"Sekarang," intruksiku.
Aish langsung datang bersama gerombolan preman. Disusul tim pemadam membawa selang hydrant. Semua mata menatap tanpa berkedip. Pertunjukan spesial, akan dimulai.
"Serang!" teriak Aish."Apa-apaan, ini?" tanya Aida panik.Brak!Brak!Para preman langsung mengubrak-abrik meja, kursi dan merusak pelaminan serta hiasan pesta lainnya. Sedangkan para pemadam, menyemprotkan air berkekuatan tinggi. Menyiram para tamu undangan dan keluarga Mas Wisnu di pelaminan. Satu petugas lainnya, khusus menyiram Aida dan Mas Wisnu."Arrgh!" Para tamu undangan berhamburan keluar tempat resepsi.
"Arrgh! gila kamu Elina!" teriak Aida histeris saat terkena semprotan air.
Aku sengaja menepi ke tempat yang aman dari penyemprotan. Menjauh dari mereka. Rasanya Puas melihat kericuhan ini. Ide Aish dan Arka memang luar biasa. Dibandingkan harus bersikap kriminal dengan cara mencekik atau mengancam mereka, lebih baik, mengacaukan acaranya dengan perbuatan konyol seperti ini. Tidak akan ada yang terluka. Hanya air yang aku siramkan. Para preman, tidak melukai para tamu, cukup membuat tempat ini jadi berantakan. Anggap saja, ini gambaran hatiku yang sedang terluka.
"Neng, Maafkan Mas. Tolong hentikan perbuatan gila ini."
Mas Wisnu menggenggam tanganku. Mengucapkan kata penuh permohonan, hatiku makin sakit mendengarnya. Apakah dia lebih mementingkan resepsi ini, dibandingkan hatiku?
"Hahaha, semudah itu kamu bilang maaf, Mas. Kenapa kamu berbohong, kenapa?" tanyaku penuh amarah.
"Maaf Neng, Mas terpaksa menikah dengan Aida. Tolong hentikan semua kekacauan ini, Mas janji akan menjelaskan semuanya."
"Terpaksa? apa aku tidak salah dengar. Tega kamu, Mas. Apa kurangnya aku, Mas? bukankah masalah anak, kita bisa bicarakan baik-baik. Kamu tentu tahu, aku tidak mandul. Lalu, apa alasan kamu mengkhianati, apa?"
Tangisan dan amarah, aku keluarkan semua. Menangis dan berteriak dengan membabi-buta. Kali ini saja, aku ingin melampiaskan semuanya di hadapan Mas Wisnu. Sebelum perlahan, menjauh dari hidupnya.Plak!
"Itu untuk air mataku yang berjatuhan."
Satu tamparan mendarat di pipi kanannya. Mas Wisnu menatapku nanar.
Plak!
"Satu lagi, bentuk kekecewaanku."
kedua pipi Mas Wisnu merah merona. Dia tidak berkutik. Hanya pasrah mendapat serangan dariku.
"Ayok, kita baku hantam, Mas. Aku sudah muak dengan ekspresimu yang sok sedih. Dasar penjahat wanita, buaya darat."
Aku sudah memasang kuda-kuda. Siap beradu pukulan dengan Mas Wisnu. Dia sangat hafal, kalau aku jago bela diri. Mantan atlet pencak silat tingkat kabupaten di Yogyakarta.
"Silahkan pukul Mas, Neng. Asal Neng puas dan mau memaafkan Mas. Semua ini hanya keterpaksaan, Neng."
"Halah, banyak cingcong."
Bugh!
"Aw ...," rintih Mas Wisnu.
Satu tendangan berhasil mengguncang benda pusakanya. Itu balasan untuk burung yang suka menclok di tempat orang lain. Mas Wisnu terjengkang sambil meringis kesakitan.
"Mas Wisnu," histeris sang pelakor.
"Sini maju, gantian kamu yang aku kasih tendangan maut."
