn terlalu bucin. cinta boleh tapi sekedarnya saja
goodnovel comment avatar
Goresan Pena93
syuka sekali
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Ending

    "Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Alin Pulang ke Kampung

    Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Kepergian Alin

    Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Kemarahan Satriya

    Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Bentakan Satriya

    Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Gara-gara Aluna

    "Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Perubahan Sikap Satriya

    "Aluna tidak kamu ajak, Pi?"Satriya menolah tapi kembali sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Mulut lelakiku masih membisu, tak ada sepatah kata yang keluar saat ia tiba di sini. "Rumah sakit pasti memperbolehkan kalau untuk menjemput pasien, Pi. Dia pasti merindukan aku.""Dia sama ibu di rumah," jawab Satriya datar. Satriya kembali membereskan barang-barang kami. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ya, semenjak kematian putri kami, Satriya menjadi pendiam. Tak ada tawa apa lagi kekonyolan yang biasa ia lakukan. Dia tenggelam dalam luka dan kesedihan. Sebenarnya bukan hanya dia yang kehilangan, aku pun merasakan hal yang sama. Namun hidup harus terus berjalan sekali pun dengan luka yang melekat. "Sebentar, aku panggilkan suster."Satriya keluar dari ruang rawat inapku. Sepi, kurasakan itu lagi. Perasaan bersalah hadir tanpa kuminta. Seandainya aku hati-hati, mungkin putri kecilku akan baik-baik saja. Suara pintu dibuka menyentak lamunanku. Aku menoleh, Satriya masuk bers

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Kepergian Malaikat Kecil

    "Bayiku di mana, Sus?"Kembali aku menanyakan hal yang sama. Namun lagi dua perempuan berpakaian serba putih itu hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang mereka tutupi. Apa jangan-jangan .... "Kita ke kamar inap dulu, ya, Bu."Kedua suster kembali mendorong brankar, tempatku terbaring tak berdaya. Aku menatap lurus ke atas dengan pandangan kosong. Beberapa prasangka kembali menari dalam angan. Bayang bayi mungil yang belum kulihat terlintas berulang kali. Suara gesekan roda brankar dan lantai bak sirine yang membuat orang-orang menyingkir kala kami lewat. Sempat kulihat beberapa pasang mata mencuri pandang ke arahku. Mungkin bertanya-tanya karena aku hanya seorang diri tanpa ada kelurga yang menemani. Apa lagi baru keluar dari ruang operasi. Pintu kamar dibuka, kosong tak ada Satriya di sana. Prasangka kembali memenuhi isi kepalaku. Di mana suami dan bayiku? Dibantu empat suster aku dipindahkan di atas ranjang khas rumah sakit. "Ada yang sakit, Bu?" tanyanya salah satu suster

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Operasi Sesar

    Darah? Aku menatap bawah, benar saja darah segar keluar dari pangkal paha. Nyeri, perutku terasa tertusuk ... sakit sekali. Bahkan aku tak mampu menjelaskan sakitnya seperti apa."Pi... Papi!"Aku terus memegangi perut, namun Satriya tak kunjung membuka mata. Dia masih terlelap dalam mimpi. Ya Allah, Satriya. "Papi!" teriak Aluna kencang. Seketika Satriya terbangun. Dia menjerit kala melihat aku tergeletak tak berdaya di lantai. Ditambah darah yang keluar darin pangkal paha. "Ya Allah, Yang. Kamu kenapa?""Sa--sakit, Yang." Aku pegangi perut yang terasa sakit. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Satriya kebingungan, dia jongkok hendak membopong tubuhku. "Aluna kedinginan, Yang."Gerakan tangan itu terhenti, Satriya kebingungan hendak mengganti baju Aluna atau menolongku terlebih dahulu. Kami sama-sama membutuhkan bantuan secepatnya. "Aluna tunggu di sini dulu, Papi mau bawa Mama ke mobil.""Tapi, Pi ....""Sebentar, Nak. Papi bawa mama turun dulu."Sempat kudengar hentakkan kaki

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status