Share

Part 8

Aku hanya bisa geleng-geleng mendengar pengakuan Aish. Dia sangat cerdas. Meskipun, rasa tidak tega sangat kuat kepada Mas Wisnu.

"Aish, apa tidak bahaya? kenapa Mas Wisnu yang dikasih obat pencahar. Harusnya si Aida."

"Aish sengaja melakukan itu, agar Mbak bisa caper sama Mas Wisnu. Biar dia sadar, kalau Mbak adalah perempuan yang sangat tulus mencintainya. Ya meskipun, pada waktu yang tepat, Aish berharap kalian bercerai."

Perkataan Aish menampar hatiku. Cepat atau lambat, perasaan ini harus sirna. Aku sendiri tidak yakin, bisa kuat saat dipoligami. Walaupun Mas Wisnu berusaha adil, tetap saja, masalah hati tidak bisa dikontrol. Mas Wisnu akan sulit untuk berbuat sama rata menyikapi perasaanku dan Aida.

"Terus Mbak harus Apa?"

"Aduh, nanya mulu. Untung punya adik yang kesabarannya seluas sungai A****n. Nih, kasih obat ini sama Mas Wisnu. Sebelumnya, bawakan teh hangat sama biskuit buat mengganjal perutnya yang kosong."

"Ide luar biasa."

"Iya dong, siapa dulu dalangnya, Aish."

"Hahaha, siap-siap. Mbak harus memainkan simpati Mas Wisnu, agar dia mau jujur tentang alasan pernikahan keduanya."

"Nah cakep. Gitu dong, berpikir encer. Jangan emosi mulu, percuma gak menyelesaikan masalah, tapi malah nambah ribet. Terus, Mbak jadi cepat tua, hahaha."

"Sembarangan. Ya sudah, Mbak ke kamar dulu. Mas Wisnu masih nongkrong di WC kayanya."

"Hahahaha, sip. Awas Mbak, jangan baper, yah."

"Pasti. Hati ini terlalu sakit untuk kembali."

Aish tersenyum meledek mendengarkan penuturanku. Biar saja aku buktikan, jika perkataan ini memang benar adanya. Selingkuh dan kebohongan, dua hal fatal dalam sebuah hubungan.

"Mas."

Mas Wisnu sedang bersandar di kasur. Wajahnya pucat, dan lemas. Rasa tidak tega, segera aku tepis, saat mengingat kejahatannya padaku.

"Neng, perut Mas, sakit banget. udah sepuluh kali bulak balik WC."

"Minum teh pahitnya dulu, Mas. Biar gak lemes. Elin, juga bawain biskuit, biar Mas gak pingsan kehabisan asupan makanan," ujarku datar.

"Makasih, Neng."

Mas Wisnu memakan beberapa biskuit dan meminum teh. Dia terus memandangiku. Aku berusaha menghindar dari tatapannya, dengan cara menyibukkan diri bermain gawai.

"Neng, Boleh minta ambilin air putih?" 

"iya."

Aku kembali ke dapur mengambilkan Air dan membawa obat penawar dari Aish. Sudah cukup, pelajaran untuk Mas Wisnu malam ini. Aku akan melancarkan jurus rayuan maut untuk mensukseskan rencana selanjutnya.

"Minum obat ini Mas. Tadi, Aish sengaja aku suruh membelikannya."

"Iya Neng. Makasih yah, kamu tetap jadi istri yang berbakti, padahal Mas sudah menyakiti."

Jika bukan karena niat ingin membalaskan rasa sakit Hati, aku sudah menggugat cerai sejak kemarin. Namun, berusaha tidak gegabah.  Tak rela melepas Mas Wisnu begitu saja. Sebelum dia merasakan sakit hatiku.

Tak akan aku biarkan, Aida merasa di atas awan. Enak saja, aku yang menemani Mas Wisnu dari nol. Saat dia masih menjadi mahasiswa, sampai sekarang, diangkat sebagai Planning manager di perusahaan BUMN. Dengan gaji puluhan juta, masa aku akan melepasnya semudah itu? tentu tidak. 

Beberapa bulan kedepan, kita akan bermain-main dulu. Membuat posisiku semakin kuat di hati Mas Wisnu. Saat dia sadar, bahwa aku berharga, barulah mencampakkannya. 

"Sudah kewajibanku sebagai Istri untuk berbakti. Selama kata talak dan gugatan cerai belum dilayangkan."

"Apa Neng, akan menggugat cerai?"

"Mungkin."

"Tapi Neng, Mas sangat mencintai Neng."

"Jangan bicara cinta, jika secara bersamaan, melukai hati orang yang dicintai."

"Pernikahan Mas dengan Aida hanya terpaksa. Keluarga Mas, berhutang banyak pada Aida. Saat Ayah meninggal, yang membiayai hidup Mas dan Ibu, adalah bapaknya Aida. Maka, saat Aida tidak punya siapa-siapa lagi, Mas terpaksa menikahinya."

