Share

Pedih

Author: iva dinata
last update Last Updated: 2024-08-13 00:00:47

Sakitnya itu seperti luka yang masih basah disiram air garam. Perih......

Itu yang aku rasakan saat melihat Danisa bergelayut manja di lengan Kak Abisatya. Pria yang sudah menghalalkan aku dengan ijab qobul sejak beberapa bulan yang lalu.

Ya Allah ... rumah tangga ini benar-benar menyiksa. Haruskah aku bertahan, jika hanya aku yang mencinta dalam pernikahan ini?

"Astaga... Anj*ng mereka itu, bisa-bisanya bermesraan di tempat umum. Gak tau malu!!!" Sandra geram.

Aku yang masih dalam keterkejutan sampai tak sadar sepupuku itu sudah melangkah mendekati dua insan yang sedang dimabuk cinta.

"Eh... Sandra," panggil Jihan panik. "Tari.... itu Sandra." Jihan menggoyangkan lenganku sambil menunjuk ke depan kami.

"Astaga...." pekikku dan segera mengejar sepupuku itu. "Sandra jangan." Kutarik tangan Sandra yang tinggal beberapa langkah lagi mendekati Kak Abisatya dan Danisa.

Dua orang itu pun terlihat kaget melihat kami. Terbukti langkahnya langsung berhenti dengan mata melotot menatapku dan Sandra.

"Plis.... Sandra, biarin saja."

"Kamu itu terlalu baik, makanya mereka seenaknya." Sentak Sandra dengan wajah kesal. "Kemana Ayu Bestari yang aku kenal? Atu Bestari yang berani dan tidak suka ditindas. Jangan karena cinta kamu jadi lemah."

Kubekab mulut Sandra, gadis ini sudah mulai tak terkendali. "Ya Allah ... Sandra, di sini aku yang salah. Please, jangan bikin aku tambah malu." Aku berusaha menarik tangan sepupu juga sahabatku itu namun bukan Sandra jika tidak keras kepala.

Wanita berambut sebahu itu ngotot ingin mendekati Kak Abisatya dan Danisa.

"Sandra, dengarkan Tari. Jangan dia makin malu Jihan ikut menarik lengan Sandra. "Ini di tempat umum, kasihan Tari."

Bersyukur, Sandra menurut. Segera kami membawanya pergi menjauh. Sebelum pergi aku sempat melihat kearah Kak Abisatya.

Pria itu menatapku dengan pandangan yang tidak bisa aku artikan. Mungkin kesal, benci atau malu karena beberapa orang mulai berbisik sambil melihat kearah kami. Sedang Danisa menatap sinis, seolah menatangku.

Seandainya tidak mengingat permintaan Kak Abisatya untuk berpura-pura tidak kenal di tempat umum, aku pasti sudah mendatanginya dan mengucapkan banyak kata mutiara untuk wanita sok kalem itu.

Seperti kata Sandra sejatinya aku bukan wanita lemah lembut yang akan diam saja saat disakiti. Aku dan Sandra bisa dibilang sebelas dua belas. Hanya saja aku lebih bisa mengeram mulutku saat berbicara. Sedang Sandra ceplas-ceplos tak peduli dengan siapa dia bicara.

"Ck... harusnya tadi kamu biarin aku melabrak mereka. Biar malu sekalian." Sandra mengomel masih dengan mimik wajah marah saat kami sudah berada di dalam mobil.

"Kamu nggak malu dilihatin banyak orang?" tanyaku memberikan sebotol air mineral padanya.

"Mereka itu yang harusnya malu, pasangan selingkuhan."

"Astaghfirullah....." Kuhela nafas panjang.

"Tapi mereka nggak tahu malu, Sandra," sahut Jihan. "Kita yang masih punya malu, jangan malah mempermalukan diri sendiri."

"Noh... dengerin," ujarku menoyor -dahi Sandra.

