Aida menerobos masuk. Emosi memicunya lupa diri. Hatiku bersorak girang memandang kecemburuan dari mukanya.
"Ada yang ngintip, nih," sindirku.
"Mas, kamu harus adil. Aku juga mau dibelikan mobil dan uang 500 juta. Masa Elina doang, aku lebih berhak. Kamu tau 'kan aku yang akan memberi keturunan untukmu?"
"Maksud kamu?" tanyaku.
Sudah beberapa kali, Aida mengungkapkan kata yang mengisyaratkan bahwa dia tengah mengandung darah daging Mas Wisnu. Apa Aida hamil? tak mungkin secepat itu.
"Tidak Neng. Aida memang suka aneh."
"Pokoknya, Mas harus memperlakukanku sama rata dengan Elin"
"Baik-baik, aku akan adil."
"Nah, gitu dong."
Kesian sekali Mas Wisnu. Kalau begini, bisa jatuh miskin dia. Namun, biar terjadi seperti ini. Aku senang melihatnya. Mas Wisnu akan merasakan resiko punya dua istri. Satu saja tidak habis, dan ribet, malah nambah lagi.
"Mas, aku juga mau dibelikan berlian, yah. Malu dong, pemilik restoran gak punya perhiasan."
"Perhiasan? Neng 'kan gak suka pakai emas atau berlian. Katanya mending ditabung?"
"Itu dulu, sekarang Neng mau jadi perempuan sosialita yang modis. Biar banyak kegiatan dan gak stres di rumah saja."
"Baik Neng. Pulang kantor, Mas beliin yah, Sayang."
"Makasih suamiku, tersayang."
"Aku juga mau, Mas. Ingat, harus adil. Apa yang dimiliki Elin, harus aku punya juga."
"Dasar tukang sirik," celetukku.
"Eh, bukan iri yah. Itu sudah tugas Suami, bersikap sepatutnya pada istri kedua."
"Mangkanya, cari pria yang sendiri. Jangan laki orang diembat. Gak enak 'kan rasanya berbagi."
"Diam kamu!"
"Hey, kamu yang diam. Pelakor itu harusnya dapet sisaan. Nanti kalau aku sudah bosen pakai perhiasannya, aku kasih kamu deh, biar hemat."
"Dih, gak sudi pakai bekas kamu."
Apa yang dia katakan, tidak Sudi Bekasku? Lalu, kenapa merebut suamiku? pelakor harus disodorkan kaca sebesar gaban biar sadar diri.
"Dasar perempuan edan," umpatku kesal.
"kamu yang edan."
"kamu."
"Kamu, Elin!" teriak Aida penuh emosi.
"Diam!" bentak Mas Wisnu.
Napas Mas Wisnu tersengal menahan amarah. Tangannya mengepal kuat. Mata melotot geram.
"Pusing kepalaku menghadapi kalian."
Mas Wisnu berlalu meninggalkan kami. Aku bahagia melihatnya menderita. Baru segitu saja, sudah kesal. Itulah akibat egois menyakiti istri. Emang enak punya dua macan tutul, yang sama-sama matre dan cerewet?
"Ini semua gara-gara kamu, Elin. Jadi istri ko, matre banget . Minta ini itu. Kerja sendiri dong."
"Hey, intropeksi diri dong. Situ juga matre. Mau jadi kedua karena harta suamiku 'kan? aku sudah paham model perempuan kaya kamu."
"Sorry, Elin. aku benar-benar mencintai Mas Wisnu. Bukan sekedar menguras harta seperti kamu."
"Hahaha, kita lihat saja, nanti," ujarku menatap sinis.
Aku berlalu menghindar dari Aida. Berdebat dengannya, hanya membuang-buang waktu. Manusia yang merebut suami orang, selalu memikirkan dirinya sendiri. Dia akan merasa paling benar laksana dewa."Mbak kenapa? tadi Mas Wisnu mukanya lecek banget."
"Biasa, si pelakor makin bertingkah. Dia mau ikut-ikutan dibeliin mobil sama perhiasan," jawabku datar"Hahaha, bagus. Kuras terus uangnya, biar miskin. Pria kaya suka bertingkah, sih."
"Aish, kamu yang ngerjain si Aida tadi?". tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Iya dong. siapa lagi, kalau bukan Aish."
"Mantap. Adikku memang asik-asik jos," aku tergelak mengingat ide konyolnya.
