"Pergi kamu, Setan!"
"Ayok, kita liat."
Drama apalagi yang dibuat madu baruku? pagi-pagi sudah bikin rusuh aja. Terpaksa, aku mengekor di belakang Mas Wisnu. Penasaran dengan apa yang menimpa Aida, sampai berteriak ketakutan.
"Ada ap-" Mas Wisnu tidak meneruskan ucapannya.
Matanya mebelalak menatap Aida. Mas Wisnu menggeleng heran ke arah gundik yang biasanya nampak cantik, berubah bak nenek lampir.
Senyum tipis, tersungging di bibirku. Di dalam hati, aku bersorak bahagia memperhatikan ekspresi kepanikan di wajah Aida.
"Mas, parasku jadi seram gini. Pasti perbuatan Elina. Dasar perempuan gila."
Aida menghampirku, siap melayangkan tamparan. Tangan Mas Wisnu, sigap menangkisnya.
"Jangan sembarangan nuduh. Dari tadi, Elina bersamaku. Harusnya aku yang nanya, ngapain kamu coret-coret muka gitu."
"Aku juga gak tahu, Mas. Pas bangun udah gini."
"Mangkannya kalau tidur jangan kaya kebo," cibirku.
"Diam kamu. Pasti kamu 'kan yang ngasih aku obat tidur. Terus, sengaja bikin muka aku jadi jelek."
"Eh, sorry, yah. Tanganku terlalu mahal menyentuh kulit pelakor. Dih, pede banget jadi manusia."
"Halah, gak usah ngelak. Gak mungkin pulpen bergerak sendiri dan nyoret-nyoret muka aku."
"Hahaha, bisa jadi. Para kuntilanak dendam melihat pelakor sepertimu."
Aku tertawa puas menyaksikan ekspresi kemarahan Aida. Mukanya begitu lucu. Ada gambar Bunga matahari di kedua pipi, bulatan tompel di hidung, tanda silang tebal di bagian jidat, dagu dan bibir.
"Jangan sembarangan kalau ngomong. Aku bukan pelakor. Harusnya kamu nyadar, gak becus jadi istri, mangkanya suami cari daun muda."
"Daun muda atau daun busuk, hahaha," ejekku.
"Sial*n, sini kamu, aku beri pelajaran. Dasar Perempuan berdarah preman."
Aida mendekat. Matanya menatap tajam. Sekuat tenaga, dia menjambak kerudungku. Kulit kepala terasa perih. Ratusan rambut, seakan ingin lepas.
"Berhenti, Aida."
Mas Wisnu menarik tangan Aida. Kemudian, Melindungiku dalam pelukannya. Aku sengaja tidak melawan, agar Mas Wisnu simpati.
"Mas, kepalaku sakit," rengekku manja.
"Maafkan Aida, Neng. Aku tidak menyangka dia begitu beringas." Mas Wisnu menatap penuh kebencian pada Aida.
"Mas, kenapa belain Elin, di sini aku yang teraniaya. Lihat, mukaku penuh tinta pulpen. Mas harus bersikap adil, dong."
"Tidak usah manja, Aida. bersihkan pakai sabun, pasti menghilang. Ingat, jangan berani menyakiti Elina. Dia perempuan yang sangat aku cintai."
"Mas, Tapi kamu harus ingat perjanjian kita."
"Diam."
Mas Wisnu memapahku menuju ruang makan. Mimik wajahnya sangat khawatir. Sesekali, dia terus mengelus bagian kepalaku yang sakit.
"Neng, masih sakit gak? apa mau cek ke dokter, takut kenapa-kenapa?"
"Gak usah."
"Ya sudah. Lebih baik kita makan, yah."
Mas Wisnu menuangkan nasi dan lauk di piring. Lalu, dia sodorkan kepadaku.
"Aku bisa sendiri."
Raut kecewa nampak jelas. Aku sengaja mengabaikan perhatiannya. Cukup pura-pura mesra di depan Aida. Selebihnya, bersikap ibarat orang asing.
