Adam tertunduk lemas di taman gersang sambil menghadap patung pipis yang tidak pernah absen mengencingi kehidupan sialnya. Tiap hari. Sambil mengusap rahangnya yang memar dia pandangi kamera mengenaskan di tangannya. Dia sudah duga hal ini akan terjadi lagi dan lagi. Kamera bekas yang betapapun awet kata penjualnya tetap tak akan berkutik melawan sang waktu. Korban iklan bertambah satu orang.
Perkataan kejam Rusli ada benarnya. Memang sudah seharusnya kamera butut itu dibuang jauh-jauh jika masih ingin menyandang sebagai fotografer profesional. Namun apa daya. Gaji freelance nya yang angin-anginan tak cukup untuk membeli kamera baru. Cash maupun kredit.
Menyanggupi keinginan bos Anwar untuk menikahi Tiara mungkin adalah solusi terbaik keluar dari kehidupan jahanam ini.
Di awal kontrak kerja sudah jelas. Perusahaan sudah menentukan spek kamera khusus yang dibutuhkan studio besar ini. Sebuah kamera DSLR dengan spesifikasi…
"Adam! Si Tiara nungguin lu di depan noh kagak mau masuk." Boim bergegas memberitahu dengan nada tergesa memecah keheningan Adam.
"Hah?" Adam melongo. Gestur tangannya menirukan lekuk body biola cewek seksi.
"Iye. Ti-a-ra. Anaknya bos yang..." Giliran tangan Boim menirukan gestur lekuk body biola dengan mata berkedip-kedip entah apa maksudnya.
"Oh shit! Nitip kamera canggih gue.” Sambil menepuk pundak Boim bergegas Adam meninggalkan kamera sekaratnya.
"What?! Kamera canggih? Lu buang kamera bangkai lu di pinggir jalan kagak ada bakal yang mau ambil, Damned!" Umpat Boim geleng-geleng gemas.
Dengan langkah gesit Adam merapikan rambut kuncir sebahunya dengan segenggam tangan basah air ludah. Di depan pintu keluar didapatinya seorang gadis dengan dandanan menantang sedang memasang muka jutek. Jinjingan tas Louis Vuitton dan High Heels Christian Louboutin asli cukup untuk menunjukkan kelas cewek yang sedang dilanda amarah membara ini.
Adam perlahan datang menghampiri.
"Tiara..." Sapa Adam lembut dari balik punggungnya yang bertato tulisan kaligrafi Only God Can Judge Me.
Tiara pasang muka masam pertanda nyata ada sesuatu yang tidak beres. "Kenapa WA gue gak dibales, Damned?!" Cewek ini marah sembari buang muka. Tatapan lensa kontak birunya menghindari wajah Adam dan sesekali memandang curiga pipi kanan Adam yang sedikit memar kebiruan. Tatapan sinis perempuan ini berupaya meyakinkan Adam bahwa dia sedang dalam masalah besar.
"Anu...kuotaku habis. Suer." Alasan klise Adam mencoba meyakinkan dengan bersumpah mengacungkan kedua ruas jarinya.
"Bullshit!" Mata Tiara nanar menatap Adam. Marah ini benar-benar serius. Muka Adam memucat seolah sedang menghadapi malaikat pencabut nyawa.
"Beneran Tiara. Aku..."
"Stop! Besok malam tahun baru kita ngedate lagi. Temuin gue di Le Bistro Thamrin . Tepat-jam-de-la-pan-ma-lam. Awas kalau telat lagi!" Saking kerasnya bentakan bertubi-tubi Tiara anak-anak foto berhamburan keluar studio. Cukup lama Tiara memperhatikan rahang Adam sebelah kanan seolah ada yang tidak beres. “Kenapa pipi kamu?” Tangan lembut Tiara sedikit menyentuh bagian pipi yang tampak lebam. Adam nyengir ngilu.
Adam mengusap rahangnya yang hampir patah akibat tinjuan yang begitu kerasnya. Ada hal yang tidak mengenakkan pelanggan foto kemarin sehingga berakibat musibah ini. Namun Adam berupaya menjaga rahasia konsumen. Sebuah kode etik bisnis.
