Share

Jauh dari Kenyataan

Author: iva dinata
last update Last Updated: 2024-07-31 18:08:10

"Maaf. Tapi, tolong dengarkan penjelasanku. Aku sama sekali tidak–"

"Aku tidak butuh penjelasanmu!" potong Kak Abisatya dengan tatapan tajamnya, hingga bibirku langsung terkatup rapat.

"Dengar dan ingat baik-baik ucapanku ini, Tari. Jangan pernah menyentuh barang-barangku, jangan memasak atau mencuci pakaianku. Jangan melakukan pekerjaan rumah meski itu hanya menyapu lantai kamarku,” tambahnya, “Dan yang paling penting, berpura-puralah tidak saling mengenal jika kita bertemu di luar rumah."

Tubuhku seketika kaku. Dan air mata luruh begitu saja.

Jika waktu bisa diputar….

"Mbak Tari!" panggil Bik Sumi. Asisten rumah tangga mama mertuaku itu menepuk pundakku pelan.

Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku.

"Dari tadi dipanggil, tapi Mbak Tari nggak denger."

"Maaf Bik," ucapku mengedipkan kedua mata yang terasa panas, lalu menarik kedua sudut bibirku paksa, "Ada apa ya Bik?"

"Kalau sudah mau magrib, masuk rumah. Jangan malah melamun di luar, ndak baik." Bibik mengikutiku duduk di undakan teras.

"Iya, Bik. Tadi cuma sedang mengingat sesuatu malah jadi keterusan melamun," ujarku memberi alasan.

"Mbak Tari sekarang berubah. Senyumnya itu gak ceria seperti dulu. Kayak dipaksakan.

Wanita yang sudah puluhan tahun ikut Mama mertuaku itu memang sudah mengenalku sejak kecil.

Sebelum keluarga Kak Abisatya pindah rumah. Dulu kami tinggal di satu komplek perumahan yang sama. Meski beda blok, tapi aku sering main ke rumah Kak Abisatya.

Tak hanya dekat dengan Mama Aisyah, tapi dengan semua keluarganya, termasuk dengan Kak Abisatya, adik perempuanya, juga semua Art di rumahnya.

Namun, semua berubah setelah mereka pindah. Baik Kak Abisatya maupun adiknya mulai bersikap dingin karena jarang bertemu.

"Loh ... kok melamun lagi?" Suara Bik Sumi menyentakku. Aku mengurai senyum lebih lebar lagi. "Mbak Tari, lagi ada masalah sama Kak Satya?"

"Nggak Bik. Kami baik-baik saja," jawabku cepat. "Aku cuma sedang mikirin tugas kuliah. Banyak banget."

Aku terpaksa berbohong. Bik Sumi adalah art kepercayaan Mama Aisyah.

Jika Bik Sumi tahu kondisi hubunganku dengan Kak Abisatya, dia pasti akan langsung mengadu pada mama mertuaku.

"Mbak Tari ndak bohong, kan?"

"Nggak lah, Bik,” ucapku sembari tersenyum, “Oh iya, Bik Sumi mau pulang?"

Bik Sumi memang hanya bantu-bantu di rumah sampai sore saja. Beliau akan kembali ke rumah mertuaku saat hari menjelang malam.

"Iya, itu Pak Yono sudah menunggu." Tunjuknya pada sang suami yang sudah menunggu di dalam mobil depan rumah.

Aku mengangguk. "Ya sudah Bibi pulang gih. Kasihan Pak Yono nungguin."

“Tapi….” Bik Sumi nampak ragu. "Bibik tunggu sampai Kak Satya pulang saja, ya."

"Sebentar lagi juga pulang, sudah Bibi pulang saja."

Setelah kupaksa, Bibi akhirnya pulang bersama suaminya yang seorang sopir di keluarga Aditama. Dua pasangan paruh baya itu sudah berkerja di rumah mertuaku sejak Kak Abisatya masih bayi sampai sekarang.

Drrt!

Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Sandra.

[Datanglah ke cafe The Choco. Lihatlah sendiri kelakuan suamimu dan sepupu tercintanya.]

Deg!

Bersamaan dengan itu, Sandra mengirimkan sebuah foto sepasang kekasih sedang bermesraan.

Aku terdiam. Seperti apapun kondisi pernikahan kami, namun terlepas dari semua itu aku adalah istrinya. Cemburu dan sakit hati, kuakui ada.

Cukup lama aku diam dalam tangis. Meski penasaran, kuputuskan untuk tak pergi untuk melindungi hatiku.

Hanya saja, foto itu ternyata membuatku tak bisa tidur. Terlebih, Kak Abisatya juga belum pulang meski harum jam sudah menunjuk angka 12 malam.