"Elina, kamu sudah tidak waras. Pantes saja Mas Wisnu mau menikahiku. Lihatlah dirimu, mirip preman."
"Dasar pe-"
"Cukup. Kamu sudah mengacaukan acara ini. Jangan main hakim sendiri Nak. Silahkan pergi, nanti kita bicarakan di rumah," ujar ibu mertua menahan amarah.
Baju ibu mertua basah kuyup. wajahnya seram karena make up yang sudah separuh luntur. Raut cemas sangat kentara, tapi dia berusaha tenang."Elin gak nyangka, Ibu bisa berbuat Setega ini. Kita sama-sama perempuan, Bu. Tapi ibu tega merestui anaknya bersikap sewenang-wenang kepadaku." Bulir bening, lagi-lagi tidak bisa ditahan.
"Kami punya alasan yang kuat untuk pernikahan ini. Tolong, kamu pulang dulu. Bawa preman kampungan yang kamu sewa. Kalau tidak, Ibu akan melaporkan kalian ke polisi."
Aku hanya tersenyum kecut mendengar pembelaan ibu mertua untuk menantu barunya. Ribuan belati menancap sempurna di hati ini. Orang-orang yang terlihat baik, ternyata menusukku dari belakang.
"Cepat Elin!" bentak Ibu mertua.
"Mbak Elin, lebih baik anda pergi dulu dari sini. Aish, bawa kakakmu kembali ke penginapan," ucap Arka yang tiba-tiba muncul.
Aku tidak tahu, sejak kapan Aish dan Arka ada di belakangku. Mereka datang di waktu yang tepat.
"Ayok, Mbak. Nanti kita balas mereka," bisik Aish sambil merangkul pundakku.
Tubuh ini hampir ambruk ke tanah, jika Aish tidak menguatkanku. Tuhan sangat baik. Di detik-detik terberat dalam hidupku, mereka hadirkan dua malaikat tak bersayap. Seorang adik yang selalu mendukung, dan pria asing yang begitu baik, padahal baru bertemu."Cepat bubarkan kekacauan ini!" teriak mertuaku.
Mas Wisnu hanya menatapku tak berdaya. Sedangkan Aida menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. Dia pasti merasa mendapat angin segar karena di bela ibu mertua. Awas saja, kebahagian itu akan sirna. Perebut suami orang, akan mendapatkan balasan atas kejahatannya melukai istri pertama yang tulus."Berhenti. Sudah cukup," perintah Arka pada pasukan perang kami."Urusan kita belum selesai, Mas." Aku menatap tajam pada Mas Wisnu dan Aida.Aish menarik tanganku agar pergi dari tempat ini. Kami keluar bersama para preman dan pemadam kebakaran yang sudah melakukan tugasnya.Di parkiran, Aish memberi sejumlah uang sisa pembayaran kepada para preman. Sebelum kami kembali ke penginapan.
"Ini uang pembayarannya, Pak preman. Terima kasih sudah membantu," ujar Aish kepada ketua preman. Dia menyodorkan amplop yang cukup tebal.
"Tidak usah, Nak Aish. Pak Arka sudah membayar lunas atas jasa kami," jawabnya.
Aku dan Aish hanya bertatapan sambil mengernyitkan dahi. Kenapa Arka begitu baik kepada kami? Apa ada udang di balik batu? ah, kepalaku nambah pusing jika memikirkannya.
"Saya pamit dulu."
Para preman membubarkan diri. Begitu pula dengan pasukan pemadam kebakaran. Aish langsung mengambil Motor dan mengajakku kembali ke penginapan. Perihal Arka, bisa nanti dibicarakan. Saat ini, ketenangan menatalku, harus di kembalikan. Jangan sampai aku gila karena kekacauan ini.
******
Setelah huru hara kemarin, Aku putuskan untuk kembali ke Jakarta. Sebelumnya, Aku sengaja mengajak Aish menemui Arka di kantor wedding organizer Kusumadewi. Aku harus mengganti uangnya dan mengucapkan terima kasih atas bantuannya.
