Share

Bagian 9

"Neng, Aida kenapa?" Aku hanya menautkan alis tanda tak tahu.

"Pergi kamu, Setan!"

"Ayok, kita liat."

Drama apalagi yang dibuat madu baruku? pagi-pagi sudah bikin rusuh aja. Terpaksa, aku mengekor di belakang Mas Wisnu. Penasaran dengan apa yang menimpa Aida, sampai berteriak ketakutan.

"Ada ap-" Mas Wisnu tidak meneruskan ucapannya.

Matanya mebelalak menatap Aida. Mas Wisnu menggeleng heran ke  arah gundik yang biasanya nampak cantik, berubah bak nenek lampir. 

Senyum tipis, tersungging di bibirku. Di dalam hati, aku bersorak bahagia memperhatikan ekspresi kepanikan di wajah Aida.

"Mas, parasku jadi seram gini. Pasti perbuatan Elina. Dasar perempuan gila."

Aida menghampirku, siap melayangkan tamparan. Tangan Mas Wisnu, sigap menangkisnya. 

"Jangan sembarangan nuduh. Dari tadi, Elina bersamaku. Harusnya aku yang nanya, ngapain kamu coret-coret muka gitu."

"Aku juga gak tahu, Mas. Pas bangun udah gini."

"Mangkannya kalau tidur jangan kaya kebo," cibirku.

"Diam kamu. Pasti kamu 'kan yang ngasih aku obat tidur. Terus, sengaja bikin muka aku jadi jelek."

"Eh, sorry, yah. Tanganku terlalu mahal menyentuh kulit pelakor. Dih, pede banget jadi manusia."

"Halah, gak usah ngelak. Gak mungkin pulpen bergerak sendiri dan nyoret-nyoret muka aku."

"Hahaha, bisa jadi. Para kuntilanak dendam melihat pelakor sepertimu."

Aku tertawa puas menyaksikan ekspresi kemarahan Aida. Mukanya begitu lucu. Ada gambar Bunga matahari di kedua pipi, bulatan tompel di hidung, tanda silang tebal di bagian jidat, dagu dan bibir. 

"Jangan sembarangan kalau ngomong. Aku bukan pelakor. Harusnya kamu nyadar, gak becus jadi istri, mangkanya suami cari daun muda."

"Daun muda atau daun busuk, hahaha," ejekku.

"Sial*n, sini kamu, aku beri pelajaran. Dasar Perempuan berdarah preman."

Aida mendekat. Matanya menatap tajam. Sekuat tenaga, dia menjambak kerudungku. Kulit kepala terasa perih. Ratusan rambut, seakan ingin lepas.

"Berhenti, Aida."

Mas Wisnu menarik tangan Aida. Kemudian, Melindungiku dalam pelukannya. Aku sengaja tidak melawan, agar Mas Wisnu simpati. 

"Mas, kepalaku sakit," rengekku manja.

"Maafkan Aida, Neng. Aku tidak menyangka dia begitu beringas." Mas Wisnu menatap penuh kebencian pada Aida.

"Mas, kenapa belain Elin, di sini aku yang teraniaya. Lihat, mukaku penuh tinta pulpen. Mas harus bersikap adil, dong."

"Tidak usah manja, Aida. bersihkan pakai sabun, pasti menghilang. Ingat, jangan berani menyakiti Elina. Dia perempuan yang sangat aku cintai."

"Mas, Tapi kamu harus ingat perjanjian kita."

"Diam."

Mas Wisnu memapahku menuju ruang makan. Mimik wajahnya sangat khawatir. Sesekali, dia terus mengelus bagian kepalaku yang sakit.

"Neng, masih sakit gak? apa mau cek ke dokter, takut kenapa-kenapa?"

"Gak usah."

"Ya sudah. Lebih baik kita makan, yah."

Mas Wisnu menuangkan nasi dan lauk di piring. Lalu, dia sodorkan kepadaku.

"Aku bisa sendiri."

Raut kecewa nampak jelas. Aku sengaja mengabaikan perhatiannya. Cukup pura-pura mesra di depan Aida. Selebihnya, bersikap ibarat orang asing.

"Mas, masih ada bekasnya," rengek Aida tiba-tiba menghampiri.

"Nanti bersihkan lagi. Jangan manja."

"Ih, Mas gak perduli banget sama aku. Anak kita 'kan mau dimanja sama ayahnya."

"Anak?" tanyaku spontan.

Mas Wisnu dan Aida mendadak membisu. Mereka Saling menatap memberi sinyal yang tidak bisa aku pahami.

"Aida memang suka mengada-ngada. Jangan didengarkan."

"Apa kamu hamil, Aida?" tanyaku memastikan.

"Tidak."

