"Aish, apa tidak bahaya? kenapa Mas Wisnu yang dikasih obat pencahar. Harusnya si Aida."
"Aish sengaja melakukan itu, agar Mbak bisa caper sama Mas Wisnu. Biar dia sadar, kalau Mbak adalah perempuan yang sangat tulus mencintainya. Ya meskipun, pada waktu yang tepat, Aish berharap kalian bercerai."
Perkataan Aish menampar hatiku. Cepat atau lambat, perasaan ini harus sirna. Aku sendiri tidak yakin, bisa kuat saat dipoligami. Walaupun Mas Wisnu berusaha adil, tetap saja, masalah hati tidak bisa dikontrol. Mas Wisnu akan sulit untuk berbuat sama rata menyikapi perasaanku dan Aida."Terus Mbak harus Apa?""Aduh, nanya mulu. Untung punya adik yang kesabarannya seluas sungai A****n. Nih, kasih obat ini sama Mas Wisnu. Sebelumnya, bawakan teh hangat sama biskuit buat mengganjal perutnya yang kosong."
"Ide luar biasa."
"Iya dong, siapa dulu dalangnya, Aish."
"Hahaha, siap-siap. Mbak harus memainkan simpati Mas Wisnu, agar dia mau jujur tentang alasan pernikahan keduanya."
"Nah cakep. Gitu dong, berpikir encer. Jangan emosi mulu, percuma gak menyelesaikan masalah, tapi malah nambah ribet. Terus, Mbak jadi cepat tua, hahaha."
"Sembarangan. Ya sudah, Mbak ke kamar dulu. Mas Wisnu masih nongkrong di WC kayanya."
"Hahahaha, sip. Awas Mbak, jangan baper, yah."
"Pasti. Hati ini terlalu sakit untuk kembali."
Aish tersenyum meledek mendengarkan penuturanku. Biar saja aku buktikan, jika perkataan ini memang benar adanya. Selingkuh dan kebohongan, dua hal fatal dalam sebuah hubungan.
"Mas."Mas Wisnu sedang bersandar di kasur. Wajahnya pucat, dan lemas. Rasa tidak tega, segera aku tepis, saat mengingat kejahatannya padaku.
"Neng, perut Mas, sakit banget. udah sepuluh kali bulak balik WC."
"Minum teh pahitnya dulu, Mas. Biar gak lemes. Elin, juga bawain biskuit, biar Mas gak pingsan kehabisan asupan makanan," ujarku datar.
"Makasih, Neng."Mas Wisnu memakan beberapa biskuit dan meminum teh. Dia terus memandangiku. Aku berusaha menghindar dari tatapannya, dengan cara menyibukkan diri bermain gawai.
"Neng, Boleh minta ambilin air putih?"
"iya."
Aku kembali ke dapur mengambilkan Air dan membawa obat penawar dari Aish. Sudah cukup, pelajaran untuk Mas Wisnu malam ini. Aku akan melancarkan jurus rayuan maut untuk mensukseskan rencana selanjutnya.
"Minum obat ini Mas. Tadi, Aish sengaja aku suruh membelikannya."
"Iya Neng. Makasih yah, kamu tetap jadi istri yang berbakti, padahal Mas sudah menyakiti."Jika bukan karena niat ingin membalaskan rasa sakit Hati, aku sudah menggugat cerai sejak kemarin. Namun, berusaha tidak gegabah. Tak rela melepas Mas Wisnu begitu saja. Sebelum dia merasakan sakit hatiku.
Tak akan aku biarkan, Aida merasa di atas awan. Enak saja, aku yang menemani Mas Wisnu dari nol. Saat dia masih menjadi mahasiswa, sampai sekarang, diangkat sebagai Planning manager di perusahaan BUMN. Dengan gaji puluhan juta, masa aku akan melepasnya semudah itu? tentu tidak.
Beberapa bulan kedepan, kita akan bermain-main dulu. Membuat posisiku semakin kuat di hati Mas Wisnu. Saat dia sadar, bahwa aku berharga, barulah mencampakkannya.