"Abis ketemu Mas Arka, kita pulang, Mbak?" tanya Aish saat kami sedang menunggu Arka datang."Iya, Mbak harus menyelamatkan aset berharga di rumah, dan memikirkan langkah selanjutnya yang harus di lakukan."
"Aduh, Aish ikut pusing. Apa Mbak Elin bakal minta cerai?"
"Hemmm ...."
"Selamat pagi, Mbak Elin, dan Dek Aish," sapa Arka memotong pembicaraanku dengan Aish.
"Boleh minta waktunya sebentar, Pak Arka? ada yang ingin saya bicarakan."
"Silakan, mari masuk ke ruangan saya."
Aku dan Aish mengekor di belakang Arka. Masuk ke ruang kerjanya. Kemudian, Arka mempersilahkan kami duduk.
."Bagaimana kondisi Anda, Mbak Elin. Apa lebih baik?" tanya Arka basa basi."Lumayan. Langsung saja, saya ke sini mau mengucapkan terima kasih atas bantuan Pak Arka, dan ingin memberikan uang ini, untuk mengganti uang bapak yang sudah dibayarkan kepada para preman," jawabku tidak suka basa-basi.
"Oh, tentang uang itu. Tidak usah di kembalikan.""Oh, tentang uang itu. Tidak usah dikembalikan." Aku mengernyitkan dahi, mencerna ucapan Arka. Lalu, menatap Aish meminta pendapat atas kebingunganku. Aish hanya tersenyum santai. "Maksud anda gimana, yah? Maaf Pak, Anda pikir saya tidak mampu membayarnya? Saya bisa bayar sendiri. Jadi, Bapak gak usah repot-repot membayarkannya. Tolong, diterima. Jangan macam-macam," hardikku. "Bukan gitu maksud saya, Mbak Elin. Tolong jangan salah paham." "Terus maksud Bapak apa?" tanyaku dengan intonasi tinggi. "Saya tidak ingin, uangnya dikembalikan karena ingin menjalin kerja sama sama Mbak Elin. Jadi, anggap saja, uang itu modal awal saya." Kepalaku makin oleng mendengar penjelasan Arka. Sebenernya apa yang dia mau? ribet dan berbelit-belit. "Aduh, Mbak Elin Lola banget. Jadi, Mas Arka mau colab bisnis di bidang restoran sama Mbak Elin," papar Aish geregetan. "Kerja sama? Anda tahu dari mana saya punya bisnis restoran?" "Aish yang cerita. Saya jadi tertarik menjadi panter bisnis anda. Keb
"Mbak Elin!""Astagfirulloh, kenapa sih, teriak-teriak."Suara cetar Aish menyadarkanku dari lamunan. Kembali ke rumah, malah mengingatkanku pada memori indah selama enam tahun ini, bersama Mas Wisnu."Lagian ngelamun Mulu. Mulai di perjalanan, sampai di rumah, masih aja ngelamun. Tenang ajah, Mas Wisnu pasti pulang," tegur Aish.Sejak siang, sampai malam ini, bayangan Mas Wisnu dan kejadian kemarin, masih terekam jelas di ingatan. Rasanya seperti mimpi. Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini, akan tetapi, semuanya memang sudah terjadi. Bukan khayalan apalagi bunga tidur."Apa iya, Aish?""Iya. Dia kelihatannya masih sayang sama Mbak. Tapi kenapa mendua, yah? sepertinya, ada misteri yang harus kita pecahkan, Mbak.""Misteri?""Iya. Dari ucapan dan tatapan Mas Wisnu sama Ibunya, Aish yakin, ada yang tidak beres tentang pernikahan Mas Wisnu dan Aida.""Hal yang tidak beres apa, Aish?""Ya, mana Aish tahu. Ini baru dugaan. Mangkanya, kita cari tahu.""Bener juga, sih. Terus Mbak harus apa
