Share

Menghindar

Penulis: iva dinata
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-31 18:27:20

Seharusnya, aku tidak lari!

Tapi, gugup membuatku malah memilih kembali masuk ke dalam kamar. Setelah ketahuan mencuri pandang aku jadi panik sendiri.

"Assalamu'alaikum Mas Satya, tumben jam segini kok sudah siap? Apa ada jadwal operasi?" Suara Bik Sumi terdengar dari dalam kamarku.

"Iya Bik," jawab Kak Satya singkat.

"Tunggu sebentar ya, Bibi siapkan sarapannya."

Aduh!

Kalau begini, bagaimana aku bisa keluar tanpa menyapa Kak Satya?

Bisa-bisa Bibi curiga. Tapi kalau aku menyapa dan mencium tangan Kak Satya, sudah pasti dia akan marah dan mengatakan aku cari kesempatan.

Masa harus nunggu Kak Satya berangkat?

Sampai jam berapa? Sedang, aku ada mata kuliah pagi lagi!

Kubuka sedikit pintu kamar, memerhatikan sekeliling. Bibi tampak sibuk di dapur, menata makanan yang dibawanya dari rumah ibu mertua.

Untuk sarapan, Bibi memang selalu membawa makanan yang sudah dia masak di rumah Mama Aisyah. Tapi, untuk makan malam, bibi akan memasaknya di sini.

Tentu tanpa campur tanganku. Seperti yang Kak Abisatya minta, aku tidak boleh memasak apalagi menyentuh pakaiannya juga barang-barangnya.

Jujur, aku kadang merasa tak enak karena tidak membantu bibi. Tapi, mau gimana lagi?

Jika sampai ketahuan, Kak Satya akan marah besar. Bahkan, ia pernah sampai membakar bajunya gara-gara aku membantu meletakkan baju yang sudah disetrika oleh Bibi ke dalam lemarinya.

Jangan tanya perasaanku!

Sakit? Tentu saja, sakit sekali.

Pelan aku menghela nafas. Mengingat kejadian itu seperti mengelupas luka yang belum sembuh benar.

Sepertinya, ini waktu yang tepat aku keluar. Kak Satya sibuk dengan sarapannya dan Bibi entah ke mana. Mungkin mengambil baju kotor di kamar Kak Satya?

Sambil berjinjit, aku pun berjalan keluar kamar. Tujuanku adalah teras samping yang pintu penghubungnya di sebelah dapur. Untungnya, aku berhasil.

Sesampainya di teras samping, aku berjalan cepat menuju halaman depan.

Ojek online yang kupesan juga sudah ada di depan rumah, sehingga aku bisa langsung pergi!

***

"Sarapan dulu," perintah sahabatku menyodorkan sepotong sandwich yang kuyakin buatannya sendiri, begitu tiba di kampus.

"Makasih."

"Cie..... calon ipar yang baik," celetuk Sandra yang langsung mendapat lirikan tajam dari Jihan.

"Pelan saja makannya masih ada lima belas menit lagi," ujar Jihan sambil menepuk pelan pundakku.

Aku mengangguk sebagai respon.

"Kenapa kemarin kamu gak dateng?" Sandra mulai mengungkit isi pesannya kemarin. "Harusnya kamu itu datang dan labrak itu pelakor!" ucapnya dengan wajah gemas, sedang Jihan hanya manggut-manggut saja.

"Kamu lupa? Di sini, bukan Danisa pelakornya, tapi aku," kataku setelah menelan makanan yang ada di mulutku.

"Kamu bukan pelakor, Tari." Jihan menimpali. "Kalian sudah menikah. Pak Abisatya harusnya sadar kalau dia harus menjaga perasaanmu."

"Gimana mau jaga perasaan dia aja gak punya perasaan?"

"Sandra," tegurku. Meski aku sakit hati, tapi aku tidak suka ada yang menghina Kak Satya.

Ya, sebodoh itulah aku.

"Eh... itu orangnya." Jihan tiba-tiba menunjuk ke arah halaman kampus.

Terlihat Kak Satya berjalan cepat menuju ....

Tunggu, apa aku tidak salah lihat? Bukankah dia harusnya ada jadwal operasi?

"Dia ke sini," bisik Sandra.

Tanpa pikir panjang, aku segera berlari. Lebih baik, menghindar dari pada sakit hati.