Selarut ini … mungkinkah mereka masih bersama? Apa yang sedang mereka lakukan sampai larut malam begini?

Kuhela nafas dalam. Tiba-tiba ada rasa sesak yang berjejalan di dalam dada.

Bayangan foto mereka berdua, membuatku berpikir. Bagaimana jika mereka sudah berhubungan jauh? Bagaimana kalau mereka...

"Akh...." Aku mengacak rambutku kesal.

Bodoh sekali! Kenapa aku harus memikirkan dua pasangan itu?

Jika memang mereka ingin menikah, aku dengan ikhlas akan mundur. Berpisah secara baik-baik dengan Kak Abisatya.

Ya, mungkin ibi sudah nasibku jadi janda di usia muda? Aku tertawa miris.

Kuputuskan untuk mengambil air wudhu dan salat sunnah saja. Berharap setelahnya, aku bisa tidur. Dengan khusyuk, aku pun melaksanakan salat tahajud.

Meski keluargaku bukan orang yang religius, tetapi untuk urusan salat, mama selalu bersikap tegas. Bahkan, salat malam pun sudah dibiasakan sejak kecil.

Setelah salat, tak lupa aku berdoa. Mengadukan segala resah dan gelisahku pada sang pemilik segalanya.

Dan hati ini jadi lebih tenang, sehingga aku pun bisa tertidur dengan nyenyak setelahnya.

Kira-kira pukul setengah lima, Alarm ponselku berbunyi. Aku otomasis terbangun. Mandi, lalu salat subuh.

Sengaja aku bersiap sepagi ini agar aku tidak bertemu dengan pemilik rumah. Jujur aku bingung bagaimana bersikap menghadapi Kak Abisatya.

Cemburu?

Jelas, rasa itu ada dan bergemuruh dalam dadaku saat ini. Namun, aku sadar sebagai istri yang tak dianggap aku tidak punya hak untuk cemburu.

Oleh karena itu, lebih baik jika kami tidak bertemu. Apalagi sejak pertengkaran sepulang dari makan malam di rumah Mama Aisyah, sampai detik ini kami belum berkomunikasi sama sekali

Pelan aku membuka pintu. Kepalaku menyembul keluar untuk melihat situasi.

Suasana rumah masih sepi. Jam setengah 6, Bik Sumi memang belum datang. Pintu kamar Kak Abisatya juga masih tertutup.

Kebetulan posisi kamar kami berhadapan. Jadi, aku bisa langsung melihat begitu membuka pintu kamar.

Ini waktu yang tepat untuk pergi. Namun baru hendak melangkah, tiba-tiba saja pintu kamar seberang terbuka.

Ceklek!

Sosok pria tampan berkemeja biru keluar dari kamar. Di lengannya, tersampir jas putih yang menambah pesona seorang dokter muda.

"Ekhemm…."

Aku tersentak mendengar dehemannya.

Tanpa sadar, aku menatap Kaka Abisatya intens yang tampak melirik ke arahku.

Ada apa ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (23)
goodnovel comment avatar
Euis Sulastri
jangan jd perempuan lemah tari...
goodnovel comment avatar
Teteh Bohai Bohai
seruu lnjut
goodnovel comment avatar
Elsa muthia Handini
knp lo g kabur ja ngapain msh d pertahankan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part.

    "Sah?" ucap penghulu setelah selesai0 Guntur mengucapkan janji suci atas nama Anindya dengan menjabat tangan Farhan, ayah kandung dari wanita yang saat ini sedang menunggu di ruang tunggu pengantin dengan jantung berdegup kencang. Hanya dengan satu tarikan nafas, lafadz itu berhasil Guntur ucapkan tanpa kesalahan, meski disertai rasa gugup dan detak jantung yang tak beraturan. Ac ruangan seolah tak bisa mendinginkan tubuhnya entah kenapa mengeluarkan keringan sebesar biji jagung dari kedua pelipisnya. "Sah," seru Ibra dan seorang pria dari pihak keluarga mempelai laki-laki. Guntur memejamkan matanya sembari menghela nafas panjang, berusaha menetralkan degup jantungnya yang sudah seperti genderang perang. "Alhamdulillah....." ucapnya yang entah kenapa berbarengan dengan Anindya yang ada di ruang tunggu. Gadis itu menakupkan kedua telapak tangannya saat lantunan do'a terdengar. Tak hanya kedua mempelai yang merasa terharu hampir semua yang hadir di ruangan private wedding itu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part.