"Mas, masih ada bekasnya," rengek Aida tiba-tiba menghampiri."Nanti bersihkan lagi. Jangan manja."
"Ih, Mas gak perduli banget sama aku. Anak kita 'kan mau dimanja sama ayahnya."
"Anak?" tanyaku spontan.
Mas Wisnu dan Aida mendadak membisu. Mereka Saling menatap memberi sinyal yang tidak bisa aku pahami.
"Aida memang suka mengada-ngada. Jangan didengarkan."
"Apa kamu hamil, Aida?" tanyaku memastikan.
"Tidak."
Aida duduk di samping Mas Wisnu. Dia tak acuh dengan pertanyaanku. Memilih mengabaikannya seakan-akan hanya angin lewat. Berbeda denganku, yang mencurigai
hal ganjil dari mereka. "Sudah Neng, jangan berpikir aneh-aneh. Aku sangat mencintaimu."Aida menatap sinis ketika mendengar ucapan Mas Wisnu. Rasa cemburu tergambar jelas.
"Oh."
Aku yakin, ada sesuatu yang masih disembunyikan. Kemungkinan, rahasia itulah yang membuat Mas Wisnu beralasan kuat menikah dengan Aida. Aku harus menyiapkan rencana baru untuk mengungkapnya.
"Pagi semua. Eh, muka Mbak Aida kenapa?" tanya Aish.
"Bukan urusanmu, Bocil."
"Dih, Aish 'kan nanya baik-baik. Muka ko, di coret-coret gitu. Kaya orang gila. Sekalian aja, diolesin pantat panci, biar nambah cantik, Mbak," Aish terkekeh. Dia pasti sengaja menyulut emosi Aida.
"Diam kamu. Punya mulut gak pernah di sekolahin apa?"
"Hahaha, santuy dong, Mbak. Nanti keriput kaya nenek lampir, baru tahu rasa."
"Aish, diam. duduk dan makanlah."
"Iya Mas. Pada sensi amet, sih." Bibir aish manyun sempurna.
Sarapan pagi ini, terasa sangat hambar. Semua terdiam dalam kecamuk pikiran masing-masing.
"Neng, pakaikan Mas dasi, yah."
"Biar aku saja."
"Tidak, Aida. Aku hanya ingin Elin yang memakaikannya."
Aku beranjak mengambil dasi. Dengan sadar melakukannya, bukan karena rasa cinta. semata-mata, ingin membuat Aida cemburu dan segera angkat kaki. Bisa bertanduk kepalaku, jika dia terlalu lama tinggal di sini.
"Dasi warna hitam. Favorit, Mas," ujarku penuh kelembutan saat Mas Wisnu menyusul ke kamar.
Aida terlihat mengintip dari pintu kamarku. Emang enak dibuat cemburu. Dia pikir aku tidak tahu keberadaannya? seorang Elina hafal taktik pelakor. Sudah ratusan Novel poligami yang aku baca di KBM app. Setidaknya, aku punya inspirasi dari tokoh-tokoh hebat dalam buku tersebut. Jadi, tidak terlalu bodoh saat takdir pernikahanku bernasib malang.
"Makasih, Sayang. Kamu harus ingat Neng, rasa cintaku tidak pernah berubah untukmu."
"Apa benar begitu?" pancingku.
"Tentu. Bintang dan bulan akan Mas berikan jika kamu memintanya."
Howek! mual mendengar omong kosongnya. Kalau bisa, tahi kucing sudah aku peletkan di bibir manisnya itu.
"Neng gak mau bulan dan bintang. Maunya Mobil mewah keluaran terbaru. Jangan lupa, sore ini harus mendarat di halaman rumah kita. Gak boleh kredit, harus kontan. Tabungan kita 'kan masih banyak.""kita beli nyicil ajah, yah, mobilnya. Uang tabungan makin menipis jika dibelikan mobil."