Sebab, dia tidak akan berbicara denganku jika bukan untuk melampiaskan amarahnya.

Dan aku berhasil!

Kucoba menenangkan diri.

Untungnya, sampai kuliah selesai, tak kutemukan tanda-tanda Kak Satya mencariku..

Kami pun memutuskan untuk pergi jalan-jalan ke mall.

Sekadar refreshing….

"Baru dapat transferan dari Kak Alfa, mau beli baju sama sepatu." Sandra berjalan sambil mengibaskan kartu ATM-nya.

"Duh .... senengnya! Mau dong ditraktir," godaku berjalan dengan menggandeng tangan Jihan.

"Beres," ucapnya jumawa, "pilih satu baju, ya!"

Aku dan Jihan sontak bersorak.

Dengan riang, kami berjalan menuju sebuah toko yang cukup bermerk. Baju-baju bagus dan khusus anak muda.

Entah berapa lama. Yang jelas, setelah puas memilih, kami pun menuju kasir. Tiga paperback untuk Sandra, sedang aku dan Jihan hanya satu paperback untuk masing-masing.

"Cari makan yuk," ajak Sandra dan kami hanya mengekori saja.

"Eh.... itu kan...." Masih sambil berbincang aku menoleh ke arah jari telunjuk Jihan.

Di sana, Kak Satya dan Daniasa tampak sedang bersama.

Hatiku seketika berdenyut nyeri.

Ternyata .... melihat sendiri jauh lebih sakit dibanding di foto.

Haruskah aku bertahan?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (29)
goodnovel comment avatar
Euis Sulastri
ayooo tari..jd perempuan yang kuattt
goodnovel comment avatar
Ros Dianie
Kalo memang sdh tdk tahan lg, dan laki nya ga tau diri, ya ssh minta cerai atau ajukan guvatan cerai sajah. Kelar. selesai kan kuliah dan pergi jauuh. Laki2 kalo berani menikah, hrs berani tanggung jawab. Kalo ga berani dan msh mau sm pacar nya, yah jgn nikahi lah. Baru itu laki2 sejati.
goodnovel comment avatar
Titik Sudaryanti
Lanjut tor...saya greget sama Tari kenapa nda minta cerai aja,kalau emang Satya nda peduli
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part.

    "Sah?" ucap penghulu setelah selesai0 Guntur mengucapkan janji suci atas nama Anindya dengan menjabat tangan Farhan, ayah kandung dari wanita yang saat ini sedang menunggu di ruang tunggu pengantin dengan jantung berdegup kencang. Hanya dengan satu tarikan nafas, lafadz itu berhasil Guntur ucapkan tanpa kesalahan, meski disertai rasa gugup dan detak jantung yang tak beraturan. Ac ruangan seolah tak bisa mendinginkan tubuhnya entah kenapa mengeluarkan keringan sebesar biji jagung dari kedua pelipisnya. "Sah," seru Ibra dan seorang pria dari pihak keluarga mempelai laki-laki. Guntur memejamkan matanya sembari menghela nafas panjang, berusaha menetralkan degup jantungnya yang sudah seperti genderang perang. "Alhamdulillah....." ucapnya yang entah kenapa berbarengan dengan Anindya yang ada di ruang tunggu. Gadis itu menakupkan kedua telapak tangannya saat lantunan do'a terdengar. Tak hanya kedua mempelai yang merasa terharu hampir semua yang hadir di ruangan private wedding itu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part.

    "Banyak hal dalam hidup Guntur yang sudah kau ambil. Apa otak cerdasmu itu tidak mampu menghitungnya?" "Memangnya apa yang sudah aku ambil, Pa? Tolong jelaskan aku benar-benar tidak faham," tanya Gibran berusaha sopan meski ada rasa tidak terima bergemuruh di dalam dadanya. Selama hidupnya, Gibran tidak pernah mengusik Guntur. Apapun yang dilakukan kakaknya itu Gibran tak pernah sekalipun ikut campur. Jangankan melarang, memprotes saja tidak. Sebaliknya, Guntur yang selalu ikut campur urusan Gibran. "Kenapa Papa diam? Ayo jelaskan," pinta Gibran tak sabar. Ario, mendesah berat. Ada rasa enggan untuk membahas apa yang sudah berlalu. Ibarat membuka luka lama. Namun, putra keduanya itu harus tahu sebesar apa pengorbanan Guntur untuk dirinya. Ario menghela nafas panjang sebelum bicara. "Apakah hatimu sedingin itu sampai tak bisa melihat betapa besar pengorbanan kakakmu itu?" "Maksudnya apa? Tolong bicara yang jelas," ujar Gibran tak sabar. Ario pun tak lagi segan. "Hal

