Share

BAB 4 Bos Killer

Foto-foto jepretan Adam dipilih dipilah bos Anwar di ruang kerjanya. Dia bukan orang biasa. Sebutan bos killer tersemat padanya. Tidak banyak fotografer baru yang tahan lama kerja di perusahaan ini. Harian paling lama bulanan. Maklum. Tuntutan perusahaan sangat besar. Hasil foto haruslah berkelas internasional. Harus perfect! No mercy. Motto perusahaan jelas dan tegas, Quality is number one. Itu sudah final. Harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar lagi.

"What?! Gambar jelek kayak gini gak bisa dipakai! Dasar bocah gemblung!" Puluhan lembar foto di lempar ke muka Adam hingga berserakan ke segala arah. Adam hanya bisa tertunduk. "Aku gak bisa toleransi hal sepele kayak gini. Kalau you masih niat kerja di sini kasih poto yang bagus dong!"

"Baik, Bos." Jawab Adam lirih gemetaran.

"Gimana you bisa jalanin perusahaan besar ini kalau you ambil gambar aja gak becus!" Mendengar kata itu keluar dari bosnya yang super killer itu Adam tertegun bingung.

"Maaf maksud, Bos?"

Sang Bos mengaduk teh panas kemudian menyajikan untuk anak buahnya yang sedang berusaha mengelak tawaran istimewa ini. Adam semakin kebingungan dengan perubahan drastis ini. Apa maksudnya? Sandiwara apalagi ini?

"Semalam Tiara bilang sama Bapak. Katanya you naksir dan punya niat kawin sama Tiara. Apa itu benar?" Bos Anwar bertanya lirih di dekat telinga Adam. Sadar dengan kebiasaan si kepo Boim dan kawan-kawan yang suka menyadap pembicaraan pribadi empat mata di balik pintu.

"Maaf saya tidak paham maksud, Bos...?"

Gelas teh yang baru saja disajikan bukan tanpa pamrih dibanting ke lantai. Gelegar pecahan keramiknya terdengar ke luar ruangan. Asap teh yang masih panas mengepul berserak di lantai mendidihkan suasana.

Sontak karyawan kaget serempak. Benar saja. Satu dua orang berarak tanpa komando menguping di balik pintu. Sebuah kebiasaan buruk.

Boim yang sedang setor di toilet ketinggalan berita. Virus kepo tingkat dewa segera saja menjangkiti seisi kantor.

Bos Anwar melanjutkan amarahnya.

"You tidak usah pura-pura, Damned!” Siapa sih anak sini yang nggak mau kawin sama Tiara?! Dia putriku satu-satunya. Cantik. Kaya. Kurang apa lagi?!"

Adam semakin terpaku dan membeku sulit untuk berkata-kata.

Bos Killer lanjut merayu.

"Kamu sendiri tahu. Udah berapa banyak lelaki mapan dari keluarga berada melamar Tiara. Dan Tiara, hanya mau laki-laki miskin kayak kamu! Kamu tahu itu!" Penuh kecongkakan jari telunjuk bos Anwar mengarah tepat ke batang hidung Adam. Mata Adam mengernyit takut kecolok.

"Maaf, Bos saya..."

"Halah! Bapak sudah capai banget. Semalaman Bapa bertengkar sama Tiara ngebahas masalah ini. Sekarang kamu malah kayak orang yang baru jalan bareng Tiara aja!"

"Anu Bos, kami baru saling kenal sebulan ini dan ini terlalu cepat, Bos."

Anwar menghela napas. Mencoba mengatur napas khawatir terkena stroke menghadapi manusia tidak tahu diri yang dia hadapi saat ini. Dengan lembut telapak tangannya menepuk pundak Adam. Bapak emosian ini menurunkan tensi nada bicaranya sebisa mungkin.

 "Ini sudah jadi takdir Tuhan. Nikahilah putriku. You akan jadi raja perusahaan besar ini. Stop your stupid job dan ready to lead. Ku mohon sama you sebagai calon Ayah. okay?"

Dari balik pintu Boim mengendus kekepoan yang melanda alam semesta. Sambil menutup resletingnya yang macet dengan langkah tergesa dia hampiri kerumunan manusia yang haus akan informasi gelap.

"What's up guys?" Boim nggak mau telat.

"Apaan sih? Pengin tau aja apa pengin tau bangeet?" Jawab Laras kecentilan.

"Tau gejrot! Udah kasih tau dong! GC!" Nada Boim naik saking tidak sabarnya.

"Ssssst, si bos muarah buesar. Si Adam, temen lu yang bego itu tamat karirnya."

"Hah, what?!"

"Iya. Tadi kita denger suara piring apa keramik pecah gitu. Pokoknya si bos marah besar deh." Timpal Rusli yang tiba-tiba nongol entah dari mana.

"Heh dari mane aja lu?! Giliran ngegosip aja kagak pernah absen! Gara-gara lu gak kasih pinjem kamera ke Adam dia kilangan gawenya!" Umpat Boim ke Rusli si biang rusuh.

"Bodo amat. Fotografer pro musti dan kudu punya kamera masing-masing dong. Iya nggak temen-temen?" Jawab jutek Rusli sambil melengos.

"Heuh." Tangan Boim mengepal ke arah Rusli berasa pengin nonjok.

"Byee, Guys." Rusli ngeluyur pergi sambil tertawa sinis kemenangan.

"Sumpah gue bingung deh, mengapa sih kalian pade benci ame Adam?" Boim tak habis pikir.

"Kepoooo." Laras ngeluyur menyusul Rusli dengan senyum sinis kemenangan yang kurang lebih sama jahatnya.

Pasukan kepo berangsur meninggalkan area penyadapan memberikan ruang untuk si big size Boim melakukan penyadapan lanjutan. Semacam pengecekan kembali lah.

Tak selang beberapa lama pintu ruangan dibuka oleh bos Anwar. Boim kaget setengah mati hingga terjerembab ke lantai. Dengan sigap ntuk menghilangkan jejak aksi penyadapan terlarang barusan Boim melakukan gaya merayap. Entah apa maksudnya?

"Ngapain you?! Nguping lagi ya?!" Tanya bos Anwar marah. Matanya melotot.

Boim berdiri tersipu malu. "Anu, Pak. Latihan mengambil gambar di medan perang gitu, Pak."

"Bullshit! Kamu yang ngajakin perang. You ke ruangan saya! Se-ka-rang!" Perintah tegas bos Anwar. Boim bersiap memasuki ruangan sambil merapikan lipatan bajunya. Sejenak dia melirik simpati ke arah Adam yang berpapasan ke luar ruangan.

"Sabar ya, Dam. Lu gak sendiri kok. Gue bakal nyusul elo." Kata Boim memberi sepatah kata penyemangat terakhir.

"Hah?" Adam kebingungan.

"Boiiiiiiim!" Bos Anwar memanggil.

"Iya, Booos!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status