"Ck.... iya Bu Ustadzah." Jawab Sandra dengan kepala goyang-goyang yang membuatku pengen jitak kepalanya.

"Kemana nih?" tanya Jihan yang sudah standby dibalik kemudi.

"Cari makan dulu, lapar."

"Marah-marah mulu, makanya lapar." Jihan tertawa.

"Ya sudah ke kafe biasanya aja, Han." Aku memberi perintah dan mobil pun langsung berjalan keluar area parkiran.

***

"Biar aku yang traktir," kataku saat kami sampai di kafe.

Kulihat Jihan seperti bingung memilih menu. Gadis itu pasti mencari menu yang harganya paling murah. Diantara kami bertiga Jihan yang hidupnya paling sederhana.

Orang tuanya memutuskan pulang ke kampung halaman untuk bertani setelah restoran mereka gulung tikar karena pandemi beberapa tahun yang lalu. Di sini Jihan tinggal di sebuah kosan khusus cewek. Dia mendapatkan beasiswa full dari kampus karena kepintarannya.

"Alhamdulillah... tadi ditraktir beli baju sekarang ditraktir makan. Nikmat Tuhan-mu yang manalagi yang kau dustakan." Jihan menakupkan kedua tangannya ke depan dada. .

"Aku bayar sendiri," ucap Sandra sewot.

"Papa sama Kak Ganendra masih tetap ngasih uang jajan buat aku tiap bulan." jelasku. Aku tahu Sandra pasti mengira uang yang aku pakai uang pemberian Kak Abisatya.

"Jadi, si Satya itu gak ngasih kamu nafkah?"

Aku spontan menggelengkan kepala.

"Astaga! Suami macam apa si Satya itu? Sudah selingkuh gak ngasih nafkah lagi."

"Astaghfirullah.... San! Itu mulut ya."

"Kenapa?" Sandra mengangkat dagunya.

"Bisa kan nyebutnya Kak Satya," kataku. Agak risih juga dengar dia manggil nama aja. Padahal umur kami jauh dibawah Kak Abisatya.

"Aku gak peduli! Aku gak anggap ABISATYA itu sepupuku! Dia uga bukan dosenku, kok," jawabnya tegas.

Aku dan Jihan saling pandang. Sandra kalau sudah benci sama orang, semua di matanya jelek gak ada baiknya.

"Kamu juga, mau-maunya dibegoin sama dokter abal-abal itu. Aku nggak bisa bayangin jika pihak kampus dan rumah sakit tahu perselingkuhan si Satya itu."

Tangan Jihan mengelus pundakku lembut sambil bibirnya berkata, "Sabar ya, Tari...."

"Hati kamu itu terbuat dari apa sih, Tari? Bisa-bisanya kamu diam saja melihat suami kamu selingkuh."

Kuhela nafas panjang. Semua ucapan Sandra benar, tetapi aku juga punya alasan kenapa aku diam.

"Sebagai istri, tentu aku sakit hati melihat suamiku bersama wanita lain. Rasanya lebih sakit dari saat mengetahui pengkhianatan Bagas. Tapi, aku juga bisa memahami perasaan Kak Satya," ucapku, "dia pasti sangat membenciku. Karena aku, dia harus kehilangan kesempatan untuk hidup bersama orang yang dia cintai."

"Tapi dia sudah mengambil tanggung jawab atas hidupmu. Mengikrarkan janji suci untuk hidup bersamamu, jadi sudah menjadi kewajibannya untuk setia dan mencintaimu."

"Iya, kamu benar. Tapi pikirkan, jika kamu di posisinya. Demi menyelamatkan nama baik keluarga harus mengorbankan cinta. Pasti sangat berat."

"Itu bukan salah kamu, Tari!"

"Mereka juga tidak salah. Andai saja, aku tidak menerima lamaran Bagas, pernikahan ini tidak perlu terjadi. Tidak akan ada hati yang terluka."