    "Banyak hal dalam hidup Guntur yang sudah kau ambil. Apa otak cerdasmu itu tidak mampu menghitungnya?" "Memangnya apa yang sudah aku ambil, Pa? Tolong jelaskan aku benar-benar tidak faham," tanya Gibran berusaha sopan meski ada rasa tidak terima bergemuruh di dalam dadanya. Selama hidupnya, Gibran tidak pernah mengusik Guntur. Apapun yang dilakukan kakaknya itu Gibran tak pernah sekalipun ikut campur. Jangankan melarang, memprotes saja tidak. Sebaliknya, Guntur yang selalu ikut campur urusan Gibran. "Kenapa Papa diam? Ayo jelaskan," pinta Gibran tak sabar. Ario, mendesah berat. Ada rasa enggan untuk membahas apa yang sudah berlalu. Ibarat membuka luka lama. Namun, putra keduanya itu harus tahu sebesar apa pengorbanan Guntur untuk dirinya. Ario menghela nafas panjang sebelum bicara. "Apakah hatimu sedingin itu sampai tak bisa melihat betapa besar pengorbanan kakakmu itu?" "Maksudnya apa? Tolong bicara yang jelas," ujar Gibran tak sabar. Ario pun tak lagi segan. "Hal

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    "Kudengar kamu menemui wanita itu?" tanya Ario pada Gibran saat makan malam. Hari ini Gibran pulang lebih awal dari biasanya. Tentu karena permintaan sang papa. Katanya ada yang perlu dibicarakan. Meski enggan Gibran menuruti permintaan papanya itu. Gibran mengangkat wajahnya memandang Ario sedang menatapnya sembari mengunyah makanan di mulutnya. "Hemm," jawab Gibran singkat, lalu kembali menunduk fokus dengan makanannya. "Untuk apa wanita itu menemuimu?" tanya Ario lagi. Gibran mendesah berat, mereka sedang makan malam bersama setelah beberapa waktu tidak ada waktu untuk berkumpul seperti ini. Diliriknya Gia yang terlihat menghentikan gerak tangannya. Gadis itu juga nampak menahan tak senang. Dalam hati Gibran merutuki sikap papanya yang tidak tahu tempat. Tidak pernah bisa mencari waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang tentu saja sangat sensitif untuk dibahas di rumah mereka. Saat ini mereka sedang makan malam bersama, meski masalah itu penting setidakny

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part.

    "Coba tebak kenapa aku tidak menolak?" tanya balik Atika. Sebuah ekspresi yang sulit Gibran baca. Satu alis Gibran terangkat. Matanya berusaha membaca ekspresi wajah Atika. Dari sorot mata wanita itu tersirat luka dan kekecewaan yang mendalam. Tatapan itu juga menyimpan dendam yang amat sangat. Entah itu pada keluarga Gibran atau malah pada Gibran sendiri. "Coba tebak," ujar Atika mengangkat dagunya. Gibran mendesah berat. "Sayangnya saya tidak suka main tebak-tebakan," katanya enggan. Pria itu tidak mau menunjukkan rasa penasarannya. Tidak ingin memberi kesempatan untuk Atika kembali mempermainkan rasa ibanya. Kalaupun Atika tidak mau bercerita, Gibran masih punya banyak sumber informasi lain yang bisa dia tanyai. Sadar umpannya tak mengenai sasaran, Atika menghela nafas panjang. Meski begitu wanita itu tak putus asa. Jika kali ini tidak berhasil dia akan mencari cara lain. Gibran adalah putra yang dibesarkannya dari bayi sampai dewasa, tentu saja dirinya tahu aoay ya

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    Pagi ini Gibran kembali menerima pesan dari Atika. Mantan ibu tirinya itu memberi kabar, jika dirinya sudah sampai di Indonesia sejak kemarin malam. Dan siang ini wanita itu meminta waktu untuk bertemu. Meski enggan tapi pria itu tak sampai hati menolak permintaan wanita yang dulu pernah amat sangat disayanginya. Di sela-sela kesibukannya, putra kedua keluarga Wiratama itu menyempatkan datang ke sebuah resto di pusat kota, tempat yang dipilih Atika untuk menunggu pria itu. Pukul satu lebih Gibran baru sampai di resto bergaya Italia itu. Satu jam lebih lambat dari permintaan Atika. Sebuah meeting dadakan yang cukup penting tidak mungkin diakhirinya demi menemui wanita yang sudah menipunya puluhan tahun. Gibran melangkah masuk dengan diikuti Andi, asisten setianya. Dia sudah tidak berharap Atika masih menunggu, kalaupun wanita itu sudah pergi tapi setidaknya dirinya dan sang asisten harus makan siang. Tapi ternyata Gibran salah, wanita berwajah kalem itu masih duduk tenan