"Belum selesai Mbak. Kita buat pertunjukan lain. Mbak terus dapetin hati Mas Wisnu. Biar dia makin kebakaran jenggot."
"Tenang kalau itu. Aish, susun saja rencana baru untuk mengetahui alasan kuat Mas Wisnu selingkuh. Mbak yakin, mereka menyembunyikan sesuatu."
"Oh, kalian sengaja menyusun rencana untuk menjatuhkanku?" tanya Aida dengan senyum jahat.
Si*l, aku terlalu ceroboh membicarakan hal penting di ruang makan. Aku dan Aish tercengang mengetahui kehadiran Aida.
"Kalau iya, kenapa?"
"Hahaha, kamu memilih lawan yang salah, Elina. Aku lebih pintar dibandingkan kalian."
Percuma mengelak. Aida sudah tahu semuanya. Secara terang-terangan, aku kibarkan bendera perang.
"Kita lihat saja nanti."
"Baik. Hanya aku yang akan menang dan merebut kebahagiaanmu."
"Dasar perempuan jal**g."
Dia pikir, dirinya Tuhan, bisa mengambil kebahagiaan sesama manusia?
"Cukup, Mbak. Jangan main fisik lagi." Aish mencegah tanganku yang siap memukul Aida."Tenang Mbak, Kita akan membuktikan, bahwa kejahatan tidak akan menang melawan kebenaran," cecar Aish.
Aida pergi dengan senyum mengejek. Dia Berjalan angkuh. Sepertinya, dia begitu percaya diri mengalahakanku.
"Bendera perang sudah dikibarkan, Mbak. Kita harus lebih waspada jika bertindak."
"Betul Aish. Mbak akan segera mengembangkan bisnis restoran bersama Arka. Sambil memikirkan cara, lepas dari Mas Wisnu."
Hidup memang penuh jalanan berbatu. Ada kalanya naik, dan turun. Sesekali harus memilih antara belok ke kiri atau kanan. Kita harus memikirkan secara matang jalan yang dipilih. Jangan sampai tersesat, dan menyesal kemudian hari. Siapkan amunisi, keyakinan yang kuat pada pemilik kehidupan, dan kepercayaan diri yang kuat. Yakinlah, kita sanggup melewati berliku-liku takdir yang disiapkan semesta.
*******"Elina, Sayang," sapa Mas Wisnu setelah pulang kerja.
"Tumben baru pulang."
"Mas 'kan nyari mobil buat kamu dulu. Untung dapet mobilnya."
"Serius?"
"Iya dong. Ayok kita kedepan."
Mas Wisnu menarikku yang sedang menyiapkan makan malam. Kasih sayangnya begitu menusuk dihati. Sikapnya tidak berubah, selalu romantis.
"Wow, bagus sekali."
Mobil mewah berwarna merah terparkir di garasi. Pita warna putih, menghias bagian depan.
"Suka?"
"Banget," seruku penuh sukacita.
Sejenak, rasa kecewa hilang. Sikap manis Mas Wisnu, mampu meluluhkanku. Andai, tidak ada perempuan lain, dia sudah aku peluk dan cium.
"Ada satu lagi."
Mas Wisnu merogoh kantong jas. Dia mengeluarkan kotak berwarna merah. Saat dibuka, sebuah cincin berlian yang berkilauan indah membuatku terkagum.
"Wah, bagus banget. Makasih, Mas."
Refleks, aku cium pipi kanan dan kirinya. Namanya juga perempuan, saat diberi perhiasan mahal dan mewah, akan lupa masalahnya.
"Buat aku mana Mas?" tanya Aida yang tiba-tiba muncul. Kegembiraan hilang tak berbekas. Semua barang mewah ini, tak berharga lagi, saat diriku sadar, cinta Mas Wisnu sudah terbagi."Ini berlian untukmu, Aida."Cincin berlian yang sama dengan milikku, ada ditangan Aida. Aku pikir, hanya untukku. Tenryata, semuanya tidak spesial lagi seperti dulu.
"Mobilnya mana?""Sabar, yah, Aida. satu-satu, uangnya belum cukup. Kamu tetap akan dibelikan mobil, tapi kredit. Minggu depan, yah. Bisa bangkrut aku, kalau kalian minta kembaran terus."
"Ya udah gak apa-apa, Mas. Makasih cincinnya. Masuk yuh, pasti cape."