“Ah tidak mengapa. Aku terjatuh saat ngambil foto outdoor kemarin.”
Jemari Tiara masih mengusap pipinya perlahan dan seketika menariknya setelah tahu bahwa segerombol karyawan kepo sedang bertumpuk dan berbisik di balik pintu dan jendela mencari tahu kehebohan yang dibuat Adam untuk kedua kalinya.
Tadi dengan Bapaknya sekarang dengan anaknya. Dasar Damned! Secara dia kan masih karyawan baru. Sungguh tidak fair! Umpat rekan kerja yang iri dengan perlakuan spesial yang diterima Adam.
Tiara melangkah pergi dengan gaya anggun memasuki mobil Porsche Cayman disambut sopir bersetelan jas hitam.
"Kenapa, Dam? Cieee. Marahan lagi?" Tanya si dengki Laras.
"Kepo lu!" Adam masuk studio dengan kesal mengusap-usap rahangnya yang masih terasa ngilu.
Kabut lembut semakin menebal. Bau ribuan sedap malam bercampur melati menyeruak memenuhi sela-sela ruang. Embun merangkak di lantai yang lembab. Bagaimanapun juga. Kaki ini harus tetap melangkah. Terus melangkah menghampiri cinta. Meraih laki-laki itu. Setapak demi setapak Sofie memasuki kamar penuh trauma. Kamar Villa Belanda ini adalah saksi bisu betapa sakit dan tak berdayanya ia diasingkan hingga disiksa.Adam yang gugup sedari tadi hanya bisa terdiam menghitung degup nafasnya. Berharap perempuan itu bersedia mengabulkan harapan yang ia tinggalkan dalam pesan di Instagramnya. Kini dengan penuh harap ia hanya bisa menunggu di balkon yang kini semakin licin berlumut. Serangga kecil dan rayap tampak berpesta meramaikan suasana. Udara begitu dinginnya menusuk tulang. Sweater bergantung syal yang melingkar di leher cukup untuk menghangatkannya.Sofie hanya bisa menatap lama ke arah lelaki yang memandang hamparan pepohonan hijau bertabur kuburan Belanda. Nafasnya t
Jam 12 malam. Ringtone pesan masuk Instagram Sofie berbunyi. Siapa tengah malam begini masih medsosan? Apakah manusia ini tidak tau jam istirahat?! Diseduhnya coklat hangat di kamarnya. Dengan nafas kesal mendengus ia sempatkan sejenak melihat pesan masuk dari manusia tak tahu diri ini."Adam?!" Mata Sofie seolah hampir lepas membaca satu nama yang menjadi follower baru di Instagramnya. Dipastikan lagi gambar wajah laki-laki yang terpampang di profil. Ya Tuhan?!! Saking kaget HPnya terjatuh ke lantai hingga berbunyi nyaring. Tangan Sofie gemetar hebat. Matanya basah berlinang."Ada apa Sofie? Margareta bundanya begitu khawatir. Please Tuhan jangan ada apa-apa lagi dengan putriku. Cukuplah dua bulan ini aku merasakan neraka emnesianya. Begitu harap cemasnya.Hanya satu kata di pesan Adam. Satu pesan yang sulit untuk diterima Sofie."Maafkan aku Sofie."I hate U but I Love USofie hanya memandang HP itu semalaman. Matanya sema
Perjalan setapak ini tak melelahkan sebelumnya. Adam kini tak peduli seberapa jauh menuju Villa Belanda yang ia kutuki itu. Ia hanya mengangguk ramah ke beberapa orang tua yang pernah ia tanyai sebelumnya. Ia hanya ingin bertemu Sofie. Memastikan ia baik-baik saja. Rasa bersalah ini sulit hilang."Bade ke Villa lagi, kasep?" Salah satu tukang pencari rumput bertanya kepada Adam."Leres, Bi." Mendengar itu tukang rumput itu hanya geleng-geleng sulit untuk mengerti mau Adam.Adam memandang ke arah Villa. Tidak ada jalan masuk! Semua jalan tertutup semak belukar dan alang-alang. Pintunya terbuka seolah membiarkan semua makhluk hingga hantu penghuni untuk keluar masuk Villa sesuka hati. Hawa dingin begitu menusuk. Adam yang hanya mengenakan jaket sekedarnya mulai menggigil. Tikus dan kecoa hilir mudik menunjukkan eksistensinya sebagai penghuni baru yang setia. Bau obat-obatan kadaluarsa yang khas tak lagi menyeruak. Meski masih ia temukan sisa jarum suntik berserak
