Jangan Ikut CampurWardah, saudara perempuan Wasis itu duduk di sofa ruang tamu sambil menangis, sedangkan anaknya yang berumur sekitar lima tahunan berada di pangkuan Warsi. Anak kecil itu melihat ibunya dengan tatapan tak mengerti. “Kamu ini kenapa, sih? Kok datang-datang langsung nangis?” Warsi bertanya sambil mengusap lembut punggung anak perempuannya itu.“Mas Wira, Bu! Dia selingkuh! Dan Ibu tahu, siapa pelakor itu? Dia perempuan yang sudah dibaikin sama aku selama ini, Bu! Kurang ajar, kan?” Wardah berkata dengan suara tangisan yang semakin keras.“Loh, kok bisa, sih? Memangnya kamu ke mana saja selama ini kok, bisa kecolongan? Hah!” kata Warsi penuh emosi, ia tidak rela anak perempuannya diduakan cinta oleh menantu laki-laki.Hati seorang ibu pasti tidak tega kalau anaknya menderita. Apalagi sebelumnya, Warsi sudah menitipkan anak perempuannya pada Wira. Seorang pria tampan yang terlihat sangat dewasa dan alim. Ia sangat mapan, karena usahanya tergolong sukses. Ia memiliki to
Menantu Lawan Mertua “Heh! Wid, siapa yang ngajak kamu ngomong?” tanya Warsi ketus. Ia tidak suka menantu perempuannya itu ikut mencampuri, urusan rumah tangga anaknya. Walaupun, yang dikatakan Wida benar. Ia sudah tua, sulit rasanya harus bersitegang dengan menantu laki-lakinya atau dengan perempuan muda yang menjadi selingkuhan Wira. “Tidak ada Bu, saya ngomong berinisiatif sendiri.” Wida berkata masih dengan kelembutan seperti biasanya, karena ia memang wanita yang lemah lembut. Wida merasa tidak ada salahnya ikut campur urusan orang kalau untuk kebenaran. Apalagi, yang ia usulkan adalah, demi kebaikan ibu mertuanya. Rasanya tidak etis kalau seorang perempuan tua marah, atau berteriak-teriak di tempat ramai dan disaksikan banyak orang. “Itu hanya usul, Bu ... tidak masalah Ibu mau menerimanya atau tidak!” kata Wida lagi. “Nggak! Aku nggak mau terima usulan kamu, pokoknya aku mau mendatangi si Wira itu! Aku mau kasih dia pelajaran!” sahut Warsi penuh percaya diri. “Memangnya a
Pelakor VS Istri Sah “Alhamdulillah, akhirnya dia jadi ke sini juga!” gumam Wida begitu selesai membaca pesan itu. Ia tampak semangat menyelesaikan pekerjaannya, dalam hati ia bersyukur karena ia tidak terlalu mengalami mual dan muntah. Pada kehamilannya kali ini, janin di rahimnya tidak terlalu rewel, sehingga ia bisa dengan leluasa bekerja tanpa banyak mengeluh. Namun, yang sedikit merepotkan adalah, ia harus mengasuh Wahyu kecil di samping menyelesaikan tugasnya itu. Wida akan kedatangan Wisnaya--temannya yang dulu pernah menjadi sahabat, ketika masih sekolah. Mereka sudah lama terpisah, tapi sekarang kembali berteman, setelah secara tidak sengaja dua wanita itu dipertemukan saat berbelanja di pasar. Beberapa bulan lalu mereka saling bertukar informasi tentang, kehidupan, pekerjaan dan tempat tinggal, hingga bertukar nomor telepon. Lebih dari dua jam Wida berkutat dengan pekerjaannya di dapur sampai selesai. Namun, ia benar-benar lega dan puas dengan hasil masakannya. Lalu, ia s
Pertengkaran “Aku bukan pelakor!” teriak Wisnaya, sambil memegangi kepalanya yang dijambak oleh Wardah, sampai-sampai ia berdiri dari duduknya dan kini tersungkur di teras.“Aku bukan pelakor!” Katanya lagi sambil menangis, ia terus menatap Wardah penuh iba. Namun, yang ditatap tidak juga merasa iba padanya. “Kamu masih berani bilang bukan pelakor? Hah!” kata Wardah sambil menunjuk-nunjuk ke arah Wisnaya dan berkacak pinggang. Wajahnya merah padam karena marah dan dadanya terlihat turun naik secara cepat menandakan napasnya yang memburu karena berteriak keras.“Aku selama ini sudah baik padamu! Apa salahnya aku! Hah! Sampai kamu tega merebut suamiku?” kata Wardah lagi, kini Warsi sudah berdiri di belakangnya sambil memegang bahu anak perempuannya itu, untuk menenangkannya. “Saya tidak merebut Pak Wira, Bu! Pak Wira sendiri yang bilang pada saya kalau Ibu sudah tidak bisa melayani ...!” sahur Wisnaya sambil menangis. “Apa?” tanya Wardah tak percaya.Wida dan Warsi melihat semuanya
