Share

Awal Mula Bencana

Author: iva dinata
last update Last Updated: 2024-07-31 16:46:52

Enam bulan sebelumnya, keluarga besarku tengah menyiapkan acara pernikahan.

Rumah sudah bising dengan suara orang beraktivitas. Saudara dari Mama dan Papaku sudah berkumpul semua untuk akad esok hari.

Aku begitu khawatir mengingat akan melepas status gadis yang selama 20 tahun ini aku sandang.

Bukannya tak senang, hanya saja aku merasa masih belum benar-benar siap untuk memasuki tahap berumah tangga.

Kuliahku saja masih semester 4. Jadi, aku tidak yakin jika aku bisa menjalankan peran seorang istri dengan baik.

Jika bukan karena kesungguhan Bagas, kekasihku, dalam membujuk orang tuaku, sekarang aku pasti masih sedang menghabiskan waktu di mall bersama teman dan sepupuku.

Ya, dialah tersangka utamanya!

Pria itu sudah tidak sabar mempersunting diriku.

Katanya, takut kehilangan aku.

Alasan yang terlalu mengada-ngada. Aku bahkan merasa jengah mendengar gombalan dan ungkapan Bagas yang kurasa sangat berlebihan. Tapi, entahlah … aku dan keluargaku merasa Bagas adalah orang yang tulus dan bisa menerimaku apa adanya.

Mungkin karena itu aku menerimanya?

Sebab, kalau bicara cinta, rasa itu sudah habis sejak aku merasakan sakitnya bertepuk sebelah tangan pada….

"Tari!" Mama mendadak muncul dari ruang tamu. "Coba periksa souvenir untuk acara akad besok, takutnya kurang."

Tanpa menjawab, aku segera beranjak bangun menuju ke kamar tamu sesuai perintah Mama.

Semalam, Mama memang memberitahu jika akan ada tamu tambahan, entah siapa?

Untungnya, walau besok pagi rencananya acara akad nikah saja dan hanya dihadiri keluarga besar dari kedua mempelai, kami menyiapkan souvenir yang dibutuhkan cukup banyak.

"Aku bantuin," sahut Sandra tanpa diminta. Sepupuku dari pihak papa itu tiba-tiba sudah menyusul di belakangku.

"Berapa undangannya?" tanyanya di sela-sela menghitung souvenir yang ada di dalam kardus.

"Seratus lebih. Dari keluarga Mama dan papah aja banyak banget belum lagi dari keluarga Bagas," jawabku.

"Hemmm..... kamu sudah benar-benar yakin? Gak mau berusaha ngejar cinta pertamamu lagi?"

"Ck..... apa sih?" Aku berdecak, meliriknya dari ekor mata lalu kembali sibuk dengan souvenir yang ternyata masih berantakan dan hitungannya tidak sama di setiap kardusnya.

"Padahal kamu sudah menyukainya sejak SMP. Sampai nangis-nangis doa minta berjodoh sama Aww….”

Kucubit lengannya gemas. "Sudah dibilangin gak usah dibahas malah diterusin."

"Iya. Maksudku, yang namanya jodoh, Tuhan yang ngatur. Mau kamu nangis darah pun, percuma kalau dia memang bukan jodohmu, gitu maksudnya." Sandra nyengir.

"Itu mulut bisa gak dikondisikan? Aku nggak pernah ya nangis darah?!" Aku mendelik.

"Gak nangis darah, sih. Cuma nangis tujuh hari tujuh malam sambil ngomong, ‘Ya Allah.... dosakah rasa cinta hamba?"

“MMPH….!”

Kubekap mulut sepupuku itu sambil melihat ke arah pintu kamar, takut ada yang mendengar.

Memang sepupuku yang satu ini suka kelepasan kalau bicara!

“Tari!”

Teriakan Ganendra–kakakku–menghentikan candaanku dan Sandra.

“Ada apa, Kak?” tanyaku, penasaran.

"Cepat keluar! Ada cewek yang marah-marah nyariin kamu!" beritahu Kak Ganendra.

Hah?

Reflek aku mengerutkan keningku.

Siapa?

Gegas, aku mengangguk dan segera keluar. Bahkan, aku mempercepat langkah saat terdengar suara teriakan dari teras rumah.