Aku hanya bisa geleng-geleng mendengar pengakuan Aish. Dia sangat cerdas. Meskipun, rasa tidak tega sangat kuat kepada Mas Wisnu."Aish, apa tidak bahaya? kenapa Mas Wisnu yang dikasih obat pencahar. Harusnya si Aida.""Aish sengaja melakukan itu, agar Mbak bisa caper sama Mas Wisnu. Biar dia sadar, kalau Mbak adalah perempuan yang sangat tulus mencintainya. Ya meskipun, pada waktu yang tepat, Aish berharap kalian bercerai."Perkataan Aish menampar hatiku. Cepat atau lambat, perasaan ini harus sirna. Aku sendiri tidak yakin, bisa kuat saat dipoligami. Walaupun Mas Wisnu berusaha adil, tetap saja, masalah hati tidak bisa dikontrol. Mas Wisnu akan sulit untuk berbuat sama rata menyikapi perasaanku dan Aida."Terus Mbak harus Apa?""Aduh, nanya mulu. Untung punya adik yang kesabarannya seluas sungai Amazon. Nih, kasih obat ini sama Mas Wisnu. Sebelumnya, bawakan teh hangat sama biskuit buat mengganjal perutnya yang kosong.""Ide luar biasa.""Iya dong, siapa dulu dalangnya, Aish.""Hahah
"Neng, Aida kenapa?" Aku hanya menautkan alis tanda tak tahu."Pergi kamu, Setan!""Ayok, kita liat."Drama apalagi yang dibuat madu baruku? pagi-pagi sudah bikin rusuh aja. Terpaksa, aku mengekor di belakang Mas Wisnu. Penasaran dengan apa yang menimpa Aida, sampai berteriak ketakutan."Ada ap-" Mas Wisnu tidak meneruskan ucapannya.Matanya mebelalak menatap Aida. Mas Wisnu menggeleng heran ke arah gundik yang biasanya nampak cantik, berubah bak nenek lampir. Senyum tipis, tersungging di bibirku. Di dalam hati, aku bersorak bahagia memperhatikan ekspresi kepanikan di wajah Aida."Mas, parasku jadi seram gini. Pasti perbuatan Elina. Dasar perempuan gila."Aida menghampirku, siap melayangkan tamparan. Tangan Mas Wisnu, sigap menangkisnya. "Jangan sembarangan nuduh. Dari tadi, Elina bersamaku. Harusnya aku yang nanya, ngapain kamu coret-coret muka gitu.""Aku juga gak tahu, Mas. Pas bangun udah gini.""Mangkannya kalau tidur jangan kaya kebo," cibirku."Diam kamu. Pasti kamu 'kan yan
"Mas, aku juga mau dibelikan Mobil." Aida menerobos masuk. Emosi memicunya lupa diri. Hatiku bersorak girang memandang kecemburuan dari mukanya. "Ada yang ngintip, nih," sindirku. "Mas, kamu harus adil. Aku juga mau dibelikan mobil dan uang 500 juta. Masa Elina doang, aku lebih berhak. Kamu tau 'kan aku yang akan memberi keturunan untukmu?" "Maksud kamu?" tanyaku. Sudah beberapa kali, Aida mengungkapkan kata yang mengisyaratkan bahwa dia tengah mengandung darah daging Mas Wisnu. Apa Aida hamil? tak mungkin secepat itu. "Tidak Neng. Aida memang suka aneh." "Pokoknya, Mas harus memperlakukanku sama rata dengan Elin" "Baik-baik, aku akan adil." "Nah, gitu dong." Kesian sekali Mas Wisnu. Kalau begini, bisa jatuh miskin dia. Namun, biar terjadi seperti ini. Aku senang melihatnya. Mas Wisnu akan merasakan resiko punya dua istri. Satu saja tidak habis, dan ribet, malah nambah lagi. "Mas, aku juga mau dibelikan berlian, yah. Malu dong, pemilik restoran gak punya perhiasan." "Per
