Share

Bagian 10

"Mas, aku juga mau dibelikan Mobil."

Aida menerobos masuk. Emosi memicunya lupa diri. Hatiku bersorak girang memandang kecemburuan dari mukanya. 

"Ada yang ngintip, nih," sindirku.

"Mas, kamu harus adil. Aku juga mau dibelikan mobil dan uang 500 juta. Masa Elina doang, aku lebih berhak. Kamu tau 'kan aku yang akan memberi keturunan untukmu?"

"Maksud kamu?" tanyaku.

Sudah beberapa kali, Aida mengungkapkan kata yang mengisyaratkan bahwa dia tengah mengandung darah daging Mas Wisnu. Apa Aida hamil? tak mungkin secepat itu.

"Tidak Neng. Aida memang suka aneh."

"Pokoknya, Mas harus memperlakukanku sama rata dengan Elin"

"Baik-baik, aku akan adil."

"Nah, gitu dong."

Kesian sekali Mas Wisnu. Kalau begini, bisa jatuh miskin dia. Namun, biar terjadi seperti ini. Aku senang melihatnya.  Mas Wisnu akan merasakan resiko punya dua istri. Satu saja tidak habis, dan ribet, malah nambah lagi. 

"Mas, aku juga mau dibelikan berlian, yah. Malu dong, pemilik restoran gak punya perhiasan."

"Perhiasan? Neng 'kan gak suka pakai emas atau berlian. Katanya mending ditabung?"

"Itu dulu, sekarang Neng mau jadi perempuan sosialita yang modis. Biar banyak kegiatan dan gak stres di rumah saja."

"Baik Neng. Pulang kantor, Mas beliin yah, Sayang."

"Makasih suamiku, tersayang."

"Aku juga mau, Mas. Ingat, harus adil. Apa yang dimiliki Elin, harus aku punya juga."

"Dasar tukang sirik," celetukku.

"Eh, bukan iri yah. Itu sudah tugas Suami, bersikap sepatutnya pada istri kedua."

"Mangkanya, cari pria yang sendiri. Jangan laki orang diembat. Gak enak 'kan rasanya berbagi."

"Diam kamu!"

"Hey, kamu yang diam. Pelakor itu harusnya dapet sisaan. Nanti kalau aku sudah bosen pakai perhiasannya, aku kasih kamu deh, biar hemat."

"Dih, gak sudi pakai bekas kamu."

Apa yang dia katakan, tidak Sudi Bekasku? Lalu, kenapa merebut suamiku? pelakor harus disodorkan kaca sebesar gaban biar sadar diri.

"Dasar perempuan edan," umpatku kesal.

"kamu yang edan."

"kamu."

"Kamu, Elin!" teriak Aida penuh emosi.

"Diam!" bentak Mas Wisnu.

Napas Mas Wisnu tersengal menahan amarah. Tangannya mengepal kuat. Mata melotot geram.

"Pusing kepalaku menghadapi kalian."

Mas Wisnu berlalu meninggalkan kami. Aku bahagia melihatnya menderita. Baru segitu saja, sudah kesal. Itulah akibat egois menyakiti istri. Emang enak punya dua macan tutul, yang sama-sama matre dan cerewet?

"Ini semua gara-gara kamu, Elin. Jadi istri ko, matre banget . Minta ini itu. Kerja sendiri dong."

"Hey, intropeksi diri dong. Situ juga matre. Mau jadi kedua karena harta suamiku 'kan? aku sudah paham model perempuan kaya kamu."

"Sorry, Elin. aku benar-benar mencintai Mas Wisnu. Bukan sekedar menguras harta seperti kamu."

"Hahaha, kita lihat saja, nanti," ujarku menatap sinis.

Aku berlalu menghindar dari Aida. Berdebat dengannya, hanya membuang-buang waktu. Manusia yang merebut suami orang, selalu memikirkan dirinya sendiri. Dia akan merasa paling benar laksana dewa.