Pandangan Pertama Begitu Menggoda “Dasar menantu tidak berguna! Menyusahkan saja!” kata seorang wanita tua dari dalam sebuah rumah besar dengan banyak bunga di halamannya. Teriakan itu dibarengi kegaduhan lain yang memekakkan telinga, seperti suara dari beberapa barang yang dibanting dan dilempar, sampai ke teras samping di mana dapur berada.“Kapan kamu pernah benar bekerja, Wida? Goreng kerupuk saja gosong!” kata orang itu lagi.“Ibu, tidak usah teriak-teriak, malu didengar tetangga, saya tahu saya salah tapi, tidak semua makanan yang saya masak gosong, kan?” kata seorang wanita lainnya yang terlihat lebih muda.Ia bernama Widati Ainun yang biasa dipanggil Wida, wanita itu sedang diomeli oleh Warsi—ibu mertuanya, karena kesalahan kecil saja. Walaupun demikian, ia tetap sabar karena menghormati ibu mertua sama saja menghargai suaminya.Wida berjalan untuk mengambil barang yang di lempar ke luar oleh Warsi. Wajahnya tanpa ekspresi dan pucat, sesekali ia menghela napas dalam dan terli
Jangan HamilAda gurat kekecewaan yang dalam, terpercik secara jelas di wajahnya, setelah tahu bahwa wanita itu ternyata sudah memiliki pasangan. Hatinya yang semula berbunga-bunga kini menjadi layu seketika. Setelah berada di dalam rumahnya kembali, Wastra berdiri di dekat jendela, melihat ke arah Wida dari balik kaca, ia semakin terkejut ketika tiba-tiba ada seorang anak lelaki kecil yang, berusia sekitar dua tahun berlari memeluk wanita itu dan memanggilnya ibu. “Jadi, dia sudah punya anak juga?” tanyanya dalam hati, Wastra terlihat semakin kecewa. Meskipun begitu, ia tidak lantas beranjak dari tempatnya dan tetap melihat apa yang terjadi antara anak dan ibunya itu. “Mama!” panggil Wahyu sambil menangis, ia anak pertama Wida yang baru saja bangun dari tidurnya. Warsi yang semula berada di kamar segera melihat cucunya yang menangis, lalu wanita tua itu dengan terpaksa membuka kembali pintu yang semula dibanting, untuk mengantar sang cucu pada ibunya. “Urus anakmu yang benar jan
"Ibu ini bicaranya kok, seperti mau buat fitnah saja?” tanya Wida, ia heran dengan ucapan Warsi yang menyudutkan dirinya.“Iya, kan? Kamu tadi ngobrol lama sama laki-laki itu?” kata Warsi. “Ibu tidak usah begitu, deh. Saya tidak lama! Cuma tanya nama saja,” tandas Widati. “Halah! Dia juga bikin rengginang Ibu gosong, tambah bodoh aja istri kamu ini, Was! Kamu tahu, kan? Rengginang itu makanan kesukaan Ibu?” tanya Warsi. Wasis tidak berkomentar, tapi pandangan matanya menyiratkan kecurigaan yang dalam pada istrinya. Ia meneguk air mineral yang diberikan oleh Wida dengan sikap acuh tak acuh. “Dia bilang lagi pusing, padahal itu cuma alasan saja karena malas kerja,” kata Warsi. “Astagfirullah!” kata Wida dalam hati. “Sudah, Bu, mengadunya? Mas Wasis biar makan dulu, ya Bu. Nanti dilanjut lagi ngomelnya, kalau sudah makan, kasihan ... anak ibu ini baru datang,” kata Wida lagi, sambil memegang tangan suaminya. “Kamu ini, Wid, tidak sopan sama orang tua, hakku sebagai ibu itu jauh le
Oleh-oleh Untukku“Iya, Bu. Aku yakin, memilih dia, aku belum pernah merasakan jatuh cinta seperti aku mencintai Wida!” “Kenapa perasaan Ibu tidak yakin kalau wanita seperti dia masih suci, bukannya dia sering dipanggil ke sana ke sini untuk menari, kamu sendiri tahu, wanita penari itu seperti apa, kan? Kebanyakan mereka orang yang suka mengumbar auratnya!” “Tidak, Bu ... aku sudah lama mengenal Widati dan tahu bagaimana dirinya, aku yakin dia wanita baik-baik yang pantas menjadi istriku!” Begitulah jawaban Wasis waktu itu, hingga mau tidak mau Warsi pun setuju dan akhirnya mereka resmi menjadi suami istri tak lama setelah lamaran terjadi. Wida menghela nafas dalam sambil menyelesaikan pekerjaannya membereskan meja makan. Ia membiarkan Warsi pergi begitu saja tanpa memedulikan sang menantu, yang tersinggung dengan ucapannya. Jelas-jelas ia masih perawan ting-ting, ketika menikah dengan suaminya dan Wasis pun bisa membuktikan hal itu. Perempuan itu hendak pergi ke kamar untuk mengh