Wah-wah, Aida mendadak bersikap lemah lembut. Apa dia sedang membuktikan ucapannya tadi pagi? rumah ini semakin panas, dengan sandiwara perempuan ular itu.
"Mas mau mandi dulu, yah.""Siap, Mas. Aku siapin makan malamnya."
Mas Wisnu pergi ke kamar. Di ruang tamu, hanya tersisa aku dan Aida. Si*l, Aida menganggap aku sebatas figura. Dia sengaja merebut perhatian Mas Wisnu. Gelagatnya, ingin menunjukan bahwa dia satu-satunya istri yang berbakti dan pengertian.
Di momen begini, Aish malah pergi nongkrong dengan temannya. Sehingga, tidak ada kawan bersekutu untuk melawan Aida.
"Mau sok perhatian?" tanyaku sinis.
"Hahaha, ada kejutan lain, Elina."
Aida terduduk di lantai. Apa yang akan dia lakukan. Firasat buruk muncul di hati ini."Arrgh! sakit. Mas, tolong ...."Darah mengalir di bagian kaki Aida. Padahal, aku tidak mendorongnya. Darah dari mana gerangan.
"Mas, tolong!"
"Aida apa yang kamu lakukan?" tanyaku panik.
"Mas, sakit. Elina mendorongku. Anak kita, Mas. perutku sakit."Mas Wisnu segera menghampiri kami dengan raut cemas.
"Elina, apa yang kamu lakukan?"
"Aku tidak melakukan apa-apa, Mas."
"Jangan bohong. lihat, Aida mengeluarkan darah. Kamu sengaja mau membunuh anakku?"
"Anak? Aida hamil?"
"Jangan pura-pura tidak tahu. Kamu pasti sengaja melukainya, karena aku menyembunyikan kehamilan Aida? tega sekali kamu, Elin. Aku menutupinya demi kamu. Tapi, dirimu malah melukai anakku."
"Mas, buruan ke dokter, sakit ...," rintih Aida.Mas Wisnu sama sekali tak percaya denganku. Dia menggendong Aida sambil menatap tajam penuh kekecewaan kepeadaku. Hati begitu sakit dengan perlakuannya. Ditambah kenyataan baru yang menusuk kalbu. Aida sudah hamil. Itu pertanda, perselingkuhan Mas Wisnu dilakukan sejak lama, dan secara sadar. Aku pikir, dia terpaksa menikah karena ancaman. Namun, kebenarannya begitu menohok jiwa dan raga.
"Elina, ikut denganku. Kamu harus tanggung jawab!" bentak Mas Wisnu.
Ribuan belati menancap sempurna. Awas kamu Aida. Aku tidak akan tinggal diam. Dasar perempuan licik.
POV Wisnu"Nikahi Aida, Wisnu," perintah Ibu saat aku berkunjung ke Bandung."Tidak Bu. Wisnu sudah bilang, balas Budi gak harus menikahinya. Wisnu siap menanggung hidup Aida. Memberinya uang tiap bulan. Asal, tidak menikah dengannya.""Gak bisa Wisnu. Itu permintaan terakhir Pak Reno. Dia ingin kamu menjaga Aida.""Aku bisa menjaganya, tanpa harus menikah dengannya, Bu!" bentakku geram."Tolong, Wisnu, menikahlah dengan Aida, agar kamu bisa punya anak. Lihatlah, sudah enam tahu pernikahan, kalian belum mempunyai anak.""Belum rezeki, Bu. Kami sama-sama subur. Jadi, jangan beri alasan apapun. Sampai kapan pun, Wisnu tidak akan mempoligami Elina. Wisnu sangat mencintainya.""Wisnu, mau ke mana?""Aku mau kembali ke Jakarta.""Wisnu, jangan pergi. Temani Ibu!" teriak Ibu tak aku hiraukan.Aku berlalu pergi dari rumah Ibu. Sungguh, permintaannya diluar akal sehat. Aku sangat mencintai Elina. Perempuan paling sempurna di mataku.Sekuat tenaga, aku tolak permintaan gila dari Ibu. Tak akan