"Bestari.... keluar kamu!!!"

Nampak seorang wanita dengan perut sedikit membuncit sedang berkacak pinggang di teras rumah.

Tak ayal, itu menarik perhatian semua kerabat dan saudara yang sedang berkumpul.

"Siapa kamu?" tanyaku berusaha menekan suaraku agar tidak tidak ikut meninggi. "Jangan teriak-teriak, bicaralah baik-baik kalau memang ada perlu."

"Kamu, Ayu Bestari, kan?" tanyanya ketus.

"Iya, aku Tari."

Tiba-tiba saja, wanita itu tertawa ketus. "Cantik, sih. Tapi sayang, perebut suami orang."

Deg!

Mataku melebar. "Maksud kamu apa?"

"Cih sok polos! Padahal, kamu berani menikahi suami orang."

Mendengar itu, dadaku bergemuruh–kesal bercampur marah.

Baru bertemu, sudah dibilang perebut suami orang? Kurasa wanita ini salah orang!

"Jangan asal bicara kamu!" Kak Ganendra datang–menuding wanita itu. "Kami bisa melaporkan kamu atas kasus pencemaran nama baik."

"Laporkan saja, biar adikmu itu yang malu sendiri karena aibnya diumbar. Kenyataannya, adikmu memang merebut suamiku."

Astagfirullah...... Makin lantang wanita itu berbicara!

"Memang siapa suamimu?" tanyaku berusaha tenang meski tak bisa dipungkiri ucapan wanita ini membuatku sedikit panik.

"Pria yang akan kamu nikahi besok, Bagaskara Bumi Pradipta. Dia adalah suamiku dan ayah dari bayi yang aku kandung."

Mendadak, telingaku berdengung. Kalimat yang keluar dari mulut wanita itu bak petir yang menyambar tepat di atas kepalaku.

Ya Allah ..... apa ini?

Tubuhku oleng saking kagetnya. Beruntung dengan sigap Kak Ganendra memegangiku.

"Kamu gak apa-apa?" tanyanya dengan wajah khawatir.

"Kak, wanita itu bicara apa? Aku salah dengar, kan?"

"Tenanglah biar Kakak yang urus," ucap kakakku itu, lalu maju selangkah di depanku. "Kamu yakin dengan apa yang kamu katakan? Dan apa kamu punya bukti?"

"Sangat yakin. Bukti, tentu saja aku punya," katanya lalu mengambil sesuatu dari alam tasnya. "Namaku Airin. Aku dan Bagas sudah menikah sejak empat bulan yang lalu."

Astaga. Dadaku seperti dihantam benda berat, sesak dan nyeri rasanya.

Lebih dari itu, ada rasa panik tiba-tiba muncul.

Di sekitar, banyak saudara dan kerabat yang menyaksikan

Ya Tuhan … aku tidak bisa membayangkan betapa malunya keluargaku bila ini benar.

"Ini buktinya!"

Wanita itu menunjukkan selembar foto yang memperlihatkan seorang wanita memakai kebaya duduk bersanding dengan seorang pria sedang melakukan ijab kabul.

Kupertajam penglihatanku untuk memastikan pria yang ada di foto itu.

Bahkan, aku sampai mengedipkan kedua mata beberapa kali untuk memastikan penglihatanku tak salah.

Namun benar, itu Bagaskara calon suamiku!

Bagaimana bisa?

"Ini bukti suratnya jika kalian belum percaya." Kembali wanita itu mengulurkan selembar kertas putih yang entah apa tulisannya.

"Tunggu!" Suara seorang pria berlari dari pintu gerbang rumah.

"Tari, aku bisa jelaskan semuanya, tolong percayalah padaku," ucap Bagas, lalu berlari ke arahku.

Akan tetapi, dia langsung dihadang oleh Kak Ganendra.

"Tetap di situ!" Suara Kak Ganendra terdengar tegas dan penuh penekanan.

"Apa maksudnya ini Bagas?" Papa tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku. "Kamu jangan bikin saya malu!"

Suasana makin kacau. Semua keluarga ikut keluar. Teringat Mama, aku pun menoleh kebelakang.