POV Wisnu"Nikahi Aida, Wisnu," perintah Ibu saat aku berkunjung ke Bandung."Tidak Bu. Wisnu sudah bilang, balas Budi gak harus menikahinya. Wisnu siap menanggung hidup Aida. Memberinya uang tiap bulan. Asal, tidak menikah dengannya.""Gak bisa Wisnu. Itu permintaan terakhir Pak Reno. Dia ingin kamu menjaga Aida.""Aku bisa menjaganya, tanpa harus menikah dengannya, Bu!" bentakku geram."Tolong, Wisnu, menikahlah dengan Aida, agar kamu bisa punya anak. Lihatlah, sudah enam tahu pernikahan, kalian belum mempunyai anak.""Belum rezeki, Bu. Kami sama-sama subur. Jadi, jangan beri alasan apapun. Sampai kapan pun, Wisnu tidak akan mempoligami Elina. Wisnu sangat mencintainya.""Wisnu, mau ke mana?""Aku mau kembali ke Jakarta.""Wisnu, jangan pergi. Temani Ibu!" teriak Ibu tak aku hiraukan.Aku berlalu pergi dari rumah Ibu. Sungguh, permintaannya diluar akal sehat. Aku sangat mencintai Elina. Perempuan paling sempurna di mataku.Sekuat tenaga, aku tolak permintaan gila dari Ibu. Tak akan
Pov Elina"Tidak, aku tidak mau, Mas. Aku ingin periksa ke Dokter Mawar saja. Dia sahabat kita, pasti memberi pelayanan terbaik," sanggah Aida panik"Halah, kamu takut 'kan? lihat tuh, gundikmu, Mas. Kebakaran jenggot takut ketahuan." Dia pikir aku bodoh dan bisa masuk perangkapnya? oh tidak, semudah itu. Aku sudah bisa membaca kelakuan pelakor model Aida. Sekarang, dia panik karena permainannya sendiri."Diam! biar aku yang menentukan!" bentak Mas Wisnu.Hatiku dongkol kepada Mas Wisnu. Hanya karena istri keduanya, dia membentakku. Tak ada penawar bagi lukaku ini. Tekad semakin bulat untuk menggugat ceria. Modal usaha sudah aku kantongi. Soal aset rumah, aku tak berminat menguasainya.Harta bukan penentu sebuah kebahagian. Hal terpenting, aku punya modal untuk memulai hidup baru tanpa Mas Wisnu. Dibandingkan terus bertahan tapi tersakiti. Uang masih bisa aku cari sendiri. Namun, kebahagian dan kesehatan mental tidak bisa dibeli materi. Buat apa aku berhasil mengeruk harta Mas Wisnu
Prang!Mas Wisnu memecahkan meja kaca menggunakan hiasan patung dari batu yang ada di lemari tempat televisi."Jangan pergi, atau aku bunuh diri," gertak Mas Wisnu sambil meletakan pecahan kaca pada lengan kirinya."Mas istigfar, Mas," seruku panik."Jangan pergi, Elin aku mohon." "Biarin aja, Mbak. Dia cuman drama doang. Kalau gak mau kehilangan, harusnya jangan mendua," sungut Aish."Mas tidak bercanda, Elina. Tolong jangan pergi. Mas sangat mencintaimu.""Modus!" sergah Aish."Ayok, Aish, kita pergi," seruku."Tidak."Mas Wisnu menghadang kami. Dia berjaga di pintu, agar aku tak bisa keluar. Kenapa kamu nekat seperti ini, Mas?"Awas!" teriak Aish."Tolong biarkan kami pergi, Mas!" hardikku."Silakan, pergi. Jika kamu rela melihatku mati.""Arrgh!" jerit aku dan Aish saat melihat darah bercucuran.Serpihan kaca, berhasil membelah lapisan kulit Mas Wisnu. Jelas terlihat, kulit yang menganga dengan cairan merah yang perlahan melingkari tangannya."Mas wisnu, hiks, hiks."Tanpa pikir