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    "Dua tahun aku mengalah. Menahan diri untuk memperjuangkan rasaku padanya demi untuk memberimu kesempatan untuk memperjuangkan cintamu. Tapi apa, kamu hanya diam di tempat. Kamu membiarkan di sana dia sendiri bersama lukanya. Apakah itu yang kamu sebut cinta?" "Aku menunggunya untuk..... untuk...." Mendadak otak Gibran kosong. Tak ada kata yang tepat untuk membenarkan sikapnya yang hanya diam saja selama dua tahun ini. Guntur mendesah berat, ada rasa iba melihat adiknya kembali kehilangan orang yang dicintainya, namun dirinya juga tidak ingin melepaskan cinta yang sudah diperjuangkannya dengan mempertaruhkan harga dirinya juga kedudukan sebagai CEO pun dilepasnya demi Anindya. "Dia tidak terluka karena kamu. Harusnya kamu masih bisa mendekatinya sebagai teman. Menemaninya mengobati luka hatinya," kata Guntur lagi. "Aku pikir dengan memberinya waktu adalah cara terbaik untuk menyembuhkan lukanya. Bukankah waktu adalah obat terbaik?" Gibran menatap lekat Guntur. "Salah, wa

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    Gibran sampai rumah pukul delapan pagi setelah menggunakan penerbangan pertama dini hari dari bandara Juanda Surabaya. Semalaman Gibran ditemani Andi menjelajahi kota yang terkenal dengan kota pahlawan itu. Untuk mengalahkan rasa sakit hatinya pria dingin itu menyewa tour guide lewat onlin untuk mengantarkan mereka mencari tempat makan unik dan kuliner khas kota itu di malam hari. Dari Bandara mobil yang di kendarai oleh Andi berhenti di halaman rumah mewah keluarga Wiratama. "Kamu bawa saja mobilnya. Pagi ini kamu tidak perlu ke kantor. Suruh Cika menghandle semuanya," ucap Gibran begitu mobil berhenti. "Baik Pak," "Jangan lupa siang nanti kita ada meeting, kamu jemput saya." Tambahnya sebelum turun. Dengan langkah lebar Gibran memasuki rumah yang sudah dua tahun ini terasa sangat sepi. Apalagi saat pagi. Ario, sang papa pasti sibuk di kantor dan Anggia, adik bungsunya sepengetahuannya masih menghabiskan waktu libur kuliahnya di Surabaya.Atika sang Mama, yang dulu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    Sudah satu jam Gibran duduk termenung di salah satu kursi tunggu di bandara Juanda Surabaya. kepalanya menunduk menatap ujung sepatunya dengan tangan saling bertautan kuat. Berusaha menahan rasa pilu dari luka yang kini menganga di hatinya. Suara lembut Anindya beberapa jam yang lalu masih terus terngiang-ngiang di otaknya. "Iya, aku menerimanya. Dua minggu lagi kami akan menikah." Seperti di gempur tsunami dari samudera, ucapan Anindya seketika memporak-porandakan hatinya sampai hancur berkeping-keping. Bagaimana hatinya tidak terluka, wanita yabg dia cintai akan menikahi kakak kandungnya. Dirinya saja bekum bisa merelakan perpisahan mereka dan hanya kurang dari empat belas hari cintanya itu akan jadi kakak iparnya. Tidak adakah pria lain yang bida dicintai Anindya selain Guntur? Tidak bisakah gadis itu memikirkan perasaannya? Entah sudah berapa kali desahan berat keluar dari bibir tipisnya. Sesak itu benar-benar terasa menyesakkan dadanya hingga membuat pria yang

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part .

    Anindya jadi kesal sendiri jika teringat kejadian lamaran kemarin. Ternyata semua sudah direncanakan oleh Guntur. Natalie dan semua keluarga mereka sengaja diminta pria itu untuk mengikuti skenario yang dibuat olehnya. Entah apa yang sudah dilakukan oleh Guntur sampai bisa meluluhkan hati Farhan dan Satya sampai-sampai dua pria keras kepala itu setuju membantu Guntur untuk mendapatkan Anindya meski dengan jalan menipu gadis itu. Satu bulan sebelum hari H berbagai persiapan sudah mulai dilakukan oleh kedua belah keluarga. K3dua mempelai hanya bisa pasrah karena kesibukan pekerjaan dan kuliah. Jadilah seluruh persiapan diambil alih oleh pihak keluarga. Dari keluarga Anindya tentu saja Aisyah dan Tari yang pegang kendali. Mertua dan menantu itu sangat bersemangat dalam mengurus segala keperluan untuk pernikahan Anindya dan Guntur. Saking sibuknya sampai membuat Satya sempat marah karena takut membahayakan kondisi Tari yang sedang hamil anak kedua mereka. "Serahkan pada EO aja.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status