"Mbak kenapa? tadi Mas Wisnu mukanya lecek banget."

"Biasa, si pelakor makin bertingkah. Dia mau ikut-ikutan dibeliin mobil sama perhiasan," jawabku datar 

"Hahaha, bagus. Kuras terus uangnya, biar miskin. Pria kaya suka bertingkah, sih."

"Aish, kamu yang ngerjain si Aida tadi?". tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Iya dong. siapa lagi, kalau bukan Aish."

"Mantap. Adikku memang asik-asik jos," aku tergelak mengingat ide konyolnya.

"Belum selesai Mbak. Kita buat pertunjukan lain. Mbak terus dapetin hati Mas Wisnu. Biar dia makin kebakaran jenggot."

"Tenang kalau itu. Aish, susun saja rencana baru untuk mengetahui alasan kuat Mas Wisnu selingkuh. Mbak yakin, mereka menyembunyikan sesuatu."

"Oh, kalian sengaja menyusun rencana untuk menjatuhkanku?" tanya Aida dengan senyum jahat.

Si*l, aku terlalu ceroboh membicarakan hal penting di ruang makan. Aku dan Aish tercengang mengetahui kehadiran Aida.

"Kalau iya, kenapa?"

"Hahaha, kamu memilih lawan yang salah, Elina. Aku lebih pintar dibandingkan kalian."

Percuma mengelak. Aida sudah tahu semuanya. Secara terang-terangan, aku kibarkan bendera perang. 

"Kita lihat saja nanti."

"Baik. Hanya aku yang akan menang dan merebut kebahagiaanmu."

"Dasar perempuan jal**g."

Dia pikir, dirinya Tuhan, bisa mengambil kebahagiaan sesama manusia? 

"Cukup, Mbak.  Jangan main fisik lagi." Aish mencegah tanganku yang siap memukul Aida.

"Tenang Mbak, Kita akan membuktikan, bahwa kejahatan tidak akan menang melawan kebenaran," cecar Aish.

Aida pergi dengan senyum mengejek. Dia Berjalan angkuh. Sepertinya, dia begitu percaya diri mengalahakanku. 

"Bendera perang sudah dikibarkan, Mbak. Kita harus lebih waspada jika bertindak."

"Betul Aish.  Mbak akan segera mengembangkan bisnis restoran bersama Arka. Sambil memikirkan cara, lepas dari Mas Wisnu."

Hidup memang penuh jalanan berbatu. Ada kalanya naik, dan turun. Sesekali harus memilih antara belok ke kiri atau kanan. Kita harus memikirkan secara matang jalan yang dipilih. Jangan sampai tersesat, dan menyesal kemudian hari. Siapkan amunisi, keyakinan yang kuat pada pemilik kehidupan, dan kepercayaan diri yang kuat. Yakinlah, kita sanggup melewati berliku-liku takdir yang disiapkan semesta.

*******

"Elina, Sayang," sapa Mas Wisnu setelah pulang kerja.

"Tumben baru pulang."

"Mas 'kan nyari mobil buat kamu dulu. Untung dapet mobilnya."

"Serius?"

"Iya dong. Ayok kita kedepan."

Mas Wisnu menarikku yang sedang menyiapkan makan malam. Kasih sayangnya begitu menusuk dihati. Sikapnya tidak berubah, selalu romantis. 

"Wow, bagus sekali."

Mobil mewah berwarna merah terparkir di garasi. Pita warna putih, menghias bagian depan.

"Suka?"

"Banget," seruku penuh sukacita. 

Sejenak, rasa kecewa hilang. Sikap manis Mas Wisnu, mampu meluluhkanku. Andai, tidak ada perempuan lain, dia sudah aku peluk dan cium.

"Ada satu lagi."

Mas Wisnu merogoh kantong jas. Dia mengeluarkan kotak berwarna merah. Saat dibuka, sebuah cincin berlian yang berkilauan indah membuatku terkagum.