Sedikit lega, karena dia duduk di sofa. Di sampingnya ada Tante Aisyah mengelus pundak Mama.

"Jangan diam saja, jelaskan!!" bentak Papa. Pelindungku itu bahkan mencengkram kerah baju Bagas.

Melihat emosi Papa, aku segera mendekat. "Pa, lepasin Bagas!"

"Lepaskan dulu, Pa. Kasih kesempatan Bagas bicara." Kak Ganendra ikut menarik Papa mundur.

Bagas lantas menghela nafas panjang sebelum berbicara. "Dia sebenarnya adik dari teman saya. Beberapa bulan yang lalu saya terpaksa menikahinya secara siri karena dia hamil," jelasnya yang membuat jantungku seakan berhenti berdetak.

Hamil?

"Hamil anak siapa?" Suara Kak Ganendra membentak.

"Apa itu anakmu?" sambung Papa tak sabar melihat Bagas yang hanya diam tertunduk.

"Heh.... Kenapa kamu diam? Jawab!!" Kakak laki-lakiku itu kembali melangkah maju namun baru selangkah tangannya dicekal papa.

"Biar dia jawab dulu!"

Bagaskara menghela nafas lalu menatapku sendu dan penuh sesal. Seketika dadaku terasa sesak. Jantungku seperti diremas-remas.

Melihat ekspresinya, aku sudah tahu jawabannya.

Mataku seketika memanas.

"Maaf," ucapnya, "Saya melakukannya karena mabuk."

Suara Bagas pelan, tetapi terasa seperti petir yang menyambar di atas kepalaku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (40)
goodnovel comment avatar
Euis Sulastri
lanjuut min
goodnovel comment avatar
Alya Pristika
Lanjut ceritanya keren nihh
goodnovel comment avatar
Rohma Tullah
gimana thor caranya masukkan komentar gk ngerti
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part.

    "Sah?" ucap penghulu setelah selesai0 Guntur mengucapkan janji suci atas nama Anindya dengan menjabat tangan Farhan, ayah kandung dari wanita yang saat ini sedang menunggu di ruang tunggu pengantin dengan jantung berdegup kencang. Hanya dengan satu tarikan nafas, lafadz itu berhasil Guntur ucapkan tanpa kesalahan, meski disertai rasa gugup dan detak jantung yang tak beraturan. Ac ruangan seolah tak bisa mendinginkan tubuhnya entah kenapa mengeluarkan keringan sebesar biji jagung dari kedua pelipisnya. "Sah," seru Ibra dan seorang pria dari pihak keluarga mempelai laki-laki. Guntur memejamkan matanya sembari menghela nafas panjang, berusaha menetralkan degup jantungnya yang sudah seperti genderang perang. "Alhamdulillah....." ucapnya yang entah kenapa berbarengan dengan Anindya yang ada di ruang tunggu. Gadis itu menakupkan kedua telapak tangannya saat lantunan do'a terdengar. Tak hanya kedua mempelai yang merasa terharu hampir semua yang hadir di ruangan private wedding itu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part.

    "Banyak hal dalam hidup Guntur yang sudah kau ambil. Apa otak cerdasmu itu tidak mampu menghitungnya?" "Memangnya apa yang sudah aku ambil, Pa? Tolong jelaskan aku benar-benar tidak faham," tanya Gibran berusaha sopan meski ada rasa tidak terima bergemuruh di dalam dadanya. Selama hidupnya, Gibran tidak pernah mengusik Guntur. Apapun yang dilakukan kakaknya itu Gibran tak pernah sekalipun ikut campur. Jangankan melarang, memprotes saja tidak. Sebaliknya, Guntur yang selalu ikut campur urusan Gibran. "Kenapa Papa diam? Ayo jelaskan," pinta Gibran tak sabar. Ario, mendesah berat. Ada rasa enggan untuk membahas apa yang sudah berlalu. Ibarat membuka luka lama. Namun, putra keduanya itu harus tahu sebesar apa pengorbanan Guntur untuk dirinya. Ario menghela nafas panjang sebelum bicara. "Apakah hatimu sedingin itu sampai tak bisa melihat betapa besar pengorbanan kakakmu itu?" "Maksudnya apa? Tolong bicara yang jelas," ujar Gibran tak sabar. Ario pun tak lagi segan. "Hal