Dasar pria buaya. Tadi dia bilang akan memberikan segalanya untukku. sekalinya ditagih, malah banyak berdalih.
"Ya udah kalau gak mau. Besok aku ke pengadilan."
"Baik Neng, baik. Sore ini, mobil Honda SR-Z yang harganya di atas 500 juta, bakal mendarat di rumah kita."
"Gitu dong. Makasih yah, Mas. Udah ngasih uang 500 juta, terus membayari mobil juga. Baik banget," ucapku cukup keras.
Sengaja mengundang kecemburuan Aida. Dia pasti iri mendengar penuturanku. Sekilas, aku melirik irasnya merah merona menahan emosi.
cup!
Ciuman mesra aku daratkan di pipi kanan Mas Wisnu. Ada rasa jijik yang mendominasi hati. Dulu, tidak pernah bosen aku bermanja-manja dengannya. Saat ini, mules melakukan itu.
"Gitu dong, Mas seneng kalau Neng romantis lagi."
Aku keluarkan cengiran kuda untuk menyembunyikan rasa benci. Mas Wisnu menyangka aku benar-benar rela menerima perlakuannya. Tak ada sejengkal pun, rasa ikhlas menerima poligami.
"Mas, aku juga mau dibelikan Mobil."
Aida menerobos masuk. Emosi memicunya lupa diri. Hatiku bersorak girang memandang kecemburuan dari mukanya.
"Mas, aku juga mau dibelikan Mobil." Aida menerobos masuk. Emosi memicunya lupa diri. Hatiku bersorak girang memandang kecemburuan dari mukanya. "Ada yang ngintip, nih," sindirku. "Mas, kamu harus adil. Aku juga mau dibelikan mobil dan uang 500 juta. Masa Elina doang, aku lebih berhak. Kamu tau 'kan aku yang akan memberi keturunan untukmu?" "Maksud kamu?" tanyaku. Sudah beberapa kali, Aida mengungkapkan kata yang mengisyaratkan bahwa dia tengah mengandung darah daging Mas Wisnu. Apa Aida hamil? tak mungkin secepat itu. "Tidak Neng. Aida memang suka aneh." "Pokoknya, Mas harus memperlakukanku sama rata dengan Elin" "Baik-baik, aku akan adil." "Nah, gitu dong." Kesian sekali Mas Wisnu. Kalau begini, bisa jatuh miskin dia. Namun, biar terjadi seperti ini. Aku senang melihatnya. Mas Wisnu akan merasakan resiko punya dua istri. Satu saja tidak habis, dan ribet, malah nambah lagi. "Mas, aku juga mau dibelikan berlian, yah. Malu dong, pemilik restoran gak punya perhiasan." "Per
POV Wisnu"Nikahi Aida, Wisnu," perintah Ibu saat aku berkunjung ke Bandung."Tidak Bu. Wisnu sudah bilang, balas Budi gak harus menikahinya. Wisnu siap menanggung hidup Aida. Memberinya uang tiap bulan. Asal, tidak menikah dengannya.""Gak bisa Wisnu. Itu permintaan terakhir Pak Reno. Dia ingin kamu menjaga Aida.""Aku bisa menjaganya, tanpa harus menikah dengannya, Bu!" bentakku geram."Tolong, Wisnu, menikahlah dengan Aida, agar kamu bisa punya anak. Lihatlah, sudah enam tahu pernikahan, kalian belum mempunyai anak.""Belum rezeki, Bu. Kami sama-sama subur. Jadi, jangan beri alasan apapun. Sampai kapan pun, Wisnu tidak akan mempoligami Elina. Wisnu sangat mencintainya.""Wisnu, mau ke mana?""Aku mau kembali ke Jakarta.""Wisnu, jangan pergi. Temani Ibu!" teriak Ibu tak aku hiraukan.Aku berlalu pergi dari rumah Ibu. Sungguh, permintaannya diluar akal sehat. Aku sangat mencintai Elina. Perempuan paling sempurna di mataku.Sekuat tenaga, aku tolak permintaan gila dari Ibu. Tak akan