"Takdir Tuhan, siapa yang tahu?" sahut Jihan, tiba-tiba, "Percaya atau tidak semua yang terjadi itu sudah takdir. Mau menghindar ke ujung dunia, tidak akan merubah hasil akhirnya. Mungkin saat ini kalian saling membenci, tapi esok siapa yang tahu?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (27)
goodnovel comment avatar
Euis Sulastri
itu lah arti persahabatan..🫰🫰
goodnovel comment avatar
Mia Mia
senangnya punya sahabat yg mendukun
goodnovel comment avatar
Elsa muthia Handini
ayo tari jgn diam aja
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part.

    "Sah?" ucap penghulu setelah selesai0 Guntur mengucapkan janji suci atas nama Anindya dengan menjabat tangan Farhan, ayah kandung dari wanita yang saat ini sedang menunggu di ruang tunggu pengantin dengan jantung berdegup kencang. Hanya dengan satu tarikan nafas, lafadz itu berhasil Guntur ucapkan tanpa kesalahan, meski disertai rasa gugup dan detak jantung yang tak beraturan. Ac ruangan seolah tak bisa mendinginkan tubuhnya entah kenapa mengeluarkan keringan sebesar biji jagung dari kedua pelipisnya. "Sah," seru Ibra dan seorang pria dari pihak keluarga mempelai laki-laki. Guntur memejamkan matanya sembari menghela nafas panjang, berusaha menetralkan degup jantungnya yang sudah seperti genderang perang. "Alhamdulillah....." ucapnya yang entah kenapa berbarengan dengan Anindya yang ada di ruang tunggu. Gadis itu menakupkan kedua telapak tangannya saat lantunan do'a terdengar. Tak hanya kedua mempelai yang merasa terharu hampir semua yang hadir di ruangan private wedding itu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part.

    "Banyak hal dalam hidup Guntur yang sudah kau ambil. Apa otak cerdasmu itu tidak mampu menghitungnya?" "Memangnya apa yang sudah aku ambil, Pa? Tolong jelaskan aku benar-benar tidak faham," tanya Gibran berusaha sopan meski ada rasa tidak terima bergemuruh di dalam dadanya. Selama hidupnya, Gibran tidak pernah mengusik Guntur. Apapun yang dilakukan kakaknya itu Gibran tak pernah sekalipun ikut campur. Jangankan melarang, memprotes saja tidak. Sebaliknya, Guntur yang selalu ikut campur urusan Gibran. "Kenapa Papa diam? Ayo jelaskan," pinta Gibran tak sabar. Ario, mendesah berat. Ada rasa enggan untuk membahas apa yang sudah berlalu. Ibarat membuka luka lama. Namun, putra keduanya itu harus tahu sebesar apa pengorbanan Guntur untuk dirinya. Ario menghela nafas panjang sebelum bicara. "Apakah hatimu sedingin itu sampai tak bisa melihat betapa besar pengorbanan kakakmu itu?" "Maksudnya apa? Tolong bicara yang jelas," ujar Gibran tak sabar. Ario pun tak lagi segan. "Hal

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    "Kudengar kamu menemui wanita itu?" tanya Ario pada Gibran saat makan malam. Hari ini Gibran pulang lebih awal dari biasanya. Tentu karena permintaan sang papa. Katanya ada yang perlu dibicarakan. Meski enggan Gibran menuruti permintaan papanya itu. Gibran mengangkat wajahnya memandang Ario sedang menatapnya sembari mengunyah makanan di mulutnya. "Hemm," jawab Gibran singkat, lalu kembali menunduk fokus dengan makanannya. "Untuk apa wanita itu menemuimu?" tanya Ario lagi. Gibran mendesah berat, mereka sedang makan malam bersama setelah beberapa waktu tidak ada waktu untuk berkumpul seperti ini. Diliriknya Gia yang terlihat menghentikan gerak tangannya. Gadis itu juga nampak menahan tak senang. Dalam hati Gibran merutuki sikap papanya yang tidak tahu tempat. Tidak pernah bisa mencari waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang tentu saja sangat sensitif untuk dibahas di rumah mereka. Saat ini mereka sedang makan malam bersama, meski masalah itu penting setidakny

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part.