Aida duduk di samping Mas Wisnu. Dia tak acuh dengan pertanyaanku. Memilih mengabaikannya seakan-akan hanya angin lewat. Berbeda denganku, yang mencurigai

 hal ganjil dari mereka. 

"Sudah Neng, jangan berpikir aneh-aneh. Aku sangat mencintaimu."

Aida menatap sinis ketika mendengar ucapan Mas Wisnu. Rasa cemburu tergambar jelas.

"Oh."

Aku yakin, ada sesuatu yang masih disembunyikan. Kemungkinan, rahasia itulah yang membuat Mas Wisnu beralasan kuat menikah dengan Aida. Aku harus menyiapkan rencana baru untuk mengungkapnya.

"Pagi semua. Eh, muka Mbak Aida kenapa?" tanya Aish.

"Bukan urusanmu, Bocil." 

"Dih, Aish 'kan nanya baik-baik. Muka ko, di coret-coret gitu. Kaya orang gila. Sekalian aja, diolesin pantat panci, biar nambah cantik, Mbak," Aish terkekeh. Dia pasti sengaja menyulut emosi Aida.

"Diam kamu. Punya mulut gak pernah di sekolahin apa?"

"Hahaha, santuy dong, Mbak. Nanti keriput kaya nenek lampir, baru tahu rasa."

"Aish, diam. duduk dan makanlah."

"Iya Mas. Pada sensi amet, sih." Bibir aish manyun sempurna.

Sarapan pagi ini, terasa sangat hambar. Semua terdiam dalam kecamuk pikiran masing-masing.

"Neng, pakaikan Mas dasi, yah."

"Biar aku saja."

"Tidak, Aida. Aku hanya ingin Elin yang memakaikannya."

Aku beranjak mengambil dasi. Dengan sadar melakukannya, bukan karena rasa cinta.  semata-mata, ingin membuat Aida cemburu dan segera angkat kaki. Bisa bertanduk kepalaku, jika dia terlalu lama tinggal di sini.

"Dasi warna hitam. Favorit, Mas," ujarku penuh kelembutan saat Mas Wisnu menyusul ke kamar.

Aida terlihat mengintip dari pintu kamarku. Emang enak dibuat cemburu. Dia pikir aku tidak tahu keberadaannya? seorang Elina hafal taktik pelakor. Sudah ratusan Novel poligami yang aku baca di KBM app. Setidaknya, aku punya inspirasi dari tokoh-tokoh hebat dalam buku tersebut. Jadi, tidak terlalu bodoh saat takdir pernikahanku bernasib malang.

"Makasih, Sayang. Kamu harus ingat Neng, rasa cintaku tidak pernah berubah untukmu."

"Apa benar begitu?" pancingku.

"Tentu. Bintang dan bulan akan Mas berikan jika kamu memintanya."

Howek! mual mendengar omong kosongnya. Kalau bisa, tahi kucing sudah aku peletkan di bibir manisnya itu.

"Neng gak mau bulan dan bintang. Maunya Mobil mewah keluaran terbaru. Jangan lupa, sore ini harus mendarat di halaman rumah kita. Gak boleh kredit, harus kontan. Tabungan kita 'kan masih banyak."

"kita beli nyicil ajah, yah, mobilnya. Uang tabungan makin menipis jika dibelikan mobil."

Dasar pria buaya. Tadi dia bilang akan memberikan segalanya untukku. sekalinya ditagih, malah banyak berdalih.

"Ya udah kalau gak mau. Besok aku ke pengadilan."

"Baik Neng, baik. Sore ini, mobil Honda SR-Z yang harganya di atas 500 juta, bakal mendarat di rumah kita."

"Gitu dong. Makasih yah, Mas. Udah ngasih uang 500 juta, terus membayari mobil juga. Baik banget," ucapku cukup keras.

Sengaja mengundang kecemburuan Aida. Dia pasti iri mendengar penuturanku. Sekilas, aku melirik irasnya merah merona menahan emosi.

cup!

Ciuman mesra aku daratkan di pipi kanan Mas Wisnu. Ada rasa jijik yang mendominasi hati. Dulu, tidak pernah bosen aku bermanja-manja dengannya. Saat ini, mules melakukan itu.

"Gitu dong, Mas seneng kalau Neng romantis lagi."

Aku keluarkan cengiran kuda untuk menyembunyikan rasa benci. Mas Wisnu menyangka aku benar-benar rela menerima perlakuannya. Tak ada sejengkal pun, rasa ikhlas menerima poligami.

"Mas, aku juga mau dibelikan Mobil."

Aida menerobos masuk. Emosi memicunya lupa diri. Hatiku bersorak girang memandang kecemburuan dari mukanya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status