"Wah, bagus banget. Makasih, Mas."

Refleks, aku cium pipi kanan dan kirinya. Namanya juga perempuan, saat diberi perhiasan mahal dan mewah, akan lupa masalahnya.

"Buat aku mana Mas?" tanya Aida yang tiba-tiba muncul. 

Kegembiraan hilang tak berbekas. Semua barang mewah ini, tak berharga lagi, saat diriku sadar, cinta Mas Wisnu sudah terbagi.

"Ini berlian untukmu, Aida."

Cincin berlian yang sama dengan milikku, ada ditangan Aida. Aku pikir, hanya untukku. Tenryata, semuanya tidak spesial lagi seperti dulu.

"Mobilnya mana?"

"Sabar, yah, Aida. satu-satu, uangnya belum cukup. Kamu tetap akan dibelikan mobil, tapi kredit. Minggu depan, yah. Bisa bangkrut aku, kalau kalian minta kembaran terus."

"Ya udah gak apa-apa, Mas. Makasih cincinnya. Masuk yuh, pasti cape."

Wah-wah, Aida mendadak bersikap lemah lembut. Apa dia sedang membuktikan ucapannya tadi pagi? rumah ini semakin panas, dengan sandiwara perempuan ular itu.

"Mas mau mandi dulu, yah."

"Siap, Mas. Aku siapin makan malamnya."

Mas Wisnu pergi ke kamar. Di ruang tamu, hanya tersisa aku dan Aida. Si*l, Aida menganggap aku sebatas figura. Dia sengaja merebut perhatian Mas Wisnu. Gelagatnya, ingin menunjukan bahwa dia satu-satunya istri yang berbakti dan pengertian.

Di momen begini, Aish malah pergi nongkrong dengan temannya. Sehingga, tidak ada kawan bersekutu untuk melawan Aida.

"Mau sok perhatian?" tanyaku sinis. 

"Hahaha, ada kejutan lain, Elina."

Aida terduduk di lantai. Apa yang akan dia lakukan. Firasat buruk muncul di hati ini.

"Arrgh! sakit. Mas, tolong ...."

Darah mengalir di bagian kaki Aida. Padahal, aku tidak mendorongnya. Darah dari mana gerangan.

"Mas, tolong!"

"Aida apa yang kamu lakukan?" tanyaku panik.

"Mas, sakit. Elina mendorongku. Anak kita, Mas. perutku sakit."

Mas Wisnu segera menghampiri kami dengan raut cemas. 

"Elina, apa yang kamu lakukan?"

"Aku tidak melakukan apa-apa, Mas."

"Jangan bohong. lihat, Aida mengeluarkan darah. Kamu sengaja mau membunuh anakku?"

"Anak? Aida hamil?"

"Jangan pura-pura tidak tahu. Kamu pasti sengaja melukainya, karena aku menyembunyikan kehamilan Aida? tega sekali kamu, Elin. Aku menutupinya demi kamu. Tapi, dirimu malah melukai anakku."

"Mas, buruan ke dokter, sakit ...," rintih Aida.

Mas Wisnu sama sekali tak percaya denganku. Dia menggendong Aida sambil menatap tajam penuh kekecewaan kepeadaku. Hati begitu sakit dengan perlakuannya. Ditambah kenyataan baru yang menusuk kalbu. Aida sudah hamil. Itu pertanda, perselingkuhan Mas Wisnu dilakukan sejak lama, dan secara sadar. Aku pikir, dia terpaksa menikah karena ancaman. Namun, kebenarannya begitu menohok jiwa dan raga.

"Elina, ikut denganku. Kamu harus tanggung jawab!" bentak Mas Wisnu. 

Ribuan belati menancap sempurna. Awas kamu Aida. Aku tidak akan tinggal diam. Dasar perempuan licik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status