Pov Elina"Tidak, aku tidak mau, Mas. Aku ingin periksa ke Dokter Mawar saja. Dia sahabat kita, pasti memberi pelayanan terbaik," sanggah Aida panik"Halah, kamu takut 'kan? lihat tuh, gundikmu, Mas. Kebakaran jenggot takut ketahuan." Dia pikir aku bodoh dan bisa masuk perangkapnya? oh tidak, semudah itu. Aku sudah bisa membaca kelakuan pelakor model Aida. Sekarang, dia panik karena permainannya sendiri."Diam! biar aku yang menentukan!" bentak Mas Wisnu.Hatiku dongkol kepada Mas Wisnu. Hanya karena istri keduanya, dia membentakku. Tak ada penawar bagi lukaku ini. Tekad semakin bulat untuk menggugat ceria. Modal usaha sudah aku kantongi. Soal aset rumah, aku tak berminat menguasainya.Harta bukan penentu sebuah kebahagian. Hal terpenting, aku punya modal untuk memulai hidup baru tanpa Mas Wisnu. Dibandingkan terus bertahan tapi tersakiti. Uang masih bisa aku cari sendiri. Namun, kebahagian dan kesehatan mental tidak bisa dibeli materi. Buat apa aku berhasil mengeruk harta Mas Wisnu
Prang!Mas Wisnu memecahkan meja kaca menggunakan hiasan patung dari batu yang ada di lemari tempat televisi."Jangan pergi, atau aku bunuh diri," gertak Mas Wisnu sambil meletakan pecahan kaca pada lengan kirinya."Mas istigfar, Mas," seruku panik."Jangan pergi, Elin aku mohon." "Biarin aja, Mbak. Dia cuman drama doang. Kalau gak mau kehilangan, harusnya jangan mendua," sungut Aish."Mas tidak bercanda, Elina. Tolong jangan pergi. Mas sangat mencintaimu.""Modus!" sergah Aish."Ayok, Aish, kita pergi," seruku."Tidak."Mas Wisnu menghadang kami. Dia berjaga di pintu, agar aku tak bisa keluar. Kenapa kamu nekat seperti ini, Mas?"Awas!" teriak Aish."Tolong biarkan kami pergi, Mas!" hardikku."Silakan, pergi. Jika kamu rela melihatku mati.""Arrgh!" jerit aku dan Aish saat melihat darah bercucuran.Serpihan kaca, berhasil membelah lapisan kulit Mas Wisnu. Jelas terlihat, kulit yang menganga dengan cairan merah yang perlahan melingkari tangannya."Mas wisnu, hiks, hiks."Tanpa pikir
"Berhenti!" Aku pasang badan agar Arka tidak lagi dipukul. Mas Wisnu menatap heran. Dia menggelengkan kepala seakan tak percaya, bahwa aku lebih membela Arka dibandingkan suami sendiri."Elina, jangan halangi aku. Pria itu sudah kurang ajar!" umpat Mas Wisnu."Elina, mari ikut bersamaku. Tinggalkan suami tak berguna seperti dia."Kenapa Arka berbicara seperti itu? pasti ada sesuatu yang tidak beres. "Diam! tidak boleh ada yang bertengkar. Mas Wisnu jangan main hakim sendiri.""Kenapa kamu bela dia, Elina? sudah jelas, dia merendahkanku. Dia bicara bohong kalau kamu mantannya. Dia juga berani mengancam akan merebutmu dariku.""Tenang, Mas Wisnu. Sepertinya pria itu memang jujur. Buktinya, kemarin-kemarin dia juga sengaja membantu Elina mengacaukan resepsi kita. Biarkan Elina pergi bersamanya. Mereka juga sama-sama penghianat ," ujar Aida memanas-manasi."Jangan ikut campur, Aida. Keberadaanmu malah menambah keruh suasana!" bentak Mas Wisnu sambil menghempaskan tangannya."Elina, ayok