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    "Kudengar kamu menemui wanita itu?" tanya Ario pada Gibran saat makan malam. Hari ini Gibran pulang lebih awal dari biasanya. Tentu karena permintaan sang papa. Katanya ada yang perlu dibicarakan. Meski enggan Gibran menuruti permintaan papanya itu. Gibran mengangkat wajahnya memandang Ario sedang menatapnya sembari mengunyah makanan di mulutnya. "Hemm," jawab Gibran singkat, lalu kembali menunduk fokus dengan makanannya. "Untuk apa wanita itu menemuimu?" tanya Ario lagi. Gibran mendesah berat, mereka sedang makan malam bersama setelah beberapa waktu tidak ada waktu untuk berkumpul seperti ini. Diliriknya Gia yang terlihat menghentikan gerak tangannya. Gadis itu juga nampak menahan tak senang. Dalam hati Gibran merutuki sikap papanya yang tidak tahu tempat. Tidak pernah bisa mencari waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang tentu saja sangat sensitif untuk dibahas di rumah mereka. Saat ini mereka sedang makan malam bersama, meski masalah itu penting setidakny

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part.

    "Coba tebak kenapa aku tidak menolak?" tanya balik Atika. Sebuah ekspresi yang sulit Gibran baca. Satu alis Gibran terangkat. Matanya berusaha membaca ekspresi wajah Atika. Dari sorot mata wanita itu tersirat luka dan kekecewaan yang mendalam. Tatapan itu juga menyimpan dendam yang amat sangat. Entah itu pada keluarga Gibran atau malah pada Gibran sendiri. "Coba tebak," ujar Atika mengangkat dagunya. Gibran mendesah berat. "Sayangnya saya tidak suka main tebak-tebakan," katanya enggan. Pria itu tidak mau menunjukkan rasa penasarannya. Tidak ingin memberi kesempatan untuk Atika kembali mempermainkan rasa ibanya. Kalaupun Atika tidak mau bercerita, Gibran masih punya banyak sumber informasi lain yang bisa dia tanyai. Sadar umpannya tak mengenai sasaran, Atika menghela nafas panjang. Meski begitu wanita itu tak putus asa. Jika kali ini tidak berhasil dia akan mencari cara lain. Gibran adalah putra yang dibesarkannya dari bayi sampai dewasa, tentu saja dirinya tahu aoay ya

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    Pagi ini Gibran kembali menerima pesan dari Atika. Mantan ibu tirinya itu memberi kabar, jika dirinya sudah sampai di Indonesia sejak kemarin malam. Dan siang ini wanita itu meminta waktu untuk bertemu. Meski enggan tapi pria itu tak sampai hati menolak permintaan wanita yang dulu pernah amat sangat disayanginya. Di sela-sela kesibukannya, putra kedua keluarga Wiratama itu menyempatkan datang ke sebuah resto di pusat kota, tempat yang dipilih Atika untuk menunggu pria itu. Pukul satu lebih Gibran baru sampai di resto bergaya Italia itu. Satu jam lebih lambat dari permintaan Atika. Sebuah meeting dadakan yang cukup penting tidak mungkin diakhirinya demi menemui wanita yang sudah menipunya puluhan tahun. Gibran melangkah masuk dengan diikuti Andi, asisten setianya. Dia sudah tidak berharap Atika masih menunggu, kalaupun wanita itu sudah pergi tapi setidaknya dirinya dan sang asisten harus makan siang. Tapi ternyata Gibran salah, wanita berwajah kalem itu masih duduk tenan