Pov Elina"Tidak, aku tidak mau, Mas. Aku ingin periksa ke Dokter Mawar saja. Dia sahabat kita, pasti memberi pelayanan terbaik," sanggah Aida panik"Halah, kamu takut 'kan? lihat tuh, gundikmu, Mas. Kebakaran jenggot takut ketahuan." Dia pikir aku bodoh dan bisa masuk perangkapnya? oh tidak, semudah itu. Aku sudah bisa membaca kelakuan pelakor model Aida. Sekarang, dia panik karena permainannya sendiri."Diam! biar aku yang menentukan!" bentak Mas Wisnu.Hatiku dongkol kepada Mas Wisnu. Hanya karena istri keduanya, dia membentakku. Tak ada penawar bagi lukaku ini. Tekad semakin bulat untuk menggugat ceria. Modal usaha sudah aku kantongi. Soal aset rumah, aku tak berminat menguasainya.Harta bukan penentu sebuah kebahagian. Hal terpenting, aku punya modal untuk memulai hidup baru tanpa Mas Wisnu. Dibandingkan terus bertahan tapi tersakiti. Uang masih bisa aku cari sendiri. Namun, kebahagian dan kesehatan mental tidak bisa dibeli materi. Buat apa aku berhasil mengeruk harta Mas Wisnu
Prang!Mas Wisnu memecahkan meja kaca menggunakan hiasan patung dari batu yang ada di lemari tempat televisi."Jangan pergi, atau aku bunuh diri," gertak Mas Wisnu sambil meletakan pecahan kaca pada lengan kirinya."Mas istigfar, Mas," seruku panik."Jangan pergi, Elin aku mohon." "Biarin aja, Mbak. Dia cuman drama doang. Kalau gak mau kehilangan, harusnya jangan mendua," sungut Aish."Mas tidak bercanda, Elina. Tolong jangan pergi. Mas sangat mencintaimu.""Modus!" sergah Aish."Ayok, Aish, kita pergi," seruku."Tidak."Mas Wisnu menghadang kami. Dia berjaga di pintu, agar aku tak bisa keluar. Kenapa kamu nekat seperti ini, Mas?"Awas!" teriak Aish."Tolong biarkan kami pergi, Mas!" hardikku."Silakan, pergi. Jika kamu rela melihatku mati.""Arrgh!" jerit aku dan Aish saat melihat darah bercucuran.Serpihan kaca, berhasil membelah lapisan kulit Mas Wisnu. Jelas terlihat, kulit yang menganga dengan cairan merah yang perlahan melingkari tangannya."Mas wisnu, hiks, hiks."Tanpa pikir
"Berhenti!" Aku pasang badan agar Arka tidak lagi dipukul. Mas Wisnu menatap heran. Dia menggelengkan kepala seakan tak percaya, bahwa aku lebih membela Arka dibandingkan suami sendiri."Elina, jangan halangi aku. Pria itu sudah kurang ajar!" umpat Mas Wisnu."Elina, mari ikut bersamaku. Tinggalkan suami tak berguna seperti dia."Kenapa Arka berbicara seperti itu? pasti ada sesuatu yang tidak beres. "Diam! tidak boleh ada yang bertengkar. Mas Wisnu jangan main hakim sendiri.""Kenapa kamu bela dia, Elina? sudah jelas, dia merendahkanku. Dia bicara bohong kalau kamu mantannya. Dia juga berani mengancam akan merebutmu dariku.""Tenang, Mas Wisnu. Sepertinya pria itu memang jujur. Buktinya, kemarin-kemarin dia juga sengaja membantu Elina mengacaukan resepsi kita. Biarkan Elina pergi bersamanya. Mereka juga sama-sama penghianat ," ujar Aida memanas-manasi."Jangan ikut campur, Aida. Keberadaanmu malah menambah keruh suasana!" bentak Mas Wisnu sambil menghempaskan tangannya."Elina, ayok
POV AidaNamaku Aida Anandita, putri tunggal keluarga Reno Kusuma. Pemilik bisnis properti di Bandung. Ayah aslinya orang jawa, tetapi tinggal di Bandung karena menikah dengan Ibu. Sejak kecil, Ibu meninggalkan kami karena sakit. Namun, aku tak pernah merasa kekurangan kasih sayang, karena sering di asuh Bu Anna, Istri sahabat karib Bapak. Persahabatan mereka sangat erat. Itu pula yang terjadi denganku dan Anaknya--Wisnu.Keluarga Mas Wisnu sangat berhutang Budi pada Ayahku. Apalagi, saat Pak Wijaya meninggal. Semua kebutuhan kuliah Mas Wisnu, dan modal usaha Ibunya, ditanggung Ayahku."Aida, Mas seneng banget," seru Mas Wisnu. Saat libur kuliah tiba, kami selalu bermain bersama. Menyempatkan waktu bertemu atau bertukar pesan saat saling jauh. Mas Wisnu kuliah di Yogyakarta, sedangkan aku masih setia di Bandung. Tinggal bersama Ayah, dan sering berkunjung ke rumah Mas Wisnu."Kenapa, Mas? tumben pulang dari Jogja mukanya cerah gitu.""Mas udah jadian sama Elina, perempuan yang sering