Di pagi yang cerah itu roda mobil berhenti di sebuah tempat yang mulai terlihat kumuh tak bertuan. Villa Belanda Beatrix itu sudah dua bulan terbengkalai sejak Sofie tidak sadarkan diri di pelukan Adam dan menjalani perawatan di rumah sakit. Margareta akhirnya menyerah untuk berbohong selama ini. Ia berusaha sekuat tenaga memisahkan ingatan jahanam Sofie bersama Adam. Memori setengah hari itu. Ibunya berpikir bahwa kehidupannya akan lebih baik tanpa mengingat lagi laki-laki yang hampir membunuhnya! Laki-laki yang tidak akan pernah kembali! Laki-laki yang tidak akan pernah bersamanya! Laki-laki yang hanya akan memberikan harapan palsu dan luka!Perlahan namun pasti Sofie menyusuri jalan ke arah Villa. Semak belukar tumbuh tinggi menjulang. Satu-persatu di dapatinya semua hal yang ia ingat di tempat ini.Hamparan ribuan makam berteman hamparan bunga kerangka. Kabut tebal itu menyibak seolah menyambut kehadirannya. Nafasnya
Perawat rumah sakit mempersiapkan hidangan makan pagi untuk Sofie. Sebuah hidangan seadanya berupa bubur ayam hambar lengkap dengan tempe yang terlalu asin. Pandangan Sofie kosong hingga perawat yang sedari tadi memanggil namanya tidak digubris."Sofie makan ya?" Perawat itu menawarkan lagi bubur yang sudah mulai dingin di dekat daun telinganya. Sofie hanya terdiam. "Suster suapin ya?" Lagi-lagi permintaan perawat itu diabaikannya. Tak mau berlama-lama dengan gadis yang semakin lama semakin kurus kering ini suster itupun segera pergi tak peduli. Masih banyak urusan lain!Sofie melangkah memandang keluar jendela. Beberapa orang tidak waras tampak kegirangan ketika dimandikan massal di lapangan berumput. Seandainya Sofie tidak mau mandi sendiri dan benar-benar tidak waras mungkin akan diperlakukan sama. Ia merasa semua baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan diriku! Aku mampu mengingat kejadian kemarin! Kemarin lusa! Kemarin lagi! Dia bisa mengingat peristiwa semingg
Ribuan undangan dicetak dengan kecepatan tinggi. Tulisan bertinta emas terlukis sangat indah. Dua sejoli telah mengikrarkan janji suci untuk bersama sehidup semati. Adam Bimantara dapat dipastikan akan menikahi Tiara Megan Champernique. Malam ini semua undangan harus selesai cetak. Tinggal menghitung hari. Sebulan lagi perhelatan akbar pernikahan akan di gelar di tiga tempat yang berbeda. Salah satunya di kapal pesiar pribadi keluarga Tiara. Tidak boleh ada yang terlewat! Semua harus serba sempurna dan...mewah! "Kenapa, Dam? Kayak orang lagi galau gitu?" Boim menuangkan secangkir kopi Capuchino. Di atas cafe gedung pencakar langit The Skye menara BCA kedua sahabat ini tampak begitu akrab di tengah malam hening kota Jakarta. "Kamu kan bentar lagi kawin, Damned. Harusnya tampak bahagia." "Serba harus..." Senyum Adam menyeringai sinis. Ia menatap hamparan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang. Ribuan cahayanya berkerlip berpend