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    "Kudengar kamu menemui wanita itu?" tanya Ario pada Gibran saat makan malam. Hari ini Gibran pulang lebih awal dari biasanya. Tentu karena permintaan sang papa. Katanya ada yang perlu dibicarakan. Meski enggan Gibran menuruti permintaan papanya itu. Gibran mengangkat wajahnya memandang Ario sedang menatapnya sembari mengunyah makanan di mulutnya. "Hemm," jawab Gibran singkat, lalu kembali menunduk fokus dengan makanannya. "Untuk apa wanita itu menemuimu?" tanya Ario lagi. Gibran mendesah berat, mereka sedang makan malam bersama setelah beberapa waktu tidak ada waktu untuk berkumpul seperti ini. Diliriknya Gia yang terlihat menghentikan gerak tangannya. Gadis itu juga nampak menahan tak senang. Dalam hati Gibran merutuki sikap papanya yang tidak tahu tempat. Tidak pernah bisa mencari waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang tentu saja sangat sensitif untuk dibahas di rumah mereka. Saat ini mereka sedang makan malam bersama, meski masalah itu penting setidakny

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part.

    "Coba tebak kenapa aku tidak menolak?" tanya balik Atika. Sebuah ekspresi yang sulit Gibran baca. Satu alis Gibran terangkat. Matanya berusaha membaca ekspresi wajah Atika. Dari sorot mata wanita itu tersirat luka dan kekecewaan yang mendalam. Tatapan itu juga menyimpan dendam yang amat sangat. Entah itu pada keluarga Gibran atau malah pada Gibran sendiri. "Coba tebak," ujar Atika mengangkat dagunya. Gibran mendesah berat. "Sayangnya saya tidak suka main tebak-tebakan," katanya enggan. Pria itu tidak mau menunjukkan rasa penasarannya. Tidak ingin memberi kesempatan untuk Atika kembali mempermainkan rasa ibanya. Kalaupun Atika tidak mau bercerita, Gibran masih punya banyak sumber informasi lain yang bisa dia tanyai. Sadar umpannya tak mengenai sasaran, Atika menghela nafas panjang. Meski begitu wanita itu tak putus asa. Jika kali ini tidak berhasil dia akan mencari cara lain. Gibran adalah putra yang dibesarkannya dari bayi sampai dewasa, tentu saja dirinya tahu aoay ya

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    Pagi ini Gibran kembali menerima pesan dari Atika. Mantan ibu tirinya itu memberi kabar, jika dirinya sudah sampai di Indonesia sejak kemarin malam. Dan siang ini wanita itu meminta waktu untuk bertemu. Meski enggan tapi pria itu tak sampai hati menolak permintaan wanita yang dulu pernah amat sangat disayanginya. Di sela-sela kesibukannya, putra kedua keluarga Wiratama itu menyempatkan datang ke sebuah resto di pusat kota, tempat yang dipilih Atika untuk menunggu pria itu. Pukul satu lebih Gibran baru sampai di resto bergaya Italia itu. Satu jam lebih lambat dari permintaan Atika. Sebuah meeting dadakan yang cukup penting tidak mungkin diakhirinya demi menemui wanita yang sudah menipunya puluhan tahun. Gibran melangkah masuk dengan diikuti Andi, asisten setianya. Dia sudah tidak berharap Atika masih menunggu, kalaupun wanita itu sudah pergi tapi setidaknya dirinya dan sang asisten harus makan siang. Tapi ternyata Gibran salah, wanita berwajah kalem itu masih duduk tenan