    "Coba tebak kenapa aku tidak menolak?" tanya balik Atika. Sebuah ekspresi yang sulit Gibran baca. Satu alis Gibran terangkat. Matanya berusaha membaca ekspresi wajah Atika. Dari sorot mata wanita itu tersirat luka dan kekecewaan yang mendalam. Tatapan itu juga menyimpan dendam yang amat sangat. Entah itu pada keluarga Gibran atau malah pada Gibran sendiri. "Coba tebak," ujar Atika mengangkat dagunya. Gibran mendesah berat. "Sayangnya saya tidak suka main tebak-tebakan," katanya enggan. Pria itu tidak mau menunjukkan rasa penasarannya. Tidak ingin memberi kesempatan untuk Atika kembali mempermainkan rasa ibanya. Kalaupun Atika tidak mau bercerita, Gibran masih punya banyak sumber informasi lain yang bisa dia tanyai. Sadar umpannya tak mengenai sasaran, Atika menghela nafas panjang. Meski begitu wanita itu tak putus asa. Jika kali ini tidak berhasil dia akan mencari cara lain. Gibran adalah putra yang dibesarkannya dari bayi sampai dewasa, tentu saja dirinya tahu aoay ya

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    Pagi ini Gibran kembali menerima pesan dari Atika. Mantan ibu tirinya itu memberi kabar, jika dirinya sudah sampai di Indonesia sejak kemarin malam. Dan siang ini wanita itu meminta waktu untuk bertemu. Meski enggan tapi pria itu tak sampai hati menolak permintaan wanita yang dulu pernah amat sangat disayanginya. Di sela-sela kesibukannya, putra kedua keluarga Wiratama itu menyempatkan datang ke sebuah resto di pusat kota, tempat yang dipilih Atika untuk menunggu pria itu. Pukul satu lebih Gibran baru sampai di resto bergaya Italia itu. Satu jam lebih lambat dari permintaan Atika. Sebuah meeting dadakan yang cukup penting tidak mungkin diakhirinya demi menemui wanita yang sudah menipunya puluhan tahun. Gibran melangkah masuk dengan diikuti Andi, asisten setianya. Dia sudah tidak berharap Atika masih menunggu, kalaupun wanita itu sudah pergi tapi setidaknya dirinya dan sang asisten harus makan siang. Tapi ternyata Gibran salah, wanita berwajah kalem itu masih duduk tenan

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    "Dua tahun aku mengalah. Menahan diri untuk memperjuangkan rasaku padanya demi untuk memberimu kesempatan untuk memperjuangkan cintamu. Tapi apa, kamu hanya diam di tempat. Kamu membiarkan di sana dia sendiri bersama lukanya. Apakah itu yang kamu sebut cinta?" "Aku menunggunya untuk..... untuk...." Mendadak otak Gibran kosong. Tak ada kata yang tepat untuk membenarkan sikapnya yang hanya diam saja selama dua tahun ini. Guntur mendesah berat, ada rasa iba melihat adiknya kembali kehilangan orang yang dicintainya, namun dirinya juga tidak ingin melepaskan cinta yang sudah diperjuangkannya dengan mempertaruhkan harga dirinya juga kedudukan sebagai CEO pun dilepasnya demi Anindya. "Dia tidak terluka karena kamu. Harusnya kamu masih bisa mendekatinya sebagai teman. Menemaninya mengobati luka hatinya," kata Guntur lagi. "Aku pikir dengan memberinya waktu adalah cara terbaik untuk menyembuhkan lukanya. Bukankah waktu adalah obat terbaik?" Gibran menatap lekat Guntur. "Salah, wa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status