POV AidaNamaku Aida Anandita, putri tunggal keluarga Reno Kusuma. Pemilik bisnis properti di Bandung. Ayah aslinya orang jawa, tetapi tinggal di Bandung karena menikah dengan Ibu. Sejak kecil, Ibu meninggalkan kami karena sakit. Namun, aku tak pernah merasa kekurangan kasih sayang, karena sering di asuh Bu Anna, Istri sahabat karib Bapak. Persahabatan mereka sangat erat. Itu pula yang terjadi denganku dan Anaknya--Wisnu.Keluarga Mas Wisnu sangat berhutang Budi pada Ayahku. Apalagi, saat Pak Wijaya meninggal. Semua kebutuhan kuliah Mas Wisnu, dan modal usaha Ibunya, ditanggung Ayahku."Aida, Mas seneng banget," seru Mas Wisnu. Saat libur kuliah tiba, kami selalu bermain bersama. Menyempatkan waktu bertemu atau bertukar pesan saat saling jauh. Mas Wisnu kuliah di Yogyakarta, sedangkan aku masih setia di Bandung. Tinggal bersama Ayah, dan sering berkunjung ke rumah Mas Wisnu."Kenapa, Mas? tumben pulang dari Jogja mukanya cerah gitu.""Mas udah jadian sama Elina, perempuan yang sering
POV ElinaTok! tok! tok!"Siapa yang bertamu pagi-pagi gini, Aish?" tanyaku heran."Gak tahu, sana Mbak aja yang buka. Biar Aish lanjut masak dan bawa ke depan.""Oke siap.""Assalamualaikum."Tok! tok! tok!Suara ketukan pintu bertalu-talu. Siapa gerangan orang yang bertamu sepagi ini? ketukannya berkali-kali dan sangat nyaring. Seperti orang mau ngajak tawuran."Buka!" "Iya sebentar."Ceklek!"Aduh, lama banget. Iqis kesel ama Bunda. Iqis 'kan mau makan macakan Bunda," rengek anak kecil bermata indah itu.Pagi ini, dia begitu cantik. Menggunakan baju muslim berwarna pink dengan kerudung warna senada. Tangannya memegang boneka beruang berwana coklat susu. Bibir tipisnya menyiratkan kebahagian."Ya ampun, maaf anak cantik. Tante lagi masak, jadi lama buka pintunya." Aku berjongkok sambil memegang tangannya."Ko, Bunda bilang Tante? Bunda gak akuin Iqis anak Bunda?"Bibir Iqis manyun dengan sempurna. Wajah cerah seketika sendu seperti awan mau hujan."Eh, ko, sedih.""Bilqis, ini T
"Duduklah Elina," perintah Arka saat kami tiba di kontrakanku.Ribuan luka bertebaran di hati. Jika tak ingat malu, aku ingin mengamuk seperti seekor sapi yang kena stres saat mau dipotong."Mas Arka lebih baik pulang saja. Aku tahu, Mas sibuk mengurus klien baru. Soal rekomendasi hidangan acara para pengantin, nanti bisa konfirmasi langsung ke koki restoranku.""Gak papa aku tinggal?"Aku hanya mengangguk lemas. Bilqis ikut murung di sampingku. Dia terus menggenggam tangan ini."Baiklah, sepertinya kamu butuh waktu sendiri. Soal Wisnu, jika kamu butuh pengacara hebat untuk di pengadilan nanti, hubungi aku. Kita buat mereka menyesal." Aku hanya tersenyum tipis meresponnya.Kenapa Arka ikut berambisi membalas keburukan mereka? membuatku semakin penasaran saja. Namun, mulut seakan terkunci rapat tak ingin banyak bicara."Aku pamit.""Hati-hati."Arka berlalu meninggalkan kami. Hanya tersisa aku dan Bilqis. "Bunda, jangan nangis, Iqis jadi sedih," ucap Bilqis berkaca-kaca. Aku peluk t