"Sudah kewajibanku sebagai Istri untuk berbakti. Selama kata talak dan gugatan cerai belum dilayangkan."
"Apa Neng, akan menggugat cerai?"
"Mungkin."
"Tapi Neng, Mas sangat mencintai Neng."
"Jangan bicara cinta, jika secara bersamaan, melukai hati orang yang dicintai."
"Pernikahan Mas dengan Aida hanya terpaksa. Keluarga Mas, berhutang banyak pada Aida. Saat Ayah meninggal, yang membiayai hidup Mas dan Ibu, adalah bapaknya Aida. Maka, saat Aida tidak punya siapa-siapa lagi, Mas terpaksa menikahinya."
Hahaha, basi alasan kamu, Mas. Jika kamu benar-benar mencintaiku, tidak akan memilih jalan mendua. Membalas budi, tidak harus dengan cara menikah, bukan? aku tahu, perkataanmu hanya sebuah alibi untuk membenarkan poligami.
"Terserah, Mas.""Neng, tolong percaya sama Mas."
Mas Wisnu memelukku erat. Ada desiran halus yang tidak bisa ditolak. Rasa sayang masih tersisa, meski hanya beberapa persen saja.
"Lepas, Mas.""Neng, Mas mohon, jangan minta cerai. Mas akan berusaha mempertahankan pernikahan ini sekuat tenaga. Neng sudah janji, kita akan bersama sampai ajal memisahan," pinta Mas Wisnu.
Matanya menatapku sendu. Dia merangkul pundakku, memohon agar tidak pergi. Semesta memang suka bercanda. Kemarin, aku harus melihat resepsi kedua suamiku. Sekarang, dipaksa menyaksikan luapan cinta darinya.
"Ada syaratnya."
"Apa? sebutkan Neng. Apapun yang Neng minta, Mas pasti wujudkan. Asal jangan meminta Mas menceraikan kamu ataupun Aida."
Deg!
Ucapan Mas Wisnu begitu menusuk. Manusia macam apa di depanku ini. Dia sangat egois. Tidak mau melepasku, tapi seenaknya melukai.
"Aku minta modal 500 juta untuk membuka cabang restoran. Terus, beliin mobil juga. Aku harus sering main keluar, agar tidak stres di rumah.
"Kamu serius?" tanya Mas Wisnu tak percaya.
Selama ini, aku tipe istri yang tidak banyak menuntut. Awalnya, harta tidak penting bagiku. Namun, jika kondisinya seperti ini, lebih baik, aku habiskan harta Mas Wisnu untuk memakmurkan hidupku. Dibandingkan hartanya habis oleh Aida.
"Terserah kalau tidak mau. Jalan perceraian akan aku perjuangkan."
"Ba-baik, semua keinginan kamu, Pasti Mas kabulkan."
"Oke, kirim uangnya sekarang. Mobilnya besok harus ada."
"Apa? sekarang?"
"Iya, Mas 'kan punya M-bangking."
"Baiklah Neng. Mas akan mengirim uang itu sekarang. Asal Neng janji gak bakal ninggalin, Mas."
"Iya."
Tuhan, maaf aku membuat janji palsu. Mas Wisnu saja berani mengingkari janji suci kami. Aku terpaksa melakukan hal yang sama.
"Udah Mas Kirim."
"Iya, udah masuk."
Uang sudah dikantongi, untuk modal usaha. Setelah ini, aku harus memikirkan cara agar bisa lepas dari Mas Wisnu. Realitanya, perceraian tidak semudah di film atau novel rumah tangga. Cukup sulit, jika pihak suami bersikukuh mempertahankan rumah tangganya. Ditambah lagi, aku tidak punya bukti perselingkuhan mereka. Hanya tahu saat mereka sudah menikah. Posisiku di persidangan semakin alot. Mas Wisnu tipe manusia ambisius. Dia bisa melakukan apapun untuk mendapatkan keinginannya.
"Jangan pernah pergi, Neng."Lagi-lagi Mas Wisnu memelukku. Ah, muak rasanya. Kakiku sangat gatal ingin menendang. Sebisa mungkin, aku tahan emosi agar tidak berbuat nekat.