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    "Dua tahun aku mengalah. Menahan diri untuk memperjuangkan rasaku padanya demi untuk memberimu kesempatan untuk memperjuangkan cintamu. Tapi apa, kamu hanya diam di tempat. Kamu membiarkan di sana dia sendiri bersama lukanya. Apakah itu yang kamu sebut cinta?" "Aku menunggunya untuk..... untuk...." Mendadak otak Gibran kosong. Tak ada kata yang tepat untuk membenarkan sikapnya yang hanya diam saja selama dua tahun ini. Guntur mendesah berat, ada rasa iba melihat adiknya kembali kehilangan orang yang dicintainya, namun dirinya juga tidak ingin melepaskan cinta yang sudah diperjuangkannya dengan mempertaruhkan harga dirinya juga kedudukan sebagai CEO pun dilepasnya demi Anindya. "Dia tidak terluka karena kamu. Harusnya kamu masih bisa mendekatinya sebagai teman. Menemaninya mengobati luka hatinya," kata Guntur lagi. "Aku pikir dengan memberinya waktu adalah cara terbaik untuk menyembuhkan lukanya. Bukankah waktu adalah obat terbaik?" Gibran menatap lekat Guntur. "Salah, wa

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    Gibran sampai rumah pukul delapan pagi setelah menggunakan penerbangan pertama dini hari dari bandara Juanda Surabaya. Semalaman Gibran ditemani Andi menjelajahi kota yang terkenal dengan kota pahlawan itu. Untuk mengalahkan rasa sakit hatinya pria dingin itu menyewa tour guide lewat onlin untuk mengantarkan mereka mencari tempat makan unik dan kuliner khas kota itu di malam hari. Dari Bandara mobil yang di kendarai oleh Andi berhenti di halaman rumah mewah keluarga Wiratama. "Kamu bawa saja mobilnya. Pagi ini kamu tidak perlu ke kantor. Suruh Cika menghandle semuanya," ucap Gibran begitu mobil berhenti. "Baik Pak," "Jangan lupa siang nanti kita ada meeting, kamu jemput saya." Tambahnya sebelum turun. Dengan langkah lebar Gibran memasuki rumah yang sudah dua tahun ini terasa sangat sepi. Apalagi saat pagi. Ario, sang papa pasti sibuk di kantor dan Anggia, adik bungsunya sepengetahuannya masih menghabiskan waktu libur kuliahnya di Surabaya.Atika sang Mama, yang dulu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    Sudah satu jam Gibran duduk termenung di salah satu kursi tunggu di bandara Juanda Surabaya. kepalanya menunduk menatap ujung sepatunya dengan tangan saling bertautan kuat. Berusaha menahan rasa pilu dari luka yang kini menganga di hatinya. Suara lembut Anindya beberapa jam yang lalu masih terus terngiang-ngiang di otaknya. "Iya, aku menerimanya. Dua minggu lagi kami akan menikah." Seperti di gempur tsunami dari samudera, ucapan Anindya seketika memporak-porandakan hatinya sampai hancur berkeping-keping. Bagaimana hatinya tidak terluka, wanita yabg dia cintai akan menikahi kakak kandungnya. Dirinya saja bekum bisa merelakan perpisahan mereka dan hanya kurang dari empat belas hari cintanya itu akan jadi kakak iparnya. Tidak adakah pria lain yang bida dicintai Anindya selain Guntur? Tidak bisakah gadis itu memikirkan perasaannya? Entah sudah berapa kali desahan berat keluar dari bibir tipisnya. Sesak itu benar-benar terasa menyesakkan dadanya hingga membuat pria yang

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part .

    Anindya jadi kesal sendiri jika teringat kejadian lamaran kemarin. Ternyata semua sudah direncanakan oleh Guntur. Natalie dan semua keluarga mereka sengaja diminta pria itu untuk mengikuti skenario yang dibuat olehnya. Entah apa yang sudah dilakukan oleh Guntur sampai bisa meluluhkan hati Farhan dan Satya sampai-sampai dua pria keras kepala itu setuju membantu Guntur untuk mendapatkan Anindya meski dengan jalan menipu gadis itu. Satu bulan sebelum hari H berbagai persiapan sudah mulai dilakukan oleh kedua belah keluarga. K3dua mempelai hanya bisa pasrah karena kesibukan pekerjaan dan kuliah. Jadilah seluruh persiapan diambil alih oleh pihak keluarga. Dari keluarga Anindya tentu saja Aisyah dan Tari yang pegang kendali. Mertua dan menantu itu sangat bersemangat dalam mengurus segala keperluan untuk pernikahan Anindya dan Guntur. Saking sibuknya sampai membuat Satya sempat marah karena takut membahayakan kondisi Tari yang sedang hamil anak kedua mereka. "Serahkan pada EO aja.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status