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    "Dua tahun aku mengalah. Menahan diri untuk memperjuangkan rasaku padanya demi untuk memberimu kesempatan untuk memperjuangkan cintamu. Tapi apa, kamu hanya diam di tempat. Kamu membiarkan di sana dia sendiri bersama lukanya. Apakah itu yang kamu sebut cinta?" "Aku menunggunya untuk..... untuk...." Mendadak otak Gibran kosong. Tak ada kata yang tepat untuk membenarkan sikapnya yang hanya diam saja selama dua tahun ini. Guntur mendesah berat, ada rasa iba melihat adiknya kembali kehilangan orang yang dicintainya, namun dirinya juga tidak ingin melepaskan cinta yang sudah diperjuangkannya dengan mempertaruhkan harga dirinya juga kedudukan sebagai CEO pun dilepasnya demi Anindya. "Dia tidak terluka karena kamu. Harusnya kamu masih bisa mendekatinya sebagai teman. Menemaninya mengobati luka hatinya," kata Guntur lagi. "Aku pikir dengan memberinya waktu adalah cara terbaik untuk menyembuhkan lukanya. Bukankah waktu adalah obat terbaik?" Gibran menatap lekat Guntur. "Salah, wa

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    Gibran sampai rumah pukul delapan pagi setelah menggunakan penerbangan pertama dini hari dari bandara Juanda Surabaya. Semalaman Gibran ditemani Andi menjelajahi kota yang terkenal dengan kota pahlawan itu. Untuk mengalahkan rasa sakit hatinya pria dingin itu menyewa tour guide lewat onlin untuk mengantarkan mereka mencari tempat makan unik dan kuliner khas kota itu di malam hari. Dari Bandara mobil yang di kendarai oleh Andi berhenti di halaman rumah mewah keluarga Wiratama. "Kamu bawa saja mobilnya. Pagi ini kamu tidak perlu ke kantor. Suruh Cika menghandle semuanya," ucap Gibran begitu mobil berhenti. "Baik Pak," "Jangan lupa siang nanti kita ada meeting, kamu jemput saya." Tambahnya sebelum turun. Dengan langkah lebar Gibran memasuki rumah yang sudah dua tahun ini terasa sangat sepi. Apalagi saat pagi. Ario, sang papa pasti sibuk di kantor dan Anggia, adik bungsunya sepengetahuannya masih menghabiskan waktu libur kuliahnya di Surabaya.Atika sang Mama, yang dulu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    Sudah satu jam Gibran duduk termenung di salah satu kursi tunggu di bandara Juanda Surabaya. kepalanya menunduk menatap ujung sepatunya dengan tangan saling bertautan kuat. Berusaha menahan rasa pilu dari luka yang kini menganga di hatinya. Suara lembut Anindya beberapa jam yang lalu masih terus terngiang-ngiang di otaknya. "Iya, aku menerimanya. Dua minggu lagi kami akan menikah." Seperti di gempur tsunami dari samudera, ucapan Anindya seketika memporak-porandakan hatinya sampai hancur berkeping-keping. Bagaimana hatinya tidak terluka, wanita yabg dia cintai akan menikahi kakak kandungnya. Dirinya saja bekum bisa merelakan perpisahan mereka dan hanya kurang dari empat belas hari cintanya itu akan jadi kakak iparnya. Tidak adakah pria lain yang bida dicintai Anindya selain Guntur? Tidak bisakah gadis itu memikirkan perasaannya? Entah sudah berapa kali desahan berat keluar dari bibir tipisnya. Sesak itu benar-benar terasa menyesakkan dadanya hingga membuat pria yang

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part .

    Anindya jadi kesal sendiri jika teringat kejadian lamaran kemarin. Ternyata semua sudah direncanakan oleh Guntur. Natalie dan semua keluarga mereka sengaja diminta pria itu untuk mengikuti skenario yang dibuat olehnya. Entah apa yang sudah dilakukan oleh Guntur sampai bisa meluluhkan hati Farhan dan Satya sampai-sampai dua pria keras kepala itu setuju membantu Guntur untuk mendapatkan Anindya meski dengan jalan menipu gadis itu. Satu bulan sebelum hari H berbagai persiapan sudah mulai dilakukan oleh kedua belah keluarga. K3dua mempelai hanya bisa pasrah karena kesibukan pekerjaan dan kuliah. Jadilah seluruh persiapan diambil alih oleh pihak keluarga. Dari keluarga Anindya tentu saja Aisyah dan Tari yang pegang kendali. Mertua dan menantu itu sangat bersemangat dalam mengurus segala keperluan untuk pernikahan Anindya dan Guntur. Saking sibuknya sampai membuat Satya sempat marah karena takut membahayakan kondisi Tari yang sedang hamil anak kedua mereka. "Serahkan pada EO aja.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status