Hahaha, basi alasan kamu, Mas. Jika kamu benar-benar mencintaiku, tidak akan memilih jalan mendua. Membalas budi, tidak harus dengan cara menikah, bukan? aku tahu, perkataanmu hanya sebuah alibi untuk membenarkan poligami.

"Terserah, Mas."

"Neng, tolong percaya sama Mas."

Mas Wisnu memelukku erat. Ada desiran halus yang tidak bisa ditolak. Rasa sayang masih tersisa, meski hanya beberapa persen saja.

"Lepas, Mas."

"Neng, Mas mohon, jangan minta cerai. Mas akan berusaha mempertahankan pernikahan ini sekuat tenaga. Neng sudah janji, kita akan bersama sampai ajal memisahan," pinta Mas Wisnu.

Matanya menatapku sendu. Dia merangkul pundakku, memohon agar tidak pergi. Semesta memang suka bercanda. Kemarin, aku harus melihat resepsi kedua suamiku. Sekarang, dipaksa menyaksikan luapan cinta darinya. 

"Ada syaratnya."

"Apa? sebutkan Neng. Apapun yang Neng minta, Mas pasti wujudkan. Asal jangan meminta Mas menceraikan kamu ataupun Aida."

Deg!

Ucapan Mas Wisnu begitu menusuk. Manusia macam apa di depanku ini. Dia sangat egois. Tidak mau melepasku, tapi seenaknya melukai.

"Aku minta modal 500 juta untuk membuka cabang restoran. Terus, beliin mobil juga. Aku harus sering main keluar, agar tidak stres di rumah.

"Kamu serius?" tanya Mas Wisnu tak percaya.

Selama ini, aku tipe istri yang tidak banyak menuntut. Awalnya, harta tidak penting bagiku. Namun, jika kondisinya seperti ini, lebih baik, aku habiskan harta Mas Wisnu untuk memakmurkan hidupku. Dibandingkan hartanya habis oleh Aida.

"Terserah kalau tidak mau. Jalan perceraian akan aku perjuangkan."

"Ba-baik, semua keinginan kamu, Pasti Mas kabulkan."

"Oke, kirim uangnya sekarang. Mobilnya besok harus ada."

"Apa? sekarang?"

"Iya, Mas 'kan punya M-bangking."

"Baiklah Neng. Mas akan mengirim uang itu sekarang. Asal Neng janji gak bakal ninggalin, Mas."

"Iya."

Tuhan, maaf aku membuat janji palsu. Mas Wisnu saja berani mengingkari janji suci kami. Aku terpaksa melakukan hal yang sama.

"Udah Mas Kirim."

"Iya, udah masuk." 

Uang sudah dikantongi, untuk modal usaha. Setelah ini, aku harus memikirkan cara agar bisa lepas dari Mas Wisnu. Realitanya, perceraian tidak semudah di film atau novel rumah tangga. Cukup sulit, jika pihak suami bersikukuh mempertahankan rumah tangganya. Ditambah lagi, aku tidak punya bukti perselingkuhan mereka. Hanya tahu saat mereka sudah menikah. Posisiku di persidangan semakin alot. Mas Wisnu tipe manusia ambisius.  Dia bisa melakukan apapun untuk mendapatkan keinginannya.

"Jangan pernah pergi, Neng."

Lagi-lagi Mas Wisnu memelukku. Ah, muak rasanya. Kakiku sangat gatal ingin menendang. Sebisa mungkin, aku tahan emosi agar tidak berbuat nekat.

"Satu lagi." Aku lepaskan pelukannya secara paksa.

"Apa, Neng?"

"Mas gak boleh minta jatah, sebelum aku mengijinkan."

"Ta-tapi Neng Ma-"

"Aku butuh waktu beradaptasi. Berbagi suami itu tidak mudah."

"Baiklah," jawab Mas Wisnu lesu.

Syukurin, aku juga bisa mempermainkan perasaannya. Jangan hanya hatiku saja yang bisa kamu tarik ulur. Aku juga akan membuat, tembok penyekat diantara kita. Ingat, semuanya sudah berubah.

*******

Pagi hari, aku sudah menyiapkan sarapan di meja. Sebenarnya sukar, tapi jika bukan aku yang masak, siapa lagi. Aish entah pergi kemana. Setelah subuh, dia izin keluar. Sedangkan Aida, seperti mati suri.

"Pagi, Neng."

"Iya."

"Masak apa Neng? Mas kangen banget masakan kamu."

"Tuh."

"Jangan cuek atuh, Neng."

"Hmmmm."

"Argh! Setan!" Suara Aida menggema.

"Neng, Aida kenapa?" Aku hanya menautkan alis tanda tak tahu.

"Pergi kamu, Setan!"

"Ayok, kita liat."

Drama apalagi yang dibuat madu baruku? pagi-pagi sudah bikin rusuh aja. Terpaksa, aku mengekor di belakang Mas Wisnu. Penasaran dengan apa yang menimpa Aida, sampai berteriak ketakutan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status