"Satu lagi." Aku lepaskan pelukannya secara paksa.
"Apa, Neng?"
"Mas gak boleh minta jatah, sebelum aku mengijinkan."
"Ta-tapi Neng Ma-"
"Aku butuh waktu beradaptasi. Berbagi suami itu tidak mudah."
"Baiklah," jawab Mas Wisnu lesu.
Syukurin, aku juga bisa mempermainkan perasaannya. Jangan hanya hatiku saja yang bisa kamu tarik ulur. Aku juga akan membuat, tembok penyekat diantara kita. Ingat, semuanya sudah berubah.
*******
Pagi hari, aku sudah menyiapkan sarapan di meja. Sebenarnya sukar, tapi jika bukan aku yang masak, siapa lagi. Aish entah pergi kemana. Setelah subuh, dia izin keluar. Sedangkan Aida, seperti mati suri."Pagi, Neng.""Iya."
"Masak apa Neng? Mas kangen banget masakan kamu."
"Tuh."
"Jangan cuek atuh, Neng."
"Hmmmm."
"Argh! Setan!" Suara Aida menggema."Neng, Aida kenapa?" Aku hanya menautkan alis tanda tak tahu.
"Pergi kamu, Setan!"
"Ayok, kita liat."
Drama apalagi yang dibuat madu baruku? pagi-pagi sudah bikin rusuh aja. Terpaksa, aku mengekor di belakang Mas Wisnu. Penasaran dengan apa yang menimpa Aida, sampai berteriak ketakutan.
"Neng, Aida kenapa?" Aku hanya menautkan alis tanda tak tahu."Pergi kamu, Setan!""Ayok, kita liat."Drama apalagi yang dibuat madu baruku? pagi-pagi sudah bikin rusuh aja. Terpaksa, aku mengekor di belakang Mas Wisnu. Penasaran dengan apa yang menimpa Aida, sampai berteriak ketakutan."Ada ap-" Mas Wisnu tidak meneruskan ucapannya.Matanya mebelalak menatap Aida. Mas Wisnu menggeleng heran ke arah gundik yang biasanya nampak cantik, berubah bak nenek lampir. Senyum tipis, tersungging di bibirku. Di dalam hati, aku bersorak bahagia memperhatikan ekspresi kepanikan di wajah Aida."Mas, parasku jadi seram gini. Pasti perbuatan Elina. Dasar perempuan gila."Aida menghampirku, siap melayangkan tamparan. Tangan Mas Wisnu, sigap menangkisnya. "Jangan sembarangan nuduh. Dari tadi, Elina bersamaku. Harusnya aku yang nanya, ngapain kamu coret-coret muka gitu.""Aku juga gak tahu, Mas. Pas bangun udah gini.""Mangkannya kalau tidur jangan kaya kebo," cibirku."Diam kamu. Pasti kamu 'kan yan
"Mas, aku juga mau dibelikan Mobil." Aida menerobos masuk. Emosi memicunya lupa diri. Hatiku bersorak girang memandang kecemburuan dari mukanya. "Ada yang ngintip, nih," sindirku. "Mas, kamu harus adil. Aku juga mau dibelikan mobil dan uang 500 juta. Masa Elina doang, aku lebih berhak. Kamu tau 'kan aku yang akan memberi keturunan untukmu?" "Maksud kamu?" tanyaku. Sudah beberapa kali, Aida mengungkapkan kata yang mengisyaratkan bahwa dia tengah mengandung darah daging Mas Wisnu. Apa Aida hamil? tak mungkin secepat itu. "Tidak Neng. Aida memang suka aneh." "Pokoknya, Mas harus memperlakukanku sama rata dengan Elin" "Baik-baik, aku akan adil." "Nah, gitu dong." Kesian sekali Mas Wisnu. Kalau begini, bisa jatuh miskin dia. Namun, biar terjadi seperti ini. Aku senang melihatnya. Mas Wisnu akan merasakan resiko punya dua istri. Satu saja tidak habis, dan ribet, malah nambah lagi. "Mas, aku juga mau dibelikan berlian, yah. Malu dong, pemilik restoran gak punya perhiasan." "Per
POV Wisnu"Nikahi Aida, Wisnu," perintah Ibu saat aku berkunjung ke Bandung."Tidak Bu. Wisnu sudah bilang, balas Budi gak harus menikahinya. Wisnu siap menanggung hidup Aida. Memberinya uang tiap bulan. Asal, tidak menikah dengannya.""Gak bisa Wisnu. Itu permintaan terakhir Pak Reno. Dia ingin kamu menjaga Aida.""Aku bisa menjaganya, tanpa harus menikah dengannya, Bu!" bentakku geram."Tolong, Wisnu, menikahlah dengan Aida, agar kamu bisa punya anak. Lihatlah, sudah enam tahu pernikahan, kalian belum mempunyai anak.""Belum rezeki, Bu. Kami sama-sama subur. Jadi, jangan beri alasan apapun. Sampai kapan pun, Wisnu tidak akan mempoligami Elina. Wisnu sangat mencintainya.""Wisnu, mau ke mana?""Aku mau kembali ke Jakarta.""Wisnu, jangan pergi. Temani Ibu!" teriak Ibu tak aku hiraukan.Aku berlalu pergi dari rumah Ibu. Sungguh, permintaannya diluar akal sehat. Aku sangat mencintai Elina. Perempuan paling sempurna di mataku.Sekuat tenaga, aku tolak permintaan gila dari Ibu. Tak akan
Pov Elina"Tidak, aku tidak mau, Mas. Aku ingin periksa ke Dokter Mawar saja. Dia sahabat kita, pasti memberi pelayanan terbaik," sanggah Aida panik"Halah, kamu takut 'kan? lihat tuh, gundikmu, Mas. Kebakaran jenggot takut ketahuan." Dia pikir aku bodoh dan bisa masuk perangkapnya? oh tidak, semudah itu. Aku sudah bisa membaca kelakuan pelakor model Aida. Sekarang, dia panik karena permainannya sendiri."Diam! biar aku yang menentukan!" bentak Mas Wisnu.Hatiku dongkol kepada Mas Wisnu. Hanya karena istri keduanya, dia membentakku. Tak ada penawar bagi lukaku ini. Tekad semakin bulat untuk menggugat ceria. Modal usaha sudah aku kantongi. Soal aset rumah, aku tak berminat menguasainya.Harta bukan penentu sebuah kebahagian. Hal terpenting, aku punya modal untuk memulai hidup baru tanpa Mas Wisnu. Dibandingkan terus bertahan tapi tersakiti. Uang masih bisa aku cari sendiri. Namun, kebahagian dan kesehatan mental tidak bisa dibeli materi. Buat apa aku berhasil mengeruk harta Mas Wisnu
Prang!Mas Wisnu memecahkan meja kaca menggunakan hiasan patung dari batu yang ada di lemari tempat televisi."Jangan pergi, atau aku bunuh diri," gertak Mas Wisnu sambil meletakan pecahan kaca pada lengan kirinya."Mas istigfar, Mas," seruku panik."Jangan pergi, Elin aku mohon." "Biarin aja, Mbak. Dia cuman drama doang. Kalau gak mau kehilangan, harusnya jangan mendua," sungut Aish."Mas tidak bercanda, Elina. Tolong jangan pergi. Mas sangat mencintaimu.""Modus!" sergah Aish."Ayok, Aish, kita pergi," seruku."Tidak."Mas Wisnu menghadang kami. Dia berjaga di pintu, agar aku tak bisa keluar. Kenapa kamu nekat seperti ini, Mas?"Awas!" teriak Aish."Tolong biarkan kami pergi, Mas!" hardikku."Silakan, pergi. Jika kamu rela melihatku mati.""Arrgh!" jerit aku dan Aish saat melihat darah bercucuran.Serpihan kaca, berhasil membelah lapisan kulit Mas Wisnu. Jelas terlihat, kulit yang menganga dengan cairan merah yang perlahan melingkari tangannya."Mas wisnu, hiks, hiks."Tanpa pikir
"Berhenti!" Aku pasang badan agar Arka tidak lagi dipukul. Mas Wisnu menatap heran. Dia menggelengkan kepala seakan tak percaya, bahwa aku lebih membela Arka dibandingkan suami sendiri."Elina, jangan halangi aku. Pria itu sudah kurang ajar!" umpat Mas Wisnu."Elina, mari ikut bersamaku. Tinggalkan suami tak berguna seperti dia."Kenapa Arka berbicara seperti itu? pasti ada sesuatu yang tidak beres. "Diam! tidak boleh ada yang bertengkar. Mas Wisnu jangan main hakim sendiri.""Kenapa kamu bela dia, Elina? sudah jelas, dia merendahkanku. Dia bicara bohong kalau kamu mantannya. Dia juga berani mengancam akan merebutmu dariku.""Tenang, Mas Wisnu. Sepertinya pria itu memang jujur. Buktinya, kemarin-kemarin dia juga sengaja membantu Elina mengacaukan resepsi kita. Biarkan Elina pergi bersamanya. Mereka juga sama-sama penghianat ," ujar Aida memanas-manasi."Jangan ikut campur, Aida. Keberadaanmu malah menambah keruh suasana!" bentak Mas Wisnu sambil menghempaskan tangannya."Elina, ayok
POV AidaNamaku Aida Anandita, putri tunggal keluarga Reno Kusuma. Pemilik bisnis properti di Bandung. Ayah aslinya orang jawa, tetapi tinggal di Bandung karena menikah dengan Ibu. Sejak kecil, Ibu meninggalkan kami karena sakit. Namun, aku tak pernah merasa kekurangan kasih sayang, karena sering di asuh Bu Anna, Istri sahabat karib Bapak. Persahabatan mereka sangat erat. Itu pula yang terjadi denganku dan Anaknya--Wisnu.Keluarga Mas Wisnu sangat berhutang Budi pada Ayahku. Apalagi, saat Pak Wijaya meninggal. Semua kebutuhan kuliah Mas Wisnu, dan modal usaha Ibunya, ditanggung Ayahku."Aida, Mas seneng banget," seru Mas Wisnu. Saat libur kuliah tiba, kami selalu bermain bersama. Menyempatkan waktu bertemu atau bertukar pesan saat saling jauh. Mas Wisnu kuliah di Yogyakarta, sedangkan aku masih setia di Bandung. Tinggal bersama Ayah, dan sering berkunjung ke rumah Mas Wisnu."Kenapa, Mas? tumben pulang dari Jogja mukanya cerah gitu.""Mas udah jadian sama Elina, perempuan yang sering
POV ElinaTok! tok! tok!"Siapa yang bertamu pagi-pagi gini, Aish?" tanyaku heran."Gak tahu, sana Mbak aja yang buka. Biar Aish lanjut masak dan bawa ke depan.""Oke siap.""Assalamualaikum."Tok! tok! tok!Suara ketukan pintu bertalu-talu. Siapa gerangan orang yang bertamu sepagi ini? ketukannya berkali-kali dan sangat nyaring. Seperti orang mau ngajak tawuran."Buka!" "Iya sebentar."Ceklek!"Aduh, lama banget. Iqis kesel ama Bunda. Iqis 'kan mau makan macakan Bunda," rengek anak kecil bermata indah itu.Pagi ini, dia begitu cantik. Menggunakan baju muslim berwarna pink dengan kerudung warna senada. Tangannya memegang boneka beruang berwana coklat susu. Bibir tipisnya menyiratkan kebahagian."Ya ampun, maaf anak cantik. Tante lagi masak, jadi lama buka pintunya." Aku berjongkok sambil memegang tangannya."Ko, Bunda bilang Tante? Bunda gak akuin Iqis anak Bunda?"Bibir Iqis manyun dengan sempurna. Wajah cerah seketika sendu seperti awan mau hujan."Eh, ko, sedih.""Bilqis, ini T