POV ElinaTok! tok! tok!"Siapa yang bertamu pagi-pagi gini, Aish?" tanyaku heran."Gak tahu, sana Mbak aja yang buka. Biar Aish lanjut masak dan bawa ke depan.""Oke siap.""Assalamualaikum."Tok! tok! tok!Suara ketukan pintu bertalu-talu. Siapa gerangan orang yang bertamu sepagi ini? ketukannya berkali-kali dan sangat nyaring. Seperti orang mau ngajak tawuran."Buka!" "Iya sebentar."Ceklek!"Aduh, lama banget. Iqis kesel ama Bunda. Iqis 'kan mau makan macakan Bunda," rengek anak kecil bermata indah itu.Pagi ini, dia begitu cantik. Menggunakan baju muslim berwarna pink dengan kerudung warna senada. Tangannya memegang boneka beruang berwana coklat susu. Bibir tipisnya menyiratkan kebahagian."Ya ampun, maaf anak cantik. Tante lagi masak, jadi lama buka pintunya." Aku berjongkok sambil memegang tangannya."Ko, Bunda bilang Tante? Bunda gak akuin Iqis anak Bunda?"Bibir Iqis manyun dengan sempurna. Wajah cerah seketika sendu seperti awan mau hujan."Eh, ko, sedih.""Bilqis, ini T
"Duduklah Elina," perintah Arka saat kami tiba di kontrakanku.Ribuan luka bertebaran di hati. Jika tak ingat malu, aku ingin mengamuk seperti seekor sapi yang kena stres saat mau dipotong."Mas Arka lebih baik pulang saja. Aku tahu, Mas sibuk mengurus klien baru. Soal rekomendasi hidangan acara para pengantin, nanti bisa konfirmasi langsung ke koki restoranku.""Gak papa aku tinggal?"Aku hanya mengangguk lemas. Bilqis ikut murung di sampingku. Dia terus menggenggam tangan ini."Baiklah, sepertinya kamu butuh waktu sendiri. Soal Wisnu, jika kamu butuh pengacara hebat untuk di pengadilan nanti, hubungi aku. Kita buat mereka menyesal." Aku hanya tersenyum tipis meresponnya.Kenapa Arka ikut berambisi membalas keburukan mereka? membuatku semakin penasaran saja. Namun, mulut seakan terkunci rapat tak ingin banyak bicara."Aku pamit.""Hati-hati."Arka berlalu meninggalkan kami. Hanya tersisa aku dan Bilqis. "Bunda, jangan nangis, Iqis jadi sedih," ucap Bilqis berkaca-kaca. Aku peluk t
"Maaf Bu. Harusnya ibu yang bertanya pada diri sendiri. Kesalahan apa yang Ibu perbuat, sampai membuat rumah tangga kami hancur," jawabku penuh penekanan.Ibu hanya membisu. Matanya berkaca-kaca. Perkataanku bagai busur yang melesat tepat sasaran. Menancap kuat di hatinya."Elina jangan pergi," rengek Mas Wisnu seperti anak kecil.Irasnya sudah tak karuan. Rasa penyesalan, kesedihan, dan penderitaan begitu tergambar di wajahnya. Seketika, hatiku ikut pilu. Namun, logika memaksa untuk pergi."Elina, aku akan mengejarmu kemana pun. Kamu hanya untukku.""Wisnu ayok pulang!" Ibu menahan Mas Wisnu agar tak mendekat kepadaku. Sedangkan aku, berusaha tak acuh atas panggilannya."Sabar yah, Mbak Elina."Sebelum masuk mobil, Mas Alzam menghampiri untuk memberi semangat. Wajahnya yang teduh, menyalurkan energi ketenangan untukku."Allah selalu menghibur hati yang sedih melalui firmannya. Seperti yang sudah di jelaskan dalam Al Quran Surat Al-Baqarah Ayat 186: Dan apabila